Kamis, 29 April 2010

Rumh-Rumah Bantuan Yang Raib Di Aceh



BRR NAD-Nias menklaim telah membangun 140.000 unit perumahan bagi korban tsunami Aceh. Jumlah ini belum lagi termasuk puluhan ribu perumahan yang dibangun oleh sejumlah lembaga donor yang ‘berjamur’ di Aceh.

Jumlah ini juga dinilai melebihi dari angka kehilangan tempat tinggal yang diderita oleh masyarakat itu sendiri.

Namun pasca berakhirnya keberadaan BRR di Aceh, kemudian muncul ratusan masyarakat yang mengaku belum mendapatkan perumahan. Pertanyaannya, kemana sebenarnya perumahan yang bangun tersebut sehingga para korban masih harus hidup di barak-barak hunian sementara yang di bangun masa tanggap darurat ?

Hal yang wajar memang kita kembali mempertanyakan kembali sejumlah rumah bantuan yang ‘raib’ pasca pembangunan di Aceh. Pasalnya, pelaporan dari masyarakat, temuan sejumlah media massa, serta hasil temuan tim verifikasi perumahan BRR beberapa waktu lalu secara mengejutkan memaparkan bahwa ada ribuan perumahan yang nama kepemilikannya ganda di Aceh.

Laporan ini tentu saja mengejutkan semua pihak.

Musibah gempa dan gelombang tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu, seharusnya membuat para ‘pemilik kekuasaan’, yang merupakan salah satu pihak yang paling bertanggungjawab atas temuan perumahan ganda di Aceh, sadar dan lebih dekat dengan Allah SWT. Tetapi mereka malah memanfaatkan situasi untuk meraih keuntungan sebanyak-banyak sehingga para korban yang benar-benar membutuhkan harus tetap menderita hingga sekarang.

Dibeberapa daerah pesisir Aceh, dilaporkan bahkan ada yang belum mendapatkan perumahan, seperti di Banda Aceh, Aceh Besar, serta Aceh Barat dan Aceh Jaya. Ribuan masyarakat ini masih terus menyuarakan aspirasinya melalui aksi-aksi jalanan hanya untuk mendapatkan perumahan bantuan sebagai tempat menghabiskan sisa masa tua nanti.

Sayangnya, suara masyarakat ini sepertinya tenggelam dengan kemewahan para pemilik rumah ganda yang memiliki kekuasan di Aceh. Kesenangan yang diperoleh pasca tsunami, sepertinya telah menutup mata hati mereka sehingga mengabaikan hak ribuan korban tsunami lainnya.

Menurut Ani Muliani, salah seorang demotransi yang memperjuangkan aspirasi korban tsunami yang belum mendapatkan perumahan di Banda Aceh beberapa waktu lalu, pasca lima tahun tsunami, ratusan korban yang menempati Barak Bakoy, Ulee Lhee, Krueng Cut, Tibang, dan beberapa lokasi pengungsian lainnya, juga belum mendapatkan perumahan.

Kata dia, sebanyak 95 KK disana, sebenarnya sudah memiliki rumah yang diperuntukan oleh BRR NAD Nias, untuk korban tsunami sewa di Desa Labuy, Krueng Cut, Aceh Besar. Namun rumah-rumah ini telah di huni oleh orang lain sehingga korban yang membutuhkan terpaksa ‘gigit jari’.

“Sedangkan 15 kepala keluarga lainnya di Bakoy memang tidak terdata,”ucap dia.

Selain itu, Dahlan, peserta aksi lainnya juga menambahkan, bahwa kasus yang sama juga terjadi pada 55 unit perumahan yang dibangun oleh ADB untuk korban tsunami sewa, di Desa Miruek Lam Reuduep, Baitusalam. Perumahan ini juga di huni oleh warga lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan korban tsunami.

“Kasus ini sudah kami laporkan pada Poltabes Banda Aceh. kami memiliki sertifikat, serta IMB. Saat ini kami cuma menuntut pemerintah Aceh turun tangan terhadap persoalan tersebut agar tidak berlarut,”harapnya.

Laporan dari dua warga tadi, sebenarnya hanyalah satu dari ribuan kasus yang menandakan adanya kepemilikan perumahan ganda di Aceh. Namun sayangnya, untuk tingkat pengembalian hak-hak korban ini belum juga terealisasi.

Sebenarnya, jika kita berani mengungkapkan secara jujur, bahwa kehidupan masyarakat Aceh sebelum tsunami jauh lebih baik dari segi perilaku dan taat beragamanya daripada sesudah musibah gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 lalu.

Kehidupan masyarakat Aceh yang sejak zaman kerajaan dulu lebih mengutamakan kepentingan umum dari pribadi serta memiliki ketaatan yang tinggi pada ajaran agama-nya, telah berubah pasca tsunami. Sifat dan perilaku masyarakat Aceh kini berubah menjadi tamak yang senang mengumpulkan kekayaan yang diperoleh dari musibah dan deritaan saudaranya.

Dari Rumah Ganda, Sewa dan Vila
Temuan kepemilikan rumah ganda di Aceh, bukan lah suatu hembusan angin belakang. BRR Aceh-Nias sendiri, pernah menyegel rumah bantuan milik Nurhanisah, 56 tahun, seorang korban tsunami, yang mendapatkan enam rumah bantuan sekaligus, di Desa Punge Blang Cut Kecamatan Jaya Baru Kota Banda Aceh.

Temuan perumahan ganda ini juga didapati oleh tim tersebut di Perumahan Cinta Kasih, Gampong Panteriek, Kecamatan Lueng Bata, Kota Banda Aceh. Temuan yang sama juga didapatkan sepanjang pesisir Aceh bagian utara dan selatan. Namun anehnya, temuan tersebut tidak pernah tuntas hingga sekarang.

Menurut pengakuan salah seorang mantan anggota tim verfikasi perumahan BRR Aceh-Nias, terjadinya rumah bantuan ganda, karena kesalahan adminitrasi yang dilakukan lembaga mereka pada awal di mulainya rehab rekon di Aceh.

“Saat dimulainya rehab rekon, BRR meminta data korban dan rumah yang hancur langsung dari keuchik (kepala desa-red) dan petinggi desa tempat musibah. Data ini yang kemudian ditemukan banyak permasalahan, karena daftar korban yang kehilangan rumah ternyata melebihi dari sebenarnya,”ucap sumber yang tidak mau disebutkan namanya ini.

Menurut dia, karena hal ini akhirnya bayak ditemukan perumahan bantuan berkepemilikan ganda di Aceh. Rumah yang seharusnya bisa diperuntukan bagi korban tsunami lainnya, akhirnya malah dikumpulkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak menguasainya sebagai aset kekayaan baru.

“Bahkan ada satu oknum yang menguasai 10 rumah bantuan di pesisir Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Hingga saat ini, perumahan tersebut masih dikuasainya, sedangkan korban tsunami yang benar-benar membutuhkan masih harus tinggal di barak-barak,”papar dia.

Pengakuan menarik pernah dilontarkan oleh salah seorang Kepala Desa di pesisir Aceh Besar kepada penulis. Menurutnya, kepemilikan perumahan ganda di daerah mereka, tidak sepenuhnya kesalahan dari kepala seperti yang dilaporkan selama ini, tetapi juga tanggungjawab sejumlah petinggi BRR NAD Nias saat itu.
“Misalnya, ada pasangan yang menikah berbeda kampung menjadi korban tsunami. Si isteri, yang keluarganya menjadi korban tsunami menjadi pewaris rumah bantuan di daerah dia berasal. Sedangkan di desa kami dia juga mendapatkannya. Dia (korban-red) mendapatkan dua rumah bantuan, dan secara prosedur kami tidak salah,”ungkap sang Keuchik ini.

Contoh lain, lanjut dia, sebelum tsunami ada keluarga yang tinggal satu rumah antara orang tua dengan sejumlah anaknya yang menikah. Tetapi, pasca tsunami keluarga ini kemudian membuatkan Kartu Keluarga (KK) yang terpisah-pisah sehingga masih-masih dari mereka mendapatkan satu rumah bantuan Per-KK.

“Rumah yang diberikan oleh BRR Aceh-Nias berdasarkan KK. Kami sudah menanyakan terkait hal ini, dan kata-nya dibolehkan sehingga selaku kepala desa saya sudah bertindak benar serta tidak menyelewengkan bantuan,”tegasnya.

Tidak hanya temuan rumah bantuan ganda. Menurut informasi yang diperoleh penulis, perumahan bantuan yang diperuntukan untuk korban tsunami, kini juga banyak yang telah beralih fungsi menjadi kos-kosan disepanjang Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.

Pengakuan Nurbaiti, mahasiswa Unsyiah angkatan tahun 2008 kepada penulis mengaku, bahwa awal dirinya menginjak kaki di Banda Aceh merasakan kesulitan mencari kos-kosan. Maklum, selaku orang yang hendak mencari ilmu, dirinya mengaku tidak punya famili satupun, yang bisa dijadikan sebagai tempat berteduh selama di Banda Aceh.

“Beruntung saja diajak seorang kenalan untuk kos di rumah di daerah pesisir Aceh Besar. Rumah tersebut rumah bantuan tsunami, tetapi semua penghuninya adalah anak kos. Sedangkan pemiliknya hanya datang pada akhir tahun setiap tempo iuran kosan jatuh tempo,”papar sang mahasiswa ini.

“Pemilik Kosan kami tinggal di rumah bantuan lainnya. Dia ada empat rumah bantuan yang dijadikan kosan seperti kami,”jelasnya lagi.

Pengakuan dari Nurbaiti ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di Aceh. Kondisi yang demikian ini sangat bertolak belakang dengan ratusan korban tsunami yang masih tinggal di barak-barak, seperti yang terjadi di Aceh Barat dan Aceh Besar.

Yang lebih mengagetkan lagi, puluhan rumah bantuan korban tsunami di Aceh Besar, yang berkualitasnya bagus, kini juga disinyalir telah berubah jadi Villa bagi para petinggi Aceh.

“Bahkan ada mobil yang berplat merah kadang-kadang keluar dari perumahan ini. Jumlah itu rumah yang jarang dihuni oleh pemiliknya, kecuali musih liburan seperti sekarang. Tidak hanya satu, tetapi ada puluhan rumah yang seperti itu,”ucap Idha, Warga Unjong Batee, Aceh Besar kepada wartawan.

Menurutnya, perumahan korban tsunami yang dibangun di atas bukit di daerahnya itu, memang berbentuk bagus. Para pemilik rumah ‘vila’ tsunami tersebut ada yang membelinya dari pemilik sebelumnya yang korban tsunami, tetapi ada juga yang mendapatkan langsung sebagai hak reman karena memiliki posisi penting di Aceh.

Kebenaran cerita terakhir, memang belum ada suatu kepastian. Tetapi, jika ini benar-benar terjadi, maka temuan ini lagi-lagi sangat bertolak belakang dengan kondisi masyarakat yang benar-benar korban tsunami hari ini.

Disatu sisi, ratusan korban tsunami masih berteriak minta bantuan perumahan karena selama lima tahun pasca tsunami masih tinggal di barak. Tetapi, disisi lain, perumahan tsunami yang jatuh ke tangan tangan yang tidak berhak, malah kian dikomersialkan hingga menjadi Kosan dan Vila.

Berikan hak korban tsunami!
Menyangkut persoalan korban tsunami yang belum memperolah haknya pasca lima tahun. Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar pernah mengatakan, akan memanggil komponen Pemerintah Kota Banda Aceh dan Aceh Besar, untuk penyelesaian penyerobotan rumah korban tsunami ini.

Dalam penyelesaian kasus ini, kata Nazar, perlu dilibatkan semua pihak, termasuk mantan pekerja BRR dan tim likuidasi serta BKRA, Masyarakat setempat dan korban tsunami yang rumahnya diserobot.

“Kami akan mencoba menyelesaikan kasus ini tanpa adanya benturan antara masyarakat dengan masyarakat,” sebutnya, saat menerima perwakilan demotrans korban tsunami beberapa waktu lalu.

Tambahnya, pihaknya juga akan melakukan penertiban terhadap pelaku penyerobotan rumah ini. “Orang setempat harus terbuka untuk korban bencana tsunami,” tandasnya saat ini.

Hal yang sama ini juga pernah diungkapkan oleh Kuntoro selaku ketua BRR NAD Nias beberapa waktu lalu. Dirinya pernah berjanji akan menyelesaiakan perumahan ganda sebelum masa kepengurusan lembaga yang dipimpinnya berakhir di Aceh. Namun janji tersebut sepertinya, belum atau tidak akan pernah terealisasi.

Sebenarnya, lima tahun bukan lah waktu yang sebentar bagi korban tsunami yang masih tinggal di bara-barak, seperti yang dialami masyarakat Aceh Barat, Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Selama ini mereka masih harus menderita karena penyaluran rumah bantuan yang salah hingga berkepemilikan ganda di Aceh.

Masyarakat ini memerlukan sebuah kepastian yang harapannya tidak lagi harus menunggu hitungan tahun. Harapan ini juga disertai doa para yatim piatu dan darah korban tsunami yang sudah meninggal sebelumnya. semoga!!

Pendidikan Gratis Hanya Mimpi di Banda Aceh


Peraturan Mendiknas No. 23/MPN/KU/2009 Tertanggal 25 Februari 2009 merumuskan bahwa pendidikan gratis dan wajib belajar di Indonesia 9 tahun. Sedangkan Qanun Aceh N0 5 menambahkan bahwa wajib belajar di daerah tersebut harus mencapai 12 tahun. Namun kutipan SPP liar dan uang pembangunan dengan berbagai alasan masih terus terjadi dan dipraktekan secara terang-terangan di Banda Aceh.

Sebenarnya, dengan adanya dua produk hukum ini merupakan angin syurga bagi masyarakat Aceh yang baru selesai dari persoalan konflik dan musibah gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu. Keberadaan dua produk hukum ini juga merupakan dari amanah pada teks pembukaan UUD 1945 yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa yang lebih baik.

Hampir 2/3 dari jumlah penduduk Negara Indonesia pada umumnya serta Aceh khususnya, adalah masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan sudah seharusnya di bantu. Keberadaan dua produk hukum tadi, diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi kemiskinan tersebut.

