Selasa, 17 Agustus 2010

Ketika Si Cacat Disakiti!!


Meningkatnya jumlah kekerasan anak di Aceh beberapa tahun terakhir seenarnya adalah bukti ketidakpekaan Pemerintahan Aceh melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam mengimplementasikan Undang-Undang nomor 23 tahun 2003 dan qanun nomor 11 tahun 2008.

keberadaan dua peraturan yang seharusnya menjamin dan memberikan perlindungan terhadap hak anak untuk provinsi Aceh ini ternyata malah tidak berkutik ketika hak para anak cacat yang mencari sedikit ilmu pengetahuan di bukesra tertindas.

Ketika kasus pemerkosaan, kekerasan dan pelecehan seksual di Bukesra terungkap ke publik. Para pejabat pemerintahan di Aceh malah menganggap kasus ini berlalu seperti air yang mengalir.

Temuan ini tentu saja mengakibatkan kita untuk berasumsi tetap dua hal, yaitu masih lemahnya implementasi dan pengetahuan para pejabat Aceh tentang Undang-Undang nomor 23 tahun 2003 dan qanun nomor 11 tahun 2008 tentang Anak! Atau memang keberadaan anak dengan status penyandang cacat di Aceh yang masih belum diakui keberadaannya?

Hal ini perlu ditegaskan demi terpenuhinya hak-hak anak Aceh dimasa yang akan datang, terutama pasca terungkapnya kasus pemekorsaan dan kekerasan di Yayasan penyandang anak cacat Bukesra Aceh.

Yayasan Badan Usaha Kesejahteraan Para Cacat atau Bukesra Aceh sejatinya adalah sebuah yayasan yang diperuntukan untuk menampung dan mendidik para siswa cacat se-Aceh. Ketika semua sekolah lain menolak keberadaan anak tersebut karena kekurangannya, tetapi Bukesra malah diharuskn untuk menampung dan membinanya.

Dalam pembagian tugas Yayasan Bukesra di Aceh, sejatinya lembaga tersebut disiapkan untuk bisa menjadi sebagai rumah dan keluarga kedua bagi anak cacat Aceh.

Dengan segala keistimewaan yang diberikan seharusnya lembaga tersebut bisa menjadi syurga dunia bagi anak penyandang cacat. Namun yang terjadi di bukesra ternyata adalah kebalikan dari yang diharapkan selama ini.

Sejumlah anak penyandang cacat di tempat itu (Bukesra-red) akhirnya mengaku mengalami tindakan pelecehan seksual dan pemerkosaan, Kekerasan fisik dan metal.

Kemudian, pasca mencuatnya dugaan kasus permerkosaan siswi penyandang cacat di Yayasan Bukesra oleh pengurus yayasan setempat. Salah seorang penyandang cacat alumni yayasan Bukesra lainnya bernama Hanafiah, 41, yang kini tinggal di Desa Lambhuk, Kota Banda Aceh, kepada media , Senin (3/8), malah secara tiba-tiba membuat sebuah pernyataan mengejutkan.

“Ini sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak ketua yayasan sebelumnya Kini dia sudah meninggal. Siswi disana sering dilecehkan secara seksual dan dianiaya oleh Zainuddin. Korbannya terkait hal ini semasa saya saja mungkin sudah banyak, dan saya siap jadi saksi jika mereka hendak dipenjara,”akhirinya.

Pernyataan ini tentu saja mengejutkan semua pihak. Seumpaman pepatah yang mengatakan bahwa pagar makan tanaman, mungkin layak disandingkan dengan Bukesra.

pelecehan seksual dan pemerkosaan
para pengurus yang seharusnya bertugas mendidik dan menjaga para siswa cacat ini, ternyata juga tega ‘mengagahi’ keperawanan para siswi nya yang berkemampuan terbatas ini. Disinyalir, perilaku penyimpangan tersebut sudah berlangsung sejak lama di yayasan ini, serta “memakan’ banyak korban.

Data yang didapatkan oleh penulis, kasus ini sendiri terbongkar atas pengaduan sejumlah guru di yayasan setempat kepada pihaknya, Jum’at (31/7) lalu. Kasus ini juga telah dilaporkan oleh jajaran guru setempat, pada Poltabes Banda Aceh, pada 24 Juli lalu.

Dari pelaporan guru ini, salah seorang tersangka bernama Zakaria alias Jek, 40 tahun, yang selama ini bertugas sebagai tukang antar jemput ketua yayasan, telah ditangkap polisi. Dia dituduh telah memperkosa bunga (bukan nama sebenarnya-red), siswi SDLB Yayasan Bukesra asal Pidie.

Pengakuan para guru, pemerkosaan yang dilakukan oleh tersangka Jek terhadap bunga ini, terjadi pada 21 Juli lalu, pukul 15.00 Wib, di Asrama Putri Bukesra di Desa Jurong Pejera, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Perbuatan ini disinyalir, dilakukan tersangka Jek atas sepengetahuan ketua yayasan setempat, Zainuddin.

“Selesai di setubuhi, tersangka Jek ini sempat mengeluarkan ‘kencing’ berwarna putih di lantai, tetapi kemudian langsung dihapus oleh ibu ketua asrama putri. Kuat dugaan kasus ini turut melibatkan dia sehingga bukan cuma ada satu tersangka dalam kasus ini,”papar para guru pelapor tersebut.

“Saat ini, korban yang sudah diambil oleh keluarganya ini berada dibawah pengawasan KPAID. Kami minta polisi mengusut tuntas kasus ini, termasuk adanya indikasi lain berupa dugaan pelecehan anak lainnya yang disinyalir sering dilakukan oleh para pengurus yayasan setempat,” sebut mereka lagi.

Kekerasan fisik terhadap si cacat
Tidak hanya pemerkosaan, Tujuh pelajar di Yayasan Bukesra Aceh, Kamis (13/8) lalu, kembali melaporkan pengurus Yayasan setempat ke Poltabes Banda Aceh.

Pelaporan ini, berselang dua hari setelah sebelumnya keluarga korban pelecehan seksual anak di bawah umur ternyata juga melaporkan ketua yayasan setempat bernama Zainuddin ke Kepolisian Sector (Polsek) Ingin Jaya, Aceh Besar. Keluarga menuduh bahwa ketua yayasan ikut bersengkokol dengan tersangka.

Menurut ayah korban yang berinisiar SY ini, dirinya baru mengetahui pemerkosaan yang dialami oleh bunga (anaknya-red) setelah Ketua KPAID Aceh, Anwar Yusuf Ajad, datang kerumahnya di Pidie, pada 2 Agustus lalu. Padahal, tindakan pemerkosaan Zakaria terhadap anaknya itu telah terjadi pada 21 Juli lalu.

“Padahal, dalam rentang waktu 21 Juli hingga 2 Agustus, kami (keluarga-red) ada mengunjungi korban selama dua kali, yaitu 26 Juli dan 30 Juli, di Yayasan Bukesra. Namun pihak yayasan ternyata tidak pernah memberitahu adanya tindakan pemerikosaan ini kepada kami selaku orang tua korban. Ini yang kemudian kami sinyalir sebagai upaya persengkokolan,”papar ayah korban.

Kembali pada kasus kekerasan yang terjadi di bukesra. Para pelajar yang melapor ini adalah Khairul Huda, Rizki Nanda, Safriadi, Rizal serta Ibrahim yang melaporkan adanya perlakuan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Kepala SMPLB Bukesra bernama Munawarman kepada mereka (pelajar-red).

