Rabu, 28 April 2010

UU ‘Pisau Bermata Dua’ Perlindungan Anak


Keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Indonesia, awalnya memberikan harapan yang lebih dalam upaya penyelamatan para generasi penerus bangsa di seluruh nusantara. Namun keberadaan UU ini, kemudian malah mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, karena dianggap tak lebih sebagai pisau bermata dua.
Adalah kaum pendidik, seperti guru, dosen yang paling menyorot keberadaan UU ini. Pihak-pihak tersebut menilai keberadaan UU ini telah disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengacaukan proses pendidik di negeri ini, yang berimbas dengan rendahnya mutu pendidikan dan munculnya generasi yang cengeng serta tidak siap bersaing dengan warga Negara lainnya.
Keberadaan UU ini juga kian menjadi ‘buah simalakama’ bagi para pendidik di tanah air. Disatu sisi, guru diwajibkan untuk mendidik para generasi muda (anak-anak-red) untuk menjadi generasi yang pandai dan mandiri. Namun dengan adanya UU tersebut guru harus lebih berhati-hati dalam mendidik siswa, agar tidak dipolisikan oleh sang murid dengan tuduhan telah melanggar hak anak.
“Saat ini sangat sulit untuk membuat siswa lebih disiplin dan bertanggungjawab. Sedikit saja kita (guru-red) memberikan hukuman karena murid yang bersangkutan telah lalai membuat tugas, kita bisa dipolisikan oleh mereka (murid-red) dengan tuduhan pelanggaran hak anak,”ucap Firdaus, seorang guru di Aceh Besar.
Ucapan guru ini bukanlah isapan jempol semata. Banyak kasus hukum yang ditunjukan ke seorang guru serta para pendidik lainnya dengan alasan melanggar UU Nomor 23 Tahun 2002. Perilaku seperti mencubit serta menampar, walaupun tidak mengandung unsur penganiayaan, juga bisa diadukan dengan pelanggaran tadi.
Hal inilah yang membuat para guru berada dalam posisi yang dilematis. Disatu sisi, mereka menginginkan agar anak didiknya paham akan arti sebuah tanggungjawab. Namun disisi lain, jika hukuman diterapkan, hal tersebut bisa disalahmaknakan oleh murid, sehingga bisa dipolisikan.
Salah satu contoh kasusnya, adalah kasus pelaporan dari keluarga dari M. Adiwijaya (10), siswa kelas III di SDN Bantaran 1, Kab. Probolinggo, pada 30 November 2009 lalu. Keluarga ini melaporkan seorang guru di tempat anaknya menuntut ilmu dengan tuduhan telah menjewer anak yang bersangkutan.
Kasus lain, adalah pelaporan dari Mirawati Tjahyono (16), siswa kelas 11 SMA Islam Kepanjen, yang melaporkan gurunya Jakfar Sodik (35), ke Mapolres Malang. Alasan pelaporannya, Gara-gara Mira tidak bawa Alquran, maka sang guru Bahasa Arab itu menjewer telinganya.
Tentu saja, dua kasus tadi adalah sisi negative dari keberadaan UU nomor 23 tahun 2002. Dari sisi positifnya, keberadaan UU ini juga dianggap sebagai perlindung para siswa dan anak-anak dari kesewenangan orang dewasa. Dalam kehidupan sehari-hari, kasus kesewenangan ini juga sering kita jumpai.
Namun yang kita bahas disini, adalah kelebihan dan kekurangan dari produk hukum perlindungan anak yang telah ada saat ini. Dimana, keberadaan sebuah undang-undang atau produk hukum justru sering disalahgunakan oleh pihak terkait untuk membenarkan apa yang telah diperbuatannya.
Imbasnya, dalam dunia pendidikan yang seharusnya ada sikap penghormatan yang harus dijunjung tinggi oleh seorang murid atau siswa kepada gurunya, selaku orang yang memberikann ilmu pengetahuan, kini kian terasa pudar. Para siswa ada kadang kalanya (walaupun tidak semua kasus sama-red) justru memposisikan diri jauh lebih penting dari semua peraturan.
Waktu yang seharusnya digunakan untuk menuntut ilmu, malah kadangkalanya digunakan untuk bermain. Jika ada guru yang mencoba menegur atau memberikannya hukuman, maka siswa bisa mengunakan UU tadi sebagai tameng dan menjerat guru ke ranan hukum.
Akibatnya, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini menjadi lebih kaku dari sebelumnya. Hal ini, disinyalir disebabkan oleh proses demokrasi yang berlebihan yang sedang dianut dan terjadi di Negara ini, salah satunya adalah pemaknaan UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang terlalu dangkal sehingga meciptakan generasi bangsa yang loyo.
Pendidikan era jepang, pesantren dan sekolah modern
Dalam penyelenggaraan pendidikan di Negara ini, kita sebelumnya mengenal banyak bentuk system didik yang diterapkan. Secara garis besar, kita bisa mengambil contoh dari pendidikan era penjajahan jepang, pendidikan pesantren dan system pendidikan umum pada era modern saat ini, sebagai bahan tulisan.

