Rabu, 26 Januari 2011

Independent dan Menumpulnya Gerakan Tiro


Saat Partai Aceh selaku penguasa politik menolak kehadiran paket calon independent di Pemilukada 2011, berbagai elemen sipil dan masyarakat Aceh malah mendukungnya. Inikah pertanda awal tumbangnya ’gerakan tiro’ di daerah dengan julukan Serambi Mekkah ini?

Putusan akhir dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyetujui kehadiran calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh 2011 itu dibacakan oleh Mahfud MD selaku hakim ketua pada sidang yang berlangsung, Kamis (30/12) lalu. Sidang dengan agenda mendengarkan amar putusan akhir dari para hakim konstitusi tersebut berlangsung cepat. Sidang ini yang diagendakan di mulai pada 15.00 WIB berakhir pada pukul 15.30 WIB.

”Amar putusan Mahkamah Konstitusi, memutuskan untuk mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Serta juga memutuskan pasal 256 Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh sesuai lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 nomor 62 dan tambahan lembaran negara republik indonesia 4633 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,”ungkap Mahfud MD, dalam putusan sidangnya, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, Mahfud dalam putusannya juga mengatakan bahwa pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Dirinya juga memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Katanya lagi, putusan akhir ini sebenarnya telah diputuskan dalam rapat musyawarah hakim yang dilaksanakan, pada Selasa (28/12) oleh sembilan hakim konstitusi, yaitu Moh. Mahfud Md, Ketua yang juga bertindak sebagai anggota, Achmad Solidi, M.Akil Mochtar, Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, Harjono, M. Arsyad Sanusi, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi.

”Putusan ini harus diterima oleh semua pihak,”akhiri Mahfud.

Menyangkut hal ini, Kuasa Hukum Pemohon, Muklis Mukhtar, mengatakan pihaknya menyambu gembira atas dikeluarkannya putusan yang sangat memihak masyarakat tersebut. Kehadiran calon independen di Aceh dinilai akan menambah warna demokrasi di daerah itu.

”Kami menyambut gembira keputusan ini. Dengan adanya putusan ini qanun Pemilukada Aceh yang saat ini dibahas di DPRA harus merujuk pada putusan ini. Jika tidak dianggap melanggar hukum,”papar dia.

Sementara itu, Komisi Independen Pemilu (KIP) menyatakan pihaknya siap untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal kehadiran calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh nanti.

Lembaga itu juga mengharap keberadaan Rancangan Qanun (Raqan) tentang Pemilukada yang sedang di bahas di DPRA sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi sehingga persiapan ‘pesta rakyat’ tersebut berjalan lancar.

“kita siap menjalankan semua putusan Mahkamah Konstitusi soal kehadiran calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh nanti. Keputusan ini mutlak harus di terima oleh semua pihak di Aceh,”ungkap Ketua KIP Aceh, Abdul Salam Poroh, pada Minggu (2/1).

Menurutnya, sebagai tahapan awal, pihaknya akan segera mengambil satu berkas khusus tentang putusan kehadiran calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh di gedung MK guna dipelajari secara lebih dalam. Berkas ini dinilai Sangat penting sebagai bahan sosialisasi pihaknya kepada pengurus KIP tingkat kabupaten dan masyarakat nantinya.

Selama ini, lanjut dia, segala keputusan baru yang berkaitan tentang pelaksanaan Pemilu di tingkat daerah selalu di kirim oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat, Namun jadwal pengiriman keputusan ini dinilai selalu terlambat dari jadwal semestinya. Sikap proaktif dari KIP Aceh untuk mendapatkan langsung berkas tersebut dari Gedung Mahkamah Konstitusi dinilai adalah solusi terbaik.

“Pelaksanaan Pemilukada di Aceh dimulai dari April hingga Desember 2011, dengan puncak kegiatan di Oktober. Jadwal ini akan sedikit padat, mengingat masih banyaknya tahapan yang belum diselesaikan hingga kini, salah satunya adalah lambannya pengesahan Qanun Pemilukada 2011,”papar dia.

Terkait Qanun Pemilukada sendiri, tambah dia, dewan diharapkan segera mengesahkan qanun tersebut dalam waktu dekat ini. Dewan juga diminta untuk menyesuaikan isi qanun tersebut sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. ”KIP berpegang pada putusan MK tentang calon independen. Namun jika pembahasan qanun berjalan lamban, juga akan menganggu tahapan Pemilukada,”akhirinya.

Partai Aceh Tolak Independent
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Selasa (11/1) menyatakan pihaknya menolak segala putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal kehadiran calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh nanti. Alasan penolakan, dikarenakan putusan tersebut dinilai masih bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) yang seharusnya mengakui keistimewaan Aceh.

”Jajaran di DPRA menolak putusan MK karena dianggap cacat secara hukum. Putusan itu tidak mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang secara nyata telah memberikan keistimewaan penuh untuk Aceh,”ucap Ketua Komisi A bidang hukum dan pemerintahan DPR Aceh, Adnan Beuransah.

Menurutnya, penolakan ini adalah sikap resmi DPR Aceh yang diputuskan dalam rapat khusus antara Komisi A bersama para pimpinan dewan, Senin (10/1). Dalam rapat itu juga dibahas sejumlah alasan yang menjadi bahan pertimbangan dewan untuk menolak putusan Mahkamah Konstitusi.

