Jumat, 10 Desember 2010

Kapan Diwisuda…...? (Part 2)


Sepekan terakhir ini aku seperti kedapatan ’durian runtuh’. Sang dewi fortuna sepertinya memang sedang berada disekelilingku belakang ini. Soalnya, banyak berita bahagia yang menghampiri keluargaku. Do’a dan harapan bunda tercinta sepertinya mulai dikabulkan sedikit demi sedikit.

Pertama, Fitri adikku yang tertua akhirnya memperoleh gelar SP, alias Sarjana Pertanian. Sedangkan yang kedua, aku memperoleh Job sampingan untuk mengelola salah satu media kampus di Kutaradja. Tentu saja, pekerjaan tersebut, mungkin akan sangat membantu diriku dalam menanggung nafkah keluarga pasca meninggalnya Abi dalam musibah tsunami yang melanda Aceh di akhir tahun 2004 lalu.

Dan untuk keberuntungan yang terakhir, aku seperti sedang bermimpi. Sesaat perkataan pak TA. Sakti seakan membawa aku ke awan-awan. Saking senangnya, perkataan dosen pembimbingku itu selanjutnya tidak lagi mampu aku cerna.

Dia adalah sosok yang paling berjasa dalam pengembangan studiku di FKIP Sejarah Unsyiah. Kekaguman aku terhadap dirinya, menempatkan dia sebagai sosok yang harus aku muliakan kedua, setelah bunda. Semangatnyalah yang selalu meruntuhkan keegoisan diriku setiap kali hendak ’menutup buku’ dalam mengejar cita-cita.

Setiap kali aku mengeluh tentang jadwal kerja yang padat dan tanggungjawabku yang besar dalam menafkahi keluarga. Dia selalu muncul dengan petuah-petuah bijaknya sehingga diriku kembali bersemangat hingga seperti sekarang.

”Hai, jangan senang dulu. Kamu masih harus menyelesaikan skipsimu. Yang baru kami terima adalah proposal skipsi, bukan sidang akhir,”katanya yang diamini oleh beberapa dosen lainnya. Beberapa di antara mereka ada yang tertawa melihat tingkahku, ada juga yang cuma tersenyum simpul, bijak. Maklum, diriku adalah mahasiswa angkatan 2003 yang masih ’tersisa’ di jurusan itu.

”Iya pak! Terimakasih banyak,”balasku. Aku berdiri dan memberikan salam kepada mereka semua, tapi ketika kaki hendak melangkah keluar, sang dosen itu kembali memanggil dan meminta diriku kembali menghadap mereka.

”Ada apa pak ? Apa ada yang kurang jelas atau ditanyakan lagi?”tanyaku dengan harap-harap cemas. “Oh...tidak, saya cuma mau tanya, Kantin FKIP masih dibukakah? Mie disana kayaknya enak tue,”ungkap Saiful Mahdi, dosen termuda dia sana dengan penuh makna. Terkait dengan pertanyaan ini, aku cuma tersenyum simpul. Aku mengerti bahwa para dosen-dosen ini, sebenarnya ingin ditraktir mie made in Kantin FKIP yang memang terkenal dengan rasanya yang enak.

”Oke pak, segera saya pesan. Terimakasih banyak sekali lagi,”ungkapku yang di balas dengan tatapan yang senang pula dari para dosen ini.
Aku meneruskan langkahku menuju pintu. Sikapku saat itu sengaja ku buat se-bersahaja mungkin hingga keluar dari beberapa meter dari kantor jurusan sejarah. Disana, dengan suara yang lantang aku berteriak sambil berlomba setinggi-tingginya.

”Berhasillllllllllllllllllllllll..........l, terimakasih ya allah akhirnya proposal skipsi-ku diterima juga,”teriakku sekeras-kerasnya. Namun teriakanku ini sepertinya terdengar sama mahasiswa yang sedang belajar dari bangunan terdekat disana. Proses belajar mengajar mereka-pun sepertinya terganggu karena suaraku. Sejumlah mahasiswa dan dosen keluar ruangan guna mencari sumber suara dan menatapku.

Melihat tingkahku mereka terheran-heran dan ketawa kecil. Merasa jadi pusat perhatian, aku jadi merasa malu. ”Saya minta maaf telah menganggu, maaf,”ucapku akhirnya dengan segera bergegas menuju Kantin Bang Pon untuk memenuhi janjiku dengan para dosen sejarah.

****

Waktu ternyata berlalu dengan cepat. Selang sebulan dari tanggal diterimanya proposal skipsiku, jadwal sidang akhir-pun akhirnya diagendakan.

Tidak banyak yang mengetahui perihal sidang akhir ini, termasuk bunda tercinta di rumah. Aku rencananya ingin memberikan kejutan untuk sosok wanita yang telah membesarkan diriku itu. Pelaksanaan sidang akhir ini, sengaja ingin aku coba rahasiakan dari dirinya. Setelah semuanya benar-benar selesai, rencananya baru aku beritahukan sehingga dia bisa merasa bangga.

Terbayang, kedepan bundaku tidak perlu lagi malu ketika bertemu dengan tetangga rumah. Bunda juga bisa memberikan jawaban yang optimis setiap kali mereka menanyakan kapan diriku di wisuda. ”Ah bunda, anakmu hari ini akan segera sidang akhir,”gumamku.

Untuk memuluskan prosesi paling sakral ini, aku sengaja meminta cuti kerja satu hari dari kantor. Alhamdulillah, permohonan cuti ini pun dikabulkan oleh pimpinan redaksi, bahkan bukan cuma satu hari, tetapi dua hari.

Perjalanan dari kantor ke FKIP Unsyiah, rencananya akan ditemani oleh Maulinda. Dia adalah adik angkatanku di Jurusan Sejarah Unsyiah. Dia sedikit lebih beruntung karena bisa menyelesaikan studi lebih cepat dari diriku. Eks mahasiswi cantik dan anggun letting 2006 ini, mungkin masih berharap adanya balasan cinta dariku.

Karena hal itulah yang mungkin menyebabkan anak pejabat teras Aceh ini mau bersusah payah menemani diriku menghadapi sidang akhir di kampus. Mengingat hal ini, hatiku berbunga-bunga. Pasalnya, suatu keberuntungan untuk dicintai oleh wanita cantik dan alim seperti Maulinda.

”Firman, ada cewek cantik yang mencarimu di bawa. Gila, cantik banget,”ucap Rahmad, rekan seprofesi di kantor. Bedanya, dia adalah fotografer, sedangkan aku adalah jurnalis.

”Siapa namanya Mad ? jangan-jangan orang yang komplain berita ya ?”selidiki aku lagi. ”Bukan, katanya dia bernama Mauli. Pake mobil Innova lagi, beruntung amat sih lho ? udah muka pas-pasan, tapi dapat cewek cantik,”tandasnya.

Aku yang mendengarkan hal ini cuma bisa tersenyum, karena sampai saat ini aku belum pernah sedikitpun mengungkapkan perasaan yang sama dengan Maulinda. Hubungan kami selama ini cuma teman baik. ”Oke aku berangkat dulu ya..!” tandas diriku sambil berlalu.

Turun dari lantai tiga kantor, aku berpas-pasan dengan beberapa pegawai bidang adminitrasi. Para perempuan ini tampak tersenyum-senyum penuh makna. Namun tingkah mereka ini tidak terlalu menarik perhatian diriku hingga berjumpa dengan Maulinda. ”Ternyata benar kata Rahmad, Maulinda hari ini tampak cantik sekali. Sungguh orang yang bodoh sepertiku yang menolak cintanya,”gumam diriku lagi.

”Itu mobil siapa dek ? bagus bener,”kataku sambil berbasa-basi untuk memulai pembicaraan. Semoga saja, Maulinda tidak tahu kalau aku memerhatikan dirinya sejak tadi. Mendengarkan pertanyaan ini, Mauli malah tersipu-sipu malu. ”Mobil Mauli bang. Hadiah kelulusan studi dari papa,”katanya singkat dan pelan.

Aku menelan ludah. Terbayang bagaimana kekayaan orang tua Maulinda yang sanggub memberikan mobil untuk anaknya, hanya karena dia telah mampu menyelesaikan studi. Bagiku, untuk mendapatkan mobil seperti itu perlu bekerja seumur hidup. Aku dan Maulinda berbeda bagaikan langit dan bumi.

”Ayo bang, kita jalan. Jangan berpikir yang enggak-enggak,”ungkap Maulinda memecah keheningan. Aku mengiyakan dan duduk disamping dia. Maklum, hingga kini aku belum mampu menyetir mobil.

Dari kantor di Desa Lambhuk, kami melewati Jalan Teuku Nyak Makam hingga tembus ke depan Kantor Gubernur Aceh. Dari sana, kami melaju dengan kecepatan sedang hingga sampai ke Simpang Mesra. Disana, lalu lintas ternyata sedikit macet hingga Innova Maulinda pelan seperti semut. ”Kok bisa macet seperti ini ? tidak biasanya Simpang Mesra macet,”gumamku. Maulinda cuma angkat bahu tanda tidak mengerti.