Selain itu, pada saat yang bersamaan juga, para pelajar lainnya yang bernama Nuraisyiah dan Raziah yang menjadi saksi pada kasus pemerkosaan bunga, juga melaporkan pengurus Bukesra lainnya bernama Yuli dengan laporan pencemaran nama baik dan pengancaman.

“Kasus tindak kekerasan dilaporkan oleh pelajar bernama Khairul Huda CS dengan nomor laporan LPK/545/VIII/2009/SPK. Sedangkan pencemaran nama baik dan aksi pengancaman dilaporkan oleh pelajar Nuraisyiah dengan nomor laporan LPK/546/VIII/2009/SPK. Kita akan tindaklanjut kasus ini,”ucap Kapoltabes Banda Aceh, Kombes Pol Samsul Bahri melalui Kanit PPA Poltabes Banda Aceh, Aiptu Filman.

Sesuai dengan laporan ini, lanjut dia, khairul Huda CS yang didampingi oleh guru dan perwakilan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Aceh, mengaku mereka telah diperlakukan kasar oleh Murwarman. Para pelajar yang cacat ini mengaku sering dikasari dan ditampar.

“Puncaknya pada saat pelapor CS pulang dari jalan-jalan di penutupan Pka V, kemarin. Pelapor mengaku kalau pelaku langsung memukul mereka saat itu,”jelas dia.

Sementara itu, Nurasyiah, pelapor lainnya kepada polisi juga mengaku bahwa dirinya dan Raziah juga telah mendapatkan ancaman dari yuli selaku pengurus yayasan. Pasca terungkapnya kasus pemerkosaan di bukesra, mereka mengaku sering diancam .

“Puncaknya Rabu malam (12/8) kemarin, kami dipanggil oleh Buk Nur dan K’yuli. Kami dikatain dengan bahasa kasar seperti yak meulonte malam malam, lagee binatang tebit lam weu (pergi melacur malam-malam. Seperti binatang ke luar kandang-red). Padahal saya cuma beli sabun di kedai Lambaro,”paparnya.

“Kami tidak tahan lagi,”ucapnya.

Dikengkang saat mengadu
Sementara itu, terlepas dari kedua permasalahan ini, Ketua KPAID Aceh, Anwar Yusuf Ajad juga mengaku sangat menyesalkan adanya sikap tidak ramah dan arogasi yang diperlihatkan oleh Kapolsek Ingin Jaya kepada pelajar cacat yang hendak melaporkan kasus ini pada jajaran tersebut.

Menurut Anwar, mulanya para pelajar hendak melaporkan kasus tindak kekerasan dan pencemaran nama baik serta pengancaman ini pada Polsek Ingin Jaya. Hal ini didasari karena Yayasan Bukesra terletak di daerah kekuasaan hukum dari Polsek itu,

“Tetapi, saat kita hendak melapor kesana, dia (Kapolsek-red) langsung membentak-bentak pelajar. Kalian dari mana? Ini siapa?, dengan kata-kata emosional sehingga pelajar cacat ini ketakutan dan shock. Kemudian kita baru melaporkan kasus ini pada Poltabes Banda Aceh yang ternyata dilayani dengan baik,”ucap dia.

“Kita selaku lembaga anak sangat menyayangkan sikap Kapolsek yang tidak memberikan perlakuan khusus terhadap anak selaku pelapor ini, terlebih mereka cacat,”akhirinya.

Hanya Kasus Indivindu
Zainuddin, ketua Yayasan Badan Usaha Kesejahteraan Para Cacat (Bukesra) Aceh, pada Rabu (12/8) telah membantah bahwa dirinya telah bersekongkol dengan zakaria terkait aksi pemerkosaan anak umur di sekolah mereka.

Menurutnya, aksi yang dilakukan oleh Zakaria murni perbuatan asusila yang dilakukan secara pribadi tanpa melibatkan yayasan di dalamnya. Kasus ini dianggap sudah selesai perdebatannya karena sedang diproses secara hukum oleh jajaran Poltabes Banda Aceh.

“Jadi kalau dibilang saya terlibat dan dilaporkan ke Polsek Ingin Jaya oleh keluarga dengan dugaan saya bersekongkol dengan Zakaria karena menyembunyikan informasi pada keluarga itu tidak benar. Perbuatan ini malah tanpa sepergetahuan saya selaku pimpinan,”ucap dia kepada wartawan, kemarin.

Menurutnya, Yayasan Bukesra tidak pernah bermaksud menyembuyikan informasi Pelecehan Seksual yang dialami siswanya bernama bunga pada orang tuanya sendiri. Hal ini dinilai terjadi karena pihak yayasan sendiri tidak mengetahui kalau perbuatan ini telah terjadi di yayasan tersebut.

“Kami tidak mengetahui hal ini sudah terjadi. Bahkan Keluarga bunga yang mengaku pernah datang ke sekolah juga tidak pernah bertemu dengan saya,”bela Zainuddin.

Hingga hari ini, lanjutnya lagi, dirinya bahkan mengaku masih sangksi telah terjadinya pemerkosaan yang dilakukan oleh Zakaria terhadap bunga, siswi SDLB di Yayasan Bukesra. Bisa jadi, ungkap Zainuddin, keperawanan bunga hilang ketika dia berada di kampung halamannya saat liburan sekolah selama 21 hari.

“Soalnya waktu dia kembali ke sekolah dia tampak kurus. Tapi kalau zainuddin terbukti ya diproses secara hukum,”ucap Zainuddin.

Yang melaporkan kasus pemerkosaan, lanjut Zainuddin, adalah guru yang tidak sependapat dengan dirinya. “Hingga kini yayasan memang belum mengetahui duduk persoalan yang terjadi,”ucap zainuddin seolah hendak menegaskan ketidakterlibatan dirinya dalam kasus ini sambil mengakhiri pembicaraan saat itu.

Mengemis iba pejabat untuk si cacat
Penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dan pemerkosaan yang terjadi di Yayasan Bukesra Aceh saat ini memang sedang diproses oleh jajaran kepolisian, serta jaksa.

Namun yang sebenarnya diperlukan pasca mencuatnya kasus ini adalah adanya peningkatan perhatian dan pengawasan serius Pemerintah Aceh melalui lembaga terkait terhadap keberadaan anak penyandang cacat.

Sikap tersebut dinilai langka dan jarang ditunjukan oleh para pejabat Aceh selama ini, bahkan bisa dikatakan tidak ada.

Para pejabat ini hanya menggelar sejumlah acara seremonial dan seminar di hotel-hotel besar dengan menggunakan anggaran yang diperlukan untuk anak. Sedangkan kegiatan yang bersentuhan langsung terhadap anak sangatlah jarang terjadi.

“Dari Permasalahan ‘Burung’, Hingga Hilang Mahkota,”

Hari itu, Senin (3/8) udara di Kota Banda Aceh terasa panas membakar berkali-kali lipat. Selain karena pengaruh panas terik matahari yang kian menyegat, mencuatnya kasus dugaan pemerkosaan di yayasan pembinaan anak penyandang cacat Bukesra, juga membuat sepasang suami isteri yang tinggal di Jln T. Iskandar, Desa Lambhuk, Kota Banda Aceh, tampak bermuka pias.

Maklum, pasangan suami isteri ini memang alumni yayasan Buskesra Kota Banda Aceh. Sebagai ‘orang dalam’ keduanya mengaku sudah paham benar dengan apa yang terjadi di bukesra selama ini. termasuk adanya perbuatan bejat para pengurus setempat kepada anak didiknya selama ini.

Pihaknya mengaku enggan berkomentar, karena takut sama pengurus Yayasan. Terlebih karena kekurangan yang mereka miliki ini.