Selain mengangkangi keistimewaan Aceh, kata dia, dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) nomor 11 tahun 2006 sebenarnya juga telah mengamanahkan kepada pemerintah pusat agar setiap penerbitan produk hukum (Undang-Undang) baru atau penyesuai, harus terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Namun hal ini ternyata tidak dilakukan oleh MK terkait penghapusan pasal 256 UUPA.

”Pihak MK tidak pernah berkoordinasi dengan DPRA terkait Judicial Review elemen sipil untuk pasal 256 UUPA. Jadi kita anggap, putusan itu cacat hukum dan DPR Aceh berhak untuk menolaknya,”ungkap politisi Partai Aceh ini lagi.

Dewan, tambah Adnan lagi, tetap akan berpegang pada aturan yang lama. Dasar-dasar penolakan dewan ini dianggap sangat jelas dan penting guna menjaga marwah kekhususan Aceh yang diperoleh pasca MoU Helsinki.

”Jadi penolakan kita (dewan-red) bukan karena antipati, namun karena putusan tersebut cacat hukum. Ini bukan hanya keputusan dari Komisi A, tetapi dari DPR Aceh,”tegas dia lagi.

Menyangkut hal ini, Wakil Ketua DPR Aceh, Amir Helmi, yang dihubungi oleh wartawan, mengatakan bahwa statemen Adnan Beuransah selaku Ketua Komisi A tentang penolakan putusan MK mengenai kehadiran calon independen di Aceh masih bersifat keputusan internal Komisi A. Keputusan ini dinilai belum bisa diklaim sebagai keputusan akhir dari kelembagaan dewan.

”Itu putusan internal Komisi A, bukan putusan akhir DPRA,”tegas dia.

Dirinya bersama para pimpinan dewan lainnya, lanjut dia lagi, memang pernah menghadiri diskusi khusus yang difasilitasi oleh Komisi A untuk membahas persoalan putusan MK tentang kehadiran calon independen di Aceh. Inti dari diskusi tersebut akhirnya menolak putusan MK dengan berbagai alasan. ”Tapi itu cuma diskusi biasa, bukan paripurna,”akhirinya.

Sebaliknya, kalangan praktisi hukum malah menilai penolakan dewan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kehadiran calon independen di Pemilukada Aceh 2011 nanti, terlalu mengada-gada. Jajaran legislatif (DPRA) Aceh saat ini dinilai terlalu sempit dalam memaknai hukum sehingga sering mengambil keputusan yang salah.

”Mereka terlalu mengada-gada. Inilah salahnya kita memilih dewan yang tidak mengerti tentang hukum,”ungkap Mukhlis Mukhtar, Praktisi hukum dan Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Menurutnya, DPRA seharusnya dapat memahami fungsi dan tugas dari Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, kelembagaan Yudikatif tersebut dinilai telah diberikan tugas yang seluas-luasnya dalam mengadili serta melakukan pengujian terhadap produk Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar-red).

Putusan MK, lanjut dia, tidak bisa di intervensi oleh lembaga di bawahnya, seperti halnya DPR Aceh. Dengan kata lain, penolakan DPR Aceh terhadap putusan MK mengenai kehadiran calon independen adalah salah sasaran.

”Ini yang namanya Yudikatif Power. Putusan MK tidak ada hubungannya dengan keistimewaan Aceh seperti yang dikatakan ketua Komisi A,”papar ketua tim kuasa hukum Judicial Review (JR) elemen sipil terhadap pasal 256 UUPA di MK ini.

Lebih lanjut, Mukhlis juga menambahkan, dewan yang ada saat ini perlu segera mengikuti bimbingan hukum. Pasalnya, jika kesalahan-kesalahan seperti ini masih terus terjadi nantinya, maka dikhawatirkan kelembagaan tersebut akan hancur.

Sementara itu, Mawardi Ismail, Pakar Hukum dari Unsyiah, menilai penolakan DPRA terhadap putusan MK tidak berdasarkan dasar hukum yang kuat. Tindakan para dewan ini dinilai akan gugur apabila permasalahan tersebut diajukan ke ranah hukum nantinya.

”Sebenarnya, tidak ada alasan putusan MK di tolak. Pasal 256 UUPA telah dibatalkan karena melanggar konstitusi. Keistimewaan daerah Aceh baru bisa dikatakan dilanggar, kalau UUPA di revisi, tapi yang dilakukan oleh MK adalah pembatalan karena hukum,”jelasnya.

Namun untuk sikap DPRA ini, tambah dia, dirinya mengatakan hal yang wajar. Tetapi, sikap tersebut dinilai tidak akan berpengaruh apapun pada pelaksanaan Pemilukada Aceh 2011 nanti.

Independent dan gerakan tiro
Terlepas dari semua ungkapan para elit politik dan para pakar tadi, menurut penulis sebenarnya ada sejumlah alasan penting dibalik penolakan kehadiran calon independet di Pemilukada Aceh 2011 nanti. Alasan-alasan inilah yang dikhawatirkan akan membawa dampak negatif dalam keberlanjutan ’gerakan tiro’ di daerah Aceh.

Pertama, menurut analisis awam penulis, jika dibolehkannya paket calon independent pada Pemilukada 2011 di Aceh nanti, maka dikhawatirkan akan memecahkan barisan atau dukungan untuk calon yang diusung oleh Partai Aceh di lapangan nantinya.

Kedua, dibolehkannya paket calon independent ini juga akan memberikan kesempatan bagi para kepala daerah dan para politik dari Partai Aceh untuk maju sebagai Cagub dan Cabup walau tanpa diusung partai yang bersangkutan. Bisa jadi juga calon yang bakal muncul dari partai eks perjuangan itu adalah tiga atau empat pasang, dan ini akan Sangat menggangu keterpilihan calon yang dimunculkan dari partai.

