Kamis, 29 April 2010

Pendidikan Gratis Hanya Mimpi di Banda Aceh


Peraturan Mendiknas No. 23/MPN/KU/2009 Tertanggal 25 Februari 2009 merumuskan bahwa pendidikan gratis dan wajib belajar di Indonesia 9 tahun. Sedangkan Qanun Aceh N0 5 menambahkan bahwa wajib belajar di daerah tersebut harus mencapai 12 tahun. Namun kutipan SPP liar dan uang pembangunan dengan berbagai alasan masih terus terjadi dan dipraktekan secara terang-terangan di Banda Aceh.

Sebenarnya, dengan adanya dua produk hukum ini merupakan angin syurga bagi masyarakat Aceh yang baru selesai dari persoalan konflik dan musibah gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu. Keberadaan dua produk hukum ini juga merupakan dari amanah pada teks pembukaan UUD 1945 yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa yang lebih baik.

Hampir 2/3 dari jumlah penduduk Negara Indonesia pada umumnya serta Aceh khususnya, adalah masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan sudah seharusnya di bantu. Keberadaan dua produk hukum tadi, diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi kemiskinan tersebut.

Pendidikan yang tinggi dinilai merupakan salah satu cara mengubah pola pikir masyarakat menjadi maju dan berkembang. Hal ini telah dipraktekan di negara-negara maju, baik di asia maupun di eropa, dan ternyata berhasil.

Indonesia yang tergolong pada kelompok negara sedang berkembang juga sedang giat-giatnya mencerdaskan anak bangsa dengan melahirkan sejumlah peraturan seperti tadi. Namun sayangnya, dalam pelaksanaan di lapangan sering kali bertentangan dengan peraturan berlaku seperti temuan sejumlah kutipan iuran SPP dan pembangunan yang terjadi di Banda Aceh.

Temuan ini, juga secara jelas-jelas dipraktekan oleh para oknum kepala sekolah di daerah yang mempunyai visi sebagai bandar wisata islami ini. Pendidikan gratis yang tadinya merupakan angin syurga bagi masyarakat miskin kian sulit didapatkan sehingga terasa hanyalah mimpi belaka.

Pelanggaran ini disinyalir terjadi di hampir sekolah yang ada, tetapi dalam pelaksanaannya sangat tertutup dan rahasia. Bagi wali murid atau siswa yang membocorkan dugaan ini ke publik akan disingkirkan dari sekolah, atau dikenakan sanksi dengan penahanan rapor seperti yang terjadi di SMU Dua Banda Aceh.

Ketidaktegasan dari puncuk pimpinan tertinggi seperti Walikota Banda Aceh, Kadis Pendidikan setempat, merupakan penyebab adanya pelanggaran tersebut sehingga temuan-temuan tadi kian membicaraan publik setiap harinya. Namun se-gigih apapun jajaran setempat menutup informasi mengenai pelanggaran tadi, akhirnya terbongkar juga ke publik, seperti beberapa temuan penulis ini.

Proyek Pagar Rp500 Ribu Persiswa di MIN Merduati
Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Merduati kota Banda Aceh disinyalir melakukan pungutan liar untuk pembuatan pagar sekolah tersebut Rp500.000 persiswa kelas I dan II. Pengutipan tersebut dinilai sangat bertentangan dengan surat Mendiknas no. 23/MPN/KU/2009 Tertanggal 25 Februari 2009 tentang pendidikan gratis dan wajib belajar 9 tahun.

Menurut Dra. Husniati Bantasyam, Sekretaris Eksekutif Kobar-GB Aceh yang membongkar masalah ini kepada penulis beberapa waktu lalu, akibat dari kebijakan tersebut banyak orang tua siswa setempat yang datang melaporkan keberatan ke Kantor Kobar –GB Aceh.