“Lebih baik suami saya saja mengatakan hal ini. Beliau lagi sembayang,”ucap nurlaili, pada rombongan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Aceh saat bertandang ke tempatnya. Penderita cacat mental ini cuma menatap mobil yang berlalu di dekat tempat tinggal mereka, ruko berlantai dua itu.

Selama lima menit, Hanafiah, turun mendekati rombongan. Suami Nurlaili ini berstatus sebagai penyandang cacat mata. Pria yang berprofesi sebagai tukang urut ini menyapa hangat gombongan yang hadir, termasuk wartawan.

“Ini sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak ketua yayasan sebelumnya. Kini dia sudah meninggal. Siswi disana sering dilecehkan secara seksual dan dianiaya. Korbannya in, sejaki masa saya di bukesra saja mungkin sudah banyak, dan saya siap jadi saksi jika mereka hendak dipenjara,”ucapnya secara tiba-tiba. Tampak emosinya keluar saat itu.

“Banyak yang tahu persoalan ini, kemudian dipecat secara tiba-tiba oleh yayasan. Saya juga termasuk, karena saya bela kebenaran, ya di pecat dari pengurus yayasan,”ucap hanafiah.

“Dulu tukang masaknya Husna. Namun di pecat karena takut dibongkar aib mereka, kemudiah saya, dan terakhir zulakha yang kami percayain,”tuturnya lagi.

“Isteri saya juga disuruh pegang (maaf red-kemaluannya) zainuddin waktu dia belum jadi ketua yayasan seperti sekarang. Tetapi dia cuma sekali,”paparnya lagi, kemudian termenung dan diam seribu bahasa. Seperti orang yang sedang menahan gejolak amarah.

Selain nurlaili dan hanafiah, kasus pelecehan ini juga dialami oleh bunga (bukan nama sebenarnya-red), 12, asal Pidie. Ketika ditemui oleh wartawan di KPAID, ketakutannya masih tampak jelas dimatanya. Sehingga sepatah katapun tidak meluncur dari bibirnya yang mungil. Dia takut,..

“Dia mengaku diperalat oleh tersangka Jek yang kini ditahan oleh Poltabes Banda Aceh. Menurut pengakuan bunga, dia cuma diberikan uang seribu perak usah dgauli,”usah Anwar ketua KPAID Aceh.

Ya, ketiga penyandang cacat mengaku diperalat. Diantara ratusan korban pelecehan ini, baru mereka yang mau bersuara. Lainnya mungkin belum, atau takut.

Menurut data yang diperoleh wartawan, Yayasan Bukesra sendiri hingga 19 Juni 2009 masih ‘membina’ 47 anak penyandang cacat yang belum diketahui kondisi sesungguhnya dari mereka hingga kini. Terutama pasca terungkapnya kasus ini, entahlah...murdani

Ketika Uang Nelayanpun Ikut Disikat Maling Berdasi


Bukan lagi sebuah rahasia umum kalau negara kita, Indonesia termasuk dalam daftar tiga besar peraih gelar negara terkorup di dunia. Perilaku gemar berkorupsi menjamur di semua profesi pekerjaan, yaitu mulai dari pejabat paling tinggi, para PNS di pemerintahan, para pelaku wirausaha, serta masyarakat biasa.

Sebagai salah satu contoh, uang hibah untuk nelayan miskin pun rupanya tak luput dari sasaran tindakan korupsi. Hal ini diduga terjadi pada Yayasan Pangkai Meureuno Aneuk Nelayan (YPMAN), yang merupakan lembaga otonom hasil bentukan Panglima Laot Aceh, pada proyek pembelian sepetak tanah di Desa Neuheun seluas 7.149 m2 dengan dugaan Mark Up sebesar Rp750 juta lebih.

Yayasan Pangkai Meureuno Aneuk Nelayan (YPMAN) diduga telah melakukan Mark Up dana hibah nelayan dalam pembelian sepetak tanah di jalan Laksamana Malahayati, Km 13.5, Neuheun, Aceh Besar. Dana yang dikucurkan untuk pembelian tanah seluas 7.149 m2 tersebut, bersumber dari bantuan hibah Menkokesra sebesar Rp4,45 milyar dan hasil lelang kapal ikan Thailand, sebesar Rp11,9 milyar dengan post anggaran khusus untuk pembelian tanah sebesar Rp1.251.075 ribu.

Menurut sumber dan data yang diperoleh penulis di lapangan, pembelian tanah seluas 7.149 m2 sejatinya akan dipergunakan untuk membangun sekretariat Yayasan Pangkai Meureuno Aneuk Nelayan (YPMAN).

Dugaan adanya Mark Up, karena harga tanah yang dibayar cuma sebesar Rp70 ribu per meternya, dengan jumlah total keseluruhan harga tanah sebesar Rp500.430.000, pada masyarakat.

Sementara dalam laporan Rapat Kerja YPMAN, TA. 2009-2010, pihak yang membeli tanah tersebut membuat jumlah harga tanah permeternya yang dibeli adalah sebesar Rp175 ribu, dengan total keseluruhan sebesar Rp1.251.075.000.

Dalam hal ini, pihak Lembaga Laot tersebut diduga telah meraup keuntungan atau Mark Up dari post anggaran pembelian tanah sebesar Rp750.645.000 ribu.

“Dugaan Mark Up yang terjadi, sekitar Rp105 ribu per meternya oleh panitia pembelian tanah. Jika dikalikan, maka total jumlah Mark Up yang terjadi sebesar Rp750 juta lebih,” ungkap salah seorang sumber kepada penulis.

Selain itu, beberapa temuan penulis juga menunjukan bahwa ada beberapa dugaan lain yang dapat menguatkan bahwa adanya ‘upaya bersama’ dalam dugaan Mark Up dana nelayan ini.

Sebagai contoh, dana YPMAN sebesar Rp1.251.075.000 dicairkan dari pihak keuangan lembaga sekitar tanggal 4 Maret 2009. Padahal, tanah untuk lokasi sekretariat Yayasan di Desa Neuheun Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, baru didapatkan pada tanggal 20 Maret 2009 lalu. Sedangkan proses pembayarannya baru dilakukan pada tanggal 26 Maret 2009.

“Jadi jarak pencairan uang dari yayasan tersebut dengan penyesuaian penetapan tanah, mempunyai limit waktu yang lama sekitar 16 hari. Mengapa dana sudah dicairkan duluan sesebelum tanah didapatkan kalau bukan ada tujuan hendak bermain,”jelas sumber tadi.

Diduga, tiga pengurus Yayasan Pangkai Meureuno Aneuk Nelayan (YPMAN), atau lembaga otonom bentukan panglima laot Aceh diduga terlibat aktif pada penyelewengan dan dugaan Mark Up dana hibah nelayan dalam pembelian sepetak tanah di jalan Laksamana Malahayati, KM 13.5, Desa Neuheun, Aceh Besar. Sebut saja mereka berinisiar Bus, Mif, serta Is.

Ketiga pengurus ini diduga dengan sengaja melakukan skenario penyelewengan dana hibah sehingga merugikan nelayan sebesar Rp750.645.000.

Menurut sumber informasi yang diperoleh, tiga nama yang dinilai bertanggungjawab ini adalah Bus selaku ketua YPMAN, Mif, Sekretaris YPMAN serta Is, selaku pihak ketiga atau agen tanah yang sedang diperkarakan oleh masyarakat setempat saat ini.

“Keterlibatan ketiganya memiliki porsi masing-masing. Mereka ‘yang diduga bermain’ dibalik dugaan Mark Up yang terjadi, yaitu Rp750.645.000,” ucap sumber penulis lainnya yang minta namanya dirahasiakan, Sabtu (9/10) lalu.