Ketiga, belajar dari pengalaman Pilkada 2006 lalu, kemunculan banyak calon justru akan menimbulkan pergesekan antara sesama kader partai di lapangan. Pergesekan ini dikhawatirkan akan memperlemah pola-pola perjuangan yang dirintis oleh wali Hasan Tiro. Jika ini terjadi, maka dukungan rakyat terhadap barisan tersebut akan menipis dan terancam hilang.

Tetapi, terlepas dari semua argumen tadi, cuma satu hal yang harus menjadi catatan dan renungan bagi kita semua, yaitu rakyat Acehlah yang tahu dan paham benar apa yang mereka inginkan saat ini. Jangan sampai, mempertahankan polemik independent justru akan berimbas negatif bagi mereka nantinya, dan perdamaian yang sedang dinikmati saat ini jadi terancam.

Kamis, 20 Januari 2011

Membongkar ’Peti-Es’ Korupsi Fahmul Qur’an


Hampir sebulan lebih media massa sudah mengembar-gemborkan adanya dugaan korupsi di pelatihan fahmul qur’an dengan anggaran 15 miliar pada APBA 2010.Namun jaksa dan kepolisian, sepertinya kesulitan untuk membongkar ’peti-es’ korupsi para elit itu.

Awal kasus ini terbongkar saat ratusan guru dari Aceh Besar dan Kota Banda Aceh yang mengikuti pelatihan Fahmul Qur’an angkatan ke sembilan di komplek Yayasan Fajar Hidayah Blang Bintang, Kamis (25/11) tahun lalu. Para peserta ini memprotes tindakan panitia setempat yang sengaja ’menyunat’ dana pelatihan milik mereka. Jatah uang saku untuk 300 guru se-angkatan pelatihan itu dipotong hingga setengah dari dana yang dialokasikan.

Menurut Subki, salah seorang peserta pelatihan kepada penulis yang hadir ke lokasi mengaku, panitia setempat meminta para guru untuk menandatangani pernyataan telah menerima uang sebesar Rp2.100.000 sebagai uang saku untuk pelatihan Fahmul Qur’an selama 15 hari. Namun dana yang diberikan cuma Rp1.050.000.

”Ini membuktikan ada yang tidak beres, makanya guru-guru ini melakukan protes dan tidak mau menandatangi absensi tersebut. Alasan-alasan yang diberikan oleh panitia disini tidak ada yang masuk akal,”ungkapnya.

Kata dia lagi, sesuai dengan surat pengantar yang diberikan kepada para guru sebagai TOR kegiatan, masing-masing dari peserta seharusnya diberikan dana Rp70.000/hari sebagai iuran untuk sewa kamar tidur dan uang makan sebesar Rp80.000 perhari.

Namun, lanjutnya, oleh panitia setempat ternyata meminta peserta untuk kembali ke rumah masing-masing ketika malam hari tiba. Sedangkan untuk makan disediakan oleh panitia yang menunya dianggap sangat buruk.

Dengan alasan-alasan tersebut, jumlah uang saku peserta akhirnya dipotong hingga setengah. Namun di absensi, panitia tetap meminta para guru untuk menandatangi biaya uang saku yang di terima sebesar Rp2.100.000.

”Jadi jika ditotalkan jumlah uang yang disunat oleh panitia sebesar Rp300 juta. Jumlah ini tentu bukan jumlah yang sedikit. Pelatihan ini kerjasama dengan Dinas Pendidikan Aceh. Pada angkatan pelatihan sebelumnya juga mengalami hal yang sama, tapi mereka tidak protes,”ungkap guru lainnya.

Menyangkut hal ini, sekitar pukul 12.00 WIB, H. Mirdas Eka Yora Lc. M.Si, Direktur Fajar Hidayah akhirnya dihadirkan ke tengah-tengah massa guru, pada hari yang sama. Dirinya kemudian membenarkan adanya pemotongan anggaran ini.

Kata dia, hasil potongan anggaran tersebut akan dialoksikan kepada anak yatim yang bersekolah disana (Fajar Hidayah-red).”Saya harap anda-anda semua harus ikhlas. Gaji guru-guru disini juga belum dibayar hingga lima bulan,”ucap dia.

Mendengar hal ini, sejumlah guru kembali protes. Menurut mereka, alokasi dana untuk yatim piatu di sekolah tersebut telah dialokasikan melalui APBA 2010 dan Baitur Mal hingga miliaran rupiah. Para guru menilai alasan yang dikemukan oleh Mirdas dinilai terlalu mengada-gada.

Tidak hanya itu, Yayasan Fajar Hidayah Blang Bintang disinyalir juga telah ’menyunat’ dana peserta Pelatihan Fahmul Qur’an dari delapan angkatan belajar sebelumnya. Parahnya, dari guru –guru angkatan tersebut jumlah dana yang dipotong jauh lebih besar. Dari total Rp2.100.000 yang seharusnya menjadi hak guru, dana yang disalurkan ternyata cuma Rp600.000.

”Namun selama ini tidak ada yang protes karena dana ini di kirim saat peserta sudah kembali ke daerahnya masing-masing. Kami baru tahu kasus ini menimpa semua peserta pelatihan,”ungkap Rakjab, guru peserta Pelatihan Fahmul Qur’an angkatan ke-enam.

