Senin, 17 Mei 2010

Bentrokan di Unsyiah, Antara Ideology dan Kekuasaan!


Klaim adanya golongan ‘kiri kanan’ telah lama terjadi di tengah organisasi dan pergerakan mahasiswa di kampus Unsyiah. Hal ini pula yang menyebabkan pergerakan disana sangat mudah dipatahkan, karena kelompok massa tersebut bagaikan air dan minyak, yang sulit disatukan.

Sejatinya, semua pergerakan mahasiswa Indonesia memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Disejumlah daerah di nusantara, seperti Makassar, Yogyakarta serta Jakarta sendiri, sejumlah organisasi massa mahasiswa tak segan-segan bersatu jika ada isu bersama yang diperjuangkan, namun hal inilah yang sulit di cari dan terjadi di Provinsi Aceh, Kampus Unsyiah khususnya belakangan ini.

Kasus bentrokan yang terjadi beberapa waktu lalu adalah salah satu contohnya. Adanya kecurigaan yang mendalam serta sentiment perbedaan ideologi disinyalir merupakan alasan dibalik kasus itu.

Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang mengklaim diri sebagai golongan ‘kanan’ sulit berjalan seiring dengan mereka yang dicap sebagai ‘kaum kiri’. Dalam kasus bentrokan Unsyiah kemarin, golongan yang dicap kiri ini adalah Forum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (Forum Gabungan BEMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Ratusan mahasiswa Unsyiah, Jum’at (14/5) terlibat tawuran massa antara para pendukung PEMA Unsyiah dan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dengan massa Forum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (Forum Gabungan BEMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Insiden ini mengakibatkan belasan mahasiswa dan warga selaku pengguna lalu lintas dekat kampus tersebut terluka , akibat terkena lemparan batu serta terpaksa dilarikan ke rumah sakit dan Pukesmas terdekat.

Insiden ini sebenarnya bermula akibat adanya perseteruan dan beda pendapat dari ruangan Flamboyant lantai dua, AAC Dayan Dawood. Kebetulan saat itu, ruangan yang diberi nama dari mantan Rektor Unsyiah yang ditembak masa konflik tersebut, sedang diselenggarakan Sidang Umum Keluarga Besar Mahasiswa Unsyiah (SU-KBM Unsyiah-red).

“Saat itu, sedang terjadi pembahasan pasal-pasal krusial dari statuta KBM Unsyiah. Beberapa pasal yang sedang diperdebatkan seperti BAB VIII, tentang pasal 31 hingga 34 tentang hubungan internal. Namun karena sama-sama mempertahankan ego mengakibatkan keributan di dalam sidang hingga tawuran di luar,”ucap khairul, anggota SU-KBM Unsyiah dari FKIP.

Sumber lainnya juga menyebutkan, bahwa sidang memanas ketika pembahasan pasal 31 hingga 34, tentang hubungan internal PEMA Unsyiah dengan UKM. Beberapa DPMF yang menjadi anggota SU-KBM meminta pasal ini dihapuskan dengan alasan bawa dengan adanya pasal ini, PEMA seakan menekan UKM.

“Kita minta pasal ini dihapus karena seharusnya hubungan UKM dengan PEMA hanyalah garis koordinasi, bukan hubungan atasan bawah seperti selama ini. Namun mereka menolak sehingga terjadi perdebatan,”jelas Zikir, peserta SU KBM lainnya.

Karena adanya keributan di dalam, lanjut dia, massa mereka (forum BEM dan UKM-red) yang berada di luar gedung mencoba menerobos masuk ke ruang sidang. Namun massa tersebut mendapat perlawanan dari panitia setempat sehingga terjadi perkelahian, yang mengakibatkan Ketua BEM FKIP, Safaruddin, terluka di tangan akibat terkena pecahan kaca.

Mendapat perlakuan tersebut, ratusan massa dari berbagai fakultas dan UKM kemudian mencoba menggepung kantor PEMA Unsyiah. Namun hingga selesai solat Jum’at, keadaan dapat ditenangkan dan tidak insiden apapun.

Selanjutnya, menurut Fauzan, anggota massa Forum BEMF, kira-kira pada pukul 15.00 WIB, pihaknya melihat ratusan massa PEMA dan LDK, bergerak kea rah mereka dengan membawa balok dan batu. Massa tersebut kemudian melempar batu tersebut ke atas mereka yang berdiri dekat jalan raya. Batu ini yang disinyalir turut melukai para pengguna jalan raya, termasuk warga.

“Kami membalasnya hingga terlibat tawuran massa. Mereka (PEMA-red) mundur dari kampus,”ungkap dia.

