Sabtu, 30 April 2011

Self Government Made In Indonesia


Sejak tahun 2005 lalu Aceh dikatakan telah memiliki wewenang untuk mengatur pemerintahan sendiri alias Self Government. Namun realita yang terjadi, kewenangan yang diagung-agungkan kalangan elit di Aceh tersebut tidak kunjung diperoleh hingga enam tahun usia perdamaian berjalan.

Kata-kata Self Government memiliki arti yang luas. Namun dalam bahasa kasarnya, Self Government adalah suatu pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah untuk mengatur pemerintah sendiri, kecuali menyangkut tiga kebijakan moneter atau keuangan, keamanan, serta kebijakan luar negeri.

Artinya, diluar ketiga hal tadi, daerah ini seharusnya berhak untuk mengurus diri sendiri. Salah satu contohnya adalah daerah ini berhak memiliki lambang, bendera serta lagu kebangsaan sendiri sebagai simbol seperti halnya Puerto Rico di Negara Amerika Serikat.

Sayangnya, membandingkan implementasi Self Government di Aceh dengan Puerto Rico bagaikan langit dan bumi. Dimana, kewenangan Self Government yang dimiliki Aceh saat ini masih jauh dari apa yang diharapkan oleh rakyat. Implementasi Self Government ‘produk hukum’ made in Negara Indonesia ini juga jauh berbeda dengan daerah-daerah yang memiliki kewenangan serupa.

Dalam catatan sejarah dunia, banyak daerah yang telah diberikan wewenang dalam menjalankan self government. Negara-negara tersebut, seperti negara Malaysia untuk Serawak dan Sabah, Monaco, Greenland, Tibet, Negara Amerika untuk Puerto Rico serta yang terakhir adalah Indonesia untuk Aceh.

Dalam memperjuangkan hal ini, semua daerah-daerah tadi membutuhkan waktu yang relatif lama dan sikap tegas terhadap pemerintah pusat. Hal inilah yang mungkin perlu dicontoh oleh Pemerintah Aceh kedepan.

Sebenarnya, sejak adanya penandatangan MoU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republic Indonesia pada 15 Agustus 2005 lalu, Aceh telah didengung-dengungkan memiliki kewenangan berupa Self Government. Tetapi, karena ketiadaan pembahasan mengenai pola dan format yang tepat untuk menerjemahkan kata-kata self government dalam wujub nyata menyebabkan penerapan ide ini menjadi kendala dikemudian hari, dan terbukti.

Menurut Nur Djuli, salah satu tokoh Aceh yang terlibat dalam perundingan melalui opininya yang pernah dimuat salah satu media harian local di Aceh, kata-kata Self Government untuk pertama kali muncul dan diperkenalkan oleh Marti Ahtisaari selaku mediator perdamaian Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia di Helsinki. Dalam opininya, Self-Government’ disebutkan sebagai kewenangan yang berada satu tingkat di atas otonomi khusus.

Sedangkan daerah yang pernah menjalankan kewenangan ini, dicontohkannya seperti Pulau Aalan atau Olan di Finland yang berpenduduk 95 persen orang Swedia. Dimana, bahasa resmi daerah itu adalah bahasa Swedia, berbendera sendiri, serta disebutkan semua kapal angkatan laut dan pesawat udara Finland harus meminta izin pemerintah Olan terlebih dahulu sebelum masuk atau melintasi perairan atau ruang udara Olan.

Kewenangan ini selanjutnya diiyakan oleh perwakilan RI yang hadir, Hamid Awaluddin. Namun tindaklanjut dari kesepakatan inilah yang kini ditunggu realisasinya oleh masyarakat Aceh. Dan, hal inilah yang tidak pernah dapat diraih selama ini.

Masih Bisa di Hapus dan setingkat otonomi khusus
Pemerintah Pusat di Jakarta dianggap masih memungkinkan untuk menghapus kebijakan Self Government atau perlimpahan kewenangan dalam mengatur pemerintahan sendiri bagi Aceh. Pasalnya, kekhususan yang diberikan untuk Aceh pasca adanya perjanjian MoU di Helsinki tersebut, ternyata belum dimasukan dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pijakan hukum di Negara ini.

Hal inilah yang kemudian dikeluhkan oleh banyak aktivis dan pakar hukum yang berada di Aceh saat ini. Salah satunya, adalah Safaruddin, aktivis partai lokal Suara Independen Rakyat Aceh.