Menurutnya, berdasarkan pengalaman pribadi dirinya saat mengikuti Pelatihan Fahmul Qur’an angkatan ke enam di Fajar Hidayah. Yayasan tersebut ternyata bekerjasama dengan Bank Muamalat di setiap proses pendistribusian jatah uang saku peserta.

Diakhir pelatihan, lanjut dia, peserta akan dihubungi oleh salah staf bank swasta tersebut dengan tujuan pembukaan rekening. Tujuannya, uang saku dari Pelatihan Fahmul Qur’an akan dikirim melalui rekening baru tersebut.

”Mungkin untuk mencegah timbulnya protes dari peserta secara langsung. Diakhir acara, panitia juga mengatakan dana tersebut akan di potong untuk disumbangkan ke yatim piatu yang sedang belajar di Fajar Hidayah,”ungkapnya.

Menyangkut hal ini, pihak juga mendengar adanya keluhan yang hampir sama dari sejumlah guru lainnya di Aceh. Perilaku pemotongan uang saku guru ini dinilai ilegal dan Pelatihan Fahmul Qur’an terindikasi adanya praktek korupsi.

Pemotongan dana ini, tambah dia, terjadi bervariasi. Dirincikanya, untuk pelatihan angkatan ke enam dan ke tujuh di tahun 2009 lalu, jumlah dana yang disalurkan ke guru cuma Rp600.000 ribu perorang.

Sedangkan untuk angkatan delapan dan sembilan yang dimulai di tahun 2010, jumlah dana yang disalurkan Rp1.050.000. ”Dugaan korupsi di pelatihan ini sangat besar. Makanya kita minta kejaksaan untuk mengusut tuntas kasus ini,”akhirinya.

Sementara itu, Rusdi Aries, Kabid Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Aceh, yang coba dikonfirmasi oleh wartawan, mengaku dana yang terserap untuk kegiatan ini sudah hampir mencapai 11 miliar rupiah untuk tahun 2010. Dirinya berharap kegiatan ini bisa terlaksana dengan lancar.

Pemerintah Aceh juga berkilah bahwa pemotongan-pemotongan dana untuk ribuan guru di dalam pelaksanaan Pelatihan Fahmul Qur’an telah sesuai dengan arahan dan Peraturan Gurbernur (Pergub).

Selain itu, Pemerintah Aceh juga tetap masih mempercayakan Fajar Hidayah sebagai pelaksana kegiatan tersebut.

”Pemotongan-pemotongan itu telah sesuai dengan aturan hukum dan arahan Pergub. Jadi tidak bisa dikatakan sebagai korupsi,”ungkap Rusdi Aries, Kabid Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Aceh dalam koferensi press di Kantor Gubernur, beberapa waktu lalu.

Konferensi press ini dilaksanakan sesuai adanya rapat bersama yang dpimpin langsung oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, serta menghadirkan Sekda Aceh, Sekda Kabupaten Aceh Besar, perwakilan MPU Aceh, perwakilan dari Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Aceh, serta pimpinan Fajar Hidayah, menyangkut permasalahan yang terjadi di Fajar Hidayah.

Menurut Rusdi, Rp2.100.000 yang dialokasikan perserta Pelatihan Fahmul Qur’an merupakan total anggaran. Namun dana ini harus dipotong lagi untuk keperluan honor tutor, makan, sewa kamar serta keperluan lainnya. Dana yang disalurkan senilai Rp1050.000 perpeserta dinilai merupakan uang sisa kegiatan atau uang saku.

Katanya lagi, per-angkatan uang saku yang disalurkan berbeda-beda sesuai dengan jarak tempuh seorang guru untuk mengikuti pelatihan. Perbedaan ini dinilai hal yang wajar dan sesuai dengan arahan Pergub. ”Jadi tidak ada istilah korupsi seperti yang diberitakan,”ungkap dia.

Tapi di sisi lain, saat ditanya oleh wartawan, bahwa adanya indikasi mark up yang dilakukan oleh panitia dari jatah makan peserta dan sewa kamar. Rusdi dan sejumlah petinggi lainnya yang hadir tidak membantah hal ini.

Rusdi mengakui bahwa alokasi dana Rp80 ribu perguru untuk makan perharinya tidak sesuai jatah makanan yang disajikan. Jatah makan guru yang disajikan panitia diduga tidak sampai menghabiskan dana Rp20 ribu perhari. Dengan artian, adanya dugaan mark up Rp60 ribu dari uang makan perharinya yang dikalikan 15 hari untuk 300 guru perangkatan.

Dugaan mark up dari poin ini mencapai ratusan juta rupiah perangkatannya. Demikian juga dana sewa kamar Rp70 ribu perserta juga dinilai sesuai dengan harapan. Tindakan panitia yang menempatkan para guru dalam sebuah ruangan besar dengan kapasitas mencapai 40 orang dinilai tidak layak. Padahal, dari anggaran yang tersedia seperti Rp70 ribu perguru dinilai layak penyewaan losmen atau hotel secara murah.

”Ini kita akui. Tidak mungkin mendapatkan keuntungan yang besar dari modal yang sedikit. Kita sedang pelajari hal yang tidak tidak sesuai, pada amprahannya nanti (pencairan-red) jika tidak sesuai tidak kita cairkan kita juga telah minta pada fajar hidayah agar katering tidak lagi di masak oleh siswa dan guru kedepan,”ungkapnya.

Menyangkut hal ini, H. Mirdas Eka Yora Lc. M.Si, Direktur Fajar Hidayah, mengatakan pihaknya tidak pernah melakukan korupsi. Pihaknya mengaku bekerja ikhlas dan telah berbuat yang terbaik bagi peserta.