Polisi sendiri, datang ke lokasi, sudah pada pukul 14.00 WIB, namun tawuran ini tidak bisa dicegah. “Puluhan personil kami turutkan ke tempat ini, termasuk polisi yang berpakaian preman. Baru pada pukul 16.00 WIB, keadaan bisa ditenangkan,”ucap Kapolsek Syiah Kuala, Iptu Abdul Muthalib.

Sementara itu, Faisal, Sekretaris Jendral (Sekjend) Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) Unsyiah yang menjadi lawan pihak pertama, mengatakan sebaliknya. Menurut dia, yang memulai bentrokan tersebut bukanlah massa dari LDK dan PEMA Unsyiah, tetapi sebaliknya.

“Itu tidak benar. Mereka yang terlebih dahulu memprovokasinya. Mereka mengobrak-abrik kantor PEMA dan LDK Al-Mudaris hingga rusak,”ucap dia.

Katanya, bentrokan Jum’at kemarin memang bermula dari ruang sidang di AAC Dayan Dawood. Namun massa Forum BEM dan UKM yang berkumpul di depan UKM Lauser, beberapa kali datang ke kantor PEMA untuk mencari Mujiburrahman, selaku Presiden PEMA Unsyiah.

“Mereka berbicara tidak senonok dan mengganggu aktifitas kajian putri PEMA Unsyiah yang sedang berlangsung. Mereka juga merusak beberapa fasilitas PEMA,”ucap Faisal.

Menghadapi keadaan seperti ini, lanjut dia, penggurus putri PEMA Unsyiah, kemudian menelpon dirinya dan meminta bantu. Pihaknya malah minta agar pengurus tadi ke luar dari kantor PEMA agar tidak terluka.

“Rupanya mereka tidak senang berakhir begitu saja. Massa Forum BEM kemudian mendatangi Mushala Kit di depan MIPA Unsyiah, ini membuat kami marah dan melawan,”jelasnya.

Akibat kasus ini, lanjut dia, kerugian yang paling besar dirasakan menimpa pihaknya. Selain fasilitas PEMA yang hancur, pada Jum’at malam (14/5) juga dilaporkan terjadi penyerangan terhadap kantor LDK Al Mudaris.

“Fasilitas disana hancur. Hingga kini kami belum menerima ajakan damai dari siapapun. Sedangkan Sidang Umum KBM Unsyiah yang dipermasalahkan tetap dilanjutkan tadi dan sudah berakhir,”jelas Faisal.

Dari penjelasan tadi, jelaslah bahwa kemelut dan bentrok yang terjadi di Unsyiah belakangan ini sebenarnya berawal dari kesalahanpahaman semata. Namun karena adanya pemahaman ideologi yang realita dangkal, mengakibatkan konflik tersebut membesar dan memakan korban.
Penyelesaian konflik, baik yang diakibatkan karena perebutan kekuasan dengan konflik ideologi, sebenarnya terdapat perbedaan yang jauh. Konflik akibat perebutan kekuasaan akan mudah dicarikan solusi dan jalan islahnya (damai-red) untuk pihak yang terlibat, namun konflik ideologi susah untuk dipertemukan.

Tetapi, menurut penulis, konflik yang terjadi di Unsyiah adalah konflik kekuasaan yang diseret ke permasalahan ideologi sehingga para mahasiswa yang sebenarnya, sama-sama menuntut ilmu serta beragama islam, harus bertempur layaknya perang suci di Palestina.

Belum Ada Islah
Dua kubu yang saling bentrok di Unsyiah, hingga Senin (17/5) lalu, mengaku belum mencapai kata sepakat untuk mengakhiri bentrokan yang terjadi atau berdamai.

Akibatnya, pada Sabtu (15/5), dua mahasiswa Fakultas Pertanian kembali dilaporkan terluka akibat adanya penyerangan dari salah satu kelompok, dan kantor LDK Al-Mudaris (LDK FKIP-red), yang terletak di Jalan Inoeng Balee, Desa Rukoh, juga dilaporkan rusak parah akibat adanya penyerangan oleh sekelompok Orang Tidak Dikenal (OTK) pada jum’at malam.

Menurut informasi, dua mahasiswa yang terluka di Fakultas Pertanian Unsyiah adalah Muji dan Rahmad. Pemukulan terhadap kedua mahasiswa ini terjadi pada pukul 13.00 WIB, saat keduanya sedang berdiskusi masalah mata kuliah.

“Sejatinya, Muji dan Rahmad adalah kawan satu ruang kuliah di Fakultas Pertanian Unsyiah. Namun Rahmad lebih sering berada di LDK, sedangkan Muji sering berkumpul dengan kami (forum BEMF-red). Aksi pengeroyokan disinyalir terjadi karena adanya kesalahpadahaman,”ucap Safruddin, perwakilan dari massa Forum BEMF, kemarin.