“Banyaknya kewenangan Aceh yang masih terbonsai. Seharusnya Self Government yang diberikan kepada Aceh harus dimasukan dalam UUD 1945. Hal itu merupakan penghargaan terhadap bergabungnya Aceh dalam bingkai NKRI, serta bukan kompensasi terhadap kelompok tertentu seperti sekarang,”ungkap Safaruddin selaku Ketua Tim Advokasi Partai SIRA, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Menurutnya, masyarakat harus sadar bahwa Aceh memiliki catatan buruk mengenai sejumlah gelar dan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat yang kemudian dicabut sejak masa Presiden Sukarno hingga sekarang. Hal yang sama juga diprediksikan akan terulang beberapa tahun kedepan jika Self Government tidak segera dalam UUD 1945 sebagai hukum dasar.

Sedangkan Kekhususan Aceh seperti yang diatur dalam UUPA saat ini terbukti tidak peka terhadap permasalahan yang terjadi saat ini. Dimana pada setiap point keistimewaan Aceh dalam UU tersebut, selalu di ikuti dengan kata-kata seperti ‘akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan yang ada’ yang pada akhirnya menimbulkan benturan-benturan kepentingan, serta berakhir dengan timbulnya konflik baru.

Terlebih, beberapa kebijakan yang sudah di sepakati dalam MoU Helsinki dan UUPA pun tidak mampu terimplementasi. Hal ini seperti pembentukan Pengadilan HAM, Pembebasan Tapol/Napol, pembentukan KKR, dan Komisi Klain korban korflik.

Hal ini terkendala karena semuanya harus menunggu turunan aturan sesuai dengan UU No 10 tahun 2004 tentang Peraturan pembentukan perundangan, dan inilah yang membuat Aceh merasa dirugikan.

“Momentum adanya usulan Amandemen UUD 1945 ini, SIRA akan mengajukan beberapa konsep keistimewaan Aceh yang harus di muat dalam UUD 1945 agar ‘Self Government’ dan ‘Istimewa’ Aceh terjadi dalam bingkai NKRI serta sejarah buruk tidak lagi terulang,”ungkap Safaruddin.

Partai SIRA, ungkap pria yang berprofesi sebagai advokat ini, mendukung upaya untuk mengamandemen UUD 1945. Selain Capres Independen yang akan di perjuangkan juga ini merupakan celah masuk untuk kembali memperkokoh kekhususan Aceh dalam bingkai NKRI.

Pasca penandatanganan MoU Helsinki pada 15 agustus 2005 yang kemudian akan di implementasikan butir butirnya dalam UU No 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, namun kenyataannya masih banyak hal hal yang sudah disepakati tidak dilaksanakan dengan konsisten, bahkan dalam UUPA sendiri masih terjadi kesalah pahaman antara masyarakat, Pemerintah Aceh, DPR Aceh dan Pemerintah Pusat.

‘Saat ini juga menjadi hal yang harus dipertegas,karena selama itu ke Istimewaan Aceh seperti menanam tebu di pinggir bibir,”akhirinya.

Sementara, di tempat yang berbeda tokoh Aceh lainnya menilai kewenangan yang dimiliki oleh Provinsi Aceh pasca penandatangan MoU di Helsinki dan genjatan senjata itu belum layak dan pantas untuk disebut Self Government atau kebebasan dalam mengelola pemerintahan sendiri.

kewenangan yang sudah dimiliki saat ini dianggap masih setara dengan otonomi khusus yang sudah pernah diterapkan sejak awal tahun 2000 lalu.

“Memang benar kalau Aceh dikatakan sudah memiliki kewenangan penuh dalam menerapkan Self Government atau mengatur pemerintahan sendiri setelah penandatanganan MoU Helsinki. Namun dalam aplikasi di lapangan, kewenangan yang diberikan masih setara dengan otonomi khusus,”ungkap Yusra Habib Abdul Ghani, tokoh Aceh di Eropa.

Menurutnya, saat ini ada sejumlah negara yang telah memberikan kewenangan berupa Self Government bagi daerah kekuasaanya di dunia. Namun dari semua daerah yang memiliki kewenangan berupa Self Government tersebut, Provinsi Aceh dinilai paling beda dari yang lainnya.

Kewenangan dan posisi Self Government Aceh dalam aplikasinya dianggap masih sebatas otonomi yang kapan saja bisa dicabut oleh pemerintah pusat.

Tidak hanya itu, sejumlah perjanjian yang pernah disepakati oleh antara perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia dalam MoU Helsinki, ternyata juga belum sepenuhnya ditepati.

”Jika sudah Self Government, seharusnya kita memiliki bendera dan lagu kebangsaan sendiri yang berbeda dengan pemerintah pusat. Ini terjadi di Puerto Rico, dimana pada setiap event internasional, mereka selalu menyanyikan lagu daerah serta menghormati bendera sendiri, bukan Amerika,”ucap pria kelahiran Aceh Tengah ini.