Pengelolaan pendidikan dimasing-masing bagian tadi, memiliki metode dan cara yang berbeda, termasuk menghasilkan watak dan kepribadian yang berbeda terhadap para lulusan masing-masing.

Menurut pengakuan sejumlah orang tua, system pendidikan yang dirasakan paling keras dan pahit, adalah pendidikan era penjajah Jepang. Dimana pada masa tersebut, perilaku disiplin serta tanggungjawab merupakan hal utama yang harus dikendepankan oleh para siswa.

“Jika kami telat ke sekolah (siswa-red) walaupun satu menit, kami diwajibkan menghormat matahari selama jalannya satu mata pelajaran. Hal yang sama juga terjadi, jika kami tidak menyelesaikan tugas yang diberikan,”papar Nek Tun, ex siswa masa sekolah jepang, kepada penulis suatu ketika.

Namun, lanjut dia lagi, karena system didikan seperti ini, dirinya dan para siswa lainnya pada saat itu, dapat bersikap lebih bertanggungjawab dan berdisiplin yang tinggi. Pasalnya, jika mereka (siswa-red) melanggar ketentuan tersebut, maka hukuman seperti memberi hormat pada sang matahari (yang dianggap dewa oleh Jepang-red) pun harus dijalaninya.

Dari pengakuan tadi, sebenarnya dapat diambil kesimpulan, bahwa setiap didikan memiliki makna dan tujuannya akhir untuk anak didiknya. Pendidikan masa Jepang, bisa jadi merupakan pendidikan yang dinilai sangat tidak manusiawi jika diukur dalam kacamata demokrasi saat ini. Namun hasil didikan jepeng pada saat itu, ternyata juga telah melahirkan banyak tokoh dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Hal yang hampir sama juga diterapkan dalam metode pendidikan berbasis pesantren di seluruh nusantara. Seorang kiai juga tak segan-segan memberikan hukuman pada seorang murid atas pelanggaran yang dibuat. Hukuman tersebut beragam, seperti mengisi air tempat wudhu, membersihkan mushala, hingga menghafal kitab-kitab yang menjadi bacaan wajib.

Dampak yang dapat diambil dari didikan ini, adalah tanggungjawab dan disiplin seorang murid. Hukuman yang diberikan bersifat membangun bagi siswa sehingga mereka bisa lebih mengetahui mata pelajaran yang sedang diajarkan.

Hukuman yang diterapkan di pesantren juga menumbuhkan sikap persatuan dan kesatuan diantara santri. Konon, hal inilah yang paling ditakutkan oleh penjajah belanda pada saat menyerah Aceh dahulu kala.

Sedangkan pendidikan di era modern seperti saat ini, pola pendidikan lebih pada pencapaian kurikulum atau mata pelajaran. Sedangkan etika, penumbuhan sikap bertanggungjawab, serta disiplin hanyalah isi materi dalam salah satu pembahasan pelajaran di sekolah.