”Ngimana kami melakukan pemotongan, dana untuk Pelatihan Fahmul Qur’an saja masih belum dicairkan oleh dinas. Selama ini, biaya pelatihan ini ditanggung sendiri oleh Fajar Hidayah dengan mengutang pada pihak ketiga,”ungkap dia.

Sedikit keanehan dari jawaban Mirdas terdapat pada persoalan jatah makan guru. Menurutnya, biaya makan untuk guru Rp80 ribu perhari telah sesuai dengan menu yang disajikan.

Selanjutnya, di depan petinggi Aceh, Mirdas juga mengatakan tidak pernah meminta dilakukannya pemotongan uang saku guru untuk anak yatim piatu Fajar Hidayah. Padahal, pengakuan ini sempat diungkapkannya dihadapan ratusan guru angkatan sembilan sehingga menuai protes.

Diluar permasalahan itu, Sekda Aceh, T. Setia Budi mengatakan Pelaksanaan program Fahmul Qur’an tetap dilanjutkan. Pemerintah Aceh, katanya, tetap mempercayakan Yayasan Fajar Hidayah sebagai pelaksana kegiatan ini meskipun dengan sejumlah catatan. ”Kita akan minta Satpol PP untuk berjaga-jaga disana. Selain itu, polisi juga akan mengusut tuntas kasus kerusakan yang terjadi,”ucap dia.

Keanehan di Proyek Fahmul Qur’an
Bagi penulis, pelaksanaan Proyek Fahmul Qur’an tahun 2010 kerap ditemukan sejumlah keanehan. Namun keanehan ini sepertinya luput dari perhatian dari polisi dan jaksa yang memang sudah di didik khusus untuk sensitif pada setia kasus dugaan korupsi.

Keanehan yang pertama adalah proses penunjukan langsung (PL) pada Proyek Fahmul Qur’an kepada Yayasan Fajar Hidayah. Seharusnya, sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 95 tahun 2007 tentang perubahan ketujuh atas keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, setiap proyek diatas 50 juta haruslah melewati proses tender terbuka terlebih dahulu. Hal ini adalah sebuah transparansi publik yang diamanahkan oleh undang-undang, tetapi tidak dijalankan oleh Pemerintah Aceh.

Keanehan yang kedua adalah temuan korupsi yang tidak ditindaklanjuti. Adanya anggaran Fahmul Qur’an tahun 2010 sebesar 15 miliar untuk melatih lebih kurang 1500 guru patut dipertanyakan. Pasalnya, jumlah 1500 guru ini jika dikalikan dengan Rp2.100.000 (jatah perorangan guru-red) maka hanya menghabiskan Rp3, 15 miliar, selebihnya (sekitar 11 miliar-red) belum diketahui pengalokasiannya hingga sekarang. Bahkan, disinyalir alokasi dana dari 2, 1 juta jatah guru tersebut juga diduga kembali disunat melalui item penginapan dan menu yang tidak sesuai dengan standar.

Keanehan ketiga adalah sejumlah dewan yang sebelumnya sempat mengencam adanya dugaan korupsi di pelatihan ini kemudian diam seribu bahasa. Diamnya para dewan ini menimbulkan kecurigaan publik. Pasalnya, saat pertama kali kasus ini mencuat, para wakil rakyat tersebut tampak sangat vokal dan menyuarakan ketidakberesan hal itu.

Sedangkan keanehan yang keempat adalah keberadaan Yayasan Fajar Hidayah selaku pendidikan juga patut dipertanyakan. Pasalnya, para petinggi di kelembagaan tersebut saat ini sepertinya sibuk mengurusi pelatihan fahmul qur’an sehingga melupakan tugas utama untuk mendidik para siswa.

Jika hal ini dibiarkan maka dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi perkembangan peserta didik di sana. Apalagi, mayoritas dari peserta didik yang sedang menempuh pendidikan di Yayasan Fajar Hidayah adalah para yatim piatu korban tsunami yang membutuhkan pendidikan tinggi untuk mencapai cita-citanya.

Minggu, 16 Januari 2011

Cinta Segitiga, Antara Indonesia-Aceh dan Malaysia


Aceh Laksana seorang gadis rupawan yang menjadi incaran banyak pemuda sejak dahulu kala. Walaupun telah lama dipinang oleh lelaki yang bernama Indonesia. Namun jalinan kasih indah yang pernah terjalin dengan Malaysia, ternyata tidak mudah untuk dilupakan hingga kini.

Umpama tersebut tidaklah berlebihan untuk di sanding dengan kondisi Provinsi Aceh hari ini. Panorama alam yang indah, adat istiadat dan budaya islam yang kental serta Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah ruah telah menyebabkan daerah ini menjadi rebutan dari dahulu kala.

Banyak daerah yang ingin menaklukan ‘hati’ Aceh. Namun Indonesia-lah yang berhasil meminangnya.

Dalam rentetan sejarah, cuma Malaya (Malaysia-red) yang sempat memiliki kisah kasih yang indah dengan Aceh. Sedangkan saat Aceh ’dekat’ dengan pria berambut pirang (Belanda-red) antara 1873 hingga 1904, dan ’pria bermata sipit’ Negara Jepang sekitar tahun 1942, Aceh justru banyak menderita.

Cinta Aceh antara Malaysia, awalnya diperkirakan mulai pada abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Sebenarnya, bagi orang Aceh, negeri Melaka (Malaysia-red) tidaklah asing. Kerajaan Aceh Darussalam bahkan pernah terlibat perang dengan Portugis selama 130 tahun (1511-1641) hanya untuk membebaskan daerah tersebut dari jajahan Portugis.

