Indonesia memang sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945 lalu. Namun dalam hal penguasaan Sumber Daya Alam (SDA), arti kemerdekaan hakiki ternyata belum bisa dirasakan oleh semua masyarakat hingga sekarang. Kasus penambangan biji besi oleh PT. Pinang Sejati Utama (PSU) di Manggamat dan PT. Lhoong Setia Mining (LSM) adalah salah satu contohnya.
Dua kasus ini seakan memberikan penjelasan pada publik bahwa ada yang tidak beres pada bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Aceh saat ini. Proses investasi yang seharusnya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, justru menghasilkan hal yang sebaliknya.
Dalam kebanyakan kasus terjadi, masyarakat sering kali merasakan bahwa baik pemerintah maupun investor, sering kali bertindak sebagai ‘perampok’ ketimbang pemberi kemudahan atau investasi bagi warganya.
Selain karena tidak pernah merasakan adanya kemudahan langsung dari kehadiran sejumlah investor di sekeliling mereka. Kerusakan alam yang diakibatkan dari proses pengambilan Sumber Daya Alam (SDA) tadi, juga telah menambah kebencian mereka terhadap para pelaku bisnis kelas kakap tersebut.
Bahkan, tidak jarang kehadiran sejumlah pabrik pengelolaan SDA di Aceh, turut mematikan sumber mata pencaharian masyarakat. Hal ini seperti pemusnahan hutan yang biasanya menjadi ladang bercocok tanam masyarakat, pencermaran lingkungan yang menyulitkan nelayan, serta dampak lainnya.
Keadaan ini menimbulkan kemarahan dari masyarakat, baik protes langsung kepada pimpinan proyek, hingga aksi demotrasi seperti yang terjadi belakangan ini.
Puluhan mahasiswa, pada Kamis (15/4) melakukan unjuk rasa ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Massa ini menuntut dewan setempat untuk menindak dan memproses hukum, PT. Pinang Sejati Utama (PSU) yang dinilai melakukan ekploitasi biji secara sembarangan di daerah mereka.
Aksi massa ini dimulai sejak pukul 09.30 WIB, di depan gerbang DPRA. Awalnya para mahasiswa yang membawa sejumlah poster protes terhadap keberadaan PT.PSU ini, dilarang masuk ke halaman kantor dewan karena dikhawatirkan akan bertindak rusuh, sehingga para mahasiswa ini hanya bisa berorasi di luar pagar.
Menurut Mulmindra, koordinator aksi, mengatakan keberadaan PT.PSU sama halnya dengan keberadaan PT. LSM di Lhoong, kabupaten Aceh Besar. Keberadaan perusahaan tersebut dinilai telah mengakibatkan hampir 90 persen jalan di pemukiman manggamat hancur total.
Selain itu, warga disana juga dipaksa menghirup debu yang merusak pernafasan yang berterbangan akibat ekploitasi.
“Kita menuntut PT.PSU segera menghentikan operasinya sebelum Amdal yang ramah lingkungan serta perjanjian dengan warga disepakati. Pasalnya, mereka tidak memiliki Amdal serta kesepakatan dengan masyarakat tentang pendirian perusahaan tersebut selama ini,”ucap Mulmindra.
Kata dia lagi, akibat ekpolitasi ini, debit air di 12 desa yang terdapat di pemukiman Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah, dirasakan kian menurut. Padahal, PT. PSU itu dinilai baru melakukan ekploitasinya selama 4 bulan, namun telah mengakibatkan dampak kerusakan yang besar.
“Ekloitasi ini juga bisa menyebatkan longsor dan memakan korban masyarakat. Kita juga memandang aneh pada perusahaan tersebut, karena izin ekploirasi, izin ekploitasi, izin dermaga dan izin penjualan bisa diperoleh secara bersamaan, seharusnya izin tersebut keluar bertahap. Kita menduga izin ini didapatkan PT. PSU karena kolusi dengan dinas pemberi izin,”ucap dia.
Sumber lain, juga menyebutkan bahwa ekploitasi yang dilakukan oleh PT.PSU tersebut, terjadi diatas tanah dengan dikontrak selama 20 tahun senilai 1 juta. Perusahaan tersebut disinyalir menekan warga untuk mau menandatangi kontrak itu sehingga mereka cuma bisa pasrah.
“Penjanjiannya, PT.PSU akan memberikan santunan untuk masyarakat dan fakir miskin serta pembangunan fasilitas daerah. Namun hal itu semua tidak diperoleh sehingga kami merasa dibohongi. Jika dalam dua minggu keberadaan PT. PSU masih juga beroperasi, maka kami (masyarakat-red) akan menutup paksa,”jelas dia.
Pada pukul 10.30 WIB, beberapa perwakilan anggota dewan dari Dapil delapan turun menjumpai massa.