Katanya, pihak yang mengeroyok kemungkinan mengira bahwa Muji sedang membentak Rahmad. Padahal keduanya sedang bercanda karena memang teman satu ruang kuliah. “Akibat hal ini, Muji mengalami memar di beberapa bagian tubuhnya, sedangkan Rahmad mengalami luka ringan,”jelas Safar.

Hingga kini, kata Safar lagi, pihak nya juga mengaku masih bersiap-siap untuk segala kemungkinan yang terjadi. Pihaknya mengatakan baru akan berdamai jika ada mediator dari rektorat Unsyiah.

“Namun sejauh ini belum ada. Kita minta kawan-kawan yang berseberangan untuk tidak memukul mahasiswa yang tidak tahu apa-apa terkait masalah yang terjadi,”ungkap dia. Sedangkan Faisal, Sekjend PEMA Unsyiah juga mengaku hal yang sama, akibat belum adanya penanganan tersebut mengakibatkan permasalahan tersebut masing terkantung-kantung.

Menyangkut hal ini, Pembantu Rector (PR) Bidang Kemahasiswaan Unsyiah, Rusli Yusuf, mengatakan pihaknya akan mencoba memediasi kedua belah pihak yang bertikai. Pihaknya juga mengaku akan memberlakukan jam malam untuk mengatasi tawuran susulan.

“Kita juga tingkatkan pengawasan agar tidak ada tawuran susulan. Besok akan coba kita mediasi pihak-pihak yang bertikai ini,”jelasnya.

Rusli juga mengungkapkan bahwa dasar terjadinya bentrokan di antara anak didiknya tersebut, sebenarnya hanyalah permasalahan kekuasaan. Mediasi dan islah dengan cara ‘mengawinkan’ kedua pihak yang bertikai ini dalam satu kepengurusan kedepan, diharapkan dapat mengakhiri konflik ini.

“Bukan karena ideologi, tetapi halnya karena permasahan kekuasaan saja,”terangnya.

Beda Ideologi Haruskan Bertikai?
Adanya perbedaan sebenarnya adalah hal yang wajar dalam kehidupan sehari-hari. Islam sendiri mengenal banyak aliran, namun hal inilah yang membuat keberadaan islam dihargai oleh pemeluk lainnya.

Berbeda dengan pergerakan mahasiswa di Unsyiah, perbedaan ini seakan sesuatu hal yang sakral dan tidak bisa diterima. Sehingga dalam sejumlah kegiatan maupun aksi, kedua kelompok ini seperti air dan minyak, sulit disatukan.

Bagi golongan yang dicap kiri, alasan karena atek-atek partai tertentu di kampus merupakan serangkaian jawaban yang sering dilontarkan ketika mereka ditanyai oleh seseorang mengenai awal mula kebenciaan mereka terhadap golongan lawan. Sedangkan bagi mereka yang mengklaim diri sebagai golongan kanan, tuduhan sosialis, komunis hingga kafir untuk pengurus organisasi berseberangan juga sering kali terdengar.

Padahal, kedua alasan yang dipaparkan oleh kedua kelompok yang berbeda ini tidak memiliki dasar yang kuat jika diperbedatkan. Namun alasan-alasan ini telah diwariskan sejak belasan tahun lamanya. Bisa dikatakan, hal itu adalah dosa mahasiswa sebelumnya yang diwariskan secara turun temurun hingga mahasiswa sekarang.

Seharusnya, selaku generasi penerus yang sama-sama beragama islam, perpecahan ini haruslah dapat dicegah. Keberadaan ideologi seharusnya dapat dijadikan karakter dan sikap hidup seorang mahasiswa, bukan malah membawa mereka pada perpecahan hingga malah bentrokan yang dapat menghilangkan nyawa.

Jumat, 14 Mei 2010

Maaf! Masyarakat Miskin Aceh Dilarang Sakit


Usia kemerdekaan Negara Indonesia memang sudah mencapai 64 tahun. Namun kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya, masih sulit dicapai, termasuk kemerdekaan dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai dari negara ini. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang terjadi di Provinsi Aceh belakangan ini.

Adalah Zubaidah, 42, Pasien miskin asal Desa Pante Riek, Kecamatan Lueng Bata, Kota Banda Aceh, terancam nyawanya karena menderita kanker ganas di payudara kanannya. Kasus lain adalah Maini Nurdin, 37, pasien miskin asal Gampong Cot Laweung, Kabupaten Pidie, yang menderita tumor rahang.

Namun karena tidak memiliki biaya, kedua pasien tersebut di telantarkan oleh Rumah Sakit Zainun Abidin (RSUZA) saat berobat disana. Kedua kasus ini juga memberikan gambaran kepada public, berapa sudahnya masyarakat miskin memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.