Seharusnya kewenangan pemerintah pusat terhadap Aceh pasca Self Government, hanyalah meliputi kebijakan moneter atau keuangan, keamanan, serta kebijakan luar negeri. Namun yang terjadi, saat ini semua yang berkenaan dengan Aceh masih diatur pusat.

”Sayangnya, saya sudah menjadi warga asing untuk Aceh, jadi tidak bisa berkomentar lebih. Tapi, kalau ada yang terlibat dalam penandatangan MoU disini (seminar-red), bisa langsung kita kritik,”akhiri dia.

Menurut penulis, pendapat dari dua tokoh ini layak menjadi masukan atau saran yang berarti bagi semua elit politik yang ada di Aceh saat ini. Penerapan Self Government sesuai cita-cita adalah harapan dari semua masyarakat di Aceh. Mengenai tahapan atau proses yang harus ditempuh juga sangat memerlukan kerja keras dari semua pihak.

Sikap tegas dari Pemerintah Aceh dan kemauan kuat dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah ini juga perlu dikedepankan. Jangan sampai, kasus ini dibiarkan berlarut sehingga muncul opini negatif di kalangan masyarakat Aceh sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi terancam.

Dalam banyak kasus yang terjadi, konflik yang pernah terjadi di negara-negara dari berbagai belahan dunia berpotensi terulang dalam siklus waktu 10 tahunan. Penyebabnya, adalah tidak terlaksananya poin-poin perjanjian yang pernah disepakati, dan hal ini juga terjadi pada kasus Aceh.

Perdamaian di Aceh saat ini memasuki tahun ke enam. Artinya, masih tersisa empat tahun bagi pemerintah pusat untuk menyelesaikan utang janjinya kepada rakyat Aceh yang sejak dulu menjadi modal kemerdekaan negeri ini. Empat tahun ini akan terasa singkat jika dilalui dengan saling curiga seperti yang terjadi selama ini. Namun kita berharap, Aceh akan selalu damai selamanya.

Sabtu, 23 April 2011

Menanti Makna Dibalik Taubatnya Sang Pengembala


Hari itu, Jum’at (22/4) bertepatan dengan hari paskah bagi umat Kristiani. Namun Zainuddin bersama 129 pengikutnya justru memadati Mesjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh. Sang pengembala itu berikral untuk kembali kepangkuan islam.

Zainuddin memakai baju biru, berpeci serta sarung. Demikian juga dengan ratusan pengikutnya yang datang dari berbagai daerah, seperti Matang, Sigli dan Lhokseumawe serta Langsa. Jika dilihat sekilas, mereka seumpana alumni dayah atau pesantren yang baru selesai turun pengajian.

Rata-rata dari pengikut Millah Abraham memakai baju merah dan biru seperti halnya Zainuddin, sang ’pengembala’ mereka selama ini. Para pengikut ini juga masih terlihat polos dan berumur rata-rata 19 hingga 25 tahun.

Pada awal-awal pensyahadatannya, pengembala itu dengan tutur kata yang relatif lembut mengaku bersalah karena ajaran sesatnya selama ini. Dia berjanji akan meninggalkan semua yang ajaran yang pernah dia pelajari dan diajarkan pada orang lain.

"Selama ini saya berguru pada orang yang salah. Oleh karena itu, saya akan menyatakan pada pengikut, bahwa ajaran yang selama ini saya berikan pada mereka selama ini, menyimpang dari yang sebenarnya," katanya.

Beberapa pengikut yang mendengarkan pengakuan ini tertunduk, ada juga yang menatap tiang-tiang mesjid dengan padangan yang kosong. Tapi, sebahagian besar dari mereka terlihat bersikap wajar, seolah-olah tidak terjadi apa-apa selama ini.

Zainuddin berkisah dirinya sempat menetap di Jakarta. disana, dia pernah berguru pada seseorang yang memandang semua agama di dunia memiliki posisi sama. Pria itu juga membahas Injil, Taurat, Zabur dan Al-Quran, secara bersama yang kemudian diajarkan kepada dirinya dan diteruskan pada ratusan para pengikut baru di Aceh.

“Setelah di penjara saya banyak bersujud dan solat malam. Saya bermimpi bahwa apa yang saya ajarkan selama ini tidak sesuai dengan Al-qur’an dan Hadist. Setelah kenjadian itu, saya berbicara dengan polisi dan meminta untuk dikembalikan ke ajaran islam, termasuk mengajak pengikut untuk taubat,”ungkap dia yang mengaku sangat menyesal.