”Kami menilai pengutipan tersebut bertentangan dengan surat Mendiknas No. 23/MPN/KU/2009 tertanggal 25 Februari 2009 tentang pendidikan gratis dan wajib belajar 9 tahun dan Qanun Aceh N0 5 tahun 2008 tentang pendidikan gratis dan wajib belajar 12 tahun. Dimana semua siswa seharusnya dapat dibebaskan dari semua biaya, kecuali biaya-biaya keperlian individu seperti biaya seragam sekolah, alat-alat tulis siswa dan biaya jam tambahan belajar sore hari,”ucap Husniati Bantasyam, saat itu.

Katanya, pada 30 November 2009 lalu, tim Kobar-GB Aceh telah turun langsung ke sekolah tersebut untuk memastikan kebenaran apakah pagar sekolah itu betul perlu diganti. Namun hasil yang didapatkan, ternyata kondisi pagar sekolah masih sangat baru tidak perlu diperbaiki apalagi diganti.

”Kami sudah surati Kantor Depag Banda Aceh untuk menindaklanjuti pengutipan yang berkedok pembuatan pagar tersebut. Apabila pagar tersebut akhirnya juga diganti, maka hal itu adalah suatu suatu pemborosan dan terkesan kepala sekolah bersama- sama dengan komite sekolah MIN Merduati sengaja mencari proyek diatas penderitaan orang tua,”papa dia.

Sebenarnya, lanjutnya lagi, pembangunan pagar ini dapat diatasi dengan adanya dana bos yang setiap tahun dialokasikan untuk setiap sekolah SD/MI sebesar Rp475.000 persiswa, yang dikalikan dengan jumlah siswa. Sedangkan untuk SMP sederajat mencapai Rp575.000 persiswa kali jumlah siswa.

”Biaya pembangunan fisik seharusnya merupakan tugas dan kewajiban pemerintah melalui Dana alokasi Khusus, serta bukan dibebankan kepada wali siswa. Apalagi kita juga tahu bahwa tahun 2008 MIN Merduati telah mendapat DAK sebesar Rp310.000.000,”akhirinya.

Sementara itu, Kepala Sekolah (Kepsek) MIN Merduati, Aiyub, kepada penulis, mengakui adanya kutipan tersebut. Namun menurutnya, hal ini merupakan keputusan komite sekolah. ”Ini keputusan komite sekolah. Belum mulai pun pembangunannya,”ucapnya singkat.

Biaya Pembangunan Kantin di SDN 29
Sementara itu, Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) 29 Kota Banda Aceh juga dituding telah melakukan kutipan biaya pembangunan kantin di sekolah setempat sebesar Rp200.000 hingga Rp300.000 persiswa. Tindakan ini juga dinilai bertentangan dengan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional (Mendiknas) bernomor 23/MPN/KU/2009 tertanggal 25 Februari 2009 tentang sekolah gratis dan wajib belajar 9 tahun.

Menurut sumber penulis, kutipan yang dilakukan oleh Kepsek SDN 29 ini tertuang dalam surat yang dikirim bersama oleh Kepsek dan Komite Sekolah setempat, kepada para wali murid tertanggal 30 Desember 2009 bernomor 425/135/2009. Isi surat tersebut meminta setiap wali para siswa untuk menyalurkan dana sebesar Rp200.000 hingga Rp300.000 persiswa untuk pembangunan kantin sekolah.

“Pungutan tersebut dikatakan merupakan hasil keputusan rapat pengurus komite SDN 29 pada bulan Maret dan Juni 2009. Tetapi kami menolak karena hal ini jelas-jelas bertentangan dengan peraturan Mendiknas bernomor 23/MPN/KU/2009 tertanggal 25 Februari 2009 tentang sekolah gratis dan wajib belajar 9 tahun,”ucap wali siswa yang minta namanya dirahasiakan ini.