Menurutnya, dugaan keterlibatan Bus selaku ketua YPMAN, serta Mif, diduga terjadi pada upaya pencairan dana yayasan jauh hari, sebelum pembayaran tanah terjadi. Dana tersebut dicairkan dari pihak keuangan lembaga sekitar tanggal 4 Maret 2009 dan tanah baru didapat sekitar tanggal 20 Maret 2009. Sementara pemilik tanah, baru dibayar sekitar tanggal 26 Maret 2009.

“Bus dan Mif diduga menarik dana cepat, yaitu 4 maret 2009 untuk diserahkan pada Is selaku pihak ketiga guna dicari tanah dan dibayar pada 26 Maret lalu. Skenario yang dibuat seolah-olah nantinya, pihak yayasan membeli tanah dari Is dengan harga Rp175.000 permeter. Padahal tanah tetap dibeli dengan dana yayasan,” ucap sumber tadi.

Sedangkan dugaan keterlibatan Is, tambah sumber tadi, adalah di duga karena mark up yang terjadi. Dia membeli tanah seharga Rp70 ribu permeter dengan luas 7.149 m2 dari Daeng, seorang warga Desa Neuheun. Namun tanah ini kemudian pada laporan Rapat Kerja YPMAN, TA. 2009-2010, pihak yang membeli tanah membuat jumlah tanah permeternya yang dibeli sebesar Rp175 ribu, dengan total keseluruhan sebesar Rp1.251.075 ribu.

“Ketiganya sudah dipanggil polisi beberapa kali karena dugaan mark up senilai 105.000 permeter atau Rp750.645.000 dari 7.149 m2 luas tanah yang dibeli. Namun ditingkat Kepolisian Banda Aceh, kasus ini sendiri sangat ditutupi karena ketiga tersangka memiliki jabatan penting pada sejumlah posisi di Aceh,” papar sumber tadi lagi.

Sementara sumber penulis lainnya, yaitu Geuchik Neuheun, Sabirin, S.Pd yang dihubungi penulis, mengakui adanya selisih harga tanah yang dibeli dengan harga dalam Laporan Kerja Panglima Laot, seperti yang dilihatnya dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) di Poltabes, saat dipanggil sebagai saksi beberapa kali. Namun, semua itu, katanya baru diketahui dikemudian hari, kalau harga tanah yang dianggarkan tersebut mencapai Rp1.251.075 ribu.

“Berdasarkan surat perjanjian jual beli tanah yang saya tanda tangani, dengan bubuhan tanda tangan Rossi (istri Daeng) sebagai penjual tanah, bahwa harga yang tertera sebesar Rp70 ribu per meter dengan luas tanah 7.149 m2, total keseluruhan tanah tersebut menjadi Rp500.430 ribu,” jelasnya.

Namun, sayangnya, kasus ini seakan kian raih di tingkat kepolisian. Beberapa kali dikonfirmasi oleh penulis, baik mendatangi langsung ke Poltabes Banda Aceh, maupun melalui HP, ternyata jajaran disana masih terkesan sangat menutupi adanya kasus ini, bahkan terkesan menyembunyikannya.

Pihak Polisi Kota Besar (Poltabes) Banda Aceh, Kombes Pol Syamsul Bahri melalui Kabag Reskrim, AKP Syahrul, Sik, cuma mengatakan satu kata secara singkat.

“Maaf, saya tidak bisa menjawabnya karena kasus tersebut bukan saya yang menanganinya. Saya harus memanggil pihak penyidik dulu untuk memastikan jawaban kasus tersebut,” ujarnya, Senin (12/10). Namun ketika penulis mendatangi kantor tersebut untuk kejelasan, tetap tidak memperoleh data yang dimaksud mengenai sejauh mana perkembangan kasus ini.

Disisi lain, Askhalani, Pjs Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, mengatakan, kasus tindakan pidana korupsi atau dugaan adanya Mark Up tersebut harus diungkap. “Sementara pihak aparat hukum, wajib melakukan penyidikan atas kasus tersebut dan mencari bukti-bukti kuat atas laporan tersebut,” ujarnya saat itu.

Katanya, tindak pidana korupsi merupakan delik aduan yang sifatnya kalau sudah ditangani oleh aparat penegak hukum, maka untuk kelengkapan kasus harus dicari sendiri oleh penyidik.

“Jadi kalau dibilang data tidak lengkap, maka ini harus dibuktikan. Sebagai perbandingan antara jumlah yang dibayar dan yang dicatat dalam transaksi pembayaran harga tanah adalah pintu masuk untuk menyelidiki laporan kasus tersebut. Bukannya menutup sebuah kasus hanya gara-gara data yang kurang lengkap,” jelasnya.

Menurutnya, dugaan Mark Up atas pembebasan tanah yayasan tersebut, melanggar UU No 31 Tahun 1999, jo UU No 20 Tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 dan 3, tentang unsur memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi.

Terlepas dari itu semua, kini lagi-lagi perilaku tikus berdasi di Aceh telah ‘memakan’ hak rakyat miskin. Dana yang seharusnya diperuntukan untuk pemberdayaan nelayan miskin Aceh, kini malah di Mark Up oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Haruskan kasus ini juga terbenam dengan ‘indah’ di pasir-pasir negeri yang katanya penegak syariat tuhan? Jawabannya! Hanya tuhan yang tahu. Semoga!!

Senin, 16 Agustus 2010

PLN Aceh, Habis Gelap, Gelaplah Kembali !!


Persoalan listrik di Aceh sepertinya tidak akan kunjung selesai. Pemadaman bergilir, baik direncanakan atau tidak, telah menjadi pemandangan dan aktivitas sehari-hari. Bahkan, puluhan pelaku bisnis yang mengantung hidup pada ‘bola api’ tersebut juga terpaksa gulungan tikar. Ibarat kata pepatah, habis gelap, gelap kembali.

Sebenarnya, bukanlah tanpa dasar pepatah tersebut muncul. Pasalnya, krisis listrik di Provinsi Aceh telah terjadi sejak belasan tahun lamanya. Bahkan, pemadaman listrik di daerah ini, telah melewati berbagai agenda penting di Aceh, baik semasa konflik, reformasi hingga pasca tsunami.

Keberadaan listrik bagi masyarakat seharusnya menjadi kebutuhan mutlak yang harus segera dipenuhi. Namun, janji para pimpinan negeri ini untuk membelikan pelayanan terbaik bagi masyarakatnya, tidak juga kunjung ditepati sehingga selalu menimbulkan tanda tanya.

Hal ini pula yang disinyalir mengapa para investor, pengusaha serta pelaku bisnis sepertinya enggan melakukan investasi berskala besar di daerah ini. kelemahan tersebut, bahkan sempat diungkap secara terang-terangan oleh Wakil Gubernur Muhammad Nazar, dalam beberapa kesempatan.

“Kita mengharapkan permasalahan listrik segera berakhir di Aceh. Ini penting untuk mendukung pembangunan dan investasi. Tanpa listrik, investasi di daerah ini akan berjalan lamban,”ucap Wagub, dalam beberapa pertemuan penting di awal tahun 2009 lalu.

Ungkapan yang sama juga sempat diucapkan oleh Hermes Thamrin, pengusaha sekaligus pemilik Hotel Hermas Palace yang juga Hermes Palace Mall, kepada media massa beberapa waktu lalu. Kata dia, Provinsi Aceh sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dikembangkan.