Jiwa jurnalisku tiba-tiba muncul. Untuk menghilangkan rasa penasaran ini, kucoba bertanya pada beberapa pejalan kaki disana. ”Kenapa bisa macet begini bang ?”selidik diriku. “Itu bang, tadi ada dua ibu-ibu ketabrak mobil. Lukanya sangat parah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kasihan dia,”ungkap lelaki muda pejalan kali tersebut.

Mendengar hal ini, aku berniat turun dari mobil, namun Maulinda mencegah diriku. Dia sepertinya takut ditinggalkan sendiri. Pelaksanaan sidang akhir-ku juga akan dimulai sebentar lagi sehingga tindakan Maulinda ini aku anggap tepat. Kamipun akhirnya mencoba kembali ’merayap’ di tengah kemacetan hingga akhirnya tembus ke Darussalam, kota pelajar.

****

Sidangku berlangsung cepat. Tulisan di Skipsi yang berjumlah 341 halaman hanya diselesaikan dengan sepuluh pertanyaan, itupun bukan pertanyaan yang susah. Aku juga cuma bisa bengong ketika sidang dikatakan selesai dan aku berhak untuk menyandang predikat sarjana pendidikan alias S.Pd.

”Selamat,”ucap pak TA. Sakti. Ucapan selanjutnya meluncur dari mulut dosen-dosen lainnya. Tidak ketinggalan, ucapan serupa juga diucapkan oleh para mahasiswa, serta para asisten dosen yang menyaksikan sidang akhir diriku. Beban menggunung yang selama ini menekan diriku, seakan runtuh seketika.

Maulinda dan beberapa temannya tampak tersenyum saat itu. Namun dipikiranku cuma terbayang wajah bunda seorang. Aku ingin cepat-cepat berbagi kebahagian ini dengan wanita yang telah melahirkanku itu. Maulinda sendiri sepertinya mengerti akan hal ini, diseretnya tanganku untuk segera meninggalkan ruangan tersebut dan menuju mobil dia. Kami-pun segera melaju ke rumah. ”Bunda, aku tidak sabar bersujud didepanmu. Berkat do’amu akhirnya anakmu ini bisa meraih sarjana,”gumamku dalam hati.

Sesampai di rumah, suasananya tampak sepi. Aku mencari-cari sosok bunda, tapi tak juga berhasil aku temui. Kemudian aku coba mencari di rumah Tante Lis tetangga kami, tapi bunda tidak ada juga ada disana. Di tengah kesibukan tersebut, Tante Linda meghampiri diriku dengan wajah suram.

”Cari bundamu Fir ? kamu belum tahu,”ucapnya singkat. Mendengarkan pertanyaan ini, tiba-tiba perasaan tidak enak menghampiri diriku. ”Tahu apa tan ? ”tanya aku ulang.

”Bundamu dan Tante Lis tadi ketabrak di Simpang Mesra. Mereka kini dirawat di RSUZA. Fitri sudah kesana, saya pikir kamu sudah diberitahu melalui hanphone. Bundamu luka parah,”paparnya lagi. Mendengarkan hal ini, kepalaku berkunang-kunang, langit terasa runtuh. Aku berjalan dengan sedikit sempoyongan.

”Tidak, Firman sengaja mematikan hanphone hari ini agar sidang akhir tidak terganggu,”ungkapku sebelum akhirnya langit menjadi gelap dan aku tidak sadarkan diri.

Rabu, 01 Desember 2010

Sambutan Hangat SBY Dari Mahasiswa Aceh..!


Ratusan massa mahasiswa berujuk rasa menyambut kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Provinsi Aceh, Senin (29/11). Demo tersebut merupakan aksi ’terhangat’ untuk seorang presiden yang dipilih hampir 93 persen masyarakat Aceh, tetapi masih dan baru setengah hati menjalankan petisi perdamaian.

Aksi ini menuai bentrokan dengan aparat keamanan di Simpang Tiga Kota Banda Aceh. Dikatakan hangat, karena aksi ini berlanjut di tengah-tengah ujan deras yang sedang menbasahi bumi Iskandar Muda.

Massa yang tergabung dalam Front Mahasiswa-Rakyat Peduli Perdamaian (FMRA-PP) ini terlibat aksi saling lempar batu hingga dua jam lamanya dengan pihak keamanan serta mengakibatkan adanya luka-luka dari kedua belah pihak.

Ratusan demontran mencoba memberikan perlawanan dari ratusan pihak keamanan gabungan TNI dan kepolisian, serta dipersenjatai lengkap.

Aksi massa ini sebenarnya telah dimulai pada pukul 10.45 WIB. Massa yang hendak menyuarakan Pembebasan Tapol Napol Aceh ini bermaksud melakukan aksi di depan Hotel Hermes Palace sebagai tempat bermalam Presiden SBY.

Para Tapol Aceh yang belum dibebaskan ini adalah Ismuhadi Jafar, Ibrahim Hasan, serta Irwan Bin Ilyas. Ketiganya masih mendekam di Penjara Cipinang dengan status hukuman seumur hidup. Inilah alasan-alasan mengapa SBY dinilai masih setengah hati terhadap perdamaian Aceh.

Alasan-alasan inipun yang menyebabkan adanya demo ’hangat’ ala mahasiswa Aceh terhadap presiden yang hobi menciptakan lagu tersebut.

Namun pihak keamanan ternyata mencoba menjegat ratusan kedatangan massa ini, hingga peserta aksi mundur sampai ke simpang tiga (simpang mesra-red). Dilokasi tersebut, massa ini kemudian mencoba bertahan dan menggelar orasi secara bergiliran.

”Kita menuntut Presiden SBY tidak hanya datang ke Aceh untuk membuka sejumlah kegiatan seremonial, tapi juga menyelesaikan agenda-agenda perdamaian, seperti penerbitan sejumlah PP, Perpres, serta Keppres untuk penguatan terhadap UUPA,”ungkap Safrudin, koordinator aksi dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKIP Unsyiah.

Maksud Safrudin, PP tersebut adalah PP tentang Kawasan Khusus, PP tentang Pengelolaan Migas, PP tentang Pelimpahan Kewenangan, PP tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh/Kab/Kota, PP tentang Penetapan nama Aceh dan gelar pejabat yang dipilih setelah Pemilu 2009, dan PP tentang Standar, Norma dan Prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh/Kab/Kota.

Sementara dua Perpres turunan dari UU PA yang belum ada adalah Perpres tentang kerja sama internasional dengan Aceh, Perpres tentang Pengalihan Kanwil BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kab/Kota menjadi perangkat daerah Aceh dan perangkat Kab/Kota.

Sedangkan Kepres turunan dari UU PA adalah, Kepres tentang Penetapan dan pemberhentian Sekda Aceh.

Hal yang hampir sama juga diungkapkan Isbahannur, orator mahasiswa dari Kota Lhokseumawe. Menurutnya, saat ini ada sejumlah amanah MOU Helsinki yang belum juga diwujudkan oleh pemerintah pusat, seperti pembentukan KKR, Pengadilan HAM, serta pembebasan sisa Tapol Napol Aceh.

Sementara itu, Heri Mulyandi, juru bicara aksi, dalam orasinya juga menuntut agar SBY segera mencabut Keppres no.33 tahun 1998 tentang pengelolaan hutan lindung yang dinilai bertentangan pasal 150 dan 262 UUPA.

Tetapi, pada pukul 12.30 WIB, pihak keamanan Aceh yang dikawal langsung oleh Wakapolda Aceh, meminta massa untuk segera menghentikan aksinya. Pasalnya, Presiden SBY dijadwalkan akan melintasi daerah tersebut untuk melakukan penanaman pohon di Desa Tibang, tidak jauh dari lokasi aksi.

Massa yang menolak aksinya dibubarkan, akhirnya terlibat adu mulut dengan ratusan personil kepolisian dan TNI yang melakukan pengamanan ekstra. Aksi ini kemudian berlanjut hingga saling pukul dan lempar batu.

Satu orang perwakilan massa yang bernama Ahmad Saidi dari Fakultas Hukum Unaya ditangkap serta puluhan massa mengalami luka mamar akibat bentrokan ini. Belasan sepeda motor massa juga di rusak.

Marah melihat hal ini, massa kemudian mencoba untuk memblokir jalan hingga melakukan swepping mobil plat merah dan anggota polisi sebagai upaya balas dendam. Aksi ini kemudian dibalas dengan semprotan gas air mata dari pihak keamanan. Beberapa pengguna jalan juga sempat kena serpihan dari aksi ini.