Menurut Jufri, anggota DPRA dari Partai Aceh, di hadapan massa mengaku pihaknya akan menindaklanjuti tuntutan ini. Dirinya dan anggota Komisi B DPRA yang menangani masalah pertambangan, akan mencari solusi terhadap masalah yang terjadi.
“Ini bukan cuma terjadi di Mangamat, tetapi juga di daerah lainnya. Ini yang sangat kami sayangkan. Kami akan menindaklanjuti tuntutan kawan-kawan secepatnya,”tandas dia.
Demontrasi ini adalah salah satu bentuk protes warga yang merasakan dampak langsung dari buruknya pengelolaan SDA di Aceh. Seharusnya, para warga ini memperoleh kompensasi dari kerugian yang mereka deritai selama ini. Namun lagi-lagi, kompensasi tersebut cuma dinikmati oleh segelintir pejabat, sehingga kemarahan warga ini tidak dapat dibendung dan mengakibatkan pemikiran negatif dari masyarakat terhadap semua bentuk investasi di Aceh.
Lhoong Setia Mining disomasi
Perusahaan Terbatas Tanoh Meutuah Perkasa (PT.TMP) yang bergerak di bidang perkebunan, pada Jum’at (16/4) melakukan somasi terhadap PT. LSM, dengan tuduhan perampasan. Lagi-lagi, kasus ini tidak terlepas dari proses investasi yang salah yang dilakukan oleh perseroaan tersebut.
Perusahaan yang melakukan penambangan biji besi di Lhoong Kabupaten Aceh Besar ini, dituding telah dengan sengaja merambas tanah seluas 40.000 m2, yang berupa jalan yang di bangun oleh PT.TMP sebagai sarana transportasi menuju areal perkebunan milik mereka.
“Tanah berupa jalan yang telah dibangun oleh PT. TMP sekarang telah dirampas, dirusak dan di hancurkan oleh PT LSM tanpa sepengetahuan dan seizin dari PT. TMP. Atas dasar ini kita melakukan somasi terhadap PT. LSM,”ucap kuasa hukum PT.TMP, Mukhlis Mukhtar, SH, dari dari Kantor Hukum Mukhlis, Safar & Partners kepada para wartawan, kemarin.
Menurut Mukhlis, tanah jalan tersebut (jalan-red) sebenarnya telah di beli secara sah oleh PT. TMP dari masyarakat pada tahun 1995 lalu. Tanah ini terletak di Gampong Jantang, kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar.
Tindakan yang dilakukan oleh PT LSM dinilai merupakan tindakan melawan hukum, karena merampas serta menghancurkan hak milik warga lain tanpa memiliki tanpa izin.
Pelanggaran ini dinilai melanggar ketentuan pada pasal 362 KUHP tentang pencurian dengan ancaman pidana 5 tahun penjara. Pelanggaran lain terdapat pada pasal 170 KUHP tentang menghancurkan barang dengan ancaman pidana penjara 5 tahun 6 Bulan dan pasal 406 KUHP tentang menghancurkan barang milik orang lain dengan ancaman penjara 2 tahun 8 bulan.
“Kami minta dengan tegas kepada PT LSM agar dalam jangka waktu 1 minggu terhitung Somasi ini dikeluarkan, untuk segera menyelesaikan masalah tersebut dengan PT. TMP. Kasus ini juga telah mengakibatkan kerugian yang besar baik secara materiel maupun secara inmateriel bagi klien kami dan ratusan masyarakat lain yang berada di Kecamatan Lhoong,”akhirinya.
Menyangkut hal ini, Alfian Cina, Direktur PT. LSM yang dihubungi melalui hanphone selulernya, menolak mengomentasi pandangan negatif dari semua pihak terhadap perrseroaan milik mereka. Menurutnya, hal tersebut tidak perlu dipolemikan sehingga memperuncing keadaan yang sedang terjadi.
Dikesempatan yang berbeda, sekretaris PT. LSM yang dihubungi juga mengatakan hal yang sama. “HP ini diberikan kepada saya oleh pak Alfian, dan saya di Jakarta. Nanti saya sampai apa yang anda inginkan pada pak Alfian, biar beliau yang menjawab langsung,”ucapnya sambil mengakhiri pembicaraan.
Hak Masyarakat
Tidak hanya itu, aktivitas penambangan biji besi oleh PT. PSU di Kemukiman Mangamat, Kabupaten Aceh Selatan dan PT. LSM di Kabupaten Aceh Besar dinilai telah melanggar hak masyarakat. Kedua perusahaan tersebut juga telah melanggar konsep pelestarian lingkungan hidup yang menjadi ketentuan utama dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2002 tentang pertambangan.
Izin operasi untuk dua perusahaan ini dinilai harus segera dicabut oleh Pemerintah Aceh agar kerusakan lingkungan dapat terhindari.