Diluar ikral tersebut, kenjadian yang menimpa Zainuddin ini sebenarnya sungguh mirip dengan kisah Ahmad Musadeq, pimpinan aliran Al-qiyadah Al Islamiyah yang pernah mengaku rasul pada awal-awal tahun 2006 lalu. Tetapi, karena banyaknya ancaman saat itu, dirinya kemudian mengaku bertaubat, pada 9 November 2006.

Didampingi dengan tiga tokoh ulama nasional, KH Agus Miftach, Bachtiar Aly, Said Agil Siroj, dan tim dari MUI, akhirnya Ahmad Mushaddeq menyatakan pertaubatannya di Mapolda Metro Jaya. Pertaubatannya ini disusul dengan taubat massa ribuan pengikutnya pada tempat-tempat yang berbeda.

Aliran yang pernah dibawah oleh Ahmad Musadeq pada tahun 2006 lalu dengan yang diajarkan oleh Zainuddin memiliki banyak kesamaan 100 persen, demikian juga nasib mereka berdua. Bahkan, nabi yang diakui oleh Zainuddin dan pengikutnya adalah Ahmad Musadeq.

Kini, dua sosok pengembala ini ’mengaku’ telah kembali bertaubat. Di masa Ahmad Musadeq, biarpun dirinya di bui selama 5 tahun karena melakukan penistaan agama, ajaran yang pernahnya diajarkan tetap berkembang hingga ke Seramoe Mekkah. Sedangkan makna dari taubat Zainuddin masih ditunggu ’harap-harap cemas’ oleh masyarakat Aceh.

Sedangkan Kapolresta Banda Aceh, Armen Syah Thay menyatakan, pihaknya akan tetap memproses hukum terhadap Zainuddin yang telah melakukan penistaan agama. ” Mereka akan diancam dengan hukuman penjara paling lama 5 tahun sesuai pasal 156 KUHP tentang penistaan agama,”ujar dia.

Senin, 11 April 2011

Putroe Phang Mencari Pewaris Tahta


Kisah cinta Sultan Iskandar Muda dengan permaisurinya Putroe Phang selalu menarik perhatian masyarakat Aceh. Gunongan dan Taman Putroe Phang di Kutaradja merupakan bukti abadi yang lahir dari cinta kasih mereka. Karena cinta ini pula sang Putroe Phang mencari ’kembali’ jejak sultan di Seramoe Mekkah.

Kalimat tadi bukanlah berarti bahwa permaisuri raja tersebut kembali hidup dan mencari kuburan sang suaminya, di awal tahun 2011 ini. Tulisan ini juga tidak sedikit pun akan menyentuh pembahasan tentang Sultan Iskandar Muda, melainkan membahas pewaris tahta terakhir mereka.

Tulisan ini, penulis mulai dari keinginan pihak berwenang dari Kesultanan Negeri Pahang Malaysia, Kamis (31/3) lalu, yang mengaku sedang mencari pewaris tahta murni kerajaan Aceh atau keturunan terakhir dari Sultan Mahammad Daud Syah.

Untuk menjalankan niat mereka ini, Kesultanan Pahang Malaysia, bahkan langsung mengutus Putrinya yang bergelar Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj untuk ikut bersama rombongan ke Aceh.

Menurut pengurus Kerajaan Pahang, cacatan sejarah mengenai keturunan sultan terakhir Aceh ini dinilai banyak yang sengaja dikaburkan sehingga menyebabkan banyak pihak minim informasi tentang hal tersebut. Selain itu, juga banyak pihak yang mengaku sebagai keturunan raja Aceh yang terakhir.

”Kesultanan Aceh sejak dulu sangat megah. Namun informasi sejarahnya yang kami dapatkan terputus hingga Sultan terakhir Muhammad Daud Syah. Kami tahu, ada keturunan dari Sultan Mahammad Daud Syah. Atas dasar tersebut, kami mencoba mencari tahu soal kebenaran tersebut dan baru kami temukan sekarang,”ungkap Kerabat Kesultanan Pahang Malaysia, Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj, di Hotel berbintang, Hermes Palace di Kota Banda Aceh.

Pada kesempatan tersebut, Putri Pahang menjamu sosok bernama Tuanku Raja Yusuf Bin Tuanku Raja Ibrahim Bin Sultan Mahammad Daud Syah, di ruang pertemuan Hermes Palace. Keduanya kemudian kembali membahas sejarah dan hubungan mesra yang sempat terjalin antara Pahang dengan Aceh.

Menurut putri Sultan Iskandar atau Raja Pahang Malaysia ini, Aceh sebenarnya merupakan sebuah daerah yang kaya akan budaya serta peninggalan sejarah. Salah satunya, adalah gunongan dan taman yang diperuntukan kepada putroe phang atau putri pahang, atau indatu dari Tunku Hajjah Azizah yang berstatus sebagai Putri Pahang saat ini.