Menurut penulis, terkait pelanggaran tadi, pihak sekolah seharusnya tidak lagi melakukan kutipan biaya dengan alasan apapun guna melakukan pembangunan fisik dari murid. Pasalnya, Dana Alokasi Khusus (DAK) yang disalurkan kepada sekolah tersebut setiap tahunnya sangatlah besar.

Dalam peraturan Mendiknas dan Qanun nomor 5 tahun 2008, kutipan iuran dari sekolah bagus diizinkan hanya untuk sekolah berstandar internasional, tetapi bukan untuk pembangunan fisik. Kutipan yang dianjurkan adalah untuk peningkatan mutu, seperti les pada sore hari.

Sedangkan untuk sekolah lain, semuanya sudah dialokasikan oleh pemerintahan Aceh dan diatur dalam undang-undang.

Apalagi, berdasarkan informasi yang diterima oleh penulis, SDN 29 kota Banda Aceh pada tahun 2008 mendapatkan DAK sebesar Rp310 juta, dan pada 2009 mendapatkan DAK Rp297 juta.

Sementara itu, Kepala SDN 29 Kota Banda Aceh, Deni Hayati S.Pd, yang dihubungi penulis, membenarkan adanya kutipan ini tetapi menolak memberikan keterangan lebih menyangkut kasus ini.

Dugaan Kutipan SPP di SMU Dua
SMU Dua Kota Banda Aceh kian disorot dalam beberapa bulan terakhir. Kepsek setempat diduga melakukan Pungli Rp1,5 juta hingga Rp3 juta pada siswa pindahan atau masuk dibawah tangan. Kepsek setempat juga melakukan pengutipan SPP sebesar Rp90 ribu persiswa untuk perbulan.

Padahal, di sekolah lain seperti SMU Negeri Satu Banda Aceh, SMU Negeri Tiga dan SMU Negeri 4, tidak melakukan hal itu.

Atas dasar ini, Koalisi Barisan Guru Bersatu (Kobar GB) Aceh, sempat memberi tengang waktu atau “deadline’ selama 10 hari, terhitung sejak 17 Desember lalu, kepada kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, untuk segera mencopot jabatan Kepala Sekolah SMU Negeri Dua yang disinyalir banyak melakukan penyimpangan anggaran sekolah setempat.

Namun tenggang waktu yang diberikan ini tidak ditanggapi oleh Kadis setempat sehingga lembaga tersebut melayangkan surat ke walikota Banda Aceh.

Kepsek ini dinilai telah menjalankan pendidikan yang tidak sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar dan Qanun nomor 5 tahun 2008 tentang pendidikan gratis dan wajib belajar 12 tahun.

“kita memberikan tempo 10 hari kepada Kadis Pendidikan Kota untuk mencopot Kepsek SMU negeri dua, terhitung sejak 17 Desember lalu. Apabila ini tidak segera dipenuhi, maka kita akan melaporkan hal ini pada Kejaksaan dan Mendiknas di Jakarta,”tutur Sayuthi Aulia, Ketua Presidium Kobar GB Aceh, melalui siaran pressnya kepada wartawan, Senin (21/12), lalu.

Pemintaan pencopotan ini, lanjut Sayuthi, didasari oleh bukti-bukti dan temuan pihaknya selama ini.

Selain pencopotan Kepsek SMU Negeri Dua Kota Banda Aceh, tambahnya lagi, Kobar GB Aceh, juga meminta iuran SPP yang dikenakan bagi siswa di SMU negeri dua segera dihapuskan dan dikembalikan. Pasalnya, pungutan ini dinilai melanggar qanun pendidikan nomor 5 tahun 2008 tentang sekolah gratis.

“Surat mengenai kondisi dan dugaan penyimpangan di SMU Negeri Dua Banda Aceh, telah kami kirimkan juga kepada Gubernur, DPRA, serta pihak terkait lainnya di Aceh. kita ingin penyelenggaran pendidikan di Aceh berjalan sesuai dengan undang-undang sehingga tidak memberatkan murid,”jelas dia.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Banda Aceh, Sofyan Sulaiman, yang dihubungi oleh penulis, mengatakan dirinya tidak mau lagi berkomentar banyak mengenai kasus tersebut.

