Kamis, 29 April 2010

Mengadopsi Konsep Nagari Mukim Untuk Mukim Aceh



Jika pemerintah daerah di Sumatra Barat ingin mendatangkan investor tertentu untuk mengekpoitasi Sumber Daya Alam setempat. Pemkab itu diharuskan untuk meminta izin terlebih dahulu pada masyarakat Nagari dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan gaya pemerintahan di Aceh yang masih cenderung memihak pada investor daripada kepentingan masyarakat sekitar lokasi perusahaan.

Dalam peraturan sejumlah Nagari, tertuang bahwa setiap tanah, air, serta kekayaan yang terdapat di daerah mereka adalah hak milik adat. Kekayaan alam ini tidak diizinkan untuk dijual, serta dimiliki oleh pihak ketiga. Konsep investasi yang berlaku disana hanyalah hak gadai yang bisa berakhir berdasarkan atas waktu tertentu.

”Jika ada investor yang ingin berinvestasi di pertambangan emas misalnya. Maka izin yang pertama harus didapatkan adalah melalui wali Nagari, kemudian baru pada Pemkab setempat. Lokasi penambangan biasanya juga tidak dijual sehingga masyarakat tidak hilang,”ucap Hardiman, Asisten I Bidang Pemerintahan Tanah Datar, kepada penulis.

Menurutnya, karena sistem ini yang digunakan oleh masyarakat Nagari, menyebabkan masyarakat setempat tidak pernah kehilangan atas hak kepemilikan tanah yang diturunkan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Masyarakat Nagari lebih cenderung mengunakan sistem bagi hasil dan gadai pada setiap ekpoitasi SDA mereka.

Sistem bagi hasil ini, kata Hardiman, paling banyak dipraktekan oleh masyarakat nagari di daerah mereka. Masyarakat Pemerintahan Nagari yang memiliki tanah dan SDA yang hendak di ekploitasi biasanya melakukan kesepakatan terlebih dahulu dengan investor tentang persentase bagi hasil nantinya.

”Masyarakat nagari memiliki SDA dan investor memiliki alat yang dapat melakukan ekploitasi. Dalam kasus ini antara investor dengan masyarakat memiliki hak sama, yaitu 50 banding 50. Nah, hasilnya nanti ini juga dibagi dua,”jelasnya.

Pemerintah daerah setempat, lanjut dia, biasa mendapatkan bagian dari hak yang didapatkan oleh nagari.

Kemudian, karena ekploitasi penambangan dilakukan pada tanah kesepakatan antara masyarakat dengan investor, maka mereka biasanya juga turut aktif mengawasi ekploitasi yang sedang berlangsung.

Menurut Hardiman lagi, pengawasan ini bertujuan agar kegiatan ekploitasi yang dilakukan tidak merusak kawasan hutan sebagai harta adat lainnya. Jika ini terjadi maka para investor akan diberikan sanksi adat, dan jika tidak dilunasi maka perjanjian tersebut batal dengan sendirinya.

”Keterlibatan aktif masyarakat ini akhirnya menguntungkan Pemkab Tanah Datar. Pemkab tidak harus bersusah payah untuk mengontrol ekploitasi proyek. Jika penambangan tidak sesuai maka masyarakat akan melaporkan sendiri,”tuturnya.

” Saat ini kita memiliki 75 Pemerintahan Nagari dan 14 Kecamatan serta 395 Jorong di Kabupaten Tanah Datar. Peraturan nagari telah membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga sumber daya alam yang ada tanpa harus ada penekanan dari pemerintah daerah,”pungkasnya.

Sementara itu, Zuwendra, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Datar menambahkan, bahwa dengan kembalinya sistem pemerintahan nagari di daerah mereka, membuat kerja para petugas dinas kehutanan bisa bernafas lega. Pemkab atau Pemprov setempat juga tidak harus mengeluarkan seruan moratorium logging seperti hlnya di Aceh.

”Disini kesadaran masyarakatnya tentang menjaga hutan udah sangat baik. Mungkin mereka telah mengganggap hutan sebagai harta kekayaan mereka sendiri sehingga tidak perlu adanya pemaksaan lagi,”kata dia.

Petugas dari Dinas Kehutanan, lanjutnya lagi, hanya perlu memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang pengelolaan hutan yan baik. Selain itu, juga penanaman kembali pada hutan yang sudah dirambah, terutama pasca penambangan dan sebagainya.

“Inipun jarang terjadi karena pengawasan masyarakat di tingkat Pemerintahan Nagari Sangat kuat,”ucapnya.