Namun, kondisi ini tidak dapat disentuh karena adanya permasalahan listrik. Para pengusaha, dinilai tidak mau mengambil resiko yang besar hanya untuk mengolah sumber daya tersebut. Pasalnya, semua peralatan elektroknik saat ini, membutuhkan listrik sebagai pendukung investasi.

“Hal inilah yang belum dimiliki oleh Aceh saat ini. Para pengusaha, tentunya tidak mau mengambil resiko yang besar serta pembiayaan yang tinggi hanya untuk melakukan investasi di Aceh,”katanya.

Permasalahan ini telah bertahun-tahun tidak mampu di jawab oleh pemerintah dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) selaku lembaga BUMN yang mangani permasalahan listrik. Janji manis yang ditebarkan oleh pimpinan di lembaga tersebut, akhirnya berbuah kecaman dari masyarakat.

Masyarakat yang merasa berhak untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak pun, akhirnya cuma bisa melayangkan sejumlah protes pada PLN. Protes tersebut, baik berbentuk kecaman, kritikan hingga demotrasi. Sayangnya, lagi-lagi kekecewaan dari masyarakat ini tidak memiliki pengaruh yang besar bagi peningkatan kinerja PLN.

Akibatnya, demo hingga cemoohan untuk PLN pun bermunculan. PLN, dari Perusahaan Listrik Negara, diplesetin menjadi Pabrik Lilin Negara.

Didemo Mahasiswa dan Masyarakat
Puluhan mahasiswa dari Universitas Syiah kuala (Unsyiah) menggelar aksi demotrasi ke kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) Aceh, Senin (9/8). Para mahasiswa ini menuntut perusahaan tersebut untuk tidak melakukan pemadaman listrik selama bulan ramadhan.

Aksi mahasiswa ini, dimulai sejak pukul 11.00 WIB dengan membawa sejumlah karton yang berisi kecaman terhadap kinerja PLN selama ini.

“PLN Aceh sudah sepantasnya diberikan nama Perusahaan Lilin Negara, karena cuma bisa memproduksi lilin dari hari ke hari, bukan listrik. Komitmen mereka (PLN-red) terhadap janji yang pernah diucapkan beberapa waktu lalu, masih sangat lemah,”ucap Taufik, orator massa.

Orasi ini, ternyata mendapat dukungan dari massa yang hadir. Beberapa massa yang membawa karton bertulisan, ‘Kami butuh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan bukan Perusahaan Lilin Negara (PLN)” serta ‘kami butuh listrik’ juga sempat meneriakan PLN sebagai pabrik lilin. “Pelayanan dari PLN Aceh masih terburuk di dunia,”ucap orator lainnya.

Sementara itu, Alfiyan Muhiddin, koordinator massa, mengatakan aksi pihaknya ini menuntut PLN untuk tidak lagi melakukan pemadaman listrik selama bulan ramadhan. Pasalnya, pemadaman listrik dinilai hanya akan mengganggu ibadah masyarakat.

“Kita minta PLN untuk menandatangani pernyataan tertulis berisi komitmennya tidak melakukan pemadaman. Jika melanggar, kita minta pimpinan PLN untuk mundur dari jabatannya,”jelas dia.

Menanggapi hal ini, Sulaiman Daud, PLH General Manager PLN Aceh, mengatakan pihaknya akan mengusahakan untuk tidak melakukan pemadaman selama ramadhan.

Terkait pernyataan tertulis, dirinya cuma mau menandatangi surat tersebut, jika dicantumkan nama pribadi serta dibumbui kata kata Isya Allah di ujung surat. Tawaran inipun dengan mudah disetujui oleh mahasiswa. Selesai ditandatangi surat tersebut, massa membubarkan diri pada pukul 12.00 WIB dengan tertib.

Masih terkait dengan isu serupa, ratusan masyarakat di Aceh juga pernah mengelar aksi serupa ke kantor PT PLN setempat. Namun bedanya, dalam aksi beberapa waktu lalu itu, masyarakat turut menyalakan ratusan lilin di pagar dan papan nama perusahaan milik negara tersebut sebagai wujud kekecewaan terhadap buruknya pelayanan listrik di daerah tersebut.

Aksi yang dimulai sekitar pukul 20.30 WIB dari taman Ratu Safiatuddin menuju kantor PT PLN Aceh di jalan T Nyak Arief itu sempat memacetkan arus lalulintas. Ratusan pendemo yang dikawal ketat oleh aparat kepolisian setempat melakukan longmarch dengan membawa lilin dan obor.

Mereka juga mengusung sejumlah spanduk bertulisan, Aceh negeri lilin, serta membagi-bagikan ratusan lilin bagi pengguna jalan di ibukota Provinsi Aceh itu. Aksi gugat PT PLN tersebut, menuntut perusahaan milik negara itu, untuk menghentikan pemadaman bergilir yang saat ini masih berlangsung di daerah paling barat pulau sumatera.

"PT PLN harus menghentikan pemadaman bergilir dan menormalkan kembali arus listrik di daerah berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa ini," kata Oriza Keumla, salah seorang aksi, pada waktu itu.

Mereka juga meminta perusahaan itu untuk bertanggungjawab dan memberikan kompensasi terhadap kerugian yang ditimbulkan dari pemadaman bergilir tersebut."Aceh banyak sumber daya alam, tapi kenapa Aceh masih belum `merdeka` dari listrik," katanya dengan nada kesal.

Mereka juga meminta Pemerintah Aceh ikut bertanggungjawab dalam mencari solusi agar daerah tersebut dapat keluar dari krisis listrik. Selain itu, Koalisi NGO HAM Zulfikar Muhammad mengatakan, pihaknya juga akan melakukan "class Action" terhadap PT PLN, karena telah banyak merugikan masyarakat.

"Kita telah siapkan 26 pengacara untuk menggugat PT PLN yang dinilai telah merugikan masyarakat," ujarnya.

Mesin Diesel Produksi Tahun 70an
Diluar konteks pembahasan tadi, sebenarnya kita juga perlu mengetahui bahwa permasalahan yang dihadapi oleh manajemen yang dihadapi oleh PLN saat ini, juga sangatlah komplit.

Banyaknya mesin diesel hasil produksi tahun 70an yang masih dipergunakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pembangkit listrik di Provinsi Aceh, dikatakan merupakan penyebab utama terjadinya pemadaman selama ini. PLN Aceh mengaku belum memiliki anggaran yang cukup untuk mengganti mesin tersebut dengan yang baru.

“Kita belum memiliki anggaran yang cukup untuk mengganti mesin diesel yang baru. Kendala ini menjadi penyebab utama PLN Aceh, sekalipun Menteri BUMN saat ini dijabat oleh Mustafa Abubakar, yang notabenenya adalah orang Aceh,” ucap Sulaiman Daud, PLH General Manager PLN Aceh, kepada media massa, kemarin.

Menurutnya, terjadinya pemadaman biasanya disebabkan oleh tiga hal. Yaitu, pemadaman direncanakan atau bergilir, pemadaman direncanakan karena pemeriharaan mesin, serta pemadaman tak terduga karena bencana alam atau angin kencang. Namun yang sering terjadi di Aceh saat ini, adalah pemadaman direncanakan karena pemeriharaan mesin.

Pasalnya, kata dia, hampir 25 persen mesin diesel yang digunakan oleh PLN Aceh saat ini adalah produksi tahun 70an. Mesin diesel tersebut dinilai harus sering dirawat dan diperbaiki agar tidak macet dan bermasalah bagi mesin sambungan lainnya.

“Makanya dibutuhkan pemadaman direncanakan dengan tujuan pemeriharaan mesin tersebut. Kasus ini, terjadi di wilayah Ulee Kareng, Kota Banda Aceh. Makanya, daerah tersebut sering dipadamkan listrik belakangan ini,”jelas Sulaiman lagi.