“kita meminta izin pertambangan dari PT.PSU dan PT. LSM segera dicabut. Pengoperasian kedua perusahaan ini telah keluar dari ketentuan pertambangan dan merusak lingkungan,”ucap Zulfikar Muhammad, Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik dari Koalisi NGO HAM Aceh.
Menurutnya, dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2002 tentang pertambangan, disebutkan bahwa pendapat masyarakat tentang pendirian sebuah industri diutamakan. Namun dalam kasus PT. PSU di Kemukiman Mangamat, Aceh Selatan dan PT. LSM di Aceh Besar, ternyata hak tersebut tidak digunakan oleh pemerintah.
Masyarakat dikedua daerah ini dinilai justru mengalami penderitaan akibat adanya perusahaan tersebut. Hasil survai dari Koalisi NGO HAM di Mangamat, disebutkan bahwa 12 Desa dikemukiman tersebut, telah mengalami pengurangan debit air bersih dan terancam kekeringan.
“Selain itu, fasilitas umum disana, seperti jalan raya juga rusak parah. Amdal kedua perusahaan ini juga memiliki kecacatan sehingga harus kembali ditinjau ulang oleh pemerintah,”jelas dia.
Pihaknya, tambah Zulfikar, juga mempertanyakan proses perizinan pertambangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh terkait pengoperasian kedua perusahaan itu, tanpa mempertimbangkan kerusakan yang terjadi. Proses perizinan kedua perusahaan ini dinilai saraf masalah dan disinyalir telah terjadi indikasi kolusi, antara dinas terkait dengan kedua perusahaan pertambangan, terkait kasus ini.
Dewan Dukung Warga Soal Penutupan
Pada kesempatan yang berbeda, para Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyatakan juga pernah mengatakan pihaknya sangat mendukung aksi masyarakat Lhoong yang meminta PT. LSM ditutup izin operasinya karena dinilai telah melanggar kesepakatan dengan warga setempat.
Perusahaan itu (PT. LSM-red) dinilai tidak menghargai hasil kesepakatan bersama yang di fasilitasi oleh dewan dan Pemerintah Aceh, pada Selasa (16/2) lalu, untuk tidak melakukan penambangan sebelum menyelesaikan konflik dengan warga sekitar.
“Kalau memang tidak mau dipatuhi sebagaimana kesepakatan bersama sebelumnya. Perusahaan tersebut (PT. LSM-red) ditutup saja,”ucap Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Amir Helmi.
Menurutnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar dinilai memiliki tanggungjawab yang besar untuk menyelesaikan persoalan itu. Konflik yang terjadi antara warga Lhoong selaku pemilik tanah dengan PT. LSM selaku investor yang melakukan penambangan biji besi dinilai terjadi karena tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua belah pihak.
Lanjut dia, peran Pemkab Aceh Besar dinilai masih sangat lemah sehingga salah satu pihak merasa dirugikan. Demo-demo yang dilakukan oleh warga Lhoong selama ini dinilai sebagai salah satu penyampaian aspirasi karena merasa ditindak selama ini.
“Hasil rapat yang kita (dewan-red) fasilitasi pada Selasa (16/2) meminta PT. LSM untuk menghentikan penambahan sementara waktu hingga sengketa tanah dengan warga berakhir. Tapi kita terkejut ketika mendengar bahwa perusahaan tersebut masih melakukan penambahan. Jadi mereka (PT. LSM) tidak mengubris inti pertemuan itu, lebih baik ditutup saja,”ucap Helmi.
Seharus, tambah dia, Pemkab Aceh Besar bisa menyelesaiakan permasalahan ini tanpa mengebiri alah satu pihak. Kepentingan investor dan warga dinilai tidak boleh saling bertentangan.
Nila Satu Tetes Merusak Susu Satu Belangga
Secara tidak langsung, kasus-kasus pelanggaran Amdal yang marak terjadi di Provinsi Aceh belakangan ini telah merusak imej investor di Aceh. Hal inilah yang dinilai mengakibatkan masyarakat berpikiran negatif terhadap semua investor yang berniat menanamkan modalnya di bumi serambi mekkah ini.
Padahal pemikiran ini tidak lah benar sama sekali. Jika dibiarkan pemikiran ini kian berkembang, maka provinsi ini akan terkurung dari daerah lain dalam hal pembangunan. Masyarakat yang menolak pembangunan dan kedatangan warga luar untuk membangun daerahnya, akan mengalami kerugian dengan sendirinya.
Inilah tugas dan beban yang harus diembankan kepada para Pemimpin Aceh hari ini untuk dapat menyeleksi dengan ketat berbagai tawaran investasi yang datang ke Aceh. Pemerintah harus benar-benar dapat mengawal proses investasi di Aceh.
Jangan sampai, seperti kata pepatah nila satu tetes merusak susu satu belangga.
Review Pintu, Aplikasi Trading Crypto dan Investasi Aset Digital
2 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.