Sedangkan untuk proses realisasi dari ilmu yang diajarkan tersebut dikembalikan pada diri seorang siswa. Hal ini akhirnya menyebabkan pada permasalahan seperti hal tadi. Materi pelajaran seperti rasa tanggungjawaban dan berbuat baik, kini hanya menjadi bahan bacaan, serta tidak pernah direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Demokrasi yang berlebihan telah menyebabkan wajah pendidikan nasional bergeser sedikit demi sedikit. Hal inilah yang mungkin harus kembali dipertegaskan dengan keberadaan UU nomor 23 tahun 2002. Dimana keberadaan UU ini juga harus diiringi dengan tanggungjawab orang tua, dalam memerhatikan perkembangan siswa.

“Jika dulu, kami (siswa-red) di pukul oleh guru di sekolah dan melaporkannya pada orang tua di rumah. Maka kami akan kembali di pukul, karena orang tua menganggap kami telah melakukan perilaku yang memalukan serta layak diberikan hukuman. Namun kini, jika ada siswa yang dipukul oleh guru dan melaporkannya pada orang tua mereka di rumah, maka orang tua tersebut akan datang ke sekolah untuk memukul guru yang bersangkutan,”ucap Azhari, seorang guru.

Perkataan seorang guru ini memberikan gambaran adanya pengeseran pemahaman pendidikan yang terjadi pada saat ini. Pengeseran itu tentu harus menjadi bahan introveksi semua pihak tentang arah pendidikan kita. Baik guru maupun siswa seharusnya, dapat lebih merenungi makna dari keberadaan sebuah undang-undang sehingga sadar akan posisi masing-masing.


Pisau Bermata Dua
Keberadaan UU nomor 23 tahun 2002 sebenarnya adalah wujud dari kepedulian pemerintah terhadap perlindungan anak. Keberadaan UU ini juga sesuai dengan harapan pemerintah agar permasalahan anak bangsa harus dikedepankan sehingga kemakmuran bisa tercapai.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keberadaan sejumlah pasal dan ayat dalam undang-undang ini. Namun pemahaman keliru dari para pelaksana di lapangan telah menyebabkan UU ini menjadi pisau yang bermata dua.

Keberadaan UU nomor 23 tahun 2002 adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujud-nya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Penyelenggaraan perlindungan anak berlandaskan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonsia Tahun 1945 serta prinisp-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi sikap non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan dan, penghargaan terhadap pendapat anak.

Penjelasan terhadap UU ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan asas perlindungan anak adalah perlindungan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak.

Sedangkan yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak dalam pasal tersebut adalah bahwa pelindungan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat terhadap anak mesti mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi pertimbangan utama, yang disesuai dengan tanggungjawab.

Makna tanggungjawab disini adalah penyesuai antara hak dan kewajiban seorang anak. Apabila hak anak tidak dipenuhi setelah kewajibannya dilaksanakan, maka baru UU ini dijalankan. Namun sebaliknya, apabila seorang anak tidak pernah memenuhi kewajibannya, tetapi meminta haknya, maka proses hukuman tetap harus dijalankan agar yang bersangkutan sadar dan memahami tanggungjawab yang diembankan.

Hal ini juga mencegah UU nomor 23 tahun 2002 serta Qanun nomor 11 tahun 2008 tentang perlindungan anak menjadi pisau bermata dua bagi pendidikan.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan ini nampaknya sedikit primitif. Proses pendidikan anak dapat dilakukan tanpa adanya kekerasan fisik. Banyak jenis hukuman lain yang dapat diberikan oleh guru selain kekerasan fisik. Cubitan, tamparan atau pukulan termasuk sebagai kekerasan fisik. Jika hal demikian dibiarkan, maka makin sulit menentukan sampai Batasan mana guru berhak untuk melakukan kekerasan fisik. Selain itu, kekerasan fisik juga dapat mengganggu psikologis anak. Berita yang disajikan hanya menyoroti satu sisi. Padahal, di sisi lain banyak pula kasus kekerasan oleh guru kepada anak murid yang terjadi. https://www.youtube.com/watch?v=PZTizDTWPKE atau https://www.youtube.com/watch?v=-6uZbLxI6pc

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york