Sebuah fameo yang berkembang di masyarakat saat ini, seperti warga miskin dilarang sakit, mungkin ada benar. Paling tidak, hal inilah yang di dapatkan berdasarkan rangkaian kenjadian selama ini.

Menurut Warsida, anak pasien Zubaidah, kenjadian yang menimpa orang tuanya ini bermula seminggu lalu. Saat itu, ibunya mengeluh kesakitan di payudara sebelah kanan. Dipayudara orang tuanya tersebut muncul sebuah benjolan sebesar kelereng dan 4 hari kemudian bertambah besar menjadi 5 x5 CM.

“Akhinya kami coba bawa ibu ke tempat praktek dr.Ismet yang merupakan ahli bedah. Dokter tersebut mengatakan ibu perlu segera dioperasi karena penyakitnya parah, tetapi harus dilakukan di RS Fakinah, dan biaya operasinya sekitar 10 juta, belum termasuk obat. Dengan alasan tidak memiliki biaya, ibu terpaksa kami bawa pulang,”jelas dia.

Lanjut dia, namun karena ibunya (pasien-red) terus mengeluh kesakitan, akhirnya pada Minggu (2/5), keluarganya kembali membawa pasien untuk berobat ke IGD RSUZA. Lagi-lagi, dokter disana juga menyarankan agar pasien segera di operasi, tetapi harus di rumah sakit lain (bukan RSUZA-red) yang secara otomatis juga memerlukan biaya belasan juta.

“Dosen disana mengatakan jika di tetap memaksa operasi di RSUZA, maka ibu (pasien-red) harus menunggu antrian. Saat itu sudah ada 25 orang pasien yang menunggu operasi dengan jatah operasi 2 orang perminggunya. Jika kami ikut saran dokter ini, maka secara otomatis ibu akan sangat menderita sehingga sekitar jam 01.00 dini hari yang sama, kami terpaksa kembali membawa ibu keluar rumah sakit,”jelasnya.

Setelah berembuk dengan keluarga, lanjut Ida, pada Rabu (5/5) pihaknya kembali membawa pasien ke bagian Poli Bedah milik RSUZA. Disana, tanggapan dokter, kembali mengecewakan keluarga. Menurut dokter, ahli bedah yang dimiliki oleh RSUZA saat ini adalah dr. Ismet yang sejak 3 bulan lalu tidak masuk kerja karena tidak pernah dibayar oleh rumah sakit.

“Dokter disana mengaku kecewa dengan RSUZA sehingga lebih memilih berkerja di tempat praktek daripada rumah sakit. Ini yang kembali membuat kami kecewa dan pulang dengan tangan hampa. Hingga kini, kondisi ibu cuma dapat terbaring di tempat tidur dan hanya mengkomsumsi pil penghilang rasa nyeri dan sakit,”tutur dia.

“kami sangat berharap ada pihak-pihak dermawan yang menolong ibu dan membiayai operasi. Selain itu, kami hanyak bisa pasrah,”harapnya.

Tidak hanya Zubaidah. Akibat adanya perseteruan jajaran manajemen dengan dr. Ismet, seorang ahli spesial bedah di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Kota Banda Aceh, membuat operasi tumor rahang pasien pemegang kartu Jamkesmas tertunda.

Kasus kali ini menimpa Maini Nurdin, 37, pasien miskin asal Gampong Cot Laweung, Kabupaten Pidie. Pasien yang diagnosa menderita tumor rahang ganas ini mengaku dirugikan akibat konflik yang terjadi di RSUZA sehingga yang bersangkutan tidak kunjung dioperasi.

“dr. Ismet menolak melakukan operasi terhadap anak saya di RSUZA karena adanya konflik dengan rumah sakit tersebut. Jika ini terus dibiarkan berlarut maka akan berdampak buruk bagi kesehatan anak saya,”ucap Nurdin, 63, ayah dari pasien Maini, kemarin.

Menurut Nurdin, seharusnya tumor rahang yang menimpa Maini akan dilakukan operasinya pada pertengahan Mei ini. Operasi tumor rahang ini juga akan dilakukan oleh dr. Ismet selaku dokter spesial bedah tumor yang dimiliki rumah sakit itu.

Namun, lanjut dia, dalam berapa hari terakhir ini, dr. Ismet kembali memaparkan untuk tidak akan melakukan operasi di RSUZA. Keluarga dari pasien miskin tersebut disarankan untuk merujuk pasien di rumah sakit lain, kecuali RSUZA, agar dapat segera dioperasi.

“Namun jika di rujuk ke rumah sakit lagi, kami tidak mampu membiayai operasi itu karena kami cuma warga miskin dan pemegang Jamkesmas. Apalagi, uang yang saya miliki saat ini, sudah habis saya gunakan untuk membeli perlengkapan operasi,”ucap Nurdin.