Menurut sejarah Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dengan armada Cakra Donya-nya berhasil membebaskan Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu dari penjajahan Portugis dan menjadi bagian dari kerajaan Aceh. Laksamana Malem Dagang berhasil mempersatukan wilayah Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu.

Dari peristiwa tersebutlah kemudian tercipta hubungan harmonis antara Aceh dengan Malaysia, baik pertukaran etnis hingga budaya. Hingga saat ini, ada banyak etnis melayu yang tersebar di Aceh, demikian juga sebaliknya. Hubungan ini sedikit rengang ketika Belanda dengan politik adu dombanya menancapkan ’kuku’ di Aceh. Namun hal ini tidak mampu memudarkan cinta kasih Aceh dengan Malaysia.
Sedangkan kisah Aceh dengan Belanda terjalin Pada tanggal 26 Maret 1873. Saat itu, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Sekitar 8 April 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Jendral Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para Perwira.
Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Dengan kata lain, dengan rentan konflik yang lama tersebut, tidak ada masyarakat Aceh yang hidup saat itu, mengaku senang atas kehadiran ’pria berambut pirang’ tersebut.
Terakhir, Aceh juga sempat berkenalan dengan ’pria sipit’ dari Jepang. Menurut berbagai sumber, pada tanggal 12 maret 1942, pasukan tentara Jepang mendarat pertama kali di pantai Kuala Bugak Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur, selanjutnya menyebar seluruh penjuru Aceh Timur dan daerah sekitarnya.

Masa penjajahan Jepang walaupun tidak berlangsung lama namun membawa akibat penderitaan yang cukup memprihatinkan, seluruh rakyat hidup dalam kondisi kurang pangan dan sandang disertai dengan perlakuan kasar dari bala tentara Jepang terhadap rakyat yang tidak manusiawi, akibatnya timbullah perlawanan/pemberontakan rakyat.
Setelah Hirosima dan Nagasaki (kota di Jepang-red) di bom atom oleh pasukan sekutu pimpinan Amerika pada tanggal 10 Agustus 1945, Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat. Kemudian, setahap demi setahap mereka meninggalkan Aceh. Masa-masa inilah Aceh menjalin cinta kasih dengan Indonesia, hingga akhirnya menerima lamaran dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tetapi, diluar pembahasan tersebut, menurut pandangan penulis, Indonesia masih seringkan kali ’cemburu’ ketika membahas persoalan Aceh dan Malaysia. Pasalnya, dalam sejumlah kasus, seperti ide ganyang Malaysia yang dikobarkan Presiden Sukarno dan isu ’mencuri’ budaya yang sempat terjadi di tanah air, justru ditanggapi dingin oleh rakyat Aceh. Hal inilah yang perlu dibahas secara lebih detail sehingga tahu akal persoalan yang terjadi.

Faktor Sejarah Dekatkan Aceh-Malaysia
Faktor kedekatan sejarah yang panjang dinilai telah menyebabkan mayoritas masyarakat Aceh mencintai negara jiran Malaysia. Sikap romantis antara masyarakat Aceh dan masyarakat Malaysia dianggap juga tidak pernah luntur walaupun pemerintah dari kedua negara ini sedang terlibat ‘perang dingin’.

Hal ini terungkap dalam seminar sehari sejarah antar bangsa dengan tema hubungan Aceh dan Keudah dan lintasan sejarah yang dilaksanakan oleh Program Studi (Prodi) Sejarah FKIP Unsyiah, di Ruang Auditórium setempat, beberapa waktu lalu.

Seminar ini dikuti oleh ratusan mahasiswa dari berbagai kampus. Hadir juga pemateri dalam seminar tersebut adalah Prof. Madya dr. Mohd. Isa bin Othman, dari Majlis Kebudayaan Negeri Keudah, Malaysia dan Dato’ Dr. Haji Wan Shamsudin Bin Mohd. Yusuf , Sejarawan Malaysia. Sedangkan untuk pemateri lokal, hadir Drs. Mawardi Umar, M. Hum, dr. Husaini ibrahim , MA, dari Prodi FKIP Sejarah Unsyiah.

“Saat ide ganyang Malaysia yang dicetuskan oleh Presiden Sukarno pada 3 Mei 1964, seluruh rakyat di Indonesia panas, kecuali Aceh. Demikian juga dengan ide ganyang Malaysia yang dikobarkan pada pertengahan 2010 lalu, seluruh daerah di Indonesia lagi-lagi menjadi Panas, kecuali daerah Aceh. Ini membuktikan betapa dekatnya emosional Aceh dengan Malaysia,”ungkap Rektor Unsyiah, Prof. Darni M. Daud, saat membuka acara.

Menurutnya, kedekatan Aceh dan Malaysia terjadi karena memiliki sejumlah kesamaan, baik dalam hal kebudayaan, agama serta intelektual. Kedekatan ini semakin dieratkan dengan ada penaklukan Kerajaan Keudah, Malaysia oleh Sultan Iskandar Muda dari Aceh.

”Kesamaan-kesamaan inilah yang membuat mayoritas dari orang Aceh begitu dekat dengan Malaysia,”tandasnya.

Sementara itu, Prof. Madya dr. Mohd. Isa bin Othman, yang dihadirkan sebagai pemateri dari Majlis Kebudayaan Negeri Keudah, Malaysia menambahkan bahwa hubungan Aceh dan Malaysia sudah terjalin begitu erat dan terbina Sejak lama. Bahkan, sejumlah nama daerah di Malaysia menggunakan nama Aceh, demikian sebaliknya.