”Makanya saya senang datang ke Aceh karena ada taman yang dibuat khusus di sini,”canda Tunku Hajjah Azizah di sela-sela makan.

Selama seminggu di Aceh, lanjut dia, dirinya menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak, termasuk Pemerintahan Aceh. Dan selama seminggu pula, banyak pihak yang mengaku keturunan sultan mencoba jumpai dengannya.

Setelah melalui berbagai pertemuan tersebut, terutama dengan pakar sejarah yang ada di Aceh. Dirinya mengaku baru bisa menyimpulkan siapa keturunan murni dari Sultan Aceh yang terakhir. Sosok tersebut adalah Tuanku Raja Yusuf.

Sosok Tuanku Raja Yusuf adalah cucu murni dari Sultan Muhammad Daud Syah. Namun anehnya, keberadaan sosok ini terkesan sengaja dihilangkan dari cacatan sejarah Aceh. Masyarakat di Aceh seharusnya lebih mengetahui sejarah bangsanya dibandingkan dengan warga luar seperti dirinya.

Anehnya lagi, masyarakat Aceh saat ini justru lebih mengenal jabatan Wali Nanggroe ketimbang cucu sultan yang sah.

Kerajaan Aceh dengan Pahang, lanjut dia, memiliki hubungan sejarah yang paling emosional. Hubungan ini tidak hanya terjadi karena perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Putri Pahang.

Hubungan Aceh-Pahang sudah terjalin sejak abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Kerajaan Pahang atau Pahang Darul Makmur merupakan salah satu negara bagian di Malaysia.

Sebagian besar negeri Pahang diselimuti hutan dan sebagian besar Taman Negara terletak dalam negeri Pahang. Pahang merupakan sebuah negeri ber-raja.Wujudnya negeri Pahang adalah sebelum wujudnya kerajaan melayu Melaka. Pahang mempunyai susur galur tamadun yang panjang, sejak dari zaman pra-sejarah lagi. Dahulunya kerajaan Pahang digelar Inderapura.

Negeri Pahang Darul Makmur ialah sebuah negeri yang terbesar di Semenanjung Tanah Melayu dengan luas 35.515 kilometer persegi. Kemasyhuran dan kehebatan namanya pada masa lalu menjadi rebutan kerajaan yang ada di sekelilingnya. Pada masa ini Pahang adalah negeri di Semenanjung yang terbagi atas sebelas daerah yaitu Kuantan, Pekan, Rompin, Maran, Temerloh, Jerantut, Bentong, Raub, Lipis, Cameron Highlands dan Bera. Sedangkan penduduknya pula terdiri dari berbagai kaum dan bangsa.

Sebenarnya, bagi orang Aceh, negeri Melaka (Malaysia-red) atau kerajaan Pahang khususnya, tidaklah asing. Kerajaan Aceh Darussalam bahkan pernah terlibat dalam perang dengan Portugis selama 130 tahun (1511-1641) hanya untuk membebaskan daerah tersebut dari jajahan Portugis.

Menurut sejarah Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dengan armada Cakra Donya-nya berhasil membebaskan Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu dari penjajahan Portugis dan menjadi bagian dari kerajaan Aceh. Laksamana Malem Dagang berhasil mempersatukan wilayah Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu. Disinilah kemudian terbangun kampung etnis melayu di Aceh dan kampung Aceh di Pahang.

Hubungan Aceh dengan Pahang kemudian dilanjutkan pada masa sultan Muhammad Daud Syah. Dimana, disaat ibukota Aceh dipindahkan ke daerah Keumala di Pidie, Sultan Abubakar yang menjadi Raja Pahang pada saat itu, pernah beberapa kali mengirimkan utusan ke wilayah Keumala. Tujuannya, untuk memperkuat hubungan antar kedua kerajaan.

”Selaku keturunan Sultan Abubakar, saya juga ingin kembali memperkuat hubungan dengan Aceh,”tandas perempuan yang memiliki gelar Kebawah Duli Yang Teramat Mulia Tengku Puan Pahang, usai menjelaskan panjang lebar.

Sementara itu, bagi Tuanku Raja Yusuf, diakhir jamuan makan, mengaku dirinya tersanjung dengan keterangan dari Kesultanan Pahang Malaysia. Menurut dia, posisi dirinya dan keluarganya saat ini sangatlah tidak sebanding jika disandingkan dengan keluarga kesultanan Pahang.

”Rakyat Pahang masih mengakui raja mereka. Namun disini sudah tidak berlaku lagi,”tutur tuanku Raja Yusuf.