Sebenarnya, lanjut dia lagi, kapasitas listrik yang dibutuhkan untuk Provinsi Aceh adalah 290 MegaWatt (MW). Sedangkan pembangkit listrik yang dimiliki oleh PLN saat ini, adalah pembangkit yang memiliki daya 200 Megawatt (MW) yang memang sudah dipakai sejak dulu, serta mesin tambahan baru didatangkan dengan daya 72 megawatt.

“Dengan mesin berdaya 272 Mega Watt (MW) ini sebenarnya sudah cukup untuk menyuprai listrik ke masyarakat di seluruh Aceh. Namun karena mesin-mesin dieselnya sudah relative tua, jadi harus sering dirawat, dan ini penyebab pemadaman,”ungkapnya.

Dirinya berharap, tambah Sulaiman, kritis listrik di Aceh dapat segera teratasi dengan segera selesainya PLTU di Nagan Raya yang memiliki kapasitas 200 megawatt.

Berharap Pada Panas Bumi dan Turbin Aron
Selain itu, Pemerintah Jerman melalui lembaga Entwic Klungs Bank (KFW) sebenarnya menghibahkan dana sebesar 7 juta Euro untuk eksplorasi panas bumi Seulawah Agam, yang bakal dijadikan sebagai energi tenaga listrik. Inilah yang diharapkan dapat menjadi solusi terakhir untuk mengatasi krisis listrik di provinsi ini.

Sesuai dengan Undang-undang No.11 tahun 2006, pihak daerah dinilai berhak melakukan pengembangan pemanfaatan dan pengelolaan energi alternatif itu. Pemanfaatan tenaga panas bumi dan air untuk energi listrik, dianggap akan memberikan dua keuntungan bagi masyarakat, yaitu sebagai pemakaian sumber energi dari alam yang tidak akan habis-habisnya, serta juga tidak merusak lingkungan.

Selain itu, keberadaan tiga turbin gas aron yang dihibahkan kepada Pemerintah daerah, juga diharapkan mengatasi krisis listrik di daerah ini.
“Kita berharap turbin ini dapat segera digunakan sehingga menjadi alternative terakhir untuk mengatasi krisis listrik,”ucap Sulaiman Daud, PLH General Manager PLN Aceh, kepada media massa.

Namun sayangnya, hingga akhir tahun 2010, ungkap sulaiman, kedua sumber listrik tersebut belum juga mampu dioperasikan. “Permasalahannya terletak pada pembiayaan dan dana,”ungkap dia.

Habis Gelap, Gelap Kembali
Peristiwa gempa dan tsunami yang melanda Aceh diakhir tahun 2004 lalu, telah mengiring kembali provinsi ini ke masa yang suram. Bencana tersebut juga telah merusak hampir setengah fasilitas pelayanan public yang pernah dimiliki oleh Aceh, seperti jalan, sekolah dan penerangan.

Provinsi Aceh seolah-olah kembali diseret ke zaman kegelapan. Dimana saat itu, hampir ribuan masyarakat kehilangan rasa percaya dirinya untuk dapat kembali melanjutkan hidupnya, setelah kehilangan anggota keluarga. Beruntung, keberadaan ratusan lembaga donor dan kuatnya iman yang dimiliki masyarakat, ternyata mampu mengatasi persoalan ini.

Besar harapan, masa kegelapan ini segera berganti dengan masa yang terang benderang, seperti semboyan yang pernah dikumandangkan oleh RA. Kartini. Sayangnya, harapan ini sepertinya hanyalah harapan semu belaka. Pasalnya, mativasi kerja yang tinggi dari masyarakat kembali terhalang dengan krisis listrik yang belum juga berakhir hingga akhir 2010.

Habis gelap, maka gelaplah kembali. Pribahasa inilah yang akhirnya terjadi di Tanoh Keneubah Iskandar Muda.

Jumat, 13 Agustus 2010

Puasa dan tradisi berpuasa


Kita semua pasti sudah mengenai apa arti puasa sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan seorang muslim. Baik itu, puasa sunnah hingga puasa wajib di bulan ramadhan seperti saat ini. Hal inilah yang akan kita bahas dalam Cang Panah kita kali ini.

Nah, berbicara menenai puasa, dalam sejumlah cacatan sejarah juga disebutkan, bahwa puasa tidak hanya dikenal dalam agama islam semata. Sedangkan di Agama lainnya, seperti Kriten, Hindu, Budha hingga para penyembah berhala-pun sebenarnya mengenai yan namanya puasa.

Dalam agama Islam, puasa dapat diartikan menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim.

Perintah puasa ini difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183. Puasa dilakukan atas kesadaran pribadi serta kemauan untuk menjalankan perintah Allah SWT, serta bukan karena menjalani tradisi berpuasa semata.

Sedangkan untuk agama lain, Ibn an-Nadim dalam bukunya al-Fahrasat, sebagaimana yang dikutip Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, menyebutkan bahwa agama para penyembah binatang pun memiliki kewajiban berpuasa tiga puluh hari dalam setahun, ada pula puasa sunnah sebanyak 16 hari dan juga ada yang 27 hari.

Puasa mereka dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada bulan, juga kepada bintang Mars yang mereka percaya sebagai bintang nasib, dan juga kepada matahari.

Dalam agama Budha pun dikenal puasa sejak terbit sampai terbenamnya matahari. Mereka melakukan puasa empat hari dalam sebulan, yaitu pada hari-hari pertama, ke sembilan, kelimabelas, dan ke dua puluh.

Penganut Budha menamainya ”uposatha”. Uposatha artinya hari pengamalan (dengan berpuasa-red) atau dengan pelaksanaan uposatha-sila pada hari atau waktu tertentu.

Sedangkan Uposatha-sila adalah melaksanakan aturan Budha yang berjumlah delapan, seperti tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan hubungan seks, tidak berbohong, tidak berkonsumsi makanan yang membuat kesadaran lemah dan ketagihan (alkohol, obat-obatan terlarang), tidak makan pada waktu yang salah, tidak bernyanyi, menari atau menonton hiburan. juga tidak memakai perhiasan, kosmetik, atau parfum, tidak duduk atau berbaring di tempat duduk atau tempat duduk yang besar dan tinggi.

Sedangkan orang Yahudi juga mengenal puasa selama empat puluh hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi penganut-penganut agama ini, khususnya untuk mengenang nabi-nabi atau peristiwa penting dalam sejarah mereka.

Agama kristen juga demikian, walaupun dalam kitab Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, tetapi dalam praktik keberagaman mereka dikenal aneka ragam puasa yang ditetapkan oleh pemuka-pemuka agama.

Tidak hanya itu, sejarah juga mencatat bahwa Nabi Nuh a.s. berpuasa sepanjang tahun. Nabi Daud a.s. juga melaksanakan puasa dengan cara sehari puasa dan sehari berbuka, dan seterusnya. Sedangkan Nabi Isa a.s. berpuasa satu hari dan berbuka dua hari atau lebih. Adapun untuk Nabi Muhammad SAW dan umatnya, puasa ditetapkan sebulan penuh di bulan Ramadhan dan dilaksanakan pada siang hari.

Berunjuk pada permasalahan tadi, jika selama puasa umat muslim hanya mampu menahan lapar dan dahaga. Maka puasa tersebut tidak jauh beda dengan puasa penganut Budha dan penyembah berhala.

Dalam artian, si pelaksana puasa itu sendiri tidak mendapatkan pahala dan berkah seperti yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam Al-qur’an. Sebaliknya, mereka hanya menjalankan tradisi menahan lapar (berpuasa-red) yang memang ajaran tersebut ada di dalam kepercayaan nenek moyang kita, jauh hari sebelum islam datang.

