Rabu, 28 April 2010

Pesona Abadi di Lubuk Baringin


“Desa ini unik dan memiliki fanorama alam yang sangat indah. Hijaunya dedaunan yang tak terjamah tangan manusia, suara percikan air dengan dipenuhi ikan dari lubuk larangan, serta rimbunnya hutan yang dipenuhi tumbuhan buah, membuatnya berbeda dengan daerah lain diseluruh Indonesia. Semua itu adalah sebuah pesona abadi dari desa yang hampir dilupakan oleh pemerintah berpuluh-puluh tahun,”

Lubuk Baringin nama desa tersebut. Daerah itu sebenarnya hanyalah sebuah desa (penduduk Jambi menyebutnya dengan nama dusun-red) terpencil yang terdapat di kaki Gunung Taman Nasional Kelinci Seblat, Kabupaten Muara Bungo, Provinsi Jambi.

Sama hanyalah dengan desa-desa terpencil di Provinsi Aceh. Desa atau dusun ini juga memiliki kendala berupa asset transfortasi serta penerangan. Dengan jumlah penduduk yang hanya mencapai 100 Kepala Keluarga (KK) membuat desa ini sudah lama ditinggalkan oleh pemerintah setempat.

Namun kesadaran dan adanya keinginan yang kuat dari penduduk setempat, telah mengubahnya menjadi tempat tinggal idaman bagi semua penduduk di negari ini.

Untuk menempuh ke desa ini, seseorang minimal harus menempuh jarak sekitar lima jam perjalanan dari pusat Ibukota Muara Bungo, Provinsi Jambi. Kemudian, para pengunjung juga diwajibkan untuk menempuh perjalanan darat dengan berjalan kaki lebih kurang 30 menit lamanya dari pusat kecamatan.

Lubuk Beringin terletak dipesisir Sungai Beutamboh dan Hutan Lebat Kelinci Seblat. Jalannya masih bertanah liar murni. Listrik pemerintahan belum pernah singgah ke daerah ini sejak masa penjajahan belanda hingga sekarang, termasuk sinyal untuk komunikasi melalui Hanphone.

Patroli kepolisian-pun paling banyak singgah di daerah ini maksimal satu kali dalam enam bulan karena lokasinya yang sangat jauh.

Tetapi keadaan seperti ini bukan berarti membuat masyarakat setempat pasrah. Kekreatifan dari masyarakat telah melahirkan konsep hidup lubuk larangan, Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air (PLTKA), serta hutan desa yang ditumbuhi ribuan pohon penghasil yang bisa dinikmati oleh siapapun.

“Dulu daerah ini sering banjir sehingga masyarakat sering gagal panen. Hal ini membuat pemerintah melupakan adanya desa ini dari peta Provinsi Jambi. Tidak pernah ada sarana transfortasi yang baik, penerangan serta jaringan komunikasi membut daerah ini terkurung berpuluh-puluh tahun. Berbeda dengan keadaan sekarang,”ucap Bahtiar, seorang tokoh desa setempat kepada penulis beberapa waktu lalu.

Kemiskinan yang mendera mereka berpuluh-puluh tahun, kata Bahtiar, telah membuat masyarakat setempat untuk bersatu dan berdirikari guna membangun daerahnya sendiri. Masyarakat tersebut kemudian menggelar sejumlah pertemuan untuk mencari penyebab kemiskinan yang menimpa mereka.

“Kesimpulannya kami harus bangkit dengan tangan sendiri. Kami harus berbenah tetapi tidak tahu harus memulai dari mana, dan tidak pernah ada guru. Ini yang kami lakukan saat pernah kali harus memulainya,”ucap dia lagi.

Hasil keputusan pertama, lanjutnya, Datuk Rio (panggilan untuk kepala desa-red) dan masyarakat sepakat untuk tidak lagi menebang kayu di hutan guna mengatasi banjir musiman. Masyarakat diminta merawat hutan dan menanam kembali daerah yang gersang di sepanjang desa dan hutan tempat mereka tinggal.