”Saya ini telah lama menjadi rakyat biasa, bahkan sejak lahir. Saya juga tidak mau mengaku-gaku sebagai keturunan sultan demi mendapatkan kemegahan dan ketenaran. Silahkan saja, orang lain yang mengaku. Tapi, atas kehormatan yang diberikan Kesultanan Pahang Malaysia, saya ucapkan ribuan terimakasih,”ungkap Raja Yusuf lagi.

Dalam pertemuan ini juga dihadiri keluarga dari pihak Kerajaan Pahang lainnya dan kelurga dari Tuanku Raja Yusuf, serta didampingi oleh Tuanku Maimun serta Tuanku Aswan, cucu dari Teuku Hasyim Banta Muda yang pernah menjadi Wali Nanggroe sewaktu Sultan Muhammad Daud Syah masih kecil.

Kerajaan Pahang juga mengundang para keturunan Sultan untuk mengunjungi pihaknya dalam waktu yang dekat ini. Namun undangan ini tidak dapat langsung dijawab oleh Tuanku Raja Yusuf. Pasalnya, pria yang berstatus PNS biasa disalah satu dinas tingkat Provinsi Aceh ini mengaku masih memiliki tanggungjawab yang besar pada negara ini.

”Undangan ini sangat memuliakan kami sekeluarga. Kami pasti memenuhi undangan ini, tetapi tidak dalam waktu dekat. Soalnya, saya sekarang adalah abdi negara biasa,”pungkas dia.


Keturunan Sultan Dan Rupiah
Sementara itu, Menurut M. Adli Abdullah, Mantan Panglima Laut Aceh, yang juga gemar menulis tentang sejarah Aceh, yang hadir dalam pertemuan dua kerabat raja tersebut, mengaku bahwa keberadaan sejumlah pihak yang mengaku keturunan sultan terakhir memang sering terjadi. Faktor ini dikarenakan kemuliaan dan rupiah yang melimpah yang dapat mereka peroleh dengan prilaku tersebut.

”Banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai keturunan sultan terakhir dan wali saat ini. Ini semua dilakukan untuk kepentingan politik pihak tertentu yang unjung-unjungnya adalah memperoleh rupiah,”tutur Dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Menurutnya, tindakan dari Kerajaan Pahang yang sengaja mencari keturunan murni dari sultan terakhir Aceh adalah suatu hal yang langkah. Dimana, cara ini justru tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah Aceh sendiri, selaku kaki tangan dari pemerintah pusat di Jakarta.

Selama puluhan tahun, lanjut dia, rakyat Aceh diharuskan hidup ditengah-tengah kebingungan dan ambisi pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai daerah ini walaupun harus menghapus cacatan sejarah bangsanya. Faktor ini kemudian berimbas dengan hilangnya pengakuan rakyat terhadap kesultan Aceh, serta beralih ke wali nanggroe.

”Rakyat Aceh seharusnya mengambil contoh dari sikap negeri pahang. Dimana, mereka tidak lupa akan sejarah bangsanya dan sejarah daerah mereka dengan Aceh,”ungkap dia.

Sementara itu, menurut penulis, dalam cacatan sejarah Aceh, posisi Wali Nanggroe sebenarnya diperuntukan untuk orang tertentu ketika daerah ini sedang terjadi krisis atau perperangan. Namun ketika Aceh sudah kembali aman seperti sekarang, maka seharusnya posisi wali dengan sendirinya menjadi gugur dan daerah ini dikembalikan pada sultan atau pewarisnya.Namun, yang berlaku di daerah ini, malah sebaliknya sehingga nasibnya kian tidak jelas hingga kini.

Selasa, 05 April 2011

Calon Mantu


Sudah dua hari terakhir ini, Yusuf tampak uring-uringan. Wajahnya sering cemberut dan tampak pucat. Sang orator ulung kala masih berstatus mahasiswa ini juga sering kali terlihat sedang melamun di kamar rumahnya, di Tangse. Wak Dirman dan Nek Laila-pun jadi ikut-ikutan sedih ketika melihat anak semata wayangnya itu berperilaku seperti orang tidak waras.

”Si gam kita, mungkin ingin segera dikawinkan pak ?”celetus Nek Laila kegirangan pada suaminya, Wak Dirman. Sedangkan sang suami yang bernama asli Sudirman itu masih tetap cemberut. Pasalnya, dia masih gak yakin kalau anak semata wayangnya yang masih berumur seperempat abad itu udah ingin cepat-cepat melangkah ke pelaminan seperti teman-temannya yang lain.

”Apanya yang tidak yakin ? Toh, waktu kita menikah dulu, bapak berumur 20 tahun. Jauh lebih muda 5 tahun dari usia Yusuf saat ini kah ?”tanya Nek Laila lagi, seperti mengerti apa yang dipikirkan oleh suaminya.