Menyangkut hal ini, Husaini, Humas RSUZA yang dikonfirmasi wartawan, mengakui adanya kasus ini walaupun tidak sedramatis dan serumit yang diungkapkan oleh keluarga pasien. Permasalahan ini, dikatakan sudah dilaporkan ke Wakil Direktur (Wadir) bidang pelayanan dan sedang dicari solusi terbaik bagi pasien.

“Memang permasalahan dr. Ismet sedang dicarikan solusi. Kita akan usahakan untuk mengoperasi pasien Maini sesuai dengan jadwal. Namun jika dr. Ismet juga tetap tidak mau melakukan operasi, pasien akan kita rujuk ke Medan dengan biaya ditanggung penuh oleh manajemen RSUZA sehingga tidak ada yang dirugikan,”jelas Husaini.

Keluarga pasien, tambahnya, diminta untuk tidak panik terhadap keadaan ini. pihak manajemen juga akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu pasien ini hingga operasinya tuntas.

Sementara itu, menurut informasi yang diperoleh, keputusan penolakan operasi yang dilakukan oleh dr. Ismet belakangan ini, dikarena kekecewaan mendalam dokter yang bersangkutan terhadap manajemen RSUZA yang dinilai tidak profesional. Dokter tersebut disinyalir tidak lagi menerima jatah dari program Jamkesmas selama setahun terakhir.

“Maka dokter menolak operasi. Yang bersangkutan juga sudah siap apabila dipindahkan dari RSUZA,”ucap sumber yang tidak mau disebutkan namanya itu, kemarin.

Jika kita mencoba untuk mencari akal permasalahan yang menimpa kedua pasien ini, jelaslah bahwa faktor kemiskinan yang menyebabkan pelayanan kesehatan yang hendak mereka peroleh sulit didapatkan. Dalam arti lainnya, negara kita ini belum lah mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi warga nya.

Negara kita yang ‘katanya besar’ ini hanya mampu menciptakan pepatah, seperti, jangan tanya apa yang negara berikan padamu, tetapi tanyalah apa yang kamu mampu berikan untuk negara. Keadaan inilah yang menurut penulis, telah membuat negara kita sedikit egois, serta hanya memikirkan besarnya pendapatan daripada pelayanan rakyat.

Rombak Total Manajemen RSUZA
Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pernah meminta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, untuk segera merombak total jajaran manajemen di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) kota Banda Aceh. Hal ini dinilai penting guna mengakhiri konflik internal yang sedang terjadi di rumah sakit negara itu, yang berimbas pada buruknya pelayanan masyarakat disana.

“Kita meminta Gubernur Irwandi untuk melakukan langkah cepat dalam menanggani konflik yang sedang terjadi di RSUZA Banda Aceh saat ini. Salah satu yang Kita (dewan-red) anggap perlu dilakukan segera adalah merombak manajemen di sana,”ucap Ketua Komisi F Bidang Kesra DPRA, M. Yunus Ilyas, Selasa (11/5).

Menurutnya, konflik internal yang terjadi di RSUZA saat ini, terjadi karena penanganan manajemen yang salah. Pihak yang dinilai harus bertanggungjawab atas terabaikannya sejumlah pelayanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas belakangan ini, adalah Direktur RSUZA dan Gubernur Irwandi Yusuf sendiri.

Kasus yang menimpa Zubaidah, pasien miskin yang menderita tumor payudara asal Desa Pante Riek, Kecamatan Lueng Bata dan Maini Nurdin, 37, pasien miskin penderita tumor rahang asal Gampong Cot Laweung, Kabupaten Pidie, dinilai hanyalah dua kasus yang baru terungkap ke public.

Yunus menyakini, hal yang sama juga menimpa pasien miskin lainnya saat berobat disana (RSUZA-red), tetapi tidak terokpos media. Keadaan ini diminta harus segera diakhiri hingga masyarakat Aceh tidak memandang negative pada pemimpin Aceh saat ini.

“Cuma kita (dewan-red) juga sangat menyayangkan sikap dokter yang melakukan aksi protes melalui penolakan operasi pasien miskin. Seharusnya ada cara-cara lain yang lebih bijaksana dan sesuai dengan sumpah pekerjaan yang pernah diucapkan dulu,”jelas M. Yunus lagi.

Dewan, tambahnya lagi, meminta dokter yang bekerja di RSUZA saat ini untuk dapat mendepankan kode etik pekerjaan diatas segalanya. Sedangkan masalah kekecewaan dokter pada manajemen RSUZA, dapat dilaporkan kepada pihaknya untuk diselesaikan.