Sekitar pukul 16.45 WIB, perwakilan massa akhirnya mencoba untuk berunding dengan pihak keamanan, yang diterima langsung oleh Dir Intel Polda Kombes Pol Bambang Cahyo.

Hasil kesepakatan, pihak keamanan akan membebaskan perwakilan massa yang ditangkap serta menganti rugi kerusakan sepmot mahasiswa dengan jaminan massa membubarkan diri. Selesai tuntutan ini dipenuhi, massa kemudian menempati janjianya dan membubarkan diri pada pukul 18.30 WIB.

Diluar aksi ’hangat’ ini, sejumlah pihak sebenarnya telah mencoba bertemu dengan SBY untuk menyampai maksud yang hampir sama. Jika kedepan, SBY juga masih setengah hati dalam mewujudkan tuntutan ini, maka mahasiswa Aceh, mungkin perlu mengulangi ”kisah 98 dan 99”.

Membiarkan rakyat ’berbicara’ mungkin bisa sedikit membuat panas suhu tubuh para pemimpin kita yang sudah terbiasa dengan makan berlemak dan hidup enak.

Minggu, 28 November 2010

Saat Yang Waras ’Berguru’ Pada Yang ’Sakit’...!!


Wanita berkulit sawo mantang ini memiliki postur tubuh mungil. Wajahnya yang teduh, terlihat selalu dibasuhi dengan air wudhu. Mukena putih, kain sarung kusam serta sajadah cap ’bantuan’, terlihat sangat akrab dengan dirinya. Selang satu jam sekali, dia selalu meminta izin pada tamu yang hadir ke rumahnya, untuk membiarkan dia melaksanakan solat sunat.

Namun, sayangnya bukanlah faktor kealimannya itu yang membuat para tamu-tamu ini menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumahnya di Desa Gani Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Tamu ini datang, karena rantai dan gembok di kakinya.

Ya, Fatimah, 37, memang sedang menderita gangguan jiwa. Anehnya, perilaku ketidakwarasan Fatimah ini justru ditunjukan dengan sikap kerajinan solat.

”Sudah cukup dulu Fatimah, bapak-bapak ini ingin bicara dengan kamu sebentar,”ungkap Adnan, 45, suami dari wanita itu. Tapi bukannya menuruti, Fatimah terus melanjuti solatnya hingga enam kali salam, atau 12 rakaat.

Selesai solat, Fatimah baru mau kembali menyapa tamu-tamunya tersebut. Dia sepertinya memang mengerti akan maksud dan tujuan kedatangan dari para tamu-tamunya ini.

”Untuk apa bapak-bapak datang kemarin, saya kah sudah sehat?”ungkap dia. Pertanyaan ini menimbulkan kerutan kening di antara para tamu-tamu yang hadir. Para tamu ini adalah pegawai dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh.

”Bagaimana kami tidak datang kemarin..!! Fatimah dari tadi solatnya kebanyakan,”ucap sesosok tamu perempuan. Mereka, datang mewakili Pukesmas Ingin Jaya.

”Nyan sembahyang sunat buk..!! Dub nabi yang ka geujamin syurga mantong sembahyang sunat, apalagi geutanyoe. Bek peugah droe ureng sehat apabila hana sembahyang,”balas Fatimah. Yang hadir tersentak dengan jawaban dari sosok yang dianggap gila ini.

Melihat hal ini, seorang pria yang terlihat paling tua dari barisan tamu, akhirnya ’angkat’ bicara. Dia adalah Direktur RSJ Aceh, Saifuddin AR. ”Oke kalau begitu Fatimah ke sini saja. Ajari saya kitab ini,”ucap dia.

Mendengar permohonan ini, Fatimah terlihat senang. Diambilkannya kitab perukunan, yang berisi tentang hukum-hukum dalam beribadah, untuk dijelaskan pada pria tadi. Bacaan arab-jawinya sangat lancar, lengkap dengan arti dan penjelasan. Dia juga membetulkan beberapa tulisan yang kurang terang dalam kitab tersebut. Maklum, usia kitab itu sendiri, terlihat sudah hampir sebaya dengan Fatimah.

”Get that, sudah hamper sehat dia. Tapi kenapa juga kamu suka memukul anak-anak,”tanya Saifuddin kepada Fatimah. Pertanyaan ini tidak langsung dijawab. Fatimah menunduk. ”Nyan watee saket,”akui dia.

”Oke kalau begitu, kamu ikut kami ke RSJ ya, disana kita sama-sama belajar dan berobat nanti,”ajak saifuddin.

”Jet, asal bek kamar dhalia beh pak..!! kamarnya kotor, jadi lon hanjeut lon seumbahyang enteuk,”pinta dia. Permintaan ini langsung disambut tawa oleh tamu yang hadir.

Menurut Adnan, 45, suami pasien, penyakit yang diderita oleh isteri tercintanya ini, diakuinya sudah mulai terlihat di awal-awal perkenalan mereka (sebelum menikah-red). Namun karena cinta, dirinya mengaku tetap menikahi pasien hingga akhirnya dikaruniain lima anak yang kini sudah tumbuh dewasa.

”kalau sudah sakit (kumat-red) dia sering melakukan solat hingga belasan rakaat. Dia juga tidak mau meninggalkan solat lima waktu dan solat lainnya, namun saat berkomunikasi tidak nyambung dan sering memukul anak-anak tanpa sebab. Karena hal ini, makanya saya merantai dia,”ucap Adnan.

Menurutnya, gangguan jiwa yang diderita oleh isterinya ini dirasakan paling parah dalam dua tahun terakhir. Pasien sering berpergian ke daerah-daerah yang jauh dengan berjalan kaki, dan kadang-kadang membawa serta dua anaknya yang masih kecil.

Jika sedang waras, lanjut dia, pasien cuma berdiam diri di rumah dan tidak mau mengerjakan tugas apapun, termasuk pekerjaan rumah tangga. Imbasnya, semua pekerjaan tersebut terpaksa ditangani oleh dirinya dan putrinya yang paling tua, yang kini masih berstatus sebagai siswa kelas 2 SMA.

”Saya merantainya hanya untuk keamanan saja biar tidak mencelakai anak-anak kami. Saya ingin dia diobati hingga sembuh,”ucap Adnan lagi di hadapan Drs. H. Saifuddin, Kepala Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh, saat menjemput pasien di rumahnya.

Sementara itu, Saifuddin, Kepala Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh, mengatakan penjemputan pasien jiwa ini merupakan salah satu bagian dari deklarasi bebas pasung yang dicentuskan oleh Pemerintah Aceh selama ini. Dirinya juga berharap, setiap keluarga yang anggota keluarganya menderita gangguan jiwa, agar dapat segera diberitahukan kepada pihaknya.

”Ini agar Aceh terbebas dari perilaku pasung. Saat ini banyak penderita gangguan jiwa yang masih dipasung oleh keluarganya. Mereka masih malu jika hal ini diketahui oleh orang, padahal tidak demikian,”tandas dia.

Terlepas dari permasalahan tersebut, serta adanya anggapan gila terhadap sosok seperti Fatimah. Jawaban dari wanita itu sebenarnya amatlah logis untuk keadaan seperti sekarang. Alangkah aneh, ketika banyak orang yang saat ini mengaku waras, tetapi malah meninggalkan shalat. Sedangkan sosok seperti Fatimah sendiri, dicap gila. Namun keikhlasan dan senyum Fatimah seakan membiarkan hal ini terjadi

Selasa, 23 November 2010

Kapan Diwisuda?


“Undangan. Mohon kedatangan rekan-rekan, sahabat, dan kanda sekalian pada syukuran sarjana saya, Senin (18/10) di Mbak Moel Cafe, pukul 13.00 WIB. Kedatangan kawan-kawan adalah suatu kemulian bagi saya. Tertanda Maulinda”.

Tak terasa, SMS ini sudah belasan kali aku baca dan SMS ini pula yang membuatkanku tak bisa tidur. Nafas yang aku hembuskan juga terasa amat berat, tidak sebanding dengan berbagai persoalan kantor yang sedang menimpa diriku selama ini.

Ya, kegelisan memang sedang melanda diriku malam ini. Bukan hanya karena Maulinda adalah adik lettingku di Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah. Bukan juga karena dia termasuk salah satu mahasiswi yang pernah menyatakan cintanya padaku.

Bagiku, urusan asmara adalah persoalan kesekian dalam hidup ini. Hidup tanpa wanita juga akan memudahkan diriku untuk berkerja dan membiayain kuliah dua orang adik semata wayang yang sangatku cinta.

Sebenarnya ada sejumlah persoalan lain yang membuat diriku enggan untuk berjumpa dengan sosok eks mahasiswi tercantik di FKIP Sejarah Letting 2006 tersebut. Tapi sayangnya, jika aku tidak datang, aku juga tidak sangup melihat kekecewaan yang kesekian kalinya muncul di wajah pemilik senyum terindah yang pernah aku lihat itu.