Terakhir, sebuah pertanyaan yang harus kita jawab. Kita sedang berpuasa atau menjalankan tradisi puasa?

Selasa, 03 Agustus 2010

JKA, ‘Jaminan Karu Aceh’!


Awalnya, pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang diterapkan sejak awal juni 2010 dengan anggaran miliaran rupiah diharapkan jadi solusi bagi peningkatan kesehatan masyarakat di Aceh. Namun, selang beberapa waktu, program inipun berubah makna menjadi Jaminan Karu Aceh.

Bukan tanpa sebab kepanjangan dari JKA beralih makna di Provinsi Aceh. pasalnya, kehadiran JKA justru telah menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Program inipun yang menyebabkan masyarakat memusuhi para dokter, staf rumah sakit serta pegawai di apotik saat membeli obat.

Pemerintah Aceh sebenarnya belum siap melaksanakan program JKA yang sudah dicentuskan sejak awal Juni lalu. Kasus yang menimpa M.Iqbal, 8, seorang bocah penderita pembengkakan katup jantung dari Bireun, yang dilaporkan terlantar saat hendak berobat di RS Harapan Kita Jakarta, merupakan salah satu bukti ketidaksiapan ini.

Selain itu, ada juga kasus penolakan Rumah Sakit Umum Zainun Abidin (RSUZA), Kamis (1/7) untuk mengoperasikan pasien miskin bernama Salman, 25, asal kabupaten Pidie. Kedua kasus ini adalah satu dari ribuan kasus yang menunjukan kelemahan JKA.

Sayangnya, kelemahan tersebut tidaklah ditutupi dengan kesiapan tenaga medis dan pelayanan kesehatan secara maksimal di lapangan. Hal ini kemudian memunculkan ‘gelombang’ protes dari masyarakat akibat dari ketidaktahuan mereka terhadap rumah sakit dan dokter yang bertugas.

Dokter dan perawat akhirnya menjadi ‘bulan-bulanan’ keluarga pasien yang telah terlebih dahulu dijanjikan ‘angin syurga’ JKA oleh Pemerintah Aceh. Mereka tidak bisa mengeluarkan resep di luar JKA, yang secara program sebenarnya jauh lebih lebih mundur dari Jamkesmas dan Askes.

Pihak Legislative Aceh sendiri, sebenarnya telah beberapa kali meminta pihak eksekutif untuk lebih gencar melakukan sosialisasi. Masyarakat Aceh sendiri masih banyak yang belum mengetahui tentang JKA ini sehingga yang lebih gencar ke media massa.

Namun, karena sosialisasi ini tidak dilakukan, pontensi konflik pun terjadi. Buntutnya, sejumlah dokterpun mogok massa.

Kasus M. Iqbal

Kasus yang menimpa M.Iqbal, 8, seorang bocah penderita pembengkakan katup jantung dari Bireun, yang dilaporkan terlantar saat hendak berobat di RS Harapan Kita Jakarta, merupakan salah satu bukti ketidaksiapan ini.

“Kita sangat menyayangkan adanya kasus yang menimpa M.Iqbal saat berobat di Jakarta dengan program JKA. Peristiwa ini seharusnya tidak terjadi jika eksekutif lebih cepat bertindak,”ucap M. Yunus Ilyas, Ketua Komisi F Bidang Kesra, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, pihak yang seharusnya bertanggungjawab penuh terkait kasus M. Iqbal adalah PT. Askes dan pemerintah. Keberadaan perusahaan tersebut sebagai salah satu BUMN yg terpusat di Jakarta dinilai seharusnya sudah tidak asing lagi dengan JKA.

Apalagi JKA ini di tandatangani langsung oleh Dirut PT Askes (Persero) I Gede Subawa dengan Gubernur Aceh.

dr. Yani, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, mengakui bahwa kasus yang menimpa M. Iqbal dengan tidak diakuinya JKA di luar Aceh adalah kelemahan pihaknya. Terkait kasus ini, dirinya mengaku telah meminta pihak Askes untuk mengurus ulang keperluan Iqbal di Jakarta.

“Kasus ini terjadi akibat kuatnya sosialisasi jka ke segala elemen. Pihak Askes Banda Aceh mungkin sudah mengetahui program ini, tetapi bawahannya di Jakarta dan tempat lain, mungkin tidak. Ini yang kita tuntut dari Askes untuk segera dibenah kedepan,”ungkapnya.

Dalam pemberlakuaan sebuah program, lanjut dia, biasanya memiliki fase atau masa sosialisasi selama 6 bulan. Sedangkan pemberlakuaan JKA sendiri masih baru jalan satu bulan sehingga dinilai masih banyak kekurangannya.

“Terkait kasus M. Iqbal, kita ambil nilai positifnya saja. Bahkan tadi, ada warga Aceh Tengah yang juga peserta JKA hendak berobat ke RS Cipto Jakarta sudah kita minta perhatian dari pihak RS disana. Sehingga pasien ini bisa langsung diterima di RS itu tanpa prosedur berbelit-belit,”jelas dia.

Menyangkut JKA juga, tambah dia, dalam waktu dekat ini pihaknya akan mengadakan sosialisasi yang gencar melalui media massa. Hal ini dilakukan agar program JKA ini bisa menyentuh semua lapisan masyarakat.

“Target awal kita pembenahan internal dulu, baru sosialisasi. Ini semua terjadi karena kelemahan kami,”ulang dia.

Kasus Salman

pasien miskin bernama Salman, 25, asal kabupaten Pidie, Kamis (1/7) juga dilaporkan di tolak oleh Rumah Sakit Umum Zainun Abidin. Pasien miskin yang hendak melakukan operasi paru-paru ini, dilaporkan terpaksa dirujuk berobat ke Rumah Sakit Adam Malik, Sumantra Utara, dengan alasan yang tidak jelas.

“Alasannya tidak jelas. Ini merupakan kenjadian yang kesekian kalinya terhadap pasien miskin yang terpaksa dirujuk untuk berobat keluar daerah sejak program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) diberlakukan awal bulan lalu,”ucap Zulkifli, staf dari LABNA.

Menurutnya, kenjadian ini bermula sekitar seminggu yang lalu, saat Salman mengeluh kesakitan. Keluarga pasien miskin ini kemudian membawanya ke RSUZA guna berobat. Namun dengan berbagai alasan pasien ini, akhirnya disarankan untuk berobat ke RS Adam Malik.

Yang menjadi permasalahan, lanjut Zulkifli, pasien Salman merupakan keluarga yang kurang mampu. Rujukan ini dinilai hanya akan menyulitkan keluarga pasien jika harus bertahan lama di daerah orang.

“Bagaimana dengan biaya makan dan penginapan bagi keluarga pasien miskin ini? Kita (LADNA-red) melihat, sejak terjadi miskomunikasi antara dokter dengan manajemen di RSUZA, rumah sakit ini selalu bertindak sebagai lokasi Trans Site bagi pasien miskin Aceh sebelum diharuskan berobat ke tempat lain. RSUZA hari ini tidak lebih seperti Pukesmas kecil di desa,”ucap dia.

Tambah Zulkifli lagi, dalam beberapa kasus sebelumnya, RSUZA sempat menanggung biaya perjalanan keluarga pasien jka ke rumah sakit rujukan. Namun dalam kasus Salman, RSUZA dinilai seperti lepas tangan dan hanya mengeluarkan surat rujukan.