Pendidikan yang tinggi dinilai merupakan salah satu cara mengubah pola pikir masyarakat menjadi maju dan berkembang. Hal ini telah dipraktekan di negara-negara maju, baik di asia maupun di eropa, dan ternyata berhasil.

Indonesia yang tergolong pada kelompok negara sedang berkembang juga sedang giat-giatnya mencerdaskan anak bangsa dengan melahirkan sejumlah peraturan seperti tadi. Namun sayangnya, dalam pelaksanaan di lapangan sering kali bertentangan dengan peraturan berlaku seperti temuan sejumlah kutipan iuran SPP dan pembangunan yang terjadi di Banda Aceh.

Temuan ini, juga secara jelas-jelas dipraktekan oleh para oknum kepala sekolah di daerah yang mempunyai visi sebagai bandar wisata islami ini. Pendidikan gratis yang tadinya merupakan angin syurga bagi masyarakat miskin kian sulit didapatkan sehingga terasa hanyalah mimpi belaka.

Pelanggaran ini disinyalir terjadi di hampir sekolah yang ada, tetapi dalam pelaksanaannya sangat tertutup dan rahasia. Bagi wali murid atau siswa yang membocorkan dugaan ini ke publik akan disingkirkan dari sekolah, atau dikenakan sanksi dengan penahanan rapor seperti yang terjadi di SMU Dua Banda Aceh.

Ketidaktegasan dari puncuk pimpinan tertinggi seperti Walikota Banda Aceh, Kadis Pendidikan setempat, merupakan penyebab adanya pelanggaran tersebut sehingga temuan-temuan tadi kian membicaraan publik setiap harinya. Namun se-gigih apapun jajaran setempat menutup informasi mengenai pelanggaran tadi, akhirnya terbongkar juga ke publik, seperti beberapa temuan penulis ini.

Proyek Pagar Rp500 Ribu Persiswa di MIN Merduati
Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Merduati kota Banda Aceh disinyalir melakukan pungutan liar untuk pembuatan pagar sekolah tersebut Rp500.000 persiswa kelas I dan II. Pengutipan tersebut dinilai sangat bertentangan dengan surat Mendiknas no. 23/MPN/KU/2009 Tertanggal 25 Februari 2009 tentang pendidikan gratis dan wajib belajar 9 tahun.

Menurut Dra. Husniati Bantasyam, Sekretaris Eksekutif Kobar-GB Aceh yang membongkar masalah ini kepada penulis beberapa waktu lalu, akibat dari kebijakan tersebut banyak orang tua siswa setempat yang datang melaporkan keberatan ke Kantor Kobar –GB Aceh.

”Kami menilai pengutipan tersebut bertentangan dengan surat Mendiknas No. 23/MPN/KU/2009 tertanggal 25 Februari 2009 tentang pendidikan gratis dan wajib belajar 9 tahun dan Qanun Aceh N0 5 tahun 2008 tentang pendidikan gratis dan wajib belajar 12 tahun. Dimana semua siswa seharusnya dapat dibebaskan dari semua biaya, kecuali biaya-biaya keperlian individu seperti biaya seragam sekolah, alat-alat tulis siswa dan biaya jam tambahan belajar sore hari,”ucap Husniati Bantasyam, saat itu.

Katanya, pada 30 November 2009 lalu, tim Kobar-GB Aceh telah turun langsung ke sekolah tersebut untuk memastikan kebenaran apakah pagar sekolah itu betul perlu diganti. Namun hasil yang didapatkan, ternyata kondisi pagar sekolah masih sangat baru tidak perlu diperbaiki apalagi diganti.

”Kami sudah surati Kantor Depag Banda Aceh untuk menindaklanjuti pengutipan yang berkedok pembuatan pagar tersebut. Apabila pagar tersebut akhirnya juga diganti, maka hal itu adalah suatu suatu pemborosan dan terkesan kepala sekolah bersama- sama dengan komite sekolah MIN Merduati sengaja mencari proyek diatas penderitaan orang tua,”papa dia.

Sebenarnya, lanjutnya lagi, pembangunan pagar ini dapat diatasi dengan adanya dana bos yang setiap tahun dialokasikan untuk setiap sekolah SD/MI sebesar Rp475.000 persiswa, yang dikalikan dengan jumlah siswa. Sedangkan untuk SMP sederajat mencapai Rp575.000 persiswa kali jumlah siswa.

”Biaya pembangunan fisik seharusnya merupakan tugas dan kewajiban pemerintah melalui Dana alokasi Khusus, serta bukan dibebankan kepada wali siswa. Apalagi kita juga tahu bahwa tahun 2008 MIN Merduati telah mendapat DAK sebesar Rp310.000.000,”akhirinya.

Sementara itu, Kepala Sekolah (Kepsek) MIN Merduati, Aiyub, kepada penulis, mengakui adanya kutipan tersebut. Namun menurutnya, hal ini merupakan keputusan komite sekolah. ”Ini keputusan komite sekolah. Belum mulai pun pembangunannya,”ucapnya singkat.

Biaya Pembangunan Kantin di SDN 29
Sementara itu, Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) 29 Kota Banda Aceh juga dituding telah melakukan kutipan biaya pembangunan kantin di sekolah setempat sebesar Rp200.000 hingga Rp300.000 persiswa. Tindakan ini juga dinilai bertentangan dengan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional (Mendiknas) bernomor 23/MPN/KU/2009 tertanggal 25 Februari 2009 tentang sekolah gratis dan wajib belajar 9 tahun.

Menurut sumber penulis, kutipan yang dilakukan oleh Kepsek SDN 29 ini tertuang dalam surat yang dikirim bersama oleh Kepsek dan Komite Sekolah setempat, kepada para wali murid tertanggal 30 Desember 2009 bernomor 425/135/2009. Isi surat tersebut meminta setiap wali para siswa untuk menyalurkan dana sebesar Rp200.000 hingga Rp300.000 persiswa untuk pembangunan kantin sekolah.

“Pungutan tersebut dikatakan merupakan hasil keputusan rapat pengurus komite SDN 29 pada bulan Maret dan Juni 2009. Tetapi kami menolak karena hal ini jelas-jelas bertentangan dengan peraturan Mendiknas bernomor 23/MPN/KU/2009 tertanggal 25 Februari 2009 tentang sekolah gratis dan wajib belajar 9 tahun,”ucap wali siswa yang minta namanya dirahasiakan ini.

Menurut penulis, terkait pelanggaran tadi, pihak sekolah seharusnya tidak lagi melakukan kutipan biaya dengan alasan apapun guna melakukan pembangunan fisik dari murid. Pasalnya, Dana Alokasi Khusus (DAK) yang disalurkan kepada sekolah tersebut setiap tahunnya sangatlah besar.

Dalam peraturan Mendiknas dan Qanun nomor 5 tahun 2008, kutipan iuran dari sekolah bagus diizinkan hanya untuk sekolah berstandar internasional, tetapi bukan untuk pembangunan fisik. Kutipan yang dianjurkan adalah untuk peningkatan mutu, seperti les pada sore hari.

Sedangkan untuk sekolah lain, semuanya sudah dialokasikan oleh pemerintahan Aceh dan diatur dalam undang-undang.

Apalagi, berdasarkan informasi yang diterima oleh penulis, SDN 29 kota Banda Aceh pada tahun 2008 mendapatkan DAK sebesar Rp310 juta, dan pada 2009 mendapatkan DAK Rp297 juta.

Sementara itu, Kepala SDN 29 Kota Banda Aceh, Deni Hayati S.Pd, yang dihubungi penulis, membenarkan adanya kutipan ini tetapi menolak memberikan keterangan lebih menyangkut kasus ini.

Dugaan Kutipan SPP di SMU Dua
SMU Dua Kota Banda Aceh kian disorot dalam beberapa bulan terakhir. Kepsek setempat diduga melakukan Pungli Rp1,5 juta hingga Rp3 juta pada siswa pindahan atau masuk dibawah tangan. Kepsek setempat juga melakukan pengutipan SPP sebesar Rp90 ribu persiswa untuk perbulan.

Padahal, di sekolah lain seperti SMU Negeri Satu Banda Aceh, SMU Negeri Tiga dan SMU Negeri 4, tidak melakukan hal itu.

Atas dasar ini, Koalisi Barisan Guru Bersatu (Kobar GB) Aceh, sempat memberi tengang waktu atau “deadline’ selama 10 hari, terhitung sejak 17 Desember lalu, kepada kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, untuk segera mencopot jabatan Kepala Sekolah SMU Negeri Dua yang disinyalir banyak melakukan penyimpangan anggaran sekolah setempat.

Namun tenggang waktu yang diberikan ini tidak ditanggapi oleh Kadis setempat sehingga lembaga tersebut melayangkan surat ke walikota Banda Aceh.

Kepsek ini dinilai telah menjalankan pendidikan yang tidak sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar dan Qanun nomor 5 tahun 2008 tentang pendidikan gratis dan wajib belajar 12 tahun.

“kita memberikan tempo 10 hari kepada Kadis Pendidikan Kota untuk mencopot Kepsek SMU negeri dua, terhitung sejak 17 Desember lalu. Apabila ini tidak segera dipenuhi, maka kita akan melaporkan hal ini pada Kejaksaan dan Mendiknas di Jakarta,”tutur Sayuthi Aulia, Ketua Presidium Kobar GB Aceh, melalui siaran pressnya kepada wartawan, Senin (21/12), lalu.

Pemintaan pencopotan ini, lanjut Sayuthi, didasari oleh bukti-bukti dan temuan pihaknya selama ini.

Selain pencopotan Kepsek SMU Negeri Dua Kota Banda Aceh, tambahnya lagi, Kobar GB Aceh, juga meminta iuran SPP yang dikenakan bagi siswa di SMU negeri dua segera dihapuskan dan dikembalikan. Pasalnya, pungutan ini dinilai melanggar qanun pendidikan nomor 5 tahun 2008 tentang sekolah gratis.

“Surat mengenai kondisi dan dugaan penyimpangan di SMU Negeri Dua Banda Aceh, telah kami kirimkan juga kepada Gubernur, DPRA, serta pihak terkait lainnya di Aceh. kita ingin penyelenggaran pendidikan di Aceh berjalan sesuai dengan undang-undang sehingga tidak memberatkan murid,”jelas dia.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Banda Aceh, Sofyan Sulaiman, yang dihubungi oleh penulis, mengatakan dirinya tidak mau lagi berkomentar banyak mengenai kasus tersebut.

“Guru-guru dan Kepsek setempat sudah menjelaskan permasalahan ini kepada media beberapa waktu lalu. Jadi saya rasa sudah jelas, serta tidak perlu diulang-ulang lagi,”ucapnya saat itu.

Tak Becus Tertibkan Bawahan
Maraknya pelanggaran dan kutipan uang yang dilakukan oleh para Kepala Sekolah (kepsek) dari tingkat SD hingga SMU di Kota Banda Aceh dinilai terjadi karena Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan setempat tak becus menertibkan para bawahannya yang bandel.

Temuan sejumlah pelanggaran terhadap peraturan Mendiknas 23/MPN/KU/2009 tertanggal 25 Februari 2009 tentang sekolah gratis di Banda Aceh ini, dinilai perlu segera ditindaklanjuti secara hukum, agar tidak diikuti oleh kabupaten lain di Aceh.

“Ini semua terjadi karena Kadis pendidikan kota dinilai tak becus menertibkan bawahan. Kita meminta Walikota Banda Aceh meninjau ulang posisi dan jabatan Kadis di instalansi tersebut,”ucap Sayuthi Aulia.

Sementara itu, lembaga Lingkar Mahasiswa Peduli Pendidikan Aceh (LMPP-Aceh), juga menambahkan bahwa kasus kutipan biaya sekolah yang marak ditemukan ditiap sekolah dalam Kota Banda Aceh, telah mencoreng wajar pendidikan Aceh. Tindakan ini dinilai mengangkangi hak para siswa miskin Aceh untuk bersekolah.

“Kita meminta Walikota Banda Aceh menindak tegas para pelaku. Kasus ini jelas-jelas telah melanggar peraturan mendiknas tentang sekolah gratis. Padahal, setiap sekolah saat ini sudah di alokasikan dana BOS, DAK serta berbagai bentuk dana lainnya untuk bisa digunakan,”papar Rahmad Ardiansyah, Ketua LMPP-Aceh.

“Kita memandang bahwa kasus kutipan ilegal yang terjadi di sekolah-sekolah belakangan ini, sebagai upaya dari pimpinan setempat. Karena dilihat tindakan tindakan tegas, akhirnya sekolah-sekolah lain mengikutinya,”ucap Rahmad lagi.

Antara Realita dan Mimpi
Adanya sejumlah temuan pelanggaran tadi sangatlah kontra dengan penerapan dua produk hukum yang memberikan mimpi indah bagi masyarakat Aceh. Kenyataan yang terjadi di lapangan ini sangat bertolak belakangan dengan harapan dari sebuah produk hukum yang tercipta.

Seharusnya, temuan tersebut menjadi sebuah besar moral bagi para penegak hukum di indonesia, seperti kepolisian dan jaksa guna menindak para pelaku hingga mendekam di penjara nantinya. Jika ada unsur keterlibatan para pimpinan di atas, terkait hal ini juga bisa diproses hingga ke pengadilan.

Namun sebaliknya, jika temuan ini dibiarkan begitu saja, maka sama artinya dengan memberikan angin juga dan mimpi bagi masyarakat Aceh yang ada saat ini. Sejumlah temuan ini diduga juga terjadi di daerah lain diseluruh Aceh, namun belum terbongkar.

Selain itu, kewibawaan sebuah institusi penegak hukum yang ada di Aceh sangatlah tenggantung dari kasus ini. mereka hanya menjadi penonton atas pelanggaran tersebut atau menengakan keadilan bagi masyarakat! Membiarkan masyarakat terus bermimpi atau membuat pengawasan anggap mimpi itu segera terwujub.

Semua tergantung pada Pemerintah Aceh, serta penegakan hukum yang ada. Wassalam.