”Datang ya bang! Mauli sangat berharap lho, supaya abang datang,” aku teringat ucapan Maya, melalui telpon tadi siang. Maya adalah kawan akrabnya Maulinda. Dia juga tahu segala persoalan yang pernah terjadi antara kami berdua.

Telpon itu yang mungkin menguatkan diriku untuk berani berhadapan langsung dengan Maulinda dan keluarganya. ”Ya sudah! Aku akan datang. Pagi hari ke kantor dulu untuk rapat redaksi, kemudian liputan sebentar dan baru ke acara Maulinda. Persetan dengan pertanyaan-pertanyaan itu,” gumamku akhirnya dalam hati.

Kuraih sarung untuk menutupi mata, tujuan agar cepat tertidur. Namun lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul dan dia seolah-olah berwujud seseorang yang terus berbisik di kiri kanan telinga. Ampun,,,,,!!
***

”Bang firman ya? Lama tak berjumpa ? Udah diwisuda bang?” berondong Siska dengan pertanyaan saat bertemu diparkiran Mbak Moel. Siska adalah pengurus himpunan di FKIP Sejarah. Dia, kalau gak salah adalah mahasiswi letting 2007.

.Deg, jantungku berbunyi. Ya tuhan, kenapa ketakutanku menjadi kenyataan.

”Belum, lagi nyusul dan memperbaiki beberapa mata kuliah yang dapat E. Insya allah tahun depan, kayaknya kelak,”ucapku mencoba memberi jawaban yang diplomatis sekaligus meyakinkannya.
”Jangan lama lagi lho bang, letting 2003 kah? Jangan sampai kami tinggali seorang diri di kampus nanti,”ucapnya lagi, dengan nada bercanda.

”Pasti, masak abang harus diwisuda dengan letting 2008, apa kata dunia!”candaku kembali. Siska terlihat tertawa lepas mendengarkan perkataanku.

Aku dan Siska kemudian memasuki Mbak Moel, tujuannya adalah untuk memenuhi undangan Maulinda. Ternyata pengunjung Mbak Moel memang sedang membludak, maklum cafe tersebut memang telah menjadi tempat favorit bagi para sarjana untuk mengelar hajatan dan syukuran karena telah mampu menyelesaikan pendidikan.

Aku mencari-cari Maulinda, tetapi sosok wanita anggun tersebut tidak juga aku temui. Beruntung, Siska sepertinya menemukan lokasi duduk mereka. Barisan sebelah kiri paling belakang, dekat dengan Mushala. ”Ayo bang, itu mereka,”tunjuk dia ke barisan beberapa mahasiswa yang sedang tertawa lepas. Tidak ada yang aku kenal.

”Yalah, merekakan rata-rata masih semester 5. Sedangkan aku, adalah mahasiswa Letting Tua alias Lettu yang belum selesai-selesai,”gumamku dalam hati lagi. Sebuah gelar yang membuat aku selalu tertunduk lesu saat bertemu dengan mahasiswa satu jurusan.

”Hei-hei, beri jalan, mahasiswa letting tua sedang berjalan kemari. Kalian harus hormat sama orang tua,”terdengar sebuah suara yang sangat akrab di telinga bergurau memecah kegembiraan. Duh, kiamat....!

Ihsan ternyata belum berubah dari dulu. Dia adalah mahasiswa satu angkatan dengan diriku. Bedanya dia sudah selesai pendidikan sejak awal 2007 lalu. Pria ini paling suka mencandain orang atau temannya sekalipun ditengah-tengah keramaian. Parahnya lagi, ternyata sosok pria hitam tersebut juga diundang dalam acara ini.

”Ternyata pak jurnalis masih ganteng seperti dulu. Mau ketemu dengan calon mertua ya pak ?”ungkapnya lagi. Serangan kata-kata darinya kali ini ternyata mendapat respon lebih heboh dari yang pertama. Lirikan mata mereka tertunjuk pada diriku dan sosok wanita berbaju merah jambu yang sedang tertunduk dan tersipu-sipu malu. Di sampingnya, ada wanita paruh baya yang juga tersenyum simpul penuh makna.

Ya tuhan, kapan ejekan ini akan berakhir...!!

***

Selasa pagi terasa jauh lebih baik. Biarpun semalaman hujan turun dengan lebat untuk membasahi bumi dan menuai banjir untuk beberapa daerah, tapi bagiku itu lebih baik daripada kenjadian Senin siang kembali terulang.

Senyuman Maulinda saat diriku meninggalkan acaranya juga masih membekas di ingatan. Dia berkali-kali minta maaf dan mengatakan senang atas kedatanganku. Dan, hal yang paling membuatku berperasaan campur aduk seperti sekarang adalah perkataannya yang terakhir saat mengantar diriku di prakiran. ”Saya masih menunggu abang. Bunda juga mendukung,”kata dia.

”Ah, sebaiknya aku lupakan saja harapan itu. Dia adalah anak seorang pejabat pemerintah, sedangkan aku, cuma jurnalis biasa dan mahasiswa abadi,” gumamku dalam hati sambilku teruskan menikmati udara pagi.

Pagi itu, bundaku tampak sedang menyapu halaman. Melihat diriku telah bangun, dirinya bergegas menyelesaikan pekerjaannya dan menghampiri diriku. Ya tuhan, aku sesungguhnya sudah tidak tega melihat sosok orang tua yang sangat kusayangi ini bekerja keras diusianya yang telah senja.

”Nasi sudah bunda siapkan di atas meja. Sana makan,”katanya singkat. Aku cuma mengangguk kecil dan bergegas masuk kedalam, di sana hanya kulihat setumpuk nasi putih serta telor mata sapi. Namun bagiku ini adalah menu termewah yang bisa kudapatkan di pagi hari, biasanya cuma nasi putih plus minyak goreng dan garam.

Segera kuambil piring dan sendok serta melahap hindangan tersebut.

”Fitri butuh uang untuk praktikum, katanya. Mamak bilang suruh bersabar dulu, soalnya abang belum gajian,”ucap bunda tiba-tiba di samping. Aku tidak tahu, sejak kapan bunda berada di samping. Namun informasi yang disampaikannya justru jauh lebih berarti.

Fitri, adalah adikku yang tertua. Dia saat ini sedang menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian Unsyiah. Dia sebenarnya seangkatan dengan Maulinda, namun keberuntungan ternyata belum memihak dirinya sehingga dia belum juga bisa menyelesaikan kuliahnya pada tahun ini. Tahun lalu Fitri terpaksa tidak aktif karena kekurangan biaya.

”Ya bun! Nanti Firman cari solusinya. Kan itu praktikum terakhir dia, jadi sayang kalau tertunda lagi. Bunda sampaikan saja, besok uangnya sudah ada sehingga dia tidak perlu cemas,”ungkapku menghibur bunda.

Wanita itu tampak tersenyum. Senyum inilah yang paling ingin ku cari selama ini. Senyum yang hilang pasca gelombang besar meluluh-lantakan daerah kami 5 tahun silam. Gelombang itu menewaskan ribuan orang di daerah ini, termasuk Abi.

Selesai makan, aku berpakaian dan hendak berangkat ke kantor. Namun sebelumnya, aku ingin berpamitan dulu dengan bunda. Sayangnya, sosok tersebut sedang tidak berada di dapur. Mungkin dia di rumah tetangga, pikirku. Akupun segera bergegasan ke sana.

”Muhammad, anak saya sudah selesai S2 lho, Buk Sukma. Dia akan segera pulang dari Malang. Kami berencana untuk membuat sedikit syukuran! Mohon dibantu ya,”ucap Tante Lis, tetangga samping rumah kami. Aku secara tidak sengaja mendengarkan pembicaraan ini.

”Oya, Muhammad kan satu angkatan dengan Firman? Dia masih kuliah?”selidik dia lagi. Mendengar hal ini, aku dapat menebak apa yang akan dijawab oleh bundaku.

”Masih kuliah, tapi belum selesai. Maklum harus kerja,”ucap bunda dengan nada yang dibuat-buat untuk tersenyum. Namun di balik itu semua, aku melihat sosok bunda saat itu sangat rapuh. Tanpa sadar, air mata ku turun membasahi muka. ”Mohon maaf bunda. Aku belum bisa mengwujudkan mimpimu.”

Melirik SDA Aceh Yang Masih Terabaikan


Daerah Aceh memiliki potensi sumber daya laut yang luar biasa. Namun sayangnya, cuma sedikit potensi alam ini yang mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Aceh. Sumber daya tersebut hingga kini masih terabaikan tanpa mampu dijamah keperawanannya oleh para ahli di daerah ini.

Di sektor perikanan, pesisir pantai Aceh memiliki panjang 1.660 km dengan luas perairan laut 295.370 km², terdiri atas luas wilayah perairan ( teritorial dan kepulauan ) seluas 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 238.807 km². Jenis ikan laut yang ditangkap: ikan kembung, layang, tongkol, tuna, dan tembang.

Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri perikanan tangkap di laut dan perairan umum (sungai, danau, waduk dan rawa-rawa) dan perikanan budidaya (ikan air payau di tambak, di kolam, ikan di sawah (mina padi) atau budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung, baik di laut maupun diperairan tawar).

Gempa bumi dan tsunami 2004 telah menyebabkan kerusakan besar di sektor kelautan dan perikanan. Produksi perikanan tangkap (kembung, laying, tongkol, tuna, dan tembang) pada 2005 sebanyak 109.152,2 ton, sementara produksi 2004 mencapai 140.780,8 ton.

Sedangkan produksi 2006 meningkat menjadi 154.000 ton. Potensi ikan tangkap di Aceh 1,8 juta ton.

Jika sektor perikanan Aceh mampu digarap secara maksimal, sektor ini sebenarnya mampu menyerap 257.300 tenaga kerja atau sekitar 51.460 kepala keluarga atau mencapai 31,68% dari 811.971 total tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian.

Potensi perikanan lainnya adalah budidaya rumput laut, kerapu, kakap, lobster dan kerang mutiara dengan potensi sebaran seluas ±12.014 ha,membentang mulai dari Sabang, Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeleu, sampai Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil. Pengembangan perikanan ini didukung oleh sebaran luas terumbu karang seluas ±274.841 ha, membentang mulai dari Sabang, Aceh Besar sampai pantai barat selatan Aceh.

Tidak hanya itu, Posisi Aceh juga berhadap langsung dengan lautan india yang merupakan sarang ikan tuna di dunia. Namun sektor ini ternyata belum mampu digarap maksimal oleh Pemerintah Aceh.

Sejumlah ikan tuna yang ditangkap oleh nelayan Aceh saat ini hanya ikan yang berada di daerah teritorial. Sedangkan tuna yang berada di laut lepas belum mampu sedikitpun dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh secara maksimal untuk kepentingan masyarakatnya.

Karena ketidakmampuan ini, keberadaan tuna akhirnya ’dijarah’ oleh nelayan dan pemerintah dari negara-negara tetangga. Sedangkan Aceh hanya menjadi penonton selama bertahun-tahun.

Parahnya lagi, Pemerintah Aceh saat ini bahkan belum mampu menyedikan pelabuhan yang dinilai layak untuk dijadikan tempat persinggahan kapal-kapal nelayan yang menangkap ikan tunas di lautan lepas. Kemudian, peluang inipun kini malah diambil alih oleh provinsi lain, seperti Muara Baru Jakarta. kondisi ini sangat memprihatikan sehingga perlu adanya pembenahan.

Bagi penulis sendiri, ada banyak hal yang perlu kembali didiskusikan ulang mengenai tata pembangunan bidang perikanan di Seramoe Mekkah.

Pelabuhan Standar Internasional
Provinsi Aceh dinilai belum memiliki satupun pelabuhan ikan yang berstandar internasional sebagai tempat merapatnya sejumlah kapal-kapal besar yang menangkap tuna di lautan india lepas. Kondisi ini dinilai sebagai satu peluang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara tidak sengaja telah dibuang oleh Pemerintah Aceh pada saat ini.

”Kita tidak memiliki satupun pelabuhan ikan yang layak disebut sebagai pelabuhan ikan standar internasional. Akibatnya, banyak sumber daya laut yang kaya akan ikan terabaikan begitu saja,”ungkap M. Adli Abdullah. M.Cl, Direktur Pusat Studi Adat Laut dan kebijakan Perikanan (Pushal-KP) Unsyiah, kepada wartawan, Kamis (4/11).

Menurutnya, daerah Aceh yang berhadapan langsung dengan lautan india lepas sebenarnya amat kaya dengan keberadaan ikan tuna. Namun untuk menangkap ikan ini, para nelayan diharuskan bergabung dalam Organisasi Indian Ocean Tuna Comisi (IOTC) atau Komisi Tuna Lautan India, karena populasi ikan ini sudah semakin sedikit.

Negara Indonesia, lanjut dia, merupakan anggota organisasi IOTC yang ke 27 dan masuk menjadi anggota pada tahun 2007. Dari organisasi ini, Negara Indonesia dikabarkan mendapatkan devisa sebesar 1, 4 triliun pertahun dan berhak untuk menangkap tuna dalam kuorta 650 juta ton pertahun.

Sayangnya, ungkap dia lagi, hingga kini belum banyak nelayan Aceh yang mengambil peluang ini. Bahkan, Pemerintah Aceh dianggap juga kurang peka untuk melakukan upaya upaya pemanfaatan sektor ini.

”Tidak hanya itu, kita bahkan tidak memiliki satupun pelabuhan standar internasional yang layak agar kapal-kapal penangkap tuna ini bisa merapat di Aceh. Padahal jika ada, ini tentu sebuah peluang yang sangat luar biasa bagi nelayan dan pemerintah,”tutur mantan Sekjend panglima laot ini.

Selama ini, tambah dia, pelabuhan yang dijadikan tempat merapatnya kapal-kapal tuna ini adalah di Muara Baru, Jakarta. Adli juga mengaku sudah pernah berpergian ke pelabuhan Muara Baru dan bertemu dengan para pengusaha kapal ikan tuna disana. Para pengusaha itu mengaku, mereka merapat ke Muara Baru, karena Aceh tidak memiliki pelabuhan ikan standar internasional.

”Jika Aceh memiliki pelabuhan standar internasional, maka mereka mengaku lebih memilih Aceh sebagai lokasi merapat. Selain lebih dekat dengan lokasi penangkapan tuna (lautan India lepas-red), para pengusaha itu juga mengaku akan menghemat biaya perjalanan mereka sebesar 60 juta persekali penangkapan,”jelas dia.

Di Muara Baru, lanjut dia, gara-gara merapatkannya kapal-kapal tuna ini telah berhasil mempekerjakan hampir 40 ribu orang perhari. Jika Aceh memiliki pelabuhan standar internasional seperti Muara Baru, tentu hal yang sama juga dapat dilakukan di Aceh sehingga perekonomian masyarakat meningkat.

”Saat ini peluang ini sedang dilirik oleh Sumatra Barat dan Sibolga, Sumatra Utara. Sedangkan kita akan tiga pelabuhan yang rencananya dibangun standar internasional, seperti Pelabuhan Samudra Lampulo, Pelabuhan Labuhan Haji, serta Pelabuhan Idi. Namun kelanjutan pembangunan ketiga pelabuhan ini tidak jelas hingga sekarang sehingga jika tidak segera dilanjutkan pembangunannya pada 2011, peluang ini dikhawatirkan diambilalih oleh daerah lain,”akhiri dia.

Sama halnya dengan analisa penulis, gerak pemerintah dalam membedah pembangunan sektor perikanan seharusnya dapat dipercepat. Jangan sampai, peluang yang ada didepan mata pu akhirnya diserobot oleh pemerintahan provinsi lainnya.

Potensi Perikanan Aceh Belum Digarap Optimal
Potensi Sumber Daya Alam (SDA) bidang perikanan yang ada di perairan Aceh dinilai belum mampu digarap secara maksimal. Pemerintah Aceh periode ini, juga dianggap kurang serius dalam mengenjot sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bidang perikanan sehingga peluang tersebut telah diambil oleh provinsi lain, seperti Sumatra Utara dan Sumatra Barat.

”Potensi perikanan yang ada di perairan Aceh saat ini belum dapat digarap maksimal. Akibatnya, potensi tersebut malah dimanfaatkan oleh provinsi lain untuk mengenjot PAD mereka. Sedangkan kita hanya diam menyaksikan kasus ini terjadi,”ucap Muklisin, ahli perikanan Aceh dan dosen Fakultas Pertanian Unsyiah, dalam diskusi mingguan Pusat Studi Adat Laot dan Kebijakan Perikanan (Pushal-KP) Unsyiah, di Kantin AAC Dayan Dawood, Kamis ( 4/11).

Menurutnya, selain perikanan laut, potensi perikanan air tawar, perikanan air payau, serta budidaya perikanan dinilai juga masih kurang digarap maksimal. Keberadaan nelayan dan petani tambak juga dianggap masih kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, terutama untuk peningkatan pengetahuan budidaya ikan, serta kuncuran kredit.

Akibatnya, banyak cara-cara penangkapan yang dilakukan oleh para nelayan dianggap justru membunuh populasi ikan, seperti penggunaan pukat harimau, serta pencemaran air laut. Kasus seperti ini, ditemukan di danau Laut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah.

”Kondisi Danau laut tawar sangat memprihatinkan. Jaring ikan yang digunakan oleh para nelayan disana bisa menangkap anak ikan. Padahal, telah ada Perda yang mengatur hal ini, namun tidak diacukan. Belum lagi penggunaan bom racun yang dapat membunuh telur ikan,”ungkap Muklisin.