“Ada daerah di Malaysia yang bernama Gampong Aceh, demikian juga ada Desa Keudah di daerah Aceh. Kesamaan ini bukan terbentuk karena sendirinya, melainkan karena hubungan sejarah yang panjang,”tandas dia.

Diluar seminar tersebut, menurut berbagai sumber, keturunan Aceh berdiam di sekitar Pulang Pinang, Kedah dan Perak. Mayoritas dari warga ini, disinyalir juga masih mengajarkan bahasa dan adat istiadat Aceh kepada para generasi muda mereka.

Keturunan Aceh ini juga dilaporkan menguasai hampir sebahagian besar sektor-sektor perekonomian di Malaysia. ”Rata-rata toko kelontong di Malaysia dikuasai oleh masyarakat Aceh. Ini sebabnya masyarakat Aceh memegang peranan yang Sangat penting di Malaysia hingga kini,”ungkap Maimun Lukman, 28, Dosen FKIP PPKN Unsyiah yang sempat menempuh pendidikan magíster di negeri jiran Malaysia.

Tidak hanya itu, lanjut dia, sejumlah pejabat penting di Malaysia saat ini juga merupakan keturunan asli Aceh. Namun karena telah lama berdiam diri di negeri jiran tersebut serta mengubah status kewarganegaraannya, mereka akhirnya memperoleh kepercayaan untuk menduduki jabatan tinggi.

“Tetapi, para keturunan Aceh di Malaysia tetap menjalin hubungan baik dengan para pendatang baru dari Aceh. Bahkan, masyarakat Aceh yang terlibat kasus hukum di Malaysia karena menjual ganja, tetap diberikan keringan hukuman,”jelas Maimum.

Salah satu warga keturunan Aceh yang tenar di Malaysia adalah Seniman kondang P Ramlee. Dia lahir Desa Meunasah Alue, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe yang kemudian tenar di Malaysia. Sebenarnya, ada belasan pejabat lainnya di Malaysia, namun sulit untuk melancaknya satu persatu.

Keterikatan Aceh dengan Malaysia tidak hanya terasa di negeri jiran, tetapi juga di Aceh sendiri. Sebagai contoh, saat berlangsungnya final piala AFF Asia Tenggara, antara Malaysia dengan Indonesia, hati masyarakat Aceh justru mendua. Tidak sedikit masyarakat Aceh yang mendukung Malaysia, yang seharusnya adalah musuh dari Timnas Indonesia. Hal ini menandakan adanya keterikatan batin antara Aceh dengan Malaysia hingga kini.

Para pemimpin kita saat ini sebenarnya sangat sadar akan hal ini. Namun selama kedekatan ini dinilai tidak membawa kemudhratan bagi kesatuan negeri ini, maka dianggap adalah hal yang wajar.

Sejarah sebagai cermin pembangunan
Mesranya hubungan Aceh dengan Malaysia adalah romatisme masa lalu yang seharusnya menjadi pelajaran penting bagi bangsa kita saat ini. Dimana, Malaysia yang sebelumnya adalah bagian dari kerajaan Aceh ternyata mampu berkembang jauh lebih maju dari induknya sendiri.

Sedangkan membandingkan daerah Aceh dengan Negara Malaysia saat ini bagaikan membandingkan langit dan bumi. Antara kedua daerah ini, terdapat sejumlah kesenjangan yang sangat jauh berbeda sehingga sulit bagi para pemimpin kita untuk saat ini untuk mengatakan bahwa Malaya pernah menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam.

Namun bukanlah hal yang musthahir untuk membangun Aceh hari ini sejajar dengan Negara Malaysia di masa yang akan datang. Paling tidak, dibutuhkan ketekunan dan keikhlasan yang lebih dari para pemimpin kita untuk segera berbenah setelah 31 tahun dilanda konflik.

Sejarah telah mencatat bahwa Aceh yang dahulu telah mampu menunjukan jati dirinya pada dunia dengan wilayah kekuasaan hingga ke Malaya. Disaat zaman masih serba sederhana, Kerajaan Aceh justru telah mampu berbicara banyak dengan menunjukan kepiawaiannya dalam menguasai Asia Tenggara.

Sejarah kemegahan Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda seharusnya menjadi pacuan semangat yang lebih bagi pemimpin Aceh hari ini untuk melakukan hal yang serupa untuk Aceh kedepan. Jika dulu bisa, kenapa saat itu tidak. Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh generasi muda Aceh hari ini dalam membangun bangsanya.

Minggu, 09 Januari 2011

Adu Taktik Walikota Versus Gepeng


Sudah lama penulis tidak mengisi laman blog ini. Sejak menyandang predikat baru dalam hidup (menikah-red), ide untuk menulis seakan menjadi kering. Nah, tulisan ini bisa dikatakan ada karena suatu kebetulan belaka. Judul dan bahan tulisan ini juga muncul secara tidak sengaja saat sedang melaksanakan jadwal rutin, yaitu ngopi bersama teman-teman Kampus Van Dekmi University.

Jadwal ngopi bareng merupakan sebuah rutinitas yang tidak bisa saya tinggal selama sepekan terakhir. Jika sedang ngumpul bareng teman-teman tersebut, selalu saja ada pembahasan khusus, baik tentang pemasalahan politik, ekonomi, perempuan, mobil baru (khusus bang Budi Azhari-red), hingga ke pembahasan khusus tentang gepeng dan Walikota Banda Aceh.