Mengadopsi Konsep Nagari Mukim Untuk Mukim Aceh



Jika pemerintah daerah di Sumatra Barat ingin mendatangkan investor tertentu untuk mengekpoitasi Sumber Daya Alam setempat. Pemkab itu diharuskan untuk meminta izin terlebih dahulu pada masyarakat Nagari dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan gaya pemerintahan di Aceh yang masih cenderung memihak pada investor daripada kepentingan masyarakat sekitar lokasi perusahaan.

Dalam peraturan sejumlah Nagari, tertuang bahwa setiap tanah, air, serta kekayaan yang terdapat di daerah mereka adalah hak milik adat. Kekayaan alam ini tidak diizinkan untuk dijual, serta dimiliki oleh pihak ketiga. Konsep investasi yang berlaku disana hanyalah hak gadai yang bisa berakhir berdasarkan atas waktu tertentu.

”Jika ada investor yang ingin berinvestasi di pertambangan emas misalnya. Maka izin yang pertama harus didapatkan adalah melalui wali Nagari, kemudian baru pada Pemkab setempat. Lokasi penambangan biasanya juga tidak dijual sehingga masyarakat tidak hilang,”ucap Hardiman, Asisten I Bidang Pemerintahan Tanah Datar, kepada penulis.

Menurutnya, karena sistem ini yang digunakan oleh masyarakat Nagari, menyebabkan masyarakat setempat tidak pernah kehilangan atas hak kepemilikan tanah yang diturunkan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Masyarakat Nagari lebih cenderung mengunakan sistem bagi hasil dan gadai pada setiap ekpoitasi SDA mereka.

Sistem bagi hasil ini, kata Hardiman, paling banyak dipraktekan oleh masyarakat nagari di daerah mereka. Masyarakat Pemerintahan Nagari yang memiliki tanah dan SDA yang hendak di ekploitasi biasanya melakukan kesepakatan terlebih dahulu dengan investor tentang persentase bagi hasil nantinya.

”Masyarakat nagari memiliki SDA dan investor memiliki alat yang dapat melakukan ekploitasi. Dalam kasus ini antara investor dengan masyarakat memiliki hak sama, yaitu 50 banding 50. Nah, hasilnya nanti ini juga dibagi dua,”jelasnya.

Pemerintah daerah setempat, lanjut dia, biasa mendapatkan bagian dari hak yang didapatkan oleh nagari.

Kemudian, karena ekploitasi penambangan dilakukan pada tanah kesepakatan antara masyarakat dengan investor, maka mereka biasanya juga turut aktif mengawasi ekploitasi yang sedang berlangsung.

Menurut Hardiman lagi, pengawasan ini bertujuan agar kegiatan ekploitasi yang dilakukan tidak merusak kawasan hutan sebagai harta adat lainnya. Jika ini terjadi maka para investor akan diberikan sanksi adat, dan jika tidak dilunasi maka perjanjian tersebut batal dengan sendirinya.

”Keterlibatan aktif masyarakat ini akhirnya menguntungkan Pemkab Tanah Datar. Pemkab tidak harus bersusah payah untuk mengontrol ekploitasi proyek. Jika penambangan tidak sesuai maka masyarakat akan melaporkan sendiri,”tuturnya.

” Saat ini kita memiliki 75 Pemerintahan Nagari dan 14 Kecamatan serta 395 Jorong di Kabupaten Tanah Datar. Peraturan nagari telah membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga sumber daya alam yang ada tanpa harus ada penekanan dari pemerintah daerah,”pungkasnya.

Sementara itu, Zuwendra, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Datar menambahkan, bahwa dengan kembalinya sistem pemerintahan nagari di daerah mereka, membuat kerja para petugas dinas kehutanan bisa bernafas lega. Pemkab atau Pemprov setempat juga tidak harus mengeluarkan seruan moratorium logging seperti hlnya di Aceh.

”Disini kesadaran masyarakatnya tentang menjaga hutan udah sangat baik. Mungkin mereka telah mengganggap hutan sebagai harta kekayaan mereka sendiri sehingga tidak perlu adanya pemaksaan lagi,”kata dia.

Petugas dari Dinas Kehutanan, lanjutnya lagi, hanya perlu memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang pengelolaan hutan yan baik. Selain itu, juga penanaman kembali pada hutan yang sudah dirambah, terutama pasca penambangan dan sebagainya.

“Inipun jarang terjadi karena pengawasan masyarakat di tingkat Pemerintahan Nagari Sangat kuat,”ucapnya.

Menurut analisis penulis, kuatnya Pemerintahan Nagari di Sumatra Barat telah membangkitkan kesadaran para masyarakat lokal dalam menjaga hutan dan kekayaan alam yang mereka miliki. Kuatnya sistem ini juga terjadi karena adanya dukungan yang kuat dari pemerintahan setempat.

Jika kita mau berkilas balik dengan apa yang terjadi di Aceh. Pemerintah kita, baik tingkat Kabupaten dan Provinsi, jika kita mau mengakui secara jujur, bahwa terlihat jelas sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat lokal jika dibandingkan para investor. Hal ini yang kemudian membuat masyarakat apartis dalam melaksanakan pembangunan yang dirncang, bahkan ada yang membangkang sehingga tmbul sejumlah permasalahan yang menghambat pembangunan.

Keinginan dari pemerintah kita untuk menguasai semua sumber penambahan dan industri sebatgai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga sering kali mengikis kewenangan masyarakat kecil yang berada di sekeliling pusat industri. Kadang-kadang, untuk pelaksanaannya juga harus membuat peraturan yang menekan para masyarakat untuk bersikap taat.

Sikap ini jauh berbeda jika kita bandingkan dengan Pemerintahan Nagari di Padang yang kesadaran berasal dari masyarakat itu sendiri.

Kasus PLTA Singkarak, Contoh Untuk PT SAI dan Arun di Aceh
Walaupun sudah di buat Peraturan Nagari (Perna) yang harus ditaati, serta mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah daerah. masyarakat di Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat, sebenarnya juga pernah memiliki kasus yang hampir menuai sengketa panjang di negeri yang terkenal dengan jam gadang tersebut.

Kasus ini adalah kasus berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang bertempat di Danau Singkarak, Kecamatan Batipun Selatan.

Menurut Bamullah, Ketua Badan Musyawarah (Banmus) Pemerintahan Nagari Gugunk Malalo, Kecamatan Batipun Selatan. Kasus ini berawal ketika pemerintah setempat meminta kepada seluruh pemerintan nagari di daerah untuk membebaskan lahan guna mendirikan PLTA tersebut di daerah mereka.

”Awalnya kami pikir ini untuk kepentingan bersama sehingga sebahagian tanah adat adat kami sumbang sebagai lokasi PLTA. Namun dampak dari perusahaan ini akhirnya mengakibatkan debit air di daerah kami terus berkurang dan jalan terus longsor karena dilalui kenderaan berat,”paparnya.

Tidak haknya itu,lanjutnya, sejumlah nelayan yang mencari ikn seputaran danau juga mengeluhkan kian minimnya pendapatan yang mereka peroleh pasca adanya PLTA Singkarak.

”Kami akhirnya sepakat bernego dengan pihak PLTA. Kami meminta pihak PLTA untuk lebih tertib melakukan pembuangan sehingga tidak mengotori sungai,”katanya.

Sedangkan untuk mengatasi persoalan para nelayan, lanjut dia, beberapa nagari disekitar PLTA meminta agar perusahaan tersebut membayar setiap air yang mereka ambil. PLTA juga dituntut untuk mengutamakan warga sekitar sebagai karyawannya sehingga kesejahteraan masyarakat sekeliling PLTA bisa lebih makmur.

Namun, lanjutnya, hal ini tidak ditanggapi oleh pihak perusahaan tersebut. Masyarakat akhirnya memutuskan untuk menggelar aksi demotrasi besar-besaran, mulai dari lokasi tempat PLTA Singkarak, Kantor Bupati Tanah Datar hingga Kantor Gubernur Sumatra Barat.

”Pemerintah daerah ternyata merespon positif terhadap tuntutan masyarakat ini. Kini dalam rekrutmen pegawai, PLTA Singkarak selalu mengutamakan warga lokal, melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan pada peningkatan SDM masyarakat serta memberikan komvensasi sejumlah uang untuk setiap liter air yang diambil,”jelasnya.

”Hasil kovensasi ini kemudian dibagi sebanyak 30 persen bagi seluruh kabupaten di Sumatra Barat, 30 persen untuk kabupaten tanah datar, serta 40 persen lainnnya untuk nagari-nagari yang ada di sekitar plta yang mengalami dampak langsung dari keberadaan perusahaan tersebut,”akhirinya.

”Kami memang memberikan tanah untuk PLTA. Tetapi air juga harta kekayaan kami yang harus dibayar perliternya oleh perusahaan tersebut,”jelas dia lagi.

Menurut penulis, jika kita mau melihat uruta permasalahan yang terjadi di kasus plta singkarak, dalam kacamata Aceh. Kasus ini hampir sama dengan kasus sengketa warga Lhoknga Leupung dengan Perseroan Terbatas Semen Andalas Indonesia (PT-SAI) di Aceh Besar dan sengketa warga dengan PT Arun di Lhokseumawe.

Keberadaan PT. SAI di Lhoknga telah menimbukan dampak yang buruk bagi masyarakat sekitar. Debu yang dihasilkan dari parbrik semen tersebut telah mengakibatkan warga disana mengalami sesak pernafasan. Hal ini belum lagi ditambah dengan pengaruh debit air yang banyak berkurang karena aktiitas pabrik.

Namun, berbeda dengan akhir cerita PLTA Singkarak. Kasus sengketa antara warga Lhoknga dan Leupung dengan manajemen PT. SAI, ternyata masih juga harus berlangung hingga kini. Tuntutan pembayaran ganti rugi oleh warga ini masih belum dipenuhi semuanya oleh jajaran manajeman PT. Sai sehingga kian berpolemik.

Masyarakat lhoknga-Leupung juga pernah menuntut adanya pembayaran atas setiap liter air yang diambil dari daerah mereka oleh PT.SAI. Namun tuntutan ini tidak pernah terealisasi sehingga masyarakat sempat menghentikan aktivitas pekerja pengalian pipa air milik perusahaan itu.

Sedangkan kasus PT Arun yang terjadi di Lhokseumawe juga merupakan suatu permasalahan yang tak lepas dari kurangnya keberpihakan pemerintah setempat terhadap masyarakat lokal jika dibandingkan dengan investor. Hasilnya, keberadaan pabrik yang menjadi kebanggaan Pemkab Aceh Utara itu, ternyata malah tidak mampu mensejahterakan penduduk sekitar pabrik itu sendiri.

Ratusan masyarakat Lhokseumawe masih harus menerima nasib dengan status miskin. Padahal, sumber daya alam yang mereka miliki sangat banyak, yang jika bisa dikelola dengan arif dan bijaksana seperti halnya pemerintahan nagari, maka akan membawa kesejahteraan.

Tetapi, lagi-lagi, Pemerintahan Daerah ini juga sering kali melawan tuntutan masyarakat dengan ’pagar betis’ personil kepolisian.








Kesadaran dari masyarakat atau tekanan dari penguasa?
Salah satu contoh baik yang dapat diambil dari pengelolaan sumber daya alam dari pemerintahan nagari di Sumatra Barat, sebenarnya adalah penumbuhan sikap kesadaran masyarakat.

Sikap ini yang masih sangat sulit dicari dalam kehidupan masyarakat Aceh saat ini. Penyebab hal ini, menurut penulis, tak lain karena sikap atau keputusan yang diambil oleh pemerintah di Aceh sendiri, yang cenderung memaksa sebuat peraturan.

Hal ini tentu berbeda terbalik dengan konsep pemerintahan yang terjadi di Sumatra Barat dengan pemerintahan nagari-nya. Kepemimpinan yang menganut azas kepentingan musyawarat untuk mengambil sebuah keputusan.

Pemerintahan Aceh yang memiliki kelembagaan adat seperti nagari (mukim-red) seharusnya dapat memaksimalkan fungsi kelembagaan tersebut untuk tatanan sosial yang lebih baik. Amanah qanun mukim nomor 4 tahun 2003 dan Undang-Undang Pemerintah Aceh yang mengamanahkan kewenangan lembaga tersebut, harus dapat kembali dilaksanakan.

Kesadaran masyarakat Aceh untuk aktif mendukung pembangunan tidak akan pernah terjadi jika produk hukum di Aceh masih dilakukan pada tingkat pemberian tekanan. kesadaran ini tidak akan pernah ada jika bola dan gaya pemerintahan masih dipertahankan seperti ini.

Berkisar lagi pada konsep pemerintahan nagari. Peran yang paling besar sebetulnya terdapat pada tingkat dasar, yaitu mukim dan desa untuk Aceh. Sedangkan jajaran di atasnya hanya yang mengkoordinir pembangunan sempat.

Namun, yang terjadi di Aceh selama ini, pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh tingkat atas seperti kabupaten dan provinsi, seringkali terdapat bentrokan dengan jajaran yang dibawahnya. Akhirnya, pembangunan yang direncanakan tdak akan pernah terwujub.

Menurut penulis, jika gaya pemerintahan nagari yang bersikap penumbuhan kesadaran dan pengutamaan hak masyarakat lokal bisa dijalankan di sumatra barat. Kenapa tidak hal ini tidak dapat dilaksanakan di Aceh? Apalagi sistem pemerintahan yang serupa seperti mukim, sudah ada di Aceh.

Rabu, 28 April 2010

Ketika Nagari dan Mukim Tergilas Zaman



Keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia bernomor 5 tahun 1979 telah menghilangkan semua lembaga adat menjadi desa di seluruh nusantara, termasuk sistem Nagari di Padang dan pemerintahan mukim di Aceh. Keberadaan Undang-Undang ini dinilai telah menghilangkan sikap kearifan dengan kepemilikan adat lokal, serta mengutamakan investor luar yang cenderung kapitalis.

Namun seiring perjalanan sejarah telah membuat pemerintah untuk memikirkan kembali keberadaan Undang-Undang ini.

Adanya Qanun nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim serta disempurnakan lagi dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2005 tentang Pemerintahan Aceh telah mengembalikan Aceh pada bentuk semula, yaitu Pemerintahan mukim.