Dirinya mengaku telah melakukan penelitian hal ini selama berbulan-bulan di Danau Laut Tawar. Rekomendasi hasil penelitian ini juga telah disampaikan pada Pemkab Aceh Tengah dan Dinas Perikanan Provinsi Aceh, tetapi tidak ada tindaklanjuti yang berarti.

”Masyarakat melakukan pelanggaran ini karena pengetahuan yang minim. Namun Pemkab dan Pemprov ternyata juga tidak mau peduli hal ini karena sektor itu tidak menjadi fokus pemasukan bagi PAD,”tutur dia.

Jika seandainya pemerintah fokus, tambahnya, pemerintah seharusnya mampu memberikan pemahaman yang baik bagi nelayan, serta memberikan fasilitas kredit untuk mengembangkan perekonomian mereka dan membangun fasilitas perikanan yang memadai.

Seriuskan Pemerintah Penting
Dalam membangun sektor perikanan Aceh sebenarnya sangat diperlukan adanya tingkat keseriusan yang tinggi dari pemimpin Aceh saat ini. Namun hal inilah yang sulit dicari oleh masyrakat saat ini.

Jika kita merujuk pada Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2011 yang diajukan oleh eksekutif ke legislatif beberapa waktu lalu. Maka secara jelas dapat dilihat bahwa para Pemimpin Aceh saat ini sebenar masih kurang serius untuk mengenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor perikanan.

Mengapa demikian? Karena alokasi anggaran untuk bidang perikanan ternyata masih sangat sedikit dibandingkan sektor lain. Pemerintah saat ini juga dinilai masih terus mengandalkan sektor pertambangan yang tidak dapat diperbahrui bidang sumber daya tersebut suatu saat habis.

Sebagai contoh, mudahnya keluar izin untuk bidang pertambangan, seperti untuk PT. Lhoong Setia Mining (LSM) di Aceh Besar dan PT.PSU di Aceh Selatan. Padahal, dampak dari izin tersebut disinyalir telah merusak lingkungan dan mendapatkan protes keras dari warga sekitar.

Selain itu, Pemerintah Aceh saat ini juga dirasakan enggan untuk fokus pada pembinaan nelayan Aceh. Para nelayan dan masyarakat pesisir Aceh saat ini masih mengandalkan kemampuan pribadi dan alat tangkap tradisional dalam setiap aktivitasnya. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa ikan-ikan yang berada di perairan Aceh seperti tuna yang memiliki nilai jual tinggi akhirnya malah menjadi tangkapan nelayan luar.

Bagi penulis, salah satu cara untuk mengenjot PAD Aceh kedepan, hanya dengan memanfaatkan sektor pertanian dan perikanan. Kedua sektor ini memiliki SDA yang melimpah.

Pemerintah sejatinya perlu membangun fasilitas yang memadai bagi nelayan, seperti pelabuhan ikan. Hal lain adalah pemberian kredit lunak agar nelayan Aceh mampu mengembangkan diri dan tidak selalu identik dengan kemiskinan. Jika sektor ini tidak dimanfaatkan, serta nelayan tidak diberikan fasilitas, maka sampai kapan pun daerah ini tidak akan berkembang.Sebaliknya, potensi yang ada saat ini malah akan dikuras oleh daerah lain.

Senin, 22 November 2010

Kekerasan-Kekerasan Atas Nama syariat Islam


Pelaksanaan hukum syariat sebenarnya bertujuan untuk mengatur tatanan kehidupan manusia yang baik dan sesuai dengan ketentuan agama. Namun ada kadang kala, tindakan dalam penerapan syariat terkesan dipaksakan hingga menimbulkan kekerasan-kekerasan dan menyebabkan imej islam menjadi buruk di mata masyarakat.

Cerminan prilaku bertolak belakang dengan harapan syariat ini terlihat pada aksi pembakaran puluhan cafe di Dusun Ujong Kareng, Desa Ladong, Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Hanya karena ingin menegakan syariat di daerah itu, massa yang terprovokasi akhirnya membakar puluhan kios yang menopang hidup puluhan kepala keluarga di daerah itu.

Aksi pembakaran massa ini telah menumbulkan imej baru tentang pelaksanaan islam di Aceh, seperti islam yang anarkis dan radikal. Imej dari penerapan syariat yang selama ini ditampilkan dalam sosok yang santun, melalui tindakan-tindakan penyadaran berubah menjadi sebaliknya.

Berdasarkan alur cerita, ratusan warga Desa Ladong (minus Warga Dusun Ujong Kareng-red), Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, Minggu (14/11), membakar puluhan pondok di Desa setempat. Aksi ini dilakukan, karena massa menilai keberadaan pondok-pondok cafe tersebut memicu perbuatan maksiat.

Massa dalam jumlah banyak itu tak mampu dikontrol sehingga berimbas pada pembakaran. Aparat kepolisian, Camat dan WH yang datang ke lokasi juga tak mampu berbuat banyak ketika massa melakukan pembakaran.

Ratusan pengunjung ketakutan dan pemilik cafe mengalami kerugian hingga belasan juta rupiah.

Ketegangan sempat terjadi antara massa dan pemilik pondok yang dibakar. Mereka tidak setuju karena tidak semua pondok di sepanjang pantai Ladong yang dibongkar. Tapi, hanya sebagian yang berada di Dusun Ujong Kareung dan di Dusun Indra Patra.

Selain itu, pemilik juga protes, karena pembongkaran tidak sesuai dengan perjanjian. Perjanjiannya, massa hanya pondok kecil yang dibongkar. Tapi dalam aksi di lapangan, malah pondok besar juga dibongkar dan dibakar.

Sebenarnya, sebelum pembakaran pondok dilakukan, masyarakat setempat sebenarnya telah menggelar rapat dan musyawarah pada Sabtu (13/11) pukul 15.00 WIB di Masjid Ladong. Rapat ini dihadiri unsur muspika, assisten I dan II, Kasatpol PP dan WH Aceh Besar, dan orang yang dituakan di gampong itu.

Keputusan rapat, diputuskan pembongkaran pondok-pondok kecil yang keberadaannya tertutup dan rawan pelanggaran syariat, tetapi tidak ada istilah pembakaran. Namun praktek yang terjadi di lapangan, akhirnya alah berbeda dan diluar kesepakatan.

Camat Masjid Raya, Yuslizar mengatakan, penertiban yang dilakukan seharusnya berdasarkan qanun gampong. “Tapi, apa yang terjadi setelah massa turun ke lapangan, itu di luar dugaan. Sejujurnya, kami juga tidak menginginkan ini terjadi,” ujar Yuslizar.

Menurut penulis, sebenarnya tidak ada yang salah dengan penerapan hukum syariat islam di Aceh. Namun tindakan anarkis seperti gerakan massa tadi yang seharusnya menjadi perhatian semua pihak yang menginginkan syariat berjalan kaffah di Aceh.

Tindakan anarkis seperti pembakaran cafe yang menyebabkan ribuan keluarga kehilangan pekerjaan, jutru membuat masyarakat semakin antipati dengan hukum tersebut. Akhirnya imej islam itu sendiri terasa sempit dan menjadi agama cemoohan dari non islam.

Pemilik Polisikan Pembakar Café di Ladong
Sekitar 50 pemilik cafe yang pondoknya di bakar massa di Dusun Ujong Kareng, Desa Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Senin (16) melaporkan kasus tersebut ke jajaran Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Banda Aceh. Selain melaporkan kasus perusakan yang mengakibat mereka mengalami kerugian puluhan juta, para pedagang tersebut juga melaporkan kasus penganiayaan yang menimpa mereka karena aksi brutal tersebut.

Para pedagang ini mendatangi Poltabes Banda Aceh, sekitar pukul 10.00 WIB. Menurut pedagang, pihaknya sengaja melaporkan kasus ini untuk mengetahui provokator yang berada dibalik pembakaran itu.

”Pembakaran ini karena ulah provokator. Beberapa warga yang sempat ikut-ikutan juga telah mengaku menyesal. Kita memperkarakan kasus ini dan menuntut polisi mengusut hingga tuntas,”ucap Zulkarnaen, 24, salah seorang pemilik cafe kepada penulis, kemarin.

Menurutnya, gara-gara adanya ulah provokator yang memanas-manasi warga, para pemilik cafe rata-rata mengalami kerugian hingga belasan juta. Pihaknya mencurigai adanya keterlibatan sejumlah warga luar (bukan warga Ladong-red) dalam pembakaran cafe, pada Minggu (15/11) lalu.

Katanya, lanjut dia, motif pembakaran ini disinyalir karena adanya persaingan bisnis yang tidak sehat. Pasalnya, ada sejumlah cafe tertentu ternyata tidak dibakar massa.