“Alhamdulillah sekitar tahun 1999 frekuensi banjir kemudian berkurang. Tetapi masalahnya kembali muncul, karena tidak menebang pohon maka masyarakat kehilangan pekerjaan sehingga kemiskinan tetap melilit warga,”tandasnya.

Untuk mengatasi ini, tambahnya lagi, masyarakat kemudian kembali menggelar pertemuan hingga akhirnya muncul konsep hutan desa, lubuk larangan, Koperasi Dahlia, serta PLTKA.

“Saat ini walaupun kehidupannya tidak semapan para penduduk di kota. Tetapi anak-anak kami sudah bisa menikmatinya sendiri dan melanjutkan pendidikan yang layak. Ini semua buah dari kesabaran penduduk bertahun-tahun dan keinginan untuk bangkit tanpa menunggu uluran tangan orang lain,”pungkasnya.

Penantian di Lubuk larangan
Masyarakat lubuk beringin memiliki sebuah sungai yang mereka namakan dengan Lubuk Larangan. Dinamakan lubuk larangan karena para penduduk dilarang untuk mengambil ikan di sungai tersebut sebelum adanya pengumuman dari pemimpin setempat dan tempo panen yang sudah disepakati.

“Jika ada yang melanggar dan mengambil ikan di lubuk larangan. Maka masyarakat tersebut wajib membayar satu ekor kambing,”ucap Muklis, Mantan Datuk Rio (kepala desa-red) Lubuk Baringin, kepada penulis.

Lubuk Larangan sendiri memiliki luas yang mencapai ratusan meter. Air yang mengalir di sungai ini bersih tetapi sedikit berombak. Hal ini menandakan bahwa banyaknya jumlah ikan yang sedang berenang di dalam sungai larangan tersebut.

“Biasanya panen lubuk larangan mendekati puasa atau ada acara khusus di dusun ini. ikan yang ditangkap cuma yang besar-besar dan dijual. Sedangkan ikan yang kecil dibiarkan tetap di sungai untuk di panen pada tahap selanjutkan,”tuturnya.

Hasil ikan pada sekali panen di sungai lubuk larangan, lanjutnya, berkisar ratusan juta. Uang ini kemudian dijadikan kas atau keuangan dusun (desa-red) yang dipergunakan untuk membangun Mesjid, Tempat Pengajian, Sekolah sWasta, Kantor Desa, serta Kantor Koperasi Dahlia, serta dua surau kecil.

Pada awal pelaksanaan penetapan Lubuk Larangan, kata dia, memang terdapat sejumlah pelanggaran. Namun karena kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin desa pada waktu itu, membuat pelaksanaan berlangsung hingga sekarang. Adanya pembangunan dari hasil lubuk larangan juga membuat penduduk makin yakin atas konsep yang disepakati bersama.

“Intinya ini untuk kepentingan bersama. Jika kita berharap pada pemerintah maka tentu tidak mungkin. Bagi pelanggar pun yang kita hukum ada Ninik Mamak-nya (keluarga-red) sehingga kalau pelanggar tidak sanggup, maka yang kena sangsi adalah orang tuanya dan seterusya ke atas,”tandas Muklis.

“Hasilnya kini kita sudah ada pembangunan walaupun sedikit. Ini sikap kemandirian yang cba kami warisankan untuk anak cucu,”akhiri dia.

Keunikan dari PLTKA
Tidak adanya penerangan merupakan permasalahan tersendiri yang harus dihadapi oleh penduduk Lubuk Beringin. Keadaan ini dirasakan justru pada saat perayaan kemerdekaan yang hampir mencapai 65 tahun di Indonesia, tetapi bagi penduduk setempat, mereka belumlah merdeka dalam hal listrik.