Hal ini juga sebenarnya juga berlaku untuk sistem Pemerintahan Nagari di Sumatra Utara. Dengan adanya perda Nomor 2 tahun 2007 di daerah setempat telah kembali di terapkan peraturan yang pernah dilaksanakan oleh para leluhur di daerah setempat.

Secara garis besar, antara Pemerintah Nagari di Padang dan kewenangan para mukim yang coba kembali diatur dalam Undang-Undang di Aceh, sebenarnya terdapat sejumlah kesamaan. Tetapi, dalam implementasinya terdapat perbedaan yang sangat jauh serta bertolak belakang.

Paling tidak, inilah hasil gambaran yang terlihat selama studi banding yang dilakukan oleh 17 Mukim Aceh yang berada di sepanjang Daerah Aliran Sungai Ulu Masen. Kegiatan yang di fasilitasi oleh Fauna Foura Internasional (FFI) Aceh ini dilaksanakan dari tanggal 16 hingga 24 Januari, serta bertujuan untuk meningkatkan kapasitas para Mukim Aceh.

Perbedaan ini secara jelas tergambar pada kewenangan yang diberikan pemerintah daerah masing-masing terhadap kaum adat ini.

Pemerintah Sumatera Barat memberikan kewenangan penuh bagi Pemerintahan Nagari, baik dalam mengelola pemerintahan maupun dalam menjalankan adat budaya. Bahkan dalam pelaksanaannya, Pemerintahan Nagari yang baru seumur jagung di beberapa kabupaten di Sumatra Barat, seperti halnya di Kabupaten Tanah Datar, bisa dinyatakan berhasil.

Pemerintahan Nagari yang terdapat di Sumatra Barat tercatat hampir 600 lebih. Bentuk Pemerintahan Nagari ini sebenarnya, sama seperti pemerintahan kecil yang tidak bisa di intervesi oleh pemerintahan kabupaten ataupun pemerintahan provinsi.

Pemerintahan Nagari juga memiliki hak kepemilikan adat untuk semua Sumber Daya Alam yang terdapat di dalam sebuah nagari, yang diatur oleh seorang kepala pemerintahan yang biasanya disebut sebagai wali nagari. Luas Pemerintahan Nagari ini biasanya lebih kurang 17 KM dari segala penjuru mata angin.

Yang menariknya dari Pemerintahan Nagari di Padang adalah penguasaan hak kepemilikan adat untuk semua Sumber Daya Alam (SDA) yang terdapat di daerah tersebut. Sumber daya Alam ini seperti sungai, batu, tanah, air serta hasil bumi yang dihasilkan untuk dimanfaatkan secara bersama oleh masyarakatt, serta tidak untuk diperjualbelikan.

”Tidak ada sejengkal tanahpun di Padang yang bukan milik Nagari. Tanah ini tidak bisa dikuasai oleh pihak ketiga maupun diperjualbelikan. Masyarakat boleh bercocok tanam, mengambil hasil hutan serta lainnya secara bersama,”ucap Sultan Lukman, Sekretaris Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAM) Kota Padang saat berdiskusi dengan penulis yang ikut dalam rombongan Mukim Aceh, kemarin.

Menurutnya, Pemerintahan Nagari di Padang adalah urat nadi Pemerintahan Sumatra Barat saat ini. Pemerintahan masyarakat yang berbasis adat dan kebudayaan lokal ini bahkan dinilai lebih kuat dari pemerintahan yang berada diatasnya jika di lihat dari segi pengaruh dalam kehidupan bermasyarakat.

”Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten, jika ingin mengambil sumber daya alam yang ada di suatu nagari tertentu, harus mendapatkan persetujuan dari wali nagari setempat. Jika wali nagari dan masyarakatnya tidak setuju karena beberapa pertimbangan maka masyarakat bisa menolaknya,”ucap dia.

Dalam hal pengelolaan hutan, lanjut dia, Peraturan Nagari (Perna) atau sejenis peraturan gampong untuk Aceh, sangat dihormati di Padang. Pasalnya, masyarakat nagari tahu betul bahwa semua kekayaan alam yang mereka miliki tersebut akan habis jika digunakan secara liar dan serakah.

”Kesadaran ini yang kemudian membuat masyarakat patuh. Masyarakat telah memiliki rasa kepemilikan yang kuat untuk menjaga alam seperti mereka menjaga harta mereka sendiri,”ucap Sultan lagi.

Dampak dari kuatnya pemerntahan adat nagari ini akhirnya pada pemerataan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan tatanan ekosistem yang baik.

Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya tumbuhan hijau yang terdapat di sepanjang Sumatra Barat. Walaupun hutan Sumatra Barat tidak seluas dengan hutan yang berada di Provinsi Aceh. Namun keperawanan hutan-hutan yang terdapat di daerah yang terkenal dengan rumah gadang ini patuh diberikan apresiasi yang tinggi.

Kesadaran tinggi dari masyarakat untuk menjaga sumber daya alam tanpa ada hukuman dan peraturan yang mengikat seperti yang diberlakukan di Aceh adalah sebuah poin lebih. Hal ini juga yang mungkin bisa jadi bahan pertimbangan untuk Pemerintah Daerah Aceh untuk tidak setengah-tengah dalam membuat sebuah produk hukum.

Yang berbeda Antara Nagari dan Mukim
Walaupun sama-sama sebagai pemerintahan adat yang diakui dengan produk hukum masing-masing daerah. Antara nagari dan mukim di Aceh sebenar terdapat sejumlah perbedaan yang amat mencolok.

Jika Pemerintahan Nagari diberikan kewenangan penuh dalam melaksanakan pemerintahan dan pelaksanaan adat budaya. Maka peran mukim di Aceh hanya diberikan kewenangan dalam melaksanakan adat budaya. Sedangkan peran pemerintahan masih dititik beratkan pada tingkat desa dan kecamatan.

Padahal, jika kita mau melihat pada fungsi sebenarnya, lembaga mukim Aceh merupakan sebuah lembaga yang membawahi beberapa desa. Yang artinya, lembaga mukim ini berada setingkat di atas desa dan setingkat di bawah kecamatan.

”Namun ini semua tidak pernah terpraktekan selama ini. Pemerintah daerah masih menjadikan mukim sebagai simbol, yang kewenangannya masih sangat minim, termasuk untuk urusan adat itu sendiri,”ucap Teungku Nasruddin, ketua majelis Musyawarah Mukim Aceh Besar kepada penulis.

Kadang-kadang, lanjut dia lagi, dalam pelaksanaan urusan adat budaya sendiri, peran mukim ini masih dilaksanakan oleh pimpinan di tingkat desa. Keadaan seperti ini mengakibatkan fungsi mukim kian jauh dari amanah undang-undang seperti halnya keberadaan nagari di Sumatra Barat.

”Nagari dan mukim adalah sebuah lembaga yang hampir serupa dari dua daerah yang berbeda, tetapi dalam pelaksanaannya sangat berbeda,”papar dia lagi.

Perbedaan lainnya, tambah dia, dalam pelaksanaan roda pemerintah, Pemerintah Nagari di Sumatra Barat mendapatkan alokasi dana khusus dari pemerintah daerah setempat atau semacam APBK. Jumlah dana yang disalurkan untuk nagari ini berkisar antara 150 juta hingga 300 juta pertahunnya.

Demikian halnya juga honor Wali Nagari yang dialokasikan sebesar Rp1.300.000 hingga 2.500.000 perbulannya. Sedangkan untuk honor para pimpinan jorong (semasa desa di Aceh-red) adalah dari Rp600.000 hingga Rp1.500.000 perbulannya berdasakan kemampuan daerah masing-masing di berbagai kabupaten dalam Provinsi Sumatra Barat.

”Sedangkan honor untuk mukim di Aceh hingga saat ini masing sangat minim. Ini sangat berbeda dengan di nagari,”jelas dia lagi.

Pemaparan hal ini sebenarnya masih sebahagian kecil perbedaan yang terjadi antara nagari di Sumatra Barat dengan mukim di Aceh. Walaupun pada dasarnya, jika kita berkaca pada rumusan produk hukum, kedua lembaga ini sebenarnya adalah sama.

Menurut analisis penulis, adanya perbedaan pada pelaksanaan Pemerintahan Nagari di Sumatra Barat dengan lembaga Mukim di Aceh, terdapat pada keinginan dan kesungguhan dari para pemerintah lokal dalam mengembangkan lembaga tersebut.

Bangkit kembalinya peran Pemerintahan Nagari di Sumatra Barat dikarenakan pemerintah daerah setempat peduli dan pro aktif. Sebaliknya, terpuruknya lembaga mukim di Aceh bisa jadi karena disebabkan pemerintah daerah kita masih setengah-tengah dalam mengembalikan peran lembaga mukim.

Belum lagi, menurut pengakuan sejumlah mukim yang ikut dalam studi banding FFI, selama ini untuk biaya operasional dan rapat para mukim saja, mereka masih harus menggunakan uang pribadi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi nagari di sumatra barat yang sudah memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahunnya mencapai 400 juta.

Ini berdasarkan pengakuan sejumlah pengurus nagari yang dijumpai oleh penulis selama di Sumatra Barat. Hal ini seperti yang terungkap di Nagari Gugun Malalo, Kecamatan Batipuan Selatan, Kabupaten Tanah Datar, yang dikunjungi oleh tim studi banding, pada Selasa (19/1) lalu.

Jika kita mau melihat hak dan kewenangan para Mukim Aceh berdasarkan qanun Pemerintahan Mukim. Maka keadaan lembaga mukim seperti yang terjadi saat ini sangat bertolak belakangkan rumusan qanun itu sendiri.

Pada salah satu pasal dalam qanun Pemerintah mukim Aceh disebutkan, bahwa Lembaga Mukim Aceh juga memiliki tanah hak wilayah adat yang dapat digunakan masyarakat lokal seluas satu hari perjalanan pulang pergi. Luas tanah yang seharusnya menjadi hak wilayah adat ini tentu bukan sedikit untuk dapat digunakan masyarakat.

Namun dalam pelaksanaan, lagi-lagi produk qanun ini di lapangan sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada di lapangan. Pasal-pasal yang menjadi titik lebih bagi lembaga mukim Aceh justru tidak terealisasi dan hanya simbol belaka sehingga lembaga tersebut tak ubah sebagai pajangan semata
Belajar Dari Nagari Untuk Mukim Aceh
Jika kelembagaan Nagari bisa kembali bangkit setelah hampir tergilas zaman karna adanya Undang-Undang nomor 5 tahun 1979.

Hal ini sepatutnya juga bisa jadi contoh yang baik bagi Pemerintahan Aceh saat ini untuk mengembalikan kewenangan lembaga mukim di Aceh.

Yang perlu dilakukan ada keinginan yang kuat untuk mengembalikan kelembagaan mukim di Aceh tanpa adanya ketakutan berlebih untuk kehilangan porsi kepemimpinan di dalam pemerintahan masyarakat. Apalagi, lembaga mukim di Aceh sudah pernah dipraktekan pada masa sebelum kemerdekaan dulu.

Kuatnya pemerintahan adat yang berpegang pada ajaran agama seperti halnya yang dipraktekan pada kelembagaan nagari di Sumatra Barat, sebenarnya juga bisa jadi suatu kekuatan lebih bagi pemerintah daerah untuk menggalang kekuatan rakyat yang mandiri guna ikut serta dalam membantu pembangunan.

Selain itu, jika mukim bisa seperti nagari di Sumatra Barat, maka bisa diyakini, bahwa segala kriminal dan penebang liar seperti yang marak terjadi di Aceh belakangan ini, juga akan hilang.

Pasalnya, sangsi yang didapatkan oleh pelaku, bukan dari polisi atau aparat hukum, tetapi langsung dari masyarakat sendiri. Tempat dimana warga biasanya melakukan hubungan sosial sehari-hari. Sanksi ini tentu terasa lebih berat bagi seorang pelaku, namun juga tidak mengabaikan hak-hak dari masyarakat sendiri seperti yang terjadi selama ini.

Apa yang dipraktekan di Sumatra Barat patut menjadi pelajar penting bagi Aceh. Keikutan sertaan masyarakat dalam mengelolaan hutan jauh lebih baik daripada penerapan peraturan ilegal logging seperti yang terjadi di Aceh. Hukum tersebut dinilai hanya menjerat masyarakat kecil, sementara sejumlah perusahaan yang memiliki Hak Penebangan Hutan (HPH) masih terus bebas bekerja.


Sekilas Tentang Nagari di Sumatra Barat

Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat dalam wilayah Provinsi Sumatra Barat.

Pemerintahan Nagari adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan dan badan Pemusyawaratan Nagari berdsarkan asal usul nagari di Sumatra Barat dalam NKRI.

Struktur Nagari terdiri dari

Wali Nagari (fungsinya sama seperti eksekutif)
Badan Pemusyawaratan Rakyat Nagari atau BPRN yang dalam pelaksanaanya memiliki kewenangan seperti legislatif. Anggota bprn ini berasal dari berbagai unsur yang merupakan utusan jorong (setingkat desa-ed), unsur pemangku adat, unsur pemuda, cendkiawan, alim ulama serta unsur wanita.
Lembaga Kerapatan Adat (LKA) yang memiliki peran seperti MPR

Keberadaan Nagari diakui berdasarkan Perda nomor 2 tahun 2007. Sedangkan peraturan yang dihasilkan melalui badan pemusyawaratan nagari dinamakan Perna. Peraturan ini memiliki perbedaan antara nagari yang ada di seluruh Sumatra Barat. Tetapi diakui dan disahkan oleh pemerintah daerah.

Pemilihan wali Nagari, BPRN, Jorong dilakukan berdasarkan Perna yang diputuskan dalam banmus atau badan musyawarat.

Jorong adalah bagian dari nagari. Setiap jorong dipimpin oleh Wali Jorong.

Nagari mengguasai semua sumber daya alam yang ada daam kekuasaan nagari yang dikelola oleh wali nagari untuk dipergunakan bagi kesejahteraan masyarakat.

Nagari setingkat berada diatas jorong dan setingkat dibawah kecamatan.