Namun untuk kali ini, penulis lebih tertarik untuk menguraikan tentang persoalan terakhir tadi. Judul ini bukan karena penulis ingin mencari sensasi atau menyorot keburukan pemerintahan ibukota di Serambi Mekkah.

Penulis cuma mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan bacaan bagi pihak yang bersangkutan sehingga ada pembaikan di kemudian hari.

Kembali ke pokok pembahasan tadi, keberadaan para gepeng di Kota Banda Aceh sebenarnya sudah cukup meresahkan. Persoalan sosial ini seakan tidak akan solusi penyelesaiannya, walaupun walikota telah mengeluarkan sejumlah peraturan yang ekstrem dan qanun untuk mengatasi lonjakan jumlah gepeng di kota bandar wisata ini.

Untuk mengatasi persoalan gepeng dan pengemis di Kota Banda Aceh, walikota setempat sebenarnya telah mengeluarkan Qanun tentang gepeng.

Ada beberapa hal menarik dari ulasan qanun itu, yakni: Pertama, adanya pelarangan bagi siapapun untuk memberi sedekah bagi gepeng di persimpangan jalan raya. Sedangkan yang Kedua, khusus pengemis Banda Aceh, akan dibina dengan cara diberikan keterampilan dan modal usaha. Sedangkan warga luar Banda Aceh akan dikembalikan ke daerah asalnya.

Pasca dikeluarkannya aturan ini, jumlah gepeng di Kota Banda Aceh sempat mengalami penurunan. Namun hal ini tidak bertahan lama. Pasalnya, beberapa bulan setelah qanun ini diberlakukan, jumlah gepeng kembali mengalami peningkatan drastis.

Wilayah operasi atau kerja para gepeng juga semakin luas saja. Jika dulunya, mereka (para gepeng-red) hanya mangkal di persimpangan jalan. Namun, pasca dikeluarkannya qanun tersebut, para gepeng bahkan berani menerapkan pola kerja dor to dor (dari pintu ke pintu-red) dalam mencari nafkah.

Jika pembaca adalah seorang mania warung kopi dan sering nonkrong berjam-jam di warung kopi, maka anda pasti paham benar tentang persoalan ini. Dalam satu jam saja, akan ada belasan gepeng yang silih ganti berdatangan demi mencari sedikit imbalan uang receh.

Para gepeng ini, bahkan mulai lihai dalam mengganti kostum dan metode kerja agar bisa terus meraih rupiah dari masyarakat. Jika trik tampilan sedih tidak lagi mempan bagi masyarkat, maka mereka tidak segan-segan untuk mengubah ke tampilan yang lain, seperti pencari donatur untuk pesantren, panti asuhan hingga panitia mesjid ilegal.

Lain lagi tingkah para gepeng kecil, karena tampilan meminta-minta tidak lagi menuai rasa kasihan dari warga, mereka kini sepertinya sedang mencoba metode baru dalam ’mencari rupiah’. Metode ini seperti berperan sebagai tukang semir sepatu.

Para gepeng ini mencari ’pelanggan’ semir sepatu di warung kopi, termasuk penulis. Padahal, menurut amatan penulis, rata-rata para mania warung kopi selalu memakai sandal jepit sehingga musthahir ada yang berminat dengan tawaran tersebut. Namun jangan salah sangka dulu, bujukan terakhir dari mereka yang menjadi senjata pamungkas mereka untuk menaklukan korban, termasuk penulis.

”Bang, semir bang. Semir ya bang ? tolong saya sudah dua hari tidak makan,”ungkap seorang gepeng kepada penulis beberapa waktu lalu. Akibatnya, lembaran seribu rupiah yang ada di kantong celana secara terpaksa menjadi milik mereka, termasuk beberapa mania kopi lainnya.

Para gepeng kecil ini menjalankan misinya dari warung kopi satu ke warung kopi lainnya di Kota Banda Aceh. Untuk mobilitas yang tinggi tersebut, mereka ternyata memakai jasa pengantar khusus, seperti tukang becak.

”Uang hasil ngemis dan semir ini kami bagi tiga, yaitu dua bagian untuk saya dan satu bagian untuk tukang antar,”ucap Ichsan, seorang gepeng kecil beberapa waktu lalu.

Dari semua ulasan dan hasil pengakuan para gepeng kecil tadi, tentu kita bisa mengambil satu kesimpulan, bahwa taktik yang mereka gunakan ternyata jauh lebih ampuh dari taktik dan metode Walikota Banda Aceh dalam menangkal keberadaan mereka.

Agen (bukan agen 007-red) para gepeng ternyata jauh lebih tajam dan fokus bergerak dari kinerja tim ahli walikota. Kita selaku masyarakat biasa seharusnya patut memberikan aplus setinggi-tinggi bag ’tim ahli’ gepeng. Pasalnya, jika cara-cara tersebut tidak digunakan, maka keberadaan gepeng di Kota Banda Aceh akan sangat terancam.

Terakhir, sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba memberikan ide gila bagi para kandidat independen di Aceh yang hendak maju pada Pemilukada 2011. Penulis menyarankan para kandidat tersebut untuk mencari tahu siapa sebenarnya ’tim ahli’ para gepeng ini. Jika sosok mereka ketahuan nantinya, alangkah arif dan bijaksana jika mereka dapat diajak bergabung dalam Timses guna membangun Aceh yang lebih maju.

 
Free Host | lasik surgery new york