“Pokoknya, kedepan kita minta tidak merugikan pasien miskin lagi. Pelayanan kesehatan bagi warga miskin harus dikedepankan sehingga kasus yang sama tidak terulang,”akhirinya.

Pemintaan dewan ini, memang ada benarnya. Paling tidak, akan permasalahan atau konflik yang sedang terjadi antara dokter dengan manajemen di RSUZA janganlah merugikan masyarakat. Hal inilah yang sedang terjadi di RSUZA sehingga harus segera ditangani, termasuk dengan merombak manajemen di rumah sakit plat merah itu.

Antara Realita dan fakta yang jauh berbeda
Amanat UUD Negara RI 1945 Amandemen IV sebenarnya telah menyebutkan, bahwa negara bertanggung jawab memberi layanan kesehatan (Pasal 28 H Ayat (1)), hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif (Pasal 28 I (2)), serta hak atas kepastian hukum dan keadilan (Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (1)) bagi setiap warga negara, termasuk perempuan.

Namun hal inilah yang tidak terpraktekan di Aceh saat ini. Dengan serangkaian kasus yang pernah terjadi, pelayanan kesehatan di Aceh saat ini, sepertinya masih diperuntukan untuk warga yang berada di kasta menengah ke atas.

Sedangkan bagi rakyat miskin ! berharaplah supaya tidak pernah sakit. Jika tidak, hal tersebut akan berakibat fatal jadi, minimal seperti kedua kasus tadi. Turun tangan dari Pemerintah Aceh menyangkut kemelut yang terjadi saat ini, sangatlah diperlukan.

Minggu, 09 Mei 2010

Kala PLTD Apung ‘Beranak Satu’ di Beuraden



Rumah milik Ilyas, Warga Desa Beuraden, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, sejatinya tidaklah sebesar gudang kapal. Rumah ini juga tergolong sempit, berdinding kayu dengan pondasi setengah panggung. Tapi disinilah staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh itu merawat PLTD Apung.

Saban hari, pria bertubuh gembul ini menyapu debu di keliling situs tsunami tersebut. Ketika ada warga yang ingin melihat, dia tidak segan-segan mengangkat benda itu dan kemudian menaruhnya di tempat yang lebih leluasa untuk di pandang mata.

Ini bukan berarti Ilyas adalah sosok manusia terkuat sehingga mampu mengangkat benda Benda seberat 200 ton, yang bertempat di Desa Punge Blang cut, Kota Banda Aceh, untuk di pindahkan ke rumahnya.

Yang dirawat oleh warga ini hanya miniatur PLTD Apung yang sama persis dengan induknya di Punge. Kapal PLTD Apung milik Ilyas ini hanya memiliki panjang 2 meter dan lebar 70 CM. Hal ini pula yang membuatnya mampu memindahkan banda tersebut sesuka hati setiap harinya.

“Ini semua berawal dari mimpi aneh. Saya bermimpi PLTD Apung melahirkan anak secara berulang kali hingga akhirnya berniat untuk mewujubkan mimpi itu,”tutur sang pemilik miniatur.

Untuk menwujubkan mimpinya ini, dirinya kemudian berkeliling Banda Aceh dan Aceh Besar, guna mencari seseorang yang mampu membuat mimpinya menjadi kenyataan. Di awal juli 2009 lalu, akhirnya orang yang dicari tersebut ditemukan dan membuat miniatur PLTD Apung pun di mulai.

“Dengan berkat kerja keras dan bermodal 9 jutaan, akhirnya miniatur ini dapat diselesaikan dan mimpi saya akhirnya terwujub. PLTD Apung akhirnya benar-benar dapat beranak satu di Beuraden,”jelasnya.

Konon, miniatur ini juga sudah pernah di ekspos oleh media nasional, baik elektronik maupun cetak. Dalam proses pengerjaannya, miniatur ini juga pernah ditawarkan untuk di tukar dengan satu avanza oleh seorang pengusaha asal Kota Banda Aceh, tetapi ditolaknya.

“Saya belum tertarik untuk menjualnya hingga kini. Dalam proses pengerjaannya, miniature ini hanya membutuhkan waktu 3 bulan,”jelasnya.

Untuk menjaga pelestarian hak ciptanya ini, kata Ilyas, dirinya sudah mendaftarkan benda ini ke Departemen Hukum dan HAM di Banda Aceh. Hal ini untuk mencegah adanya pelanggaran hak cipta dikemudian hari, serta keunikan anak PLTD Apung ini dapat tetap terjaga. (aneuksejarah.blogspot.com)

Kamis, 06 Mei 2010

#RI-001 Seulawah =Romantika Sejarah Dalam Rongsokan


Presiden pertama Indonesia, Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh, Pada 16 Juni 1948. Bertempat di Aceh Hotel, ibukota Bandar Aceh, gabungan saudagar daerah Aceh berhasil mengumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh berupa hasil bumi setara dengan 20 kg emas. Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli pesawat jenis Dakota, yang kemudian diberikan nama RI-001 Seulawah dan menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia.