Pesona Abadi di Lubuk Baringin


“Desa ini unik dan memiliki fanorama alam yang sangat indah. Hijaunya dedaunan yang tak terjamah tangan manusia, suara percikan air dengan dipenuhi ikan dari lubuk larangan, serta rimbunnya hutan yang dipenuhi tumbuhan buah, membuatnya berbeda dengan daerah lain diseluruh Indonesia. Semua itu adalah sebuah pesona abadi dari desa yang hampir dilupakan oleh pemerintah berpuluh-puluh tahun,”

Lubuk Baringin nama desa tersebut. Daerah itu sebenarnya hanyalah sebuah desa (penduduk Jambi menyebutnya dengan nama dusun-red) terpencil yang terdapat di kaki Gunung Taman Nasional Kelinci Seblat, Kabupaten Muara Bungo, Provinsi Jambi.

Sama hanyalah dengan desa-desa terpencil di Provinsi Aceh. Desa atau dusun ini juga memiliki kendala berupa asset transfortasi serta penerangan. Dengan jumlah penduduk yang hanya mencapai 100 Kepala Keluarga (KK) membuat desa ini sudah lama ditinggalkan oleh pemerintah setempat.

Namun kesadaran dan adanya keinginan yang kuat dari penduduk setempat, telah mengubahnya menjadi tempat tinggal idaman bagi semua penduduk di negari ini.

Untuk menempuh ke desa ini, seseorang minimal harus menempuh jarak sekitar lima jam perjalanan dari pusat Ibukota Muara Bungo, Provinsi Jambi. Kemudian, para pengunjung juga diwajibkan untuk menempuh perjalanan darat dengan berjalan kaki lebih kurang 30 menit lamanya dari pusat kecamatan.

Lubuk Beringin terletak dipesisir Sungai Beutamboh dan Hutan Lebat Kelinci Seblat. Jalannya masih bertanah liar murni. Listrik pemerintahan belum pernah singgah ke daerah ini sejak masa penjajahan belanda hingga sekarang, termasuk sinyal untuk komunikasi melalui Hanphone.

Patroli kepolisian-pun paling banyak singgah di daerah ini maksimal satu kali dalam enam bulan karena lokasinya yang sangat jauh.

Tetapi keadaan seperti ini bukan berarti membuat masyarakat setempat pasrah. Kekreatifan dari masyarakat telah melahirkan konsep hidup lubuk larangan, Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air (PLTKA), serta hutan desa yang ditumbuhi ribuan pohon penghasil yang bisa dinikmati oleh siapapun.

“Dulu daerah ini sering banjir sehingga masyarakat sering gagal panen. Hal ini membuat pemerintah melupakan adanya desa ini dari peta Provinsi Jambi. Tidak pernah ada sarana transfortasi yang baik, penerangan serta jaringan komunikasi membut daerah ini terkurung berpuluh-puluh tahun. Berbeda dengan keadaan sekarang,”ucap Bahtiar, seorang tokoh desa setempat kepada penulis beberapa waktu lalu.

Kemiskinan yang mendera mereka berpuluh-puluh tahun, kata Bahtiar, telah membuat masyarakat setempat untuk bersatu dan berdirikari guna membangun daerahnya sendiri. Masyarakat tersebut kemudian menggelar sejumlah pertemuan untuk mencari penyebab kemiskinan yang menimpa mereka.

“Kesimpulannya kami harus bangkit dengan tangan sendiri. Kami harus berbenah tetapi tidak tahu harus memulai dari mana, dan tidak pernah ada guru. Ini yang kami lakukan saat pernah kali harus memulainya,”ucap dia lagi.

Hasil keputusan pertama, lanjutnya, Datuk Rio (panggilan untuk kepala desa-red) dan masyarakat sepakat untuk tidak lagi menebang kayu di hutan guna mengatasi banjir musiman. Masyarakat diminta merawat hutan dan menanam kembali daerah yang gersang di sepanjang desa dan hutan tempat mereka tinggal.

“Alhamdulillah sekitar tahun 1999 frekuensi banjir kemudian berkurang. Tetapi masalahnya kembali muncul, karena tidak menebang pohon maka masyarakat kehilangan pekerjaan sehingga kemiskinan tetap melilit warga,”tandasnya.

Untuk mengatasi ini, tambahnya lagi, masyarakat kemudian kembali menggelar pertemuan hingga akhirnya muncul konsep hutan desa, lubuk larangan, Koperasi Dahlia, serta PLTKA.

“Saat ini walaupun kehidupannya tidak semapan para penduduk di kota. Tetapi anak-anak kami sudah bisa menikmatinya sendiri dan melanjutkan pendidikan yang layak. Ini semua buah dari kesabaran penduduk bertahun-tahun dan keinginan untuk bangkit tanpa menunggu uluran tangan orang lain,”pungkasnya.

Penantian di Lubuk larangan
Masyarakat lubuk beringin memiliki sebuah sungai yang mereka namakan dengan Lubuk Larangan. Dinamakan lubuk larangan karena para penduduk dilarang untuk mengambil ikan di sungai tersebut sebelum adanya pengumuman dari pemimpin setempat dan tempo panen yang sudah disepakati.

“Jika ada yang melanggar dan mengambil ikan di lubuk larangan. Maka masyarakat tersebut wajib membayar satu ekor kambing,”ucap Muklis, Mantan Datuk Rio (kepala desa-red) Lubuk Baringin, kepada penulis.

Lubuk Larangan sendiri memiliki luas yang mencapai ratusan meter. Air yang mengalir di sungai ini bersih tetapi sedikit berombak. Hal ini menandakan bahwa banyaknya jumlah ikan yang sedang berenang di dalam sungai larangan tersebut.

“Biasanya panen lubuk larangan mendekati puasa atau ada acara khusus di dusun ini. ikan yang ditangkap cuma yang besar-besar dan dijual. Sedangkan ikan yang kecil dibiarkan tetap di sungai untuk di panen pada tahap selanjutkan,”tuturnya.

Hasil ikan pada sekali panen di sungai lubuk larangan, lanjutnya, berkisar ratusan juta. Uang ini kemudian dijadikan kas atau keuangan dusun (desa-red) yang dipergunakan untuk membangun Mesjid, Tempat Pengajian, Sekolah sWasta, Kantor Desa, serta Kantor Koperasi Dahlia, serta dua surau kecil.

Pada awal pelaksanaan penetapan Lubuk Larangan, kata dia, memang terdapat sejumlah pelanggaran. Namun karena kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin desa pada waktu itu, membuat pelaksanaan berlangsung hingga sekarang. Adanya pembangunan dari hasil lubuk larangan juga membuat penduduk makin yakin atas konsep yang disepakati bersama.

“Intinya ini untuk kepentingan bersama. Jika kita berharap pada pemerintah maka tentu tidak mungkin. Bagi pelanggar pun yang kita hukum ada Ninik Mamak-nya (keluarga-red) sehingga kalau pelanggar tidak sanggup, maka yang kena sangsi adalah orang tuanya dan seterusya ke atas,”tandas Muklis.

“Hasilnya kini kita sudah ada pembangunan walaupun sedikit. Ini sikap kemandirian yang cba kami warisankan untuk anak cucu,”akhiri dia.

Keunikan dari PLTKA
Tidak adanya penerangan merupakan permasalahan tersendiri yang harus dihadapi oleh penduduk Lubuk Beringin. Keadaan ini dirasakan justru pada saat perayaan kemerdekaan yang hampir mencapai 65 tahun di Indonesia, tetapi bagi penduduk setempat, mereka belumlah merdeka dalam hal listrik.

“Karena keadaan seperti ini berlngsung terus menerus membuat kami harus berputar otak. Kami berpikir jika berharap pada pemerintah maka tidak akan pernah menikmati listrik seumur hidup sehingga muncul konsep PLTKA, karena hanya tenaga itu yang ada di sini,”ungkap Ketua pengurus Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air (PLTKA), Ballgaini, kepada penulis.

Menurutnya, awalnya terwujub pltka adalah bantuan dari salah satu lembaga swasdaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pengembangan masyarakat ang berkantor di Jambi. Lembaga ini mendonorkan dana sebesar Rp30 juta untuk pembelian mesin PLTKA yang digunakan masyarakat pada saat ini.

“Sedangkan untuk kincir airnya kita gunakan kayu dan hasil gotong royong dari masyarakat. Kita tidak pernah melihat contoh pembangkit listrik yang ada di daerah lain serta bekerja berdasarkan insting pribadi dan pengetahuan dasar. Setelah dibongkar pasang beberapa kali, baru kemudian keluar apinya,”ucap pria yang berstatus guru ini.

Dalam perjalananya, kata pria ini, peminat fasilitas dari PLKTA di daerah mereka ini sangat banyak, tetapi kapasitas arus yang dihasilkan oleh pltka, hanya untuk 50 KK.

Kemudian, lanjutnya, sama halnya dengan peristiwa yang berlaku pada pelanggan pln di daerah lain, pelanggan PLTKA ternyata juga malas membayar iuran yang diwajibkan perbulannya.

“Hasilnya, ada belasan juta yang masih menunggak pada pelanggan. Padahal, untuk perawatan membutuhkan jutaan. Musyawarah desa kemudian memutuskan untuk melakukan ‘pemutihan’,”tutur pria yang berprofesi sebagai pns ini sambil tertawa.

“Tapi yang jelas dari pltka ini banyak hikmah yang dapat kami ambil. Pertama kemandirian tanpa harus berharap pada pemerintah, serta ilmu pengelolaan yang jarang diajarkan,”ucap dia sambil berfilosofi.


Hutan Desa Sebagai Produksi
Desa lubuk baringin dikenal dengan konsep hutan desa yang pertama di indonesia yang disahkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia, MS Kaban. Pengesahan ini ditegaskan berdasarkan surat keputusan Bernomor 109/Menhut II/2009.

“Adanya SK Menteri ini sendiri bukanlah hal yang mudah yang didapatkan oleh masyarakat. Ini adalah hikmah yang diperoleh warga lubuk baringin setelah menjaga hutan bertahun-tahun tanpa pamrih,”ucap Bahtiar, tokoh masyarakat setempat.

Menurutnya, luas hutan desa yang pengelolaannya diserahkan pada masyarakat lubuk baringin adalah 2.356 hektar. Hutan desa ini kemudian di tanah berbagai jenis tumbuhan seperti karet, durian, rambutan, salak, serta sejumlah tanaman produksi lainnya.

“Kita mengembangkan konsep tebas, tebang dan tanam. Maksudnya, tebas semak belukar, kemudian tanam tanaman penghasil. Alhamdulillah saat ini kita sudah mendapatkan hasilnya. Siapapun masyarakat dan anak cucu yang ingin mengambil hasil dari hutan desa, baik untuk dijual maupun untuk di makan, bebas sesuka hati,”ucap ketua pengelola hutan desa, Muklis, lagi.

Kata dia, hutan desa telah memberikan komoditi serta sumber mata pekerjaan bagi warga lubuk beringin. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan saat masyarakat sebelum mengerti sepenuhnya manfaat hutan dan hanya bisa melakukan penebangan hutan secara sembarangan.

“kami berpikir, kalau cuma menebang hutan, maka yang mengambil untung hanyalah para Cukong kayu. Jadi mending kami tanam tanaman bermanfaat yang bisa diwarisi oleh anak cucu secara turun temurun,”tandas dia lagi.

“Jika ada masyarakat yang menebang pohon yang bermanfaat serta yang dapat menyerap air, maka dia akan dikenakan sangsi adat. Ini yang penting,”jelasnya.

“Kedepan kita juga berencana membuka pabrik getah karet disini dengan bantu koperasi yang kita bangun. Mudah-mudahan ini bisa membuka pekerjaan bagi warga disini dan sekitar,” tutur Bahtiar lagi.



Buah Dari Kesabaran Lubuk Baringin
Apa yang didapatkan oleh warga lubuk baringin saat ini, bisa dikatakan adalah buah dari kesabaran mereka selama bertahun-tahun. Keinginan warga untuk tidak menebang pohon dan melestarikan hutan telah melahirkan hutan desa yang kini jadi sumber mata pencarian dari penduduk setempat.

Seandainya kesadaran tersebut tidak muncul dan penabangan hutan masih dilakukan hingga saat ini, maka otomatis bukanlah berkah yang didapatkan, melainkan banjir yang didapati.

Selain itu, kesabaran masyarakat Lubuk Baringin untuk mengatur perkembangan desanya tanpa terus memangku harapan dari masyarakat juga telah menimbulkan sikap kemandirian dari warga. Sebaliknya, sikap tersebut tentu tidak akan pernah mereka dapatkan jika masih harus tergantung pada pmerintah.

Dalam sejarah daerah-daerah maju, keberadaan sumber daya alam selalu menjadi faktor yang terakhir, seperti Negara Singapura. Yang diutamakan oleh daerah-daerah tersebut adalah kemandirian dan peningkatan Sumber Daya Manusianya (SDM) yang tinggi.

Hal ini yang coba diterapkan di Lubuk Baringin, Provinsi Jambi. Masyarakat di dusun setempat kini berame-rame mengirim anaknya untuk sekolah di luar daerah, seperti Ibukota Jambi, Padang, Medan dan Aceh.

“Suatu saat mereka harus pulang ke daerahnya untuk melakukan pembangunan,”tandas Muklis.

Hikmah Lubuk Baringin Untuk Aceh
Pasca gempa dan gelombang tsunami yang menimpa Aceh pada 26 Desember 2004 lalu, provinsi terasa jadi daerah yang paling diperhatikan oleh semua negara di dunia. Bantuan yang mengalir ke daerah ini sangat banyak dan berduyung-duyung.

Namun banyaknya juga bantuan ini ternyata tidak mampu membuat Aceh bisa jauh lebih baik dari daerah lain. Tingkat pengangguran di Aceh tetap lah tinggi hingga sekarang, ekonomi masyarakat banyak yang hancur, termasuk kesempatan kerja yang sempit.

Banyaknya bantuan yang mengalir telah membuat masyarakat Aceh jadi terbuai dan malas. Hal ini tentu berbeda dengan kehidupan masyarakat di lubuk baringin yang bisa mandiri ditengah ketika peduli pemerintah setempat.