”Dulu, waktu bapak ingin nikah sama saya, kata ibu, bapak juga sering melamun di kamar. Hampir semua sisi kasur, bapak sobek ketika keinginan bapak belum dipenuhi oleh orang tua. Nah, kini si gam mempraktek hal yang sama yang pernah dilakukan oleh ayahnya. Kok itu aja tidak dipahami sie ?”tambah Nek Laila lagi.

Dikatakan begitu, Wak Dirman jelas cemberut. Dia sebenarnya agak risih ketika isteri tercintanya tersebut mengungkit perilaku-nya di masa lalu. Prilakunya untuk mendapatkan Nek Laila sebagai isteri, memang boleh dikatakan, sedikit kekanak-kanakan, jika di ingat pada saat ini.

Sedangkan Nek Laila sendiri, sebenarnya sudah sangat mengharapkan rumahnya diisi kembali oleh suara bayi. Ya, dia sudah sangat mengharapkan Yusuf untuk segera menikah dan memberikannya seorang cucu.

Dirinya, dulu juga terpaksa harus menunggu 15 tahun lamanya hanya untuk mendapatkan seorang bayi bernama Yusuf. Pada awal-awal pernikahannya dengan Wak Dirman, dia sering kali keguguran sehingga diharuskan menunggu waktu yang lama untuk boleh mengandung lagi.

Nah, di usianya yang tergolong senja, atau 58 tahun. Dia sangat mengharapkan impiannya itu segera terwujud. Apalagi, Yusuf tergolong pemuda yang cerdas dan taat agama. Yusuf pun kini sudah berstatus PNS, sehingga bisa dengan mudah menaklukan hati seorang Mertua.

”Mikir apalagi sie pak ? tidak mau kan Yusuf jadi lajang tua ? toh, banyak pemuda sebayanya yang belum memiliki pekerjaan pun sudah menikah,”ungkap Nek Laila lagi setelah sekian lama menunggu jawaban dari suaminya, tetapi tidak juga muncul.

Mendengar harapan besar dari istri tercintanya tersebut, Wak Dirman sebenarnya juga berkeinginan yang sama. Namun dia, tidak ingin bertindak sebagai orang tua yang otoriter seperti masa-masa Siti Nurbayah di Sumantra Barat. Tetapi, disisi lain, dirinya juga takut menanyakan perihal calon pasangan yang telah disensor oleh Yusuf selama ini. Takut dikatakan mengintervensi sang anak. Jadi, dirinya merasa serba salah.

Setelah sekian lama dia berpikir, Wak Dirman pun akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Dia memutuskan pergi ke halaman rumahnya, kemudian melirik kiri kanan, serta kembali lagi ke ruang tamu. ”Dimana diparkirkan sepeda bapak ?”tanyanya tiba-tiba pada Nek Laila. Sang istri yang dari tadi melamun dan tidak melihat sang suami keluar-pun terkejut.

”Sepeda Onthel bapak dimana mak?”ulang Wak Dirman lagi. ”Oh, di belakang rumah pak. Tadi di pinjam si Amin, dan pas dikembalikan, ibu bilang suruh parkir di belakang saja,”jawab Laila hingga Wak Dirman pun bergegas ke lokasi yang dituju.

Sebelum menaiki sepeda antiknya itu, Wak Dirman memeriksa dengan seksama. Siapa tahu, ban sepeda bocor atau ada yang rusak, pikir dia. Namun ternyata hal itu tidak terjadi, Wak Dirman pun mengayuh sepedanya dengan pelan meninggalkan rumahnya.

”Pak mau kemana ? pembicaraan kita belum selesai ?”seru Nek Laila dari ruang tamu hingga membuat Wak Dirman menghentikan sepeda tiba-tiba. ”Ini mau tanya solusi pada ahlinya,”jawab dia. Jawaban ini membuat Nek Laila berkerut kening, ’Pada ahli ?.

****

”Jadi kalian yakin, si Yusuf hingga hari ini belum punya calon ?”selidiki Wak Dirman di pos ronda, yang menjadi tempat mangkal para pemuda desa. Dua orang yang selalu menghabiskan waktunya disana, adalah Maimun dan Syahrul. Mereka adalah teman akrab Yusuf sejak SD, namun bedanya mereka berdua sudah menikah.

Kebiasaan di kampung, jika seorang pemuda yang sudah remaja, pasti akan cepat-cepat dinikahkan orang tuanya bila udah punya dambaan hati. Takut, terjerumus dalam perbuatan maksiat, kata mereka.

”Yakin wak,”jawab Maimun. ”Iya yakin, soalnya dia pernah pacaran sekali waktu SMA sama anak kampung sebelah, namun gagal. Sampai hari ini, dia belum berani lagi deketi cewek, padahal kami selalu mengcomblangi dengan hampir semua anak gadis yang ada di desa kita,”tambah Syahrul lagi.