Cerita yang penuh kisah herois ini menjadi sebuah kebanggaan yang diwariskan secara turun temurun oleh perjuang kemerdekaan dan orang tua di kalangan masyarakat Aceh kepada anaknya sejak dahulu. Walaupun bukti sejarah terhadap kenjadian tersebut, kini tinggal ‘rongsokan’ yang akan luput ditelan zaman.

Dikisahkan, KSAU Komodor Udara Suryadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut. Kemudian, Biro Rencana dan Propaganda TNI-AU yang dipimpin oleh OU II Wiweko Supono dan dibantu oleh OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo dipercaya sebagai pelaksana ide tersebut.

Biro tersebut kemudian menyiapkan sekira 25 model pesawat Dakota. Kepala Biro Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun ditugaskan mengikuti Presiden Soekarno ke Sumatra dalam rangka mencari dana.

Akhirnya Pada tanggal 16 Juni 1948 di Hotel Kutaradja (nama pemberian Belanda-red), Presiden Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh. Melalui sebuah kepanitiaan yang diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji, dari Orqanisasi Saudagar Aceh atau disingkat dengan nama Gasida berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kg emas.

Sumbangan ini di galang dari hasil sumbangan beras, ubi, padi, perhiasan hingga harta benda lainnya untuk memberikan satu pesawat ke Sukarno. Pesawat sumbangan dari rakyat Aceh itu kemudian diberi nama RI-001 Seulawah. Nama Seulawah sendiri diambil dari nama sebuah gunung di Aceh yang berarti “Gunung Emas” sumbangan Aceh.

Pesawat Seulawah ini, juga bisa disebut pesawat Douglas DC-3 ini diproduksi oleh Douglas Aircraft Company pada tahun 1935. Jenis pesawat Dakota “Seulawah” yang disumbangkan itu memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28,96 meter.

Pesawat inilah berperanan sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Bisa dikatakan, pesawat yang langkah penentu kemerdekaan Indonesia yang sedang dinikmati oleh ribuan warga pada saat ini.

Karena, kehadiran Dakota RI-001 Seulawah telah mendorong untuk dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatra, bahkan hingga ke luar negeri. Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Maguwo.

Di Kutaradja, pesawat tersebut digunakan joy flight bagi para pemuka rakyat Aceh dan penyebaran pamflet. Pada tanggal 4 Desember 1948 pesawat digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.

Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry.

Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air.
Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikan perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, atau cikal bakal dari penerbangan garuda.

Sebuah maskapai yang saat ini paling komersil bagi rakyat dan warga Indonesia, terutama Aceh. Kini, hanya orang-orang tertentu yang mampu menaiki maskapai penerbangan tersebut. Pusat kantor Indonesian Airways sendiri, untuk pertama kali di buka di Birma pada saat itu (kini Myanmar-red).

Kisah ini jelas memperlihatkan betapa besar rasa patriotisme rakyat Aceh dalam perjuangan mempertahankan RI benar-benar heroik, penuh suka-duka dan cerita mengenai kesetiaan. Rakyat Aceh mampu mengorbankan apapun, dan perang mempertahankan negeri itu sendiri dianggap sebagai panggilan suci dari Illahi.

Dari kisah ini sebenarnya sudah menjawab keraguan pimpinan kita selama ini tentang rasa nasionalisme rakyat Aceh. Jadi jika pada saat ini ada pihak yang mengklaim Aceh adalah negeri para pembangkang, maka jawabannya salah 100 persen.

Kisah Herois Yang Jadi Rongsokan

Seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya di bidang kedirgantaraan, beberapa jenis pesawat terbang generasi tua pun dinyatakan berakhir masa operasinya alias dimuseumkan. Beberapa pesawat yang ‘digudangkan’ ini, salah satunya adalah jenis Dakota atau RI-001 Seulawah.

Hal ini mengakibatkan kisah romatika antara masyarakat Aceh dengan pemerintah pusat memasuki babak baru, serta mulai di isi dengan berbagai pemberontakan. Rakyat Aceh yang merasa dianaktirikan dengan berbagai peritiswa, mulai merasa tidak pernah dihargai bentuk perjuangannya.

Pertama, keberadaan pesawat RI-001 Seulawah, yang sudah menjadi ‘rongsokan’ juga tidak pernah kembali secara utuh ke Provinsi Aceh. Masyarakat Aceh yang dulu bersusah payah mengumpulkan sumbangan untuk membeli satu pesawat dengan nama RI-001 Seulawah, hanya dikembalikan dalam bentuk ‘rongsokan’ besi tua.