Tatanan kehidupan masyarakat Aceh yang pantang menyerang melawan penjajahan terasa hilang dengan datangnya banyak bantuan paca tsunami. Kini, masyarakat aceh bahkan tidak segan-segan meminta uang pada setiap lsm, atau perwakilan pemerintahan yang datang ingin membuat suatu kegiatan.

Aceh kini, sama dengan kondisi lubuk baringin dulu. Namun Lubuk Baringin sekarang tidak sama dengan Aceh kini. Walaupun dari luas daerah maupun status jelas terdapat perbedaan jauh.

Jika kita ingin belajar, maka semangat pantang menyerah dari masyarakat Aceh harus kembali di tingkatkan. Jika ini ada, bukan cuma lubuk baringin yang bisa disamakan satu tingkat dengan Aceh, tetapi juga negara-negara maju lainnya di dunia.

Masyarakat Aceh Yang Melupakan Sejarah Bangsanya


Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa melupakan sejarah bangsanya. Bangsa yang besar, juga bukan bangsa yang terbuai dengan kemegahan sejarah masa lalu. Namun peristiwa inilah yang terjadi pada masyarakat Aceh hari ini.

Sebahagian masyarakat kecenderungan terbuai dengan masa ke-emasan Kerajaan Aceh dibawah kendali Sultan Iskandar Muda. Namun sebahagian lagi bahkan telah melupakan sejarah bangsa sehingga menjadi factor utama keterpurukan bangsa ini.

Sikap mengagungkan kejayaan masa lalu tanpa adanya petikan hikmah dan semangat melakukan perubahan dinilai telah menyebabkan Aceh kian jatuh dan terpuruk selama puluhan tahun belakang. Kondisi ini, kian ditambah dengan konflik serta gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di akhir tahun 2004 lalu.

Beberapa peninggalan sejarah di Aceh, seperti makam raja-raja terdahulu, makam ulama besar seperti Syiah Kuala, kini terabaikan. Benteng Indra Patra, indra purwa serta benteng pertahanan yang terdapat di pesisir Aceh Besar, diterlantarkan, sedangkan peninggalan lain, seperti Aceh Hotel, kini telah lenyap tak tersisa.

Bukan cuma itu, pembelajaran tentang sejarah yang minim di tingkat sekolah juga menyebabkan para generasi mudah lupa akan sejarah bangsa. Kondisi ini kian ditambah, dengan minimnya pembukuan tentang sejarah local itu sendri, jual-beli manuship berharga serta ditambah sikap apatis pemerintah dalam merawat peninggalan bersejarah.

Dengan kondisi yang sedemikian kompit, maka pantaslah Aceh diklaim sebagai salah satu daerah yang kurang menghargai jasa para pendirinya. Kondisi ini sudah berlangsung sejak lama sehingga sumber-sumber sejarah yang semestinya mash tertata rapi, kini raib.

Keadaan seperti ini berbeda jauh dengan Negara-negara maju yang melestarikan peninggalan sejarahnya.

Makam Syiah Kuala Yang Terabaikan
Keberadaan Makam Syiah Kuala atau Syech Abdulrauf As-Singkili d Desa Tibang, Kota Banda Aceh, sebenar adalah salah satu bukti dan bentuk penelantaran dari Pemerintah.

Pemugaran Komplek Makam Syiah Kuala yang merupakan salah satu situs sejarah terpenting milik Aceh pasca tsunami tahun 2004 dinilai masih sangat terabaikan dan dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Kondisi ini terlepas dari adanya sengketa kepengurusan antara Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Kota Banda Aceh dengan Yayasan Makam Syiah Kuala (Yamsika) yang kini mengelola komplek tersebut.

Menurut, Drs. H. Machmud Ika, Ketua Yamsika, Makam Syiah Kuala yang merupakan salah satu situs sejarah terpenting milik Aceh pasca tsunami tahun 2004 dinilai masih sangat terabaikan dan dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Namun hingga kini belum ada pihak-pihak yang berniat untuk kembali memugarkannya.

Padahal, peran Syech Abdulrauf atau Syiah Kuala bagi masyarakat Aceh, semasa hidupnya sangatlah besar. Syiah Kuala pernah menjabat sebagai kadhi malkul adil di Kerajaan Aceh pada masa Iskandar Muda hingga Sultanah Kamalatuddin Inayat Syah (baca buku A. Hasyimi, dengan judul 69 tahun Aceh merdeka dibawah pemerintahan para ratu-red).

Syiah Kuala juga pernah menjadi guru besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Serambi Mekkah ini, sehingga namanya diabadikan sebagai nama salah satu universtas terbesar Aceh (Unsyiah-red). Namun semua pengabdiannya tersebut sepertinya tidak penting, sehingga kondisi makamnya saja masih kurang perawatan.

“Kondisi ini kian ditambah dengan adanya sengketa kepengurusan antara Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Kota Banda Aceh dengan kami,” ucap Machmud, beberapa waktu lalu.

Kata dia, akibat adanya sengketa ini, membuat sejumlah donator dan pihak luar yang ingin membangun dan memugarkan komplek makam itu, selalu kesulitan memperoleh izin dari pemerintah. situs sejarah yang seharusnya terlindungi, akhirnya terabaikan.

“Ini yang sangat kami sayangnya. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Kota Banda Aceh dan badan pelayanan perizinan terpadu, sepertinya selalu mempersulit pengeluaran izin pemugaran dan renovasi Komplek Makam Syiah Kuala ini,”jelas Machmud.

Katanya, beberapa waktu lalu, telah ada donator dari Malaysia, bernama H.W.M Fadzil.Z yang ingin memugarkan kompek situs sejarah ini kembali. Rencananya, pembaikan yang direncanakan, memakan biaya hingga ratusan juta rupiah ini akan dilaksanakan pada pertengahan desember 2009 ini.

“Namun karena tidak ada izin, terpaksa kerjasama ini tertunda. Kami berharap ada perhatian khusus dari Gubernur dan Wakil Gubernur mengenai hal ini,”tuturnya.

Sementara itu, Kepala Badan Pelayanan Terpadu, Drs. Muhammad Yahya, M.Si, melalui surat bernomor 432.2/BP2T/1178/2009 yang ditunjukan kepada Ketua Yamsika, tertanggal 16 Desember, menjelaskan bahwa penolakan izin pemugaran dan pencarian donatur oleh pihaknya, karena adanya surat pertimbangan teknis dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

“Surat tersebut berisi bahwa Yayasan Yamsika bukanlah ahli waris Makam Syiah Kuala. Atas dasar tersebut, kami tidak bisa memberi izin,”tulisnya.

Sementara Kondisi makam yang hanya dipalangi dengan kayu bercat putih, memberi gambaran ketidak sesuaian antara kiprah sosok Syiah Kuala masa hidupnya dengan kondisi kekinian.

Wisata Sejarah Masih Kurang Diperhatikan
Tidak hanya Makam Syiah Kuala. Banyaknya warisan budaya dan situs sejarah penting yang terdapat di Provinsi Aceh hingga kini, dinilai juga belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sejumlah situs-situs sejarah yang terdapat di Aceh, bahkan terkesan masih terabaikan dan kurang diperhatikan oleh pemerintah.

“Padahal jika dimanfaatkan secara maksimal bisa jadi sebagai pemasukan devisa negara terbesar. Ini keunggulan kita yang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah,”ucap Dr. Misri A. Muchsin, M.Ag, Dekan Fakultas Adap IAIN Ar-Raniry, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, peninggalan sejarah itu seperti Benteng Indra Patra yang terdapat di Desa Ladong, Kabupaten Aceh Besar. Kemudian ada juga peninggalan sejarah lainnya, seperti benteng pertahanan masa peperangan Aceh yang terdapat di sepanjang pesisir Aceh Besar, tetapi kurang mendapatkan perawatan dan hampir hancur karena rusak.

“Banyak situs sejarah lainnya yang memiliki makna sejarah tinggi, tetapi kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Hal ini sangat kita sayangkan terjadi,”jelas dia.

Katanya lagi, sejumlah negara-negara maju dan berperadaban tinggi, seperti Mesir, hingga hari ini masih mempertahankan peninggalan sejarahnya. Sejumlah tempat pengawetan Mumi Fir’un, bahkan lokasi sejarah yang selalu dipadati oleh pengunjung setiap harinya.

“Sekali masuk kira-kira dikutip sebesar Rp200.000 untuk pintu utama, dan Rp200.000 lainnya untuk melihat mumi saja. Bayangan jika jumlah pengunjung yang datang ribuan perharinya,”tandas dia.

Untuk itu, katanya, dirinya sangat mengharapkan adanya kepedulian khusus dari Pemerintah Aceh, untuk dapat melakukan perawatan yang maksimal terhadap sejumlah peninggal sejarah Aceh. Jika ini terjadi, dirinya yakin, sector tersebut akan menjadi tambahan PAD yang tinggi bagi Aceh.

Pembelajaran sejarah lokal yang minim di sekolah
Pemerintah Aceh sebenarnya sudah diberikan sebuah kewenangan khusus di bidang agama, pemerintah, ekonomi dan pendidikan. Kewenangan ini diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) bernomor 11 tahun 2006. Namun sayang kewenangan ini tidak digunakan pemerintah untuk kembali mengangkat sejarah local sebagai pendidikan khusus di sekolah-sekolah, atau pelajaran di muatan local.

Pengakuan Azhari, salah seorang guru sejarah di Aceh Besar, pendidikan sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah saat ini masih sangat minim. Pembelajaran sejarah cuma diberikan waktu satu jam dalam satu minggu. Kondisi ini dinilai sangat memprihatikan, dan salah satu sebab generasi muda melupakan sejarah bangsanya.

“Satu jam dalam satu minggu untuk mengajarkan pendidikan sejarah bagi siswa adalah hal yang mustahir. Bagaimana siswa bisa berbakti untu daerah dan negaranya dengan mewarisi siap pahlawan, jika proses pembelajarannya saja cuma diberikan waktu satu jam,”tandas dia.

Belum lagi, tambah Azhari, satu jam waktu yang disediakan untuk mengajar, ternyata adalah cacatan sejarah secara nasional. Sedangkan untuk sejarah local Aceh, hanya mendapatkan ruang beberapa lembar pembahasan.

“Kondisi ini sangat ironis sekali. Sangat salah jika kita menyalahkan generasi muda karena telah melupakan sejarah, sedangkan pelajaran sejarah local yang kita berikan sangat sedikit di sekolah-sekolah,”katanya.

Fitriani, guru sejarah lainnya, kepada penulis juga pernah mengatakan, bahwa dampak dari minimnya pembelajaran sejarah local ini, mengakibatkan pengetahuan masyarakat tentang sejarah Aceh kian sedikit. Jika kondisi ini dibiarkan berlangsung lama, maka akan banyak cacatan penting dari sejarah Aceh yang hlang nantinya.

“Belum lgi jika ada sumber sejarah hidup atau sejarahwan yang kemudian meninggal dunia. Tidak adanya perawatan situs sejarah seperti yang terjadi hari ini, kurangnya cacatan tentang sejarah lokal, serta pembelajaran sejarah yang kurang di sekolah-sekolah, mengakibatkan siswa melupakan hal ini,”ucapnya.

Pihaknya, lanjut dia, mengharapkan Pemerintah Aceh hari ini sadar akan keadaan seperti ini. “jangan sampai aceh menjadi daerah yang hilang akan indetitas bangsanya. Jika kondisi terus dibiarkan maka buka tidak mungkin hal ini terjadi,”tutur Fitriani.

Pentingnya Peran Pemerintah
Menurut Drs. Mawardi Umar, M. Hum. MA, sejarahwan Aceh, bahwa sikap masyarakat Aceh ini telah menjadi kelemahan yang berakibat fatal. Pemerintah Aceh diminta dapat menyadari hal ini dan melakukan beberapa perubahan dimasa yang akan datang.

“Menjaga situs sejarah memang kewajiban semua masyarakat. Tetapi, Pemerintah Aceh dalam hal ini memiliki peran yang besar. Jika tindakan ini tidak dilakukan oleh pemerintah, maka keterpurukan seperti sekarang akan bertahan selamanya,”jelas dia, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Dirinya mengakui, bahwa dalam hal menjaga sumber-sumber serta peninggalan sejarah sebenarnya merupakan kewajiban semua pihak. Namun pemerintah dinilai memiliki peran terpenting dalam permasalahan ini.

“Hal ini karena pemerintah memilki wewenang dan kemampuan untuk hal ini. Jika sikap ini telah ada, maka msyarakat tinggal mengikuti aturan yang sudah ada. Kondisi seperti ini harus segera diubah,”ucap Ketua Jurusan FKIP Sejarah Unsyiah ini lagi

Dibeberapa kota besar dunia, tambah dia, perawatan sejarah dinilai salah satu hal terpenting. Kota Paris misalnya, biarpun telah berperadaban tinggi, tetapi sejumah bangunan dasar yang memiliki nilai sejarah tetap dipertahankan hingga kini.

“Namun ini terjad sebaliknya di Aceh. Keadaan seperti ini sangat disayangkan,”tandasnya.

Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Rusdi Sufi, Ketua Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA). Menurutnya, jika daerah lain di nusantara, banyak mitos yang menjadi sejarah, maka di Aceh banyak sejarah yang kini menjadi mitos.

“Hal ini terjadi karena stus-stus sejarah tidak ada perawatan. Sehingga ketika kenjadian sejarah masa lalu kembali diceritakan pada generasi sekarang, tanpa ada bukti sejarah yang masih tertinggal, maka mereka akan menganggapnya sebagai mitos,”ucap dia.

Dirinya berharap Pemerintah Aceh menyadari akan persoalan ini. Hal ini dinilai sebagai salah satu cara untuk menjaga indentitas daerah Aceh dimata Negara-negara lain dunia.

Peran yang kuat dan pro aktif dari pemerintah dinilai sebuah keharusan untuk menyelamatkan asset-asset sejarah yang tersisa. Jika masih diam diri seperti sekarang, maka bukan hal yang mustahir, kenjadian yang ditakutkan, bahwa Aceh menjadi bangsa yang lupa akan sejarah bangsanya, akan terjadi.