”Kami comblang sama anak pak Daud, yang baru mendapatkan gelar sarjana di Banda Aceh, katanya terlalu hitam. Terus, pas di deketi dengan si Maisarah, cucunya Pawang Ramli yang berkulit putih mulus, kata Yusuf, belum sarjana. Jadi, dia tetap ada alasan untuk gak mau,”sambung Maimun. Wak Dirman pun cuma mengangguk kecil.

”Pernah sie dia kesemsem dengan si Yanti, anak pak Sekdes kita. Tapi sayangnya, malah si Yanti yang gak mau sama Yusuf. Orangnya cantik, kulit putih, serta berstatus perawat di Pukesmas kecamatan pula,”jelas Syahrul lagi.

Pertemuan mereka dengan Wak Dirman ini, ternyata dijadikan sebagai ajang pelampiasan kekesalan Syahrul dan Maimun, pada Yusuf. Dia memang terhitung unik dan lain dari yang lain, sejak SD dahulu kala.

Sejak dulu, Yusuf memang tergolong pria yang sensitif terhadap persoalan-persoalan yang bersifat pribadi, begitu juga yang berhubungan dengan pasangan hidup.

Yusuf juga orang yang sangat pemilih. Ini terbukti dari kasus terakhir, ketika Syahrul dan Maimum memilih menikah dengan gadis pilihan orang tuanya yang pas-pasan. Yusuf malah menolak dengan alasan belum menemukan dambaan hati yang cocok dengan seleranya. Namun tentu saja bukan karena kelebihan fisik yang dicari, tetapi juga kecantikan hatinya alias baik budi dan sopan santun.

Tapi, menurut Syahrul dan Maimun, wanita yang cantik lahir dan batin, tentu susah dicari di akhir zaman ini. Wanita seperti itu, dinilai cuma ada dalam film-film. Dan yang berhasil mendapatkan wanita yang ’sempurna’ dengan kriteri seperti tadi cukup sulit, dengan perbandingkan satu perseribu. Imbasnya, jadilah Yusuf seperti sekarang, tidak juga laku-laku.

Kembali pada sosok Wak Dirman yang dari tadi belum juga menemukan solusi menyangkut masa depan anaknya. Dia tampaknya hanya mampu menarik nafas dalam-dalam. Yusuf boleh saja pernah jadi aktivis kampus di Unsyiah, namun untuk urusan asmara, sepertinya dia masih harus banyak belajar dari ayahnya, pikir Wak Dirman.

”Yusuf harus di Samsul Bahri-kan segera rupanya,”ungkapnya singkat. Maimun dan Syahrul yang mendengarkan hal ini, jelas melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh ayahnya teman akrab mereka tersebut. Namun Wak Dirman sendiri tidak punya waktu untuk menjelaskan hal ini. Dia langsung menderet sepeda ke arah balai desa.

***

Tanggal pernikahan Yusuf akhirnya ditetapkan. Dia akan dinikahnya pada 12 Desember depan. Kabar bahagia ini langsung menyebar cepat hingga pelosok kampung, dan tentu juga sampai ke telinga Maimun dan Syahrul.

Kedua sahabat Yusuf ini, jelas saja terheran-heran mendengarkan kabar heboh tersebut. Pasalnya baru seminggu lalu, Wak Dirman menanyakan persoalan tersebut pada mereka. Lebih shocknya lagi, calonnya Yusuf tersebut adalah Yanti, anak pak Sekdes.

”Kok bisa ya ? bukannya Yanti berkali-kali pernah menolak si Yusuf mentah-mentah. Tapi kok sekarang tiba-tiba jadi mau,”tanya Maimun pada Syahrul.
”Aku juga tidak habis pikir. Kok bisa jadi begini,”tutur Syahrul lagi merana akibat merasa kalah saing sama Yusuf.

Jika jadwal pernikahan Yusuf membuat Syahrul dan Maimun cemberut, tidak demikian dengan calon pengantin itu sendiri. Sifat Yusuf yang dulunya suka cemberut kini hilang total. Sejak Yanti mau jadi calon isterinya, kini dia malah sering terlihat tertawa. Parahnya, Yusuf kadang-kadang tertawa tidak sadar tempat, baik di warung makan, lapangan bola hingga WC. Penduduk di kampung mulai berbisik-bisik, kalau Yusuf di santet orang yang tidak suka dirinya menikahi anak pak Sekdes.Yang disusahkan dari peristiwa ini, tentu saja Nek Laila dan Wak Dirman, hehehe.

 
Free Host | lasik surgery new york