“Guru-guru dan Kepsek setempat sudah menjelaskan permasalahan ini kepada media beberapa waktu lalu. Jadi saya rasa sudah jelas, serta tidak perlu diulang-ulang lagi,”ucapnya saat itu.

Tak Becus Tertibkan Bawahan
Maraknya pelanggaran dan kutipan uang yang dilakukan oleh para Kepala Sekolah (kepsek) dari tingkat SD hingga SMU di Kota Banda Aceh dinilai terjadi karena Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan setempat tak becus menertibkan para bawahannya yang bandel.

Temuan sejumlah pelanggaran terhadap peraturan Mendiknas 23/MPN/KU/2009 tertanggal 25 Februari 2009 tentang sekolah gratis di Banda Aceh ini, dinilai perlu segera ditindaklanjuti secara hukum, agar tidak diikuti oleh kabupaten lain di Aceh.

“Ini semua terjadi karena Kadis pendidikan kota dinilai tak becus menertibkan bawahan. Kita meminta Walikota Banda Aceh meninjau ulang posisi dan jabatan Kadis di instalansi tersebut,”ucap Sayuthi Aulia.

Sementara itu, lembaga Lingkar Mahasiswa Peduli Pendidikan Aceh (LMPP-Aceh), juga menambahkan bahwa kasus kutipan biaya sekolah yang marak ditemukan ditiap sekolah dalam Kota Banda Aceh, telah mencoreng wajar pendidikan Aceh. Tindakan ini dinilai mengangkangi hak para siswa miskin Aceh untuk bersekolah.

“Kita meminta Walikota Banda Aceh menindak tegas para pelaku. Kasus ini jelas-jelas telah melanggar peraturan mendiknas tentang sekolah gratis. Padahal, setiap sekolah saat ini sudah di alokasikan dana BOS, DAK serta berbagai bentuk dana lainnya untuk bisa digunakan,”papar Rahmad Ardiansyah, Ketua LMPP-Aceh.

“Kita memandang bahwa kasus kutipan ilegal yang terjadi di sekolah-sekolah belakangan ini, sebagai upaya dari pimpinan setempat. Karena dilihat tindakan tindakan tegas, akhirnya sekolah-sekolah lain mengikutinya,”ucap Rahmad lagi.

Antara Realita dan Mimpi
Adanya sejumlah temuan pelanggaran tadi sangatlah kontra dengan penerapan dua produk hukum yang memberikan mimpi indah bagi masyarakat Aceh. Kenyataan yang terjadi di lapangan ini sangat bertolak belakangan dengan harapan dari sebuah produk hukum yang tercipta.

Seharusnya, temuan tersebut menjadi sebuah besar moral bagi para penegak hukum di indonesia, seperti kepolisian dan jaksa guna menindak para pelaku hingga mendekam di penjara nantinya. Jika ada unsur keterlibatan para pimpinan di atas, terkait hal ini juga bisa diproses hingga ke pengadilan.

Namun sebaliknya, jika temuan ini dibiarkan begitu saja, maka sama artinya dengan memberikan angin juga dan mimpi bagi masyarakat Aceh yang ada saat ini. Sejumlah temuan ini diduga juga terjadi di daerah lain diseluruh Aceh, namun belum terbongkar.

Selain itu, kewibawaan sebuah institusi penegak hukum yang ada di Aceh sangatlah tenggantung dari kasus ini. mereka hanya menjadi penonton atas pelanggaran tersebut atau menengakan keadilan bagi masyarakat! Membiarkan masyarakat terus bermimpi atau membuat pengawasan anggap mimpi itu segera terwujub.

Semua tergantung pada Pemerintah Aceh, serta penegakan hukum yang ada. Wassalam.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york