Pengorbanan masyarakat Aceh ini hanya ‘disanjungkan’ Pada tanggal 30 Juli 1984, oleh Panglima ABRI pada saat itu, yaitu Jenderal L.B. Moerdani dengan meresmikan monumen rangka pesawat RI-001 Seulawah (tanpa mesin-red) yang terletak di Lapangan Blang Padang, kota Banda Aceh.

Monumen ini menjadi lambang bahwa sumbangan rakyat Aceh sangatlah besar bagi perjuangan Republik Indonesia di awal berdirinya. Namun selebihnya, tidak ada perhargaan yang berarti yang diterima oleh masyarakat selebih dari momumen tanpa perawatan dan pelestarian yang kini berada di Blang Padang.

Kedua, masyarakat Aceh juga tidak pernah memperoleh keuntungan balik dari sumbangan pesawat tersebut. Pesawat yang kini jadi Maskot penerbangan Indonesia ini, bahkan menjadi perusahaan komersil yang kini susah dijangkau oleh mayoritas masyarakat miskin di Aceh.

Hal-hal seperti inilah yang kemudian membuat minoritas pencinta sejarah menilai bahwa keberadaan momumen pesawat RI-001 Seulawah di Blang Padang kini, tidak lebih dari ‘rongsokan’ yang didirikan untuk meredam kemarahan dan menyenangkan hati masyarakat Aceh.

Ketiga, pada tahun yang hampir bersamaan dengan rusaknya pesawat RI-001 Seulawah ketika melakukan Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Presiden Soekarno pernah mengucapkan janji di hadapan Daud Beureueh untuk memberlakukan Aceh dengan sebuah hukum syariat islam.

Namun pada tahun 1951, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Hal ini jelas menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih seperti membelikan pesawat RI-001 Seulawah, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali, tetapi malah dibiarkan terbengkalai.

Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda.

Dibeberapa tulisan media dan buku, Presiden Sukarno juga dianggap telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak termaafkan.
Selanjutnya, kisah-kisah romantika yang melambangkan kemesraan Aceh dan Jakarta pun, kian pudar pada tahun-tahun berikutnya, baik semasa Negara ini diperintahkan oleh Presiden Suharto maupun semasa Megawati.

Keberadaan seribu pesawat seperti RI-001 Seulawah pun, akan tidak ada artinya lagi bagi keduanya (Aceh dan Jakarta-red). Provinsi Aceh yang dulu sempat dijadikan sebagai ‘daerah modal’ dan diberikan gelar daerah istimewa pun bisa berganti menjadi daerah pembangkang.

‘Pangkai’ Indonesia Yang Terlupakan

Keberadaan pesawat RI-001 Seulawah yang bisa disebut sebagai modal (pangkai dalam bahasa Aceh-red) kini terkesan dilupakan. Dalam beberapa cacatan pengetahuan sejarah, baik yang dipelajari oleh murid di sekolah-sekolah maupun pengetahuan umum, sangat sedikit yang menjelaskan hal ini.

Pada saat ini, Indonesia memang telah memiliki ratusan kekuatan militer dan puluhan pesawat. Hal ini membuat kisah RI-001 Seulawah sepertinya kian tidak memiliki tempat sebagai pendidikan bagi generasi muda. Padahal, pesawat tersebutlah yang menjadi cikal bakal dari pengembangan ilmu kedirgantaraan di Negara ini.

Kebijakan pemerintah kita yang kurang menghargai sejarah (RI-001 Seulawah-red) telah menimbulkan pelawanan serta pemberontakan yang berpuluh-puluh tahun lamanya. Hal ini juga lah yang menyebabkan mengapa negara ini kita akan bisa pernah menjadi Negara besar, layaknya Negara-negara lain di dunia.

Rakyat Aceh memang tidak pernah ingin dipuji dan dibangga-banggakan atas apa yang telah dilakukannya untuk membela Republic Indonesia. Namun masyarakat Aceh cuma berharap agar apa yang dilakukan oleh mereka bisa dijadikan cerminan pada hubungan pembangunan selanjutnya.

Hal inilah yang tidak pernah didapatkan oleh masyarakat Aceh sehingga kekecewaan meledak pada 4 Desember 1976, dengan di deklarasikannya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Gunung Halimun, oleh Hasan Tiro. Namun lagi-lagi, perjuangan ini dianggap selesai pasca tsunami dan gempa melanda Aceh pada akhir tahun 2004 lalu.

Dengan adanya perdamaian yang sedang dirintis ini, sudah seharusnya pemerintah, baik pemerintah pusat dan Pemerintahan Aceh dapat lebih menghargai peninggalan sejarah sehingga hal yang sama tidak akan terulang lagi.[]

 
Free Host | lasik surgery new york