Penipuan ‘Berjamaah’ di UN Aceh


Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang mulai dilaksanakan sejak Senin (22/3) bisa jadi membuat sejumlah pejabat, kadis pendidikan, Kepsek serta guru di sekolah-sekolah berdebar-debar jantungnya.Periode tersebut merupakan waktu yang riskan bagi mereka untuk dilenserkan dari jabatannya, sehingga kadang-kadang terpaksa melakukan penipuan berjamaah untuk mempertahankan tahta.

Sebenarnya bukan lah sebuah rahasia umum lagi adanya kecurangan pada setiap pelaksanaan Ujian Nasional (UN) beberapa tahun terakhir. Kecurangan ini juga bukan cuma terjadi di Provinsi Aceh, tetapi di hampir seluruh wilayah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Temuan kecurangan ini kian menumpuk setiap tahunnya sehingga setiap adanya temuan bukanlah menjadi pembahasan yang begitu menarik. Setiap laporan adanya kecurangan juga tidak pernah ditindaklanjuti oleh pihak terkait dengan alasan ‘bertujuan baik’ untuk membantu siswa.

Beberapa contoh kecurangan yang pernah terjadi adalah pengisian ulang lembaran jawaban siswa oleh guru, membocorkan jawaban kepada murid, hingga membiarkan siswa membaca buku. Semua tindakan penyimpangan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti sehingga perilaku itu terus berulang pada UN selanjutnya, serta bisa jadi juga akan terjadi pada UN kali ini.

“Bukan UN namanya kalau tidak ditemukan adanya kecurangan. Sayang para anak-anak dimanfaatkan hanya dengan untuk kepentingan pribadi,”ucap Nyak Firdaus, seorang guru di Aceh Besar.

Menurut guru yang merupakan mantan aktivis mahasiswa ini, hampir setiap tahun pelaksanaan UN di Aceh selalui diselipkan ‘aksi ancam mengancam’ antara atasan dengan bawahan. Fenomena inilah yang dinilai membuat pelaksanaan UN di Aceh selalui dihiasi dengan aura panas serta tesis tinggi.

“Kadis memanggil Kepsek untuk mengancam agar nilai UN siswa di daerah tertentu harus tinggi. Kepsek akhirnya mengancam guru untuk membantu siswa agar dirinya selamat. Sedangkan posisi guru jelas tersudutkan hingga terpaksa ikut saran kepsek agar tidak dinilai gagal dalam mengajar,”ucap dia.
Dibalik itu semua, kata dia, yang mengambil manfaat dari aksi itu semua jelaslah bukan siswa. Jika hasil UN baik disuatu daerah, maka posisi Kadis akan tetapi dipertahankan, bahkan mendapatkan pujian biarpun diperoleh dengan memanipulasi jawaban siswa.

Sebaliknya, jika nilai UN Anjlok. Maka besar kemungkinan Kadis serta kepsek akan kehilangan jabatan nya. Mereka juga dianggap tidak mampu sehingga bisa disingkirkan dengan mudah dan diganti dengan orang baru. “Jadi disini jelas terlihat kepentingan siapa kecurangan di UN,”kata nya.

Namun terlepas itu semua. Pelaksanaan UN 2010 di Indonesia kini diprokramirkan terbebas dari tindakan kecurangan. Tidak tanggung-tanggung, jaminan tidak adanya kecurangan di UN 2010 kali ini, tercentus dari Menteri Pendidikan Nasional (mendiknas), Muhammah Nuh.

Pengakuan Mendiknas itu sebenarnya bukanlah keyakinan, tetapi sebuah harapan agar hasil UN murni kerja siswa. Statemen tersebut juga seolah olah, Mendiknas ingin mengatakan tidak ada yang salah dengan un sehingga keputusan Mahkamah Kostitusi untuk menghapus UN adalah keliru.

Hal yang sama ini kemudian secara terstruktur disampaikan oleh pemerintahan tingkat daerah di Provinsi Aceh. Namun pada tingkat pelaksanaannya, lagi-lagi indikasi adanya kecurangan UN terjadi. Sejumlah siswa mengaku menerima bocoran jawaban Bahasa Indonesia, yang akan di UN-kan pada Senin (22/3).

“Itu jangan dipercaya dan tidak benar. Itu ulah oknum tertentu yang membuat kunci jawaban palsu untuk mencegoh siswa. Jika siswa tidak lulus nantinya mereka senang,”ucap Ketua Panitia UN dan UAS Aceh, Drs. Asy’ari, Baca Harian Aceh, Minggu (21/3).

Katanya, para siswa Aceh harus mempercayai kemampuan yang mereka milik masing-masing. Belajar secara optimal dinilai merupakan solusi untuk menghadapi un nantinya, bukan malah mencari kunci jawaban yang belum tentu ada kebenarannya.

Lagi-lagi, terlepas benar tidaknya ada kebocoran soal pada pelaksanaan UN kali ini. Tugas dari pemantau independen, masyarakat, media sangatlah penting disini. Elemen sipil Aceh harus mengawasi pelaksanaan UN 2010 ini agar peristiwa tahun 2009 lalu, terulang di Aceh. Dimana, pada pelaksanaan UN 2009 Aceh mendapatkan posisi yang baik, tetapi justru pada pelaksanaan SNMPTN, menuai kegagalan yang sangat memalukan di bawah Papua.

Peran Pemantau Independen dipertanyakan
Untuk menjaga kemurnian hasil UN 2010 Aceh dibentuklah tim pemantau indenpenden dibawah koordinasi Unsyiah.

Ratusan Tim Pemantauan Independen (TPI) serta pengawas nasional dibawah koordinasi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), disebarkan ke 550 titik Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) serta sederajat menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2010 di Aceh. Tujuan penyebaran tim ini dinilai untuk mencegah timbulnya kecurangan dan penyimpangan selama ujian itu.

“Ratusan anggota TPI serta pengawas nasional telah kita turunkan untuk mengawasi pelaksanaan UN 2010. Masing-masing sekolah terdapat satu koordinator dan satu pemantau untuk masing-masing ruangan ujian dengan tujuan tidak terjadinya kecurangan,”ucap Prof. Dr. Samsul Rizal, M. Eng, penanggungjawab Tim pengawasan dan Tim Pemantau Independen (TPI) untuk Provinsi Aceh.

Menurutnya, sesuai dengan keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bernomor 0029/SK/BSNP/XII/2009, Unsyiah ditunjuk sebagai koordinator penyelenggaraan UN SMA/MA 2010 di Provinsi Aceh. Pemantau independen ini terdiri dari dosen PTN dan PTS, widyaiswara LPMP, anggota organisasi profesi bukan guru, serta anggota dewan pendidikan bukan guru.

“Kita berharap UN 2010 di Aceh nanti dapat berjalan secara objektif, berkeadilan dan akuntabel,”jelasnya.

Sementara itu, Prof. Darni M. Daud, MA, selaku Koordinator Penyelenggaran, Pengawasan dan TPI UN untuk Aceh tahun 2010, menambahkan, pemantauan pihaknya kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kewenangan dari anggota TPI dan pengawasan diberikan lebih luas sehingga temuan kecurangan dapat ditindaklanjuti.

“Dulu para pengawas tidak diberikan hak untuk masuk ruangan sehingga banyak praktek kecurangan. Namun tahun ini hal itu tidak lagi, para pengawas bisa masuk ruangan jika ada indikasi kecurangan,”katanya.

Lanjut dia, kunjungan pejabat, seperti camat, kadis pendidikan, bupati dan gubernur juga diminta dapat diatur sedemikian rupa sehingga tidak menganggu konsentrasi siswa. Hal ini, seperti masuk kedalam kelas, berdialog dengan siswa serta sebagainya.

“kita berharap pengawasan tahun ini berjalan dengan baik serta tidak ada sandiwara lagi. Pengawasan dari Unsyiah yang terbukti bekerjasama dengan sekolah untuk kecurangan akan ditindak tegas serta dipecat. Peserta UN Aceh untuk tahun 2010, adalah 46.451 orang untuk SMA, 12.523 untuk MA, 9.951 untuk SMK, serta 23 orang untuk SMALB,”kata dia beberapa waktu.

Sebenarnya, keberadaan TPI di UN Aceh, bukanlah hal yang baru sehingga fungsi tim ini patu dipertanyakan. Namun dengan alasan yang diungkapkan tadi maka adanya harapan yang berbeda untuk tahun ini. Keinginan dari masyarakat untuk melihat nilai UN siswa yang murni, mengharuskan tim ini berkerja lebih keras lagi.

Sekolah Curang Tak Dapat USMU
Unsyiah selaku perguruan tinggi ternama di Aceh, tahun ini juga mendendangkan ‘suara’ perang terhadap kecurangan un Aceh.

Unsyiah, pada Rabu (17/3) juga menyatakan pihaknya telah berkomitmen untuk tidak memberikan undangan paket Ujian Seleksi Masuk Universitas (Usmu) bagi sekolah-sekolah yang ditemukan melakukan kecurangan di pelaksanaan UN SMA/MA sederajat nanti.

Temuan kecurangn UN ini, baik diungkapkan oleh pengawasan independent, media massa maupun laporan dari masyarakat sendiri.

“Sekolah yang melakukan kecurangan dan pelanggaran di UN nanti tidak akan mendapatkan undangan Usmu dari Unsyiah. Ini semacam pinalti yang kita berikan bagi sekolah-sekolah agar mereka dapat bersikap jujur,”ucap Rector Unsyiah, Prof. Darni M. Daud.

Menurut Darni, setiap tahunnya Unsyiah selalu menerima 800 lebih mahasiswa dari jalur Usmu untuk didik diberbaga Fakultas di Unsyiah. Setengah dari jumlah mahasiswa ini juga diberikan beasiswa hingga mahasiswa yang bersangkutan lulus nantinya.

Namun yang terjadi, kata dia lagi, untuk mendapatkan paket Usmu ini, di beberapa sekolah ternyata melakukan berbagai kecurangan serta manipulasi rapor siswa. Keadaan ini dinilai sangat bertolakbelakang dengan maksud dan tujuan dari diberikan paket Usmu itu sendiri.

“Kita berikan paket Usmu ke sekolah sekolah favorit di Aceh dengan tujuan mencari siswa yang pandai karena dirinya sendiri. Namun yang terjadi banyak sekolah yang mengubah rapor siswa karena Usmu ini. Untuk tahun ini, mereka (sekolah yang melakukan curang-red) tidak akan mendapatkan usmu lagi,”papar Rektor Unsyiah tu.

Tambah dia, pengawasan dari masyarakat terhadap sekolah-sekolah dinilai sangatlah penting. Hal ini bertujuan agar hasil yang diraih oleh siswa nanti murni hasil kerja kerasnya. Sekolah juga diharapkan memiliki beban moral untuk menjaga kemurnian Ujian Nasional (UN) nanti.

“Komitmen Unsyiah untuk tidak memberikan Usmu pada sekolah yang ketahuan curang nanti adalah sebuah sikap yang menginginkan UN terbebas dari manipulasi,”kata dia.

Wajib Dijaga Polisi
Pendistribusian soal untuk Ujian Nasional (UN) di daerah-daerah tingkat dua diminta harus dijaga ketat oleh Kepolisian Sector (Polsek) untuk menghindari adanya indikasi kecurangan. Hal ini dinilai merupakan ketetapan khusus yang diatur dalam Prosedur Operasional Standar (POS) yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk pelaksanaan UN 2010 ini.

“Soal harus dititip di Polsek atau dijaga oleh personil kepolisian jika lokasi sekolahnya jauh dari kantor Polsek tiap daerah. Ini untuk menghindari adanya indikasi kecurangan sebagaimana yang diatur dalam Prosedur Operasional Standar untuk pelaksanaan UN 2010 ini,”ucap Ramli Rasyid, Ketua Persatuan Guru Republic Indonesia (PGRI) Aceh.

Menurutnya, soal UN yang sedang disebarkan di seluruh Aceh oleh panitia tingkat provinsi tidak boleh diinapkan di gedung sekolah. Kerahasiaannya harus tetap dijaga oleh semua pihak sehingga pengawasan dan penjagaan soal perlu diminta bantuan dari pihak kepolisian.

“Bekerjasama untuk membocorkan soal adalah perilaku yang sangat melanggar hukum. Ini merupakan amanah langsung dari Mendiknas di Jakarta yang harus dipatuhi oleh semua pihak,” ucap Ramli.

Kata dia lagi, pelaksanaan UN tahun 2009 lalu masih sarat dengan temuan kecurangan. Para pengawas dan pemantau independent, dilaporkan hanya datang ke sekolah-sekolah untuk menandatangani absen kehadiran agar dapat mengambil honor. Para pengawas ini juga disinyalir bekerjasama dengan Kepsek dan guru untuk membocorkan soal UN.

“Ini terjadi hampir disemua daerah. Akhirnya nilai UN siswa Aceh memang tinggi di UN 2009, tetapi hancur di pelaksanaan SNMPTN. Padahal yang mengikuti SNMPTN juga siswa yang sama,”jelas dia.

Terkait hal ini, tambah dia, PGRI Aceh dinilai tidak akan menoleril perilaku guru yang terlibat kecurangan di UN 2010 nantinya. Para guru yang terlibat nanti diminta untuk di proses hukum agar jerat dan tidak mengulangi perbuatannya kedepan. “Membantu siswa sudah dilakukan dengan mengadakan les sore dan remedial. Itu sudah cukup, bukan dengan membantu menjawab soal lagi,”akhirinya

Pengakuan dari PGRI ini, jelas menambah deretan elit yang menyuarakan anti kecurangan di UN. Namun ungkapan tersebut juga pernah di suarakan pada UN sebelumnya, yang kemudian terindikasi kecurangan. Publik berharap realisasi yang terjadi di lapangan nantinya sesuai dengan statemen yang pernah diungkapkan.

Awasi Penipuan ‘Berjamaah’ di UN
Untuk mengawasi agar UN Aceh tidak terjadi kecurangan serta penipuan berjamaah, maka dibutuhkan komitmen dari semua pihak di Aceh. Adanya komitmen elit dinilai tidak akan berjalan tanpa adanya pengawasan yang maksimal.