”Sejumlah nama yang diduga menjadi dalang dalam pembakaran ini telah dilaporkan. Kita berharap mereka dapat segera di tindak,”ucap Mariati, 46, pemilik warung lainnya.

Sementara itu, Amir, pemilik warung lainnya, juga menambahkan bahwa pihaknya juga melaporkan kasus penganiayaan yang menimpa mereka selama berlangsungnya pembakaran tersebut. Dirinya sendiri mengalami memar di seluruh tubuh akibat di pukul oleh oknum.

”Beberapa pembakar itu adalah orang yang suka memalak pengunjung cafe. Mereka meminta sejumlah uang dan memeras pengunjung dengan alasan telah melanggar syariat. Mereka pernah kami tegur untuk tidak melakukan hal itu lagi, tapi kemarin tiba-tiba datang dan membakar pondok kami dengan alasan melanggar syariat,”ungkap sumber lainnya.

Sementara itu, Kapoltabes Banda Aceh, Kombes Pol Armensyah Thay, menyangkut kasus ini kepada wartawan mengaku akan menindaklnjuti laporan warga tersebut. Dirinya juga mengaku prihatin atas kemalangan yang menimpa para pedagang ini. ”Kita akan menindaklanjuti kasus ini hingga selesai. Masyarakat hendaknya percaya pada polisi dan tidak main hakim sendiri,”tuturnya.

Pembakaran Cafe di Ladong Picu Konflik Antar Warga
Kasus pembakaran Cafe yang terjadi di Dusun Ujong Kareng, Desa Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, di Kabupaten Aceh Besar, ternyata masih menuai polemik di tengah-tengah warga. Pembakaran tersebut disinyalir telah mengakibatkan tumbuhnya konflik internal antar warga di desa setempat yang dikhawatirkan berujung dengan bentrokan massa.

Menurut sumber wartawan, pasca adanya pembakaran cafe yang terjadi Minggu (14/11) lalu di sana, telah mengakibatkan timbulnya sikap permusuhan antara warga dari Dusun Ujong Kareng dengan warga dari dusun lainnya di Ladong. Dua kelompok ini sama-sama sedang menuntut balas atas aksi yang terjadi Minggu lalu.

”Mayoritas pemilik cafe adalah warga Ujong Kareng. Mereka belum bisa menerima cafe mereka dibakar serta pemiliknya dipukul massa. Saat ini suasana di sini (Ladong-red) sedang mencekam,”ucap sumber tadi.

Lanjut sumber tersebut lagi, tidak hanya menimbulkan perpecahan di tingkat masyarakat se-kampong. Konflik disinyalir juga terjadi di tingkat orang tua gampong (tuha peuet-red).

Orang tua gampong disana dinilai tidak bisa mencegah terjadinya pembakaran Cafe di sepanjang Dusun Ujong Kareng dalam desa itu. Padahal, pada rapat gampong sebelumnya, telah disepakati untuk tidak ada aksi-aksi pembakaran seperti yang terjadi pada Minggu lalu. Jika ada ditemukannya pelanggaran syariat, warga hanya akan menegur pengunjung yang bersangkutan.

”Namun yang terjadi malah sebaliknya. Camat dan WH yang turut ke lokasi malah diam seperti membiarkan aksi ini terjadi. Hari itu (Minggu-red) pemuda Dusun Ujong Kareng sebenarnya hendak menghentikan aksi pembakaran cafe milik keluarganya tersebut, namun dihentikan oleh orang tua gampong supaya tidak ada perkelahian massa,”ungkapnya.

Menyangkut hal ini, Geuchik Desa Ladong, Rusli AR, yang dihubungi oleh wartawan, membantah adanya perpecahan di daerah mereka. Namun dirinya juga mengaku belum bisa mencari jalan tengah guna mendamaikan warganya yang terlibat pertikaian tersebut.

”Alasannya, aksi pembakaran yang terjadi Minggu lalu tanpa sepengetahuan kami selaku orang tua gampong. Selain itu, aksi pelaporan polisi yang dilakukan oleh pemilik cafe juga tidak pernah diberitahukan kepada kami. Jadi posisi kami hari ini serba salah,”ungkapnya pasrah.

Haruskan syariat diterapkan dengan kekerasan ?
Pertanyaan ini sebenarnya yang harus menjadi bahan renungan kita selama ini. Pasalnya, penerapan syariat islam di daerah Aceh ternyata telah menimbulkan imej yang buruk-buruk di tingkat nasional dan masyarakat internasional.

Banyak para wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri luar, sepertinya enggan untuk mengunjungi Aceh hanya karena mendengar dan melihat informasi yang salah tentang penerapan syariat islam, seperti halnya pembakaran cafe secara massa tadi.

Selain itu, pernah juga ada aksi pemotongan rok dan swepping liar busana ketat oleh pihak tertentu di Aceh. Aksi-aksi ini justru mengakibat imej negatif tersebut di tingkat nasional sehingga menyebabkan masyarakat luar semakin antipati terhadap syariat.

Padahal, imej syariat yang selama ini yang muncul ke tingkat nasional dan internasional, hanyalah yang bersifat negatif semata.

Islam sebenarnya jutru memperlakukan penganutnya dengan sebaik-baiknya dan mengutamakan pentingan kesadaran dari masyarakat untuk pelaksanaan syariat secra kaffah. Islam mengajarkan sesuatu yang baik itu harus dimulai dengan cara-cara yang baik pula.

Orang islam yang baik, sebenarnya adalah orang yang berperan serta dalam memajukan dan mengembangkan agamanya serta berguna untuk orang islam lainnya secara khusus dan orang-orang di sekitarnya pada umumnya.

Kriteria orang itu adalah yang bagus ibadahnya, rukun dengan orang lain, tidak suka mencerai berai agamanya, tidak dibenci orang-orang baik, menjaga ukhuwah islamiyah, mengembangkan agama dalam berbagai aspek kehidupan, dan lain sebagainya.

Tujuan pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita dengan tuhan yang maha pecipta dengan meluruskan perilaku dan akhlak. Namun ini semua tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan tindakan kekerasan dalam setiap pelaksanaan syariat.

Kelembagaan seperti Dinas Syariat Islam dan lembaga Wilayatur Hisbah, Pesantren serta tempat pendidikan agama lainnya, seharusnya menekankan pengutamaan perilaku tersebut dibandingkan dengan pemaksaan kehendak.

Kembali pada sumber pembahasan tadi, kini gara-gara pembakaran pondok di Dusun Ujong Kareng, telah menyebabkan puluhan keluarga kehilangan sumber pendapatannya. Pejumlah pemilik pondok, sebenarnya berstatus janda dan memiliki beberapa orang anak yang harus diberikan nafkah setiap harinya. Hal ini berdasarkan pengakuan sejumlah warga disana.

Pemerintah daerah, mulai dari Camat dan Pemkab setempat seharus berinisiatif untuk memberikan ganti rugi yang sepantasnya bagi pemilik yang mengalami kerugian tersebut. Jangan sampai kekerasan dengan dalil syariat yang telah dipraktekan disana mengakibatkan janda-janda tersebut menjadi gelandangan dan pengemis di jalanan.

Jumat, 29 Oktober 2010

Saat Ijazah Jadi Bungkusan Kacang


Biaya pendidikan di negara milik para tuan ini terasa kian mahal. Namun mendapatkan ijazah saja, belum tentu akan memuluskan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian studi. Tanpa keahlian pribadi, ijazah tinggi pun hanya mampu berfungsi sebagai bungkusan kacang.

Hal inilah yang terancam menimpa ribuan sarjana dan mahasiswa lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ada di seluruh Aceh. Mereka kini terancam jadi pengganguran intelektual. Pasalnya, Dinas Pendidikan di negeri bekas konflik saat ini sedang mengwacanakan penutupan sementara rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) bidang keguruan dengan alasan jumlah Cek Gu yang ada di Provinsi Aceh saat ini suah over kapasitas atau melebihi target.

Hasil ini terungkap dalam pemaparan Kadis Pendidikan Aceh, Bakhtiar Ishak, saat menerima penulis di ruang kerjanya, Kamis (21/10) lalu. Namun di sejumlah kota dan kabupaten, seperti Kota Banda Aceh, Sabang, serta Kota Lhokseumawe sudah mulai menerapkan kebijakan ini sejak awal 2011.

Jumlah guru yang ada di Provinsi Aceh saat ini telah mencapai 91.141 orang pertahun 2009 lalu. Jumlah ini dinilai belum termasuk dari hasil rekrutmen baru pada tahun 2010 ini. Berdasarkan pemaparan data ini dianggap jumlah guru sudah over kapasitas serta melebihi dari kebutuhan untuk daerah ini sebesar 14 persen.

“Jadi mau tidak mau harus dilakukan (penghentian CPNS guru-red). Inilah realita yang terjadi di pendidikan kita saat ini,”ucap Kadis Pendidikan Aceh, Bakhtiar Ishak.