Menurut analisis penulis, kuatnya Pemerintahan Nagari di Sumatra Barat telah membangkitkan kesadaran para masyarakat lokal dalam menjaga hutan dan kekayaan alam yang mereka miliki. Kuatnya sistem ini juga terjadi karena adanya dukungan yang kuat dari pemerintahan setempat.

Jika kita mau berkilas balik dengan apa yang terjadi di Aceh. Pemerintah kita, baik tingkat Kabupaten dan Provinsi, jika kita mau mengakui secara jujur, bahwa terlihat jelas sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat lokal jika dibandingkan para investor. Hal ini yang kemudian membuat masyarakat apartis dalam melaksanakan pembangunan yang dirncang, bahkan ada yang membangkang sehingga tmbul sejumlah permasalahan yang menghambat pembangunan.

Keinginan dari pemerintah kita untuk menguasai semua sumber penambahan dan industri sebatgai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga sering kali mengikis kewenangan masyarakat kecil yang berada di sekeliling pusat industri. Kadang-kadang, untuk pelaksanaannya juga harus membuat peraturan yang menekan para masyarakat untuk bersikap taat.

Sikap ini jauh berbeda jika kita bandingkan dengan Pemerintahan Nagari di Padang yang kesadaran berasal dari masyarakat itu sendiri.

Kasus PLTA Singkarak, Contoh Untuk PT SAI dan Arun di Aceh
Walaupun sudah di buat Peraturan Nagari (Perna) yang harus ditaati, serta mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah daerah. masyarakat di Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat, sebenarnya juga pernah memiliki kasus yang hampir menuai sengketa panjang di negeri yang terkenal dengan jam gadang tersebut.

Kasus ini adalah kasus berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang bertempat di Danau Singkarak, Kecamatan Batipun Selatan.

Menurut Bamullah, Ketua Badan Musyawarah (Banmus) Pemerintahan Nagari Gugunk Malalo, Kecamatan Batipun Selatan. Kasus ini berawal ketika pemerintah setempat meminta kepada seluruh pemerintan nagari di daerah untuk membebaskan lahan guna mendirikan PLTA tersebut di daerah mereka.

”Awalnya kami pikir ini untuk kepentingan bersama sehingga sebahagian tanah adat adat kami sumbang sebagai lokasi PLTA. Namun dampak dari perusahaan ini akhirnya mengakibatkan debit air di daerah kami terus berkurang dan jalan terus longsor karena dilalui kenderaan berat,”paparnya.

Tidak haknya itu,lanjutnya, sejumlah nelayan yang mencari ikn seputaran danau juga mengeluhkan kian minimnya pendapatan yang mereka peroleh pasca adanya PLTA Singkarak.

”Kami akhirnya sepakat bernego dengan pihak PLTA. Kami meminta pihak PLTA untuk lebih tertib melakukan pembuangan sehingga tidak mengotori sungai,”katanya.

Sedangkan untuk mengatasi persoalan para nelayan, lanjut dia, beberapa nagari disekitar PLTA meminta agar perusahaan tersebut membayar setiap air yang mereka ambil. PLTA juga dituntut untuk mengutamakan warga sekitar sebagai karyawannya sehingga kesejahteraan masyarakat sekeliling PLTA bisa lebih makmur.

Namun, lanjutnya, hal ini tidak ditanggapi oleh pihak perusahaan tersebut. Masyarakat akhirnya memutuskan untuk menggelar aksi demotrasi besar-besaran, mulai dari lokasi tempat PLTA Singkarak, Kantor Bupati Tanah Datar hingga Kantor Gubernur Sumatra Barat.

”Pemerintah daerah ternyata merespon positif terhadap tuntutan masyarakat ini. Kini dalam rekrutmen pegawai, PLTA Singkarak selalu mengutamakan warga lokal, melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan pada peningkatan SDM masyarakat serta memberikan komvensasi sejumlah uang untuk setiap liter air yang diambil,”jelasnya.

”Hasil kovensasi ini kemudian dibagi sebanyak 30 persen bagi seluruh kabupaten di Sumatra Barat, 30 persen untuk kabupaten tanah datar, serta 40 persen lainnnya untuk nagari-nagari yang ada di sekitar plta yang mengalami dampak langsung dari keberadaan perusahaan tersebut,”akhirinya.

”Kami memang memberikan tanah untuk PLTA. Tetapi air juga harta kekayaan kami yang harus dibayar perliternya oleh perusahaan tersebut,”jelas dia lagi.

Menurut penulis, jika kita mau melihat uruta permasalahan yang terjadi di kasus plta singkarak, dalam kacamata Aceh. Kasus ini hampir sama dengan kasus sengketa warga Lhoknga Leupung dengan Perseroan Terbatas Semen Andalas Indonesia (PT-SAI) di Aceh Besar dan sengketa warga dengan PT Arun di Lhokseumawe.