Masyarakat, media, serta pengawasan memiliki porsi yang besar untuk menjaga kemurnian ini. Sedangkan ditingkat elit Pemerintah dibutuhkan adanya ketegasan untuk menerapkan sanksi bagi oknum yang mencoba melakukan kecurangan UN di Aceh.

Selama ini hal itu yang kurang diperoleh sehingga kasus tersebut berulang setiap tahunnya. Statemen dari elit hanyalah lips servise di media-media, sedangkan pada tingkat implementasinya bertolak belakang. Inilah tantangan bagi mereka (elit-red) untuk mengembalikan keyakinan publik tentang kemurnian nilai UN siswa di Aceh.

Jika kecurangan masih dipertahankan pada pelaksanaan UN ini nantinya. Maka hal ini tidak ubah dengan pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Kegiatan tersebut cuma seremonial belaka serta ajang menghabiskan keuangan negara. Namun kita berharap hal ini tidak terjadi.

Mesranya Eksekutif dan Legislative Aceh !!


Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju......"

Kutipan lagu ‘surat buat wakil rakyat’ karya Iwan Fals ini seperti nya cocok jika disandingkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode yang sedang berjalan. Keintiman eksekutif dengan legislative saat ini membuat fungsi control lembaga tersebut berjalan mandul.

Dua lembaga tertinggi di Provinsi Aceh ini seperti sepasang pengantin yang masih dalam masa bulan madu. Apapun yang dilakukan oleh pasangan masing-masing tetap saja terbaik di mata mereka (dewan-red).

Adanya persetujuan pembukaan tender proyek APBA 2010 sebelum pengesahan anggaran, adalah salah satu contoh sebabnya. Kemudian, adanya statemen dari Gubernur Irwandi Yusuf di sejumlah media massa yang dinilai melecehkan lembaga dewan juga tidak berani ditanggapi oleh legislatif, dengan alasan demi menjaga ‘kop lembaga asal’ sehingga memperlihatkan kelemahan tersebut.

Sedikit perbedaan pendapat antara keduanya (eksekutif dan legislatif-red) yang pernah terangkat oleh media, justru terjadi pada alokasi dana aspirasi dewan. Dari rancangan anggaran Rp10 miliar perdewan yang di usulkan legislatif ternyata tidak bisa ditampung oleh eksekutif sehingga dana tersebut kemudian turun menjadi Rp5 miliar perdewan.

Lobi-lobi inilah yang disinyalir memperlamban paripurna APBA 2010 ini. Ketika DPRD seluruh Indonesia sudah selesai melakukan paripurna dan menyerahkan APBD-nya kepada Mendagri untuk dilakukan koreksi. Jajaran di DPR Aceh justru belum melakukan apapun. Paripurna sendiri, direncanakan baru akan dilaksanakan pada Senin, 15 Maret nanti.

Keadaan ini jelas menjadi pembicaraan serius di keudai-keudai kopi Aceh. Ketidakberdayaan legislatif untuk mengkritik kinerja eksekutif saat ini telah menimbulkan ketidakpercayaan publik pada lembaga terhormat tersebut. Biarpun di dalamnya masih terdapat satu dua dewan yang masih memiliki hati nurani dan menjalankan amanah rakyat dengan baik.

“Inilah resiko-nya jika eksekutif dan legislatif Aceh berasal dari kop yang sama. Tidak ada kontrol yang baik terhadap jalannya pemerintahan seperti sekarang,”ucap Fahmi, warga Banda Aceh, di warung kopi Dekmi Rukoh, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Jawaban dari warga ini, bukanlah satu-satu nya. Hal lain juga pernah diungkapkan oleh sejumlah warga lainnya. Namun pendapat mereka ini tidak pernah terekpos ke media atau ranan publik karena dianggap tidak memiliki capabelitas yang cukup sebagai sumber.

Azwar, misalnya. Mahasiswa Unsyiah ini menilai keintiman dewan dengan eksekutif selama ini dinilai hanya akan merusak citra kedua lembaga ini. keinginan masyarakat Aceh untuk memiliki dewan dan eksekutif yang benar-benar pro rakyat akhirnya termentahkan karena sikap legislatif itu sendiri.

“Masyarakat Aceh sebenarnya ingin dewan dan eksekutif baru, untuk benar-benar memihak masyarakat lokal. Makanya pada saat Pilkada dan Pemilu lalu rakyat memiliki jalur independen dan partai lokal. Namun hal ini menjadi lain ketika mereka memerintah sehingga rakyat kecewa,”ungkap dia.

Pada Pemilu 2009, Partai Aceh sebagai pemenang pemilu di Aceh sempat menyatakan akan melakukan kontrol publik yang baik bagi jalannya kinerja ekekutif. Namun hal ini belumlah berjalan sepenuhnya sehingga keraguan mulai muncul di tengah-tengah masyarakat.

Seperti yang penulis ungkapkan tadi, adanya persetujuan legislatif pada pembukaan tender proyek APBA 2010 sebelum pengesahan anggaran, adalah salah satu contoh sebabnya. Kasus ini menimbulkan dua asumsi dari kalangan masyarakat awam Aceh.

Pertama, eksekutif Aceh yakin 100 persen (kalau tidak mau di katakan di peralat-red) bahwa legislatif akan mengesankan anggaran seperti kehendak mereka (eksekutif-red), termasuk untuk semua proyek 2010 yang telah ditenderkan sehingga lelang bisa langsung dibuka walau anggaran belum disahkan.

Kedua, legislatif Aceh terlalu ceroboh sehingga melanggar aturan anggaran yang telah ditetapkan. Hal ini tentu saja tidak mungkin karena dewan-dewan yang terpilih rata-rata bertitel magister.

Tender Proyek APBA 2010 Sebelum Pengesahan Anggaran
Aktivis anti korupsi menilai Pemerintah Aceh telah melanggar hukum terkait pengesahan anggaran sebelum disahkan. Hal ini sempat diutarakan oleh lembaga Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) dan lembaga Gerakan Anti Korupsi (GERAK) Aceh, kepada media ini beberapa waktu lalu.

“Tidak ada dasar hukum apapun yang dapat dilakukan oleh pemerintah aceh untuk bisa melakukan tender sebelum mengesahkan anggaran. Kebijakan ini menyalahkan aturan dan melangkahi DPR Aceh,”ucap Alfian, koordinator MaTA saat itu.

Menurutnya, kebijakan ini melanggar Kepres No.80/2003 dan Permendragi No.59/2007 tentang pengelolaan keuangan daerah. Pemerintah Aceh tanpa sadar telah membuka peluang terjadinya penyimpangan terhadap pengelolaan keuangan. Dan ini juga telah disetujui oleh legislatif Aceh, dengan artian bahwa mereka telah melegalkan penyimpangan ini terjadi.

“Kebijakan yang diambil menunjukan adanya kegelisan atas realisasi anggaran yang tidak berjalan dengan baik. Sebuah daerah hanya dibenarkan melakukan tender darurat apabila daerah mereka adalah situasi bencana. Untuk kasus ini Aceh jelas tidak termasuk,”katanya.

Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh koordinat GeRAK Aceh, Askhalani. Menurutnya, tidak ada alasan yang menyebabkan Pemerintah Aceh untuk melakukan tender mendahului pengesahan anggaran. Padahal, ada beberapa proyek yang ditenderkan ini belum tentu mau disahkan oleh legislatif Aceh nantinya.

“Tidak ada dasar hukum yang memperbolehkan Pemerintah Aceh melakukan pelelangan proyek sebelum anggaran disahkan. Ini menimbulkan kesan bahwa legislatif di Aceh pada saat ini tidak ada wibawanya sama sekali,”tandas dia.

Ungkapan dua lembaga sipil ini jelas mewakili kegelisahan masyarakat Aceh atas keintiman legislatif dan eksekutif Aceh saat ini. Parahnya lagi, legislatif Aceh seperti dicocok hidungnya serta diseret sesuai dengan kepentingan dan kemauan eksekutif.

“Jika Pemerintah Aceh saat ini juga memberikan sinyal bahwa DPR Aceh hari ini masih bisa dijengkali oleh Gubernur. Nyatanya, anggaran belum disahkan, tetapi gubernur telah berani mengumumkan pelelangan proyek yang nilainya mencapai Rp2,1 triyun,”ucap Askhalani lagi.

Jika kita mau berpikir positif, pertimbangan eksekutif melakukan tender sebelum pengesahan anggaran, bisa jadi karena ingin semua proyek tersebut bisa berjalan lancar. Pengerjaan proyek membutuhkan waktu yang cukup agar bisa selesai maksimal.

Seperti yang terjadi selama ini, banyak proyek yang tidak selesai karena waktu yang diberikan kepada kontraktor sangat sedikit. Banyak proyek besar seperti pembangunan gedung sekolah cuma diberikan waktu satu dan dua bulan sehingga pengerjaannya kurang maksimal dan asal-asal.

Namun, dampak negatifnya dari pembukaan tender sebelum pengesahan anggaran adalah belum adanya kepastian akan disah atau tidaknya proyek tersebut oleh legislatif. Paling tidak, Pemerintah Aceh harus segera membayar biaya iklan tender tersebut yang berjumlah miliaran rupiah. Padahal, dana tersebut belum tentu disahkan nantinya.

Disinilah muncul peluang penyimpangan seperti yang dimaksud oleh lembaga MaTA dan GeRAK tadi. Pemerintah nantinya harus mencari pos anggaran lain untuk menutupi biaya iklan ini sehingga dinilai melanggar hukum. Dan hal ini didukung sepenuhnya oleh legislatif Aceh.

Keadaan seperti ini sangat miris sekali. Kemesraan legislatif dan eksekutif Aceh telah menimbulkan kecurigaan masyarakat akan kinerja pemerintahan selama ini. Legislatif di Aceh juga dinilai tidak akan berani membentak mempelainya ‘eksekutif’ terkait rendahnya daya serap anggaran dan lemahnya pembangunan yang sedang berjalan.

Keadaan seperti ini, menurut penulis, akan meciptakan berbagai ketimpangan kedepan sehingga pembangunan terhenti.

Temuan Pansus yang tidak ditindaklanjuti
Kasus lain yang menggambarkan adanya kemesraan eksekutif dan legislatif Aceh adalah persetujuan DPR Aceh untuk pembayaran sisa tunggakan 1.120 paket proyek 2008 lalu. Permintaan ini disinyalir sempat dihembuskan oleh eksekutif pada legislatif periode lalu, tetapi tidak disanggupi sehingga niat tersebut tertunda.

Legislatif menyetujui pembayaran sisa tunggakan 1.120 paket proyek 2008 senilai Rp 527 miliar yang tidak selesai dikerjakan pada akhir tahun 2008 dengan alasan karena kondisi force majeure atau bencana alam.

Sebagai syaratnya, legislatif pada saat itu meminta eksekutif untuk wajib memverifikasi kembali dokumen dan realisasi proyek di lapangan secara teliti, rinci, dan sesuai dengan Pasal 138 poin 4a Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk menghindari proses pembayaran yang salah. Legislative akhirnya membentuk Pansus untuk masing-masing untuk melihat kondisi sebenarnya sejumlah proyek 2008 yang belum di bayar tersebut. Hasil yang di temukan ternyata banyak dari proyek tersebut masih terbengkalai dan ditinggalkan oleh kontaktor.

“Padahal anggarannya ada yang sudah digunakan 75 persen. Tapi pembangunan nya masih sebatas pondasi. Hasil Pansus ini akan coba kita bahas di tingkat pimpinan nanti, agar bisa di rekomendasi mengenai di bayar tidaknya proyek tersebut oleh eksekutif,”ucap salah seorang dewan pada saat itu.

Namun anehnya, pasca pansus yang cuma berjalan sekitar seminggu tersebut. Temuan ini kemudian tidak pernah diungkap kepada publik sehingga semua temuan pansus itu tidak ditindaklanjuti. Kekuatan Pansus yang seharusnya memiliki kewenangan besar termentahkan begitu saja saat berhadapan dengan keinginan eksekutif.

Jajaran eksekutif Aceh saat ini, seperti tahu benar cara merayu legislatif Aceh sehingga bisa memperoleh apapun. Sikap inilah yang sangat disayangkan publik saat ini.

Harapan dari ‘penonton budiman’
Posisi rakyat Aceh hari ini bisa diibaratkan sebagai seorang penonton budiman. Kekuatan rakyat Aceh untuk mengubah keadaan ini sangat minim, kecuali dengan doa dan saran, tetapi itu pun belum tentu bisa diterima. Sedangkan para mahasiswa hanya bisa berorasi di jalanan.

Masyarakat Aceh ingin adanya perubahan yang mendasar dari cara kerja legislatif hari ini. Kinerja legilatif diharapkan dapat menjadi wakil rakyat, serta bukan wakil partai seperti yang berlaku selama ini.

Hal inilah yang agak musthahir untuk diperoleh saat ini. kontrol publik yang bagus sepertinya agak sulit diperoleh oleh masyarakat dengan sikap legislatif hari ini sehingga kesejahteraan masyarakat masih di pertanyakan.

Masyarakat Aceh hari ini, terdiri dari berbagai elemen dan suku bangsa. Legislatif dan eksekutif yang terpilih hari ini, jelas merupakan milik semua masyarakat, serta bukan milik golongan tertentu. Keadaan ini jelas mengharuskan legislatif dan eksekutif untuk berkerja ekstra dengan tugas pokok masing-masing.

Kontrol publik yang ekstra dinilai dapat mengwujudkan keinginan rakyat untuk dapat hidup makmur dan sejahtera. Kontrol kuat dari legislatif juga dapat menghindari sikap eksekutif yang bertindak semena-mena dan menganaktirikan pihak-pihak tertentu.

Kemesraan sejati akan terjadi ketika masing-masing lembaga sadar akan tugasnya yang mereka emban. Masyarakat Aceh juga ingin seperti yang dikatakan oleh Iwan Fals dalam lagunya...
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana, di gedung DPR
Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman teman dekat
Apalagi sanak famili

Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Di kantong safarimu kami titipkan

Masa depan kami dan negeri ini

 
Free Host | lasik surgery new york