“Ini yang kita nilai sangat aneh. RSUZA sepertinya sama sekali belum siap dengan pelaksanaan JKA itu sendiri sehingga pasien seperti Salman hanya bisa meratapi nasib,”terangnya.

Sementara itu, Safaruddin, selaku Dewan Pembina LADNA juga menambahkan, bahwa pelaksanaan JKA di Aceh saat ini dinilai jauh lebih mundur jika dibandingkan dengan pelaksanaan Jamkesmas.

Pasalnya, kata dia, dalam program Jamkesmas disebutkan bahwa jika ada obat yang berada di luar pembiayaan Jamkesmas, maka obat tersebut akan menjadi tanggungjawab rumah sakit untuk memberikannya pada pasien. Namun dalam program JKA, program diluar tangungan jka akan dibebankan pada keluarga pasien.

“Ini yang kita lihat sebagai suatu langkah kemunduran. Kita berharap ada dermawan yang dapat membantu pengobatan salman,”ungkap dia.

Dminta Serius Benahi Manajemen

Aksi penolakan dokter di RSUZA untuk mengoperasi pasien kanker payudara dengan alasan belum dibayarkan gaji selama tiga bulan dinilai sebuah tragedy kemanusian yang terus berulang. Pemerintah Aceh diminta segera menanggapi keluhan warga ini dan harus segera membenahi manajemen di RSUZA.

“Padahal beberapa waktu lalu, telah ada rekstrurisasi atau pergantian pimpinan pimpinan Rumah sakit pemerintah itu. Namun, tetap saja sistem dan manajemen RSUZA yang diberikan tidak memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Aceh dengan baik,”ucap Kadiv Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Isra Safril.

Menurutnya, apa yang terjadi di RSUZA hari ini telah melanggar Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Undang-undang ini telah mengisyaratkan dan mengamanahkan agar masyarakat Aceh memperoleh pelayanan kesehatan dengan baik dengan hak yang sama serta menyeluruh.

Ini juga membuktikan bahwa tidak ada keseriusan dari pihak manajerial RSUZA dalam mengelola rumah sakit pemerintah itu sesuai dengan aturan yang berlaku serta menganggap itu sebagai lahan bisnis semata.

“Makanya, GeRAK Meminta DPRA khususnya Komisi F bidang kesehatan dan kesejahteraan untuk mendesak pihak Pemerintah Aceh dan melakukan pengawasan terhadap kinerja Pimpinan RSUZA yang telah mengakibatkan batalnya operasi bagi pasien akibat salah urus manajemen,”ucap Isra.

Tambah dia, GeRAK juga Meminta Pemerintah Aceh untuk segera menangani permasalahan manajemen di RUmah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, sehingga persoalan penolakan untuk menangani pasien bisa terhindarkan.

Jika hal itu tidak cepat ditangani oleh Pemerintah Aceh, ditakutkan kedepan akan banyak masyarakat Aceh kurang mampu yang sakit akan bertambah parah penyakitnya karena tidak ada pelayanan kesehatan yang memadai di Aceh.

Sementara itu, Safaruddin, dari LABNA menambahkan Pasien miskin sekarang banyak yang tidak mempunyai kartu jamkesmas, dan mereka juga tidak punya uang,tetapi menderita berbagai penyakit, dan apakah kondisi ini dibiarkan begitu saja sampai masyarakat mati dalam kondisi yang terabaikan hak-haknya dalam mendapatkan kesehatan yang layak sesuai dengan standar kemanusiaan. Kita akan mengadvokasi kasus ini hingga pasien dapat memperoleh pelayanan kesehatan untuk kesembuhan.

Gubernur Irwandi Yusuf juga diminta segera mengevaluasi pelaksanaan program JKA yang dinilai masih menuai permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, Pelaksanaan program selama ini JKA dinilai jauh lebih mundur dari program Jamkesmas.

“Program JKA masih memberatkan anggaran APBA, karena selama ini sudah ada program Jamkesmas yang memberikan jaminan kesehatan gratis kepada masyarakat secara total. Jika program JKA ini dijalankan maka akan menimbulkan tumpang tindih anggaran. LABNA meminta Gubernur Irwandi Yusuf untuk segera mengevaluasi program JKA yang dinilai masih menuai permasalahan di tengah-tengah masyarakat,“ucap Safaruddin lagi.

Menurutnya, Program Jamkesmas sebenarnya sudah sangat jelas dan bagus dalam membantu masyarakat, namun hanya dalam pelaksanaanya saja yang bermasalah di Rumah Sakit, seperti di RSUZA yang banyak pasien peserta Jamkesmas mengeluh dipungut biaya.

Padahal sesuai dengan Pedoman pelaksanaan Jamkesmas tahun 2008/2009 ditegaskan bahwa peserta Jamkesmas tidak dibolehkan iuran biaya untuk pembelian obat-obatan dan alat medis habis pakai.

Sedangkan untuk JKA, lanjut dia, program ini dinilai belum jelas bagaimana pelaksanaannya termasuk sandaran yuridisnya. Pedoman Pelaksanaan (Manlak) untuk JKA yang seharusnya sudah selesai dibuat sebelum sosialisasi dinilai juga tidak kunjung selesai. Hal ini akhirnya menimbulkan kebingunan di masyakarat, termasuk LABNA saat mengadvokasi pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin Aceh.

“Gebernur selalu mengandalkan premi JKA lebih besar dari premi Jamkesmas, tetapi tidak melihat dan menjelaskan bagaimana manfaat dan pelaksanaan program tersebut. Hal ini karena dalam Jamkesmas biarpun preminya hanya Rp12.000, tetapi masyarakat dibebaskan dari segala pungutan dari Rumah sakit, ini sangat berbeda dengan JKA yang hanya menanggung obat-obatan yang masuk dalam formularium/DPHO JKA, di luar dari itu masyarakat harus membeli sendiri, dan ini merugikan dan memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat miskin di Aceh,“jelas dia.

Menyangkut hal ini, tambahnya, LABNA menyatakan menolak pelaksanaan program JKA karena tidak memberikan kepastian kesehatan bagi masyarakat Aceh. Selain itu, pihaknya juga meminta Pemerintah Aceh dan DPRA agar tidak melakukan pembohongan publik dengan program-program yang menghabiskan dana rakyat tetapi tidak bermanfaat bagi rakyat

“Kita meminta masyarakat agar tidak memanfaatkan program JKA ini karena jika ada tindakan medis, obat-obatan dan bahan habis pakai yang di luar formularium/DPHO JKA itu tidak ditanggung oleh JKA dan harus di beli dengan uang pribadi. Hal ini sangat berbahaya dalam proses pengobatan/pelayanan medis karena apabila proses pengobatannya sedang berjalan dan diperlukan obat-obatan yang diluar JKA sedangkan masyarakat tidak mempunyai dana untuk membeli obat-obatan tersebut dan harus dibeli dengan uang pribadi, dan jika tidak mempunyai dana maka akan terhambat proses pengobatan yang sedang berjalan,“akhiri dia.

JKA, Pisau Bermata Dua

Pelaksanaan JKA di Aceh sebenarnya memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun gagasan dan konsep yang disusun sepertinya jauh bertentangan. Kondisi inilah yang mengakibatkan keluhan dari masyarakat terjadi.

Hal ini pun yang mengakibatkan konflik terjadi di lapangan. Seumpama pisau, JKA adalah pisau bermata dua yang saat ini berbalik arah ke Pemerintah Aceh. Jika ini tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin citra dari Pemerintah Aceh yang sedang di bangun sedemikian rupa, justru akan hancur karena program JKA ini. Jaminan Karu Aceh!

 
Free Host | lasik surgery new york