Keberadaan PT. SAI di Lhoknga telah menimbukan dampak yang buruk bagi masyarakat sekitar. Debu yang dihasilkan dari parbrik semen tersebut telah mengakibatkan warga disana mengalami sesak pernafasan. Hal ini belum lagi ditambah dengan pengaruh debit air yang banyak berkurang karena aktiitas pabrik.

Namun, berbeda dengan akhir cerita PLTA Singkarak. Kasus sengketa antara warga Lhoknga dan Leupung dengan manajemen PT. SAI, ternyata masih juga harus berlangung hingga kini. Tuntutan pembayaran ganti rugi oleh warga ini masih belum dipenuhi semuanya oleh jajaran manajeman PT. Sai sehingga kian berpolemik.

Masyarakat lhoknga-Leupung juga pernah menuntut adanya pembayaran atas setiap liter air yang diambil dari daerah mereka oleh PT.SAI. Namun tuntutan ini tidak pernah terealisasi sehingga masyarakat sempat menghentikan aktivitas pekerja pengalian pipa air milik perusahaan itu.

Sedangkan kasus PT Arun yang terjadi di Lhokseumawe juga merupakan suatu permasalahan yang tak lepas dari kurangnya keberpihakan pemerintah setempat terhadap masyarakat lokal jika dibandingkan dengan investor. Hasilnya, keberadaan pabrik yang menjadi kebanggaan Pemkab Aceh Utara itu, ternyata malah tidak mampu mensejahterakan penduduk sekitar pabrik itu sendiri.

Ratusan masyarakat Lhokseumawe masih harus menerima nasib dengan status miskin. Padahal, sumber daya alam yang mereka miliki sangat banyak, yang jika bisa dikelola dengan arif dan bijaksana seperti halnya pemerintahan nagari, maka akan membawa kesejahteraan.

Tetapi, lagi-lagi, Pemerintahan Daerah ini juga sering kali melawan tuntutan masyarakat dengan ’pagar betis’ personil kepolisian.








Kesadaran dari masyarakat atau tekanan dari penguasa?
Salah satu contoh baik yang dapat diambil dari pengelolaan sumber daya alam dari pemerintahan nagari di Sumatra Barat, sebenarnya adalah penumbuhan sikap kesadaran masyarakat.

Sikap ini yang masih sangat sulit dicari dalam kehidupan masyarakat Aceh saat ini. Penyebab hal ini, menurut penulis, tak lain karena sikap atau keputusan yang diambil oleh pemerintah di Aceh sendiri, yang cenderung memaksa sebuat peraturan.

Hal ini tentu berbeda terbalik dengan konsep pemerintahan yang terjadi di Sumatra Barat dengan pemerintahan nagari-nya. Kepemimpinan yang menganut azas kepentingan musyawarat untuk mengambil sebuah keputusan.

Pemerintahan Aceh yang memiliki kelembagaan adat seperti nagari (mukim-red) seharusnya dapat memaksimalkan fungsi kelembagaan tersebut untuk tatanan sosial yang lebih baik. Amanah qanun mukim nomor 4 tahun 2003 dan Undang-Undang Pemerintah Aceh yang mengamanahkan kewenangan lembaga tersebut, harus dapat kembali dilaksanakan.

Kesadaran masyarakat Aceh untuk aktif mendukung pembangunan tidak akan pernah terjadi jika produk hukum di Aceh masih dilakukan pada tingkat pemberian tekanan. kesadaran ini tidak akan pernah ada jika bola dan gaya pemerintahan masih dipertahankan seperti ini.

Berkisar lagi pada konsep pemerintahan nagari. Peran yang paling besar sebetulnya terdapat pada tingkat dasar, yaitu mukim dan desa untuk Aceh. Sedangkan jajaran di atasnya hanya yang mengkoordinir pembangunan sempat.

Namun, yang terjadi di Aceh selama ini, pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh tingkat atas seperti kabupaten dan provinsi, seringkali terdapat bentrokan dengan jajaran yang dibawahnya. Akhirnya, pembangunan yang direncanakan tdak akan pernah terwujub.

Menurut penulis, jika gaya pemerintahan nagari yang bersikap penumbuhan kesadaran dan pengutamaan hak masyarakat lokal bisa dijalankan di sumatra barat. Kenapa tidak hal ini tidak dapat dilaksanakan di Aceh? Apalagi sistem pemerintahan yang serupa seperti mukim, sudah ada di Aceh.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york