Menurut penulis, yang ditakutkan kebijakan ini justru akan mempengaruhi nasib ribuan sarjana dan mahasiswa lulusan FKIP di seluruh Aceh. Apalagi, sarjana pendidikan yang diluluskan pertahunnya diperkirakan mencapai ribuan orang. Jumlah ini belum termasuk lulusan dari sejumlah universitas ’toko’, swasta maupun program kelas jauh, yang menjamur di Aceh. Sungguh suatu fakta yang sangat memprihatikan yang sedang terjadi di daerah ini.

Menurut Bakhtiar, kasus ini diduga karena dalam rekrumen mahasiswa keguruan pihak fakultas dilaporkan sering kali tidak pernah berkoordinasi dengan dinas, baik untuk urusan kebutuhan guru maupun kebijakan lainnya. Hasilnya jumlah guru untuk mata pelajaran tertentu yang dianggap sudah mencukupi, tetap diterima calon mahasiswanya.

”Nanti jika para lulusan ini tidak direkrut jadi CPNS, maka kami disalahkan. Jadi kondisi ini kian serba salah. Belum lagi pendirian sejumlah universitas swasta yang ada di Aceh juga tidak pernah dikoordinasi dengan dinas. Hasilnya, banyak lulusan disana yang kemudian tidak bisa direkrut atau diterlantarkan,”tandasnya.


Analisis penulis, kebijakan ini seolah ingin menjelaskan kepada publik bahwa kuliah dan menempuh pendidikan tinggi, tidak mesti semuanya direkrut jadi PNS. Biarpun, lulusan dari fakultas tertentu memang mengajarkan pendidikan profesi, seperti kasus FKIP.

Demo Mahasiswa
Menariknya lagi, pemaparan data ini ternyata mengakibatkan Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh didemo puluhan mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unyiah, Kamis (21/10) lalu. Massa ini menuntut klarifikasi dari dinas itu, terkait publikasi hasil penelitian Tim Koordinasi Pembangunan Pendidikan Aceh (TKP2A) yang menyebutkan Provinsi Aceh telah kelebihan guru.

Massa ini menggelar aksinya pukul 10.30 WIB dengan membawa serta sejumlah karton dan spanduk berisi nada protes.

Massa juga sempat meneriakan slogan pembubaran Majelis Pendidikan Daerah (MPD) yang dinggap kurang memberikan kontribusi bagi pendidikan di Aceh, dan TKP2A yang dinilai hanya mengopy paste jumlah guru dari data web yang dinilai tidak update dan diragukan kebenarannya.

”Kita menuntut TKP2A untuk meminta maaf kepada rakyat Aceh dan masyarakat pendidikan. Pasalnya, data yang mereka buat menyesatkan dan hanya olah data diatas meja,”ucap Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKIP Unsyiah, Safrudin, dalam orasinya. Aksi ini sendiri, dijaga belasan personil kepolisian.

Menurutnya, data TKP2A yang menyebutkan bahwa guru di Aceh telah over kapasitas dengan jumlah 90 ribu lebih atau kelebihan sebanyak 14 persen adalah suatu hal yang aneh. Pasalnya, banyak sekolah-sekolah di perdalaman Aceh dinilai justru mengalami kekurangan guru dan mereka harus mengajar dua atau tiga mata pelajaran yang tidak dikuasainya.

Lebih aneh lagi, lanjut dia, rasio perbandingan guru dan murid rata-rata 1 : 10 dijadikan sebagai patokan untuk membenarkan hasil olahan data tersebut. Padahal, data ini dinilai hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dimana seharusnya memang secara nasional seorang guru kelas mengajar 20 siswa.

Namun untuk tingkat SMP atau SMA, rasio yang dibutuhkan dinilai akan berbeda, mengingat jam wajib perseorang guru hanya 24 jam perminggu dan mengajar satu pelajaran.

”Jadi data TKP2A adalah kesalahan fatal dan menyesatkan. Namun yang sangat kita sayangkan, Disdik Aceh sendiri langsung mengamini dan akan mengambil kebijakan peusiun dini untuk guru, pengalihan tugas ke admnitrasi serta penghentian rekrutmen keguruan. Tanggapan ini sangat bodoh,”tandas Agusmi, demotran lainya.

Dirinya juga meminta Disdik tidak hanya fokus pada pengerjaan proyek fisik tetapi juga pengutamaan mutu pendidikan.

Pukul 12.00 WIB, Kepala Disdik Aceh, Bakhtiar Ishak, turun menjumpai massa. Terkait tuntutan massa itu, dirinya mengaku akan segera turun ke lapangan dan mengecek ulang kebenaran data tersebut.

”Yang pasti ini akan kita tindak lanjuti. Namun mengenai ada sekolah yang belum memiliki guru yang lengkap, terjadi karena permasalahan distribusi saja. Proses pendistribusian guru ini adalah tanggungjawab kabupaten kota sehingga kawan-kawan harus sabar,”jelas Bakhtiar.

Usai mendengarkan hal ini, massa kemudian membubarkan diri. Massa juga sempat mengancam untuk kembali ’mengepung’ dan membakar kantor Disdik Aceh jika dalam waktu dekat tidak ada penyajian data yang kongkrit dari dinas.

Terlepas dari aksi tersebut, jika kita mau mencari akal persoalan mengapademo ini terjadi, maka jelaslah bahwa sumber persoalan sebenarnya terletak pada kegelisahan mahasiswa akan masa depanya.

Pada satu sisi, mereka dituntut memiliki pendidikan profesi yang mau tak mau harus menjadi guru. Namun disisi lain, mahasiswa itu kini juga dihadapkan pada kegelisahan akan masa depannya. Bisa-bisa, ijazah yang mereka peroleh nanti dan ribuan alumni sarjana pendidikan lainnya, terancam jadi bungkusan kacang.

Akal Permasalahan
Ada pro dan tentu adanya yang kontra. Hal ini juga terjadi untuk permasalahan yang sedang kita bahas saat ini.

Wacana penghentian sementara rekrutmen guru baru oleh Dinas Pendidikan Provinsi Aceh sebagai tindaklanjut hasil penelitian Tim Koordinasi Pembangunan Pendidikan Aceh (TKP2A) yang menyebutkan kebutuhan guru sudah over kapasitas dinilai sangat tidak tepat. Kelembagan itu juga dianggap tidak tahu akal persoalan pendidikan yang sedang terjadi di Aceh.

”Saya menilai kebijakan itu sangat tidak tepat. Jika kebijakan ini jadi dilakukan maka dinas itu memang tidak tahu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi oleh daerah Aceh saat ini,”ucap Pakar Pendidikan Aceh sekaligus Dekan FKIP Unsyiah, Prof. Yusuf Azis M.Pd, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Menurutnya, pasca dikeluarkan hasil penelitian TKP2A beberapa waktu lalu, Disdik Aceh seharusnya segera melakukan pengecekan ulang dan penyesuaian data di lapangan. Kegiatan ini dianggap penting untuk mengetahui tingkat kebenaran serta metode penelitian tersebut agar sesuai dengan realita yang terjadi.

Perbandingan rasio guru dan murid 1 : 20 juga dianggap tidak bisa menjadi faktor pembuktian untuk memklaim jumlah guru over kapasitas di Aceh. Pasalnya, jumlah tersebut dinilai belum termasuk hitungan guru bidang studi.

”Perhitungan jumlah guru over kapasitas atau tidak, bukan pada rasio perbandingan guru dan murid. Tetapi, pada penyesuaian kebutuhan guru bidang studi dengan angkatan kerja dan penempatan yang sesuai,”ungkap dia.

Persoalan pendidikan hari ini, lanjut dia, adalah proses pendistribusian guru yang tidak seimbang di sejumlah daerah. Selain itu, adanya guru bidang studi tertentu yang tidak mengajar berdasarkan disiplin ilmu yang dimilikiya. Pengalihan tugas guru ke bagian adminitrasi, serta persoalan universitas toko yang menjamur.

”Dalam penelitian itu, ada tidak dijelaskan, bahwa banyak mata pelajaran seperti bahasa indonesa dan sejarah yang diajarkan oleh guru yang memiliki disiplin ilmu berbeda. Selain itu, jumlah guru yang dikatakan over kapasitas itu, sudah termasuk ratusan guru yang telah dialihkan fungsinya ke adminitrasi belum !! seperti di Gayo Lues. Jika ini belum dimasukan dan hanya memakai berdasarkan data copy Web, maka hasil penelitian tersebut diragukan,”paparnya.

Lebih lanjut, tambah Yusuf Azis, jumlah guru Aceh yang diproduksi oleh FKIP Unsyiah dan Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, sebenarnya hanyalah 40 persen. Sedangkan 60 persen guru yang direkrut selama ini lainnya berasal