“Karena keadaan seperti ini berlngsung terus menerus membuat kami harus berputar otak. Kami berpikir jika berharap pada pemerintah maka tidak akan pernah menikmati listrik seumur hidup sehingga muncul konsep PLTKA, karena hanya tenaga itu yang ada di sini,”ungkap Ketua pengurus Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air (PLTKA), Ballgaini, kepada penulis.

Menurutnya, awalnya terwujub pltka adalah bantuan dari salah satu lembaga swasdaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pengembangan masyarakat ang berkantor di Jambi. Lembaga ini mendonorkan dana sebesar Rp30 juta untuk pembelian mesin PLTKA yang digunakan masyarakat pada saat ini.

“Sedangkan untuk kincir airnya kita gunakan kayu dan hasil gotong royong dari masyarakat. Kita tidak pernah melihat contoh pembangkit listrik yang ada di daerah lain serta bekerja berdasarkan insting pribadi dan pengetahuan dasar. Setelah dibongkar pasang beberapa kali, baru kemudian keluar apinya,”ucap pria yang berstatus guru ini.

Dalam perjalananya, kata pria ini, peminat fasilitas dari PLKTA di daerah mereka ini sangat banyak, tetapi kapasitas arus yang dihasilkan oleh pltka, hanya untuk 50 KK.

Kemudian, lanjutnya, sama halnya dengan peristiwa yang berlaku pada pelanggan pln di daerah lain, pelanggan PLTKA ternyata juga malas membayar iuran yang diwajibkan perbulannya.

“Hasilnya, ada belasan juta yang masih menunggak pada pelanggan. Padahal, untuk perawatan membutuhkan jutaan. Musyawarah desa kemudian memutuskan untuk melakukan ‘pemutihan’,”tutur pria yang berprofesi sebagai pns ini sambil tertawa.

“Tapi yang jelas dari pltka ini banyak hikmah yang dapat kami ambil. Pertama kemandirian tanpa harus berharap pada pemerintah, serta ilmu pengelolaan yang jarang diajarkan,”ucap dia sambil berfilosofi.


Hutan Desa Sebagai Produksi
Desa lubuk baringin dikenal dengan konsep hutan desa yang pertama di indonesia yang disahkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia, MS Kaban. Pengesahan ini ditegaskan berdasarkan surat keputusan Bernomor 109/Menhut II/2009.

“Adanya SK Menteri ini sendiri bukanlah hal yang mudah yang didapatkan oleh masyarakat. Ini adalah hikmah yang diperoleh warga lubuk baringin setelah menjaga hutan bertahun-tahun tanpa pamrih,”ucap Bahtiar, tokoh masyarakat setempat.

Menurutnya, luas hutan desa yang pengelolaannya diserahkan pada masyarakat lubuk baringin adalah 2.356 hektar. Hutan desa ini kemudian di tanah berbagai jenis tumbuhan seperti karet, durian, rambutan, salak, serta sejumlah tanaman produksi lainnya.

“Kita mengembangkan konsep tebas, tebang dan tanam. Maksudnya, tebas semak belukar, kemudian tanam tanaman penghasil. Alhamdulillah saat ini kita sudah mendapatkan hasilnya. Siapapun masyarakat dan anak cucu yang ingin mengambil hasil dari hutan desa, baik untuk dijual maupun untuk di makan, bebas sesuka hati,”ucap ketua pengelola hutan desa, Muklis, lagi.

Kata dia, hutan desa telah memberikan komoditi serta sumber mata pekerjaan bagi warga lubuk beringin. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan saat masyarakat sebelum mengerti sepenuhnya manfaat hutan dan hanya bisa melakukan penebangan hutan secara sembarangan.

“kami berpikir, kalau cuma menebang hutan, maka yang mengambil untung hanyalah para Cukong kayu. Jadi mending kami tanam tanaman bermanfaat yang bisa diwarisi oleh anak cucu secara turun temurun,”tandas dia lagi.

“Jika ada masyarakat yang menebang pohon yang bermanfaat serta yang dapat menyerap air, maka dia akan dikenakan sangsi adat. Ini yang penting,”jelasnya.

“Kedepan kita juga berencana membuka pabrik getah karet disini dengan bantu koperasi yang kita bangun. Mudah-mudahan ini bisa membuka pekerjaan bagi warga disini dan sekitar,” tutur Bahtiar lagi.



Buah Dari Kesabaran Lubuk Baringin
Apa yang didapatkan oleh warga lubuk baringin saat ini, bisa dikatakan adalah buah dari kesabaran mereka selama bertahun-tahun. Keinginan warga untuk tidak menebang pohon dan melestarikan hutan telah melahirkan hutan desa yang kini jadi sumber mata pencarian dari penduduk setempat.

Seandainya kesadaran tersebut tidak muncul dan penabangan hutan masih dilakukan hingga saat ini, maka otomatis bukanlah berkah yang didapatkan, melainkan banjir yang didapati.

Selain itu, kesabaran masyarakat Lubuk Baringin untuk mengatur perkembangan desanya tanpa terus memangku harapan dari masyarakat juga telah menimbulkan sikap kemandirian dari warga. Sebaliknya, sikap tersebut tentu tidak akan pernah mereka dapatkan jika masih harus tergantung pada pmerintah.

Dalam sejarah daerah-daerah maju, keberadaan sumber daya alam selalu menjadi faktor yang terakhir, seperti Negara Singapura. Yang diutamakan oleh daerah-daerah tersebut adalah kemandirian dan peningkatan Sumber Daya Manusianya (SDM) yang tinggi.

Hal ini yang coba diterapkan di Lubuk Baringin, Provinsi Jambi. Masyarakat di dusun setempat kini berame-rame mengirim anaknya untuk sekolah di luar daerah, seperti Ibukota Jambi, Padang, Medan dan Aceh.

“Suatu saat mereka harus pulang ke daerahnya untuk melakukan pembangunan,”tandas Muklis.

Hikmah Lubuk Baringin Untuk Aceh
Pasca gempa dan gelombang tsunami yang menimpa Aceh pada 26 Desember 2004 lalu, provinsi terasa jadi daerah yang paling diperhatikan oleh semua negara di dunia. Bantuan yang mengalir ke daerah ini sangat banyak dan berduyung-duyung.

Namun banyaknya juga bantuan ini ternyata tidak mampu membuat Aceh bisa jauh lebih baik dari daerah lain. Tingkat pengangguran di Aceh tetap lah tinggi hingga sekarang, ekonomi masyarakat banyak yang hancur, termasuk kesempatan kerja yang sempit.

Banyaknya bantuan yang mengalir telah membuat masyarakat Aceh jadi terbuai dan malas. Hal ini tentu berbeda dengan kehidupan masyarakat di lubuk baringin yang bisa mandiri ditengah ketika peduli pemerintah setempat.

Tatanan kehidupan masyarakat Aceh yang pantang menyerang melawan penjajahan terasa hilang dengan datangnya banyak bantuan paca tsunami. Kini, masyarakat aceh bahkan tidak segan-segan meminta uang pada setiap lsm, atau perwakilan pemerintahan yang datang ingin membuat suatu kegiatan.

Aceh kini, sama dengan kondisi lubuk baringin dulu. Namun Lubuk Baringin sekarang tidak sama dengan Aceh kini. Walaupun dari luas daerah maupun status jelas terdapat perbedaan jauh.

Jika kita ingin belajar, maka semangat pantang menyerah dari masyarakat Aceh harus kembali di tingkatkan. Jika ini ada, bukan cuma lubuk baringin yang bisa disamakan satu tingkat dengan Aceh, tetapi juga negara-negara maju lainnya di dunia.

1 komentar:

PENGELOLA HUTAN ADAT mengatakan...

mantap... lubuk beringin luar biasa... dah wajar yang terbaik di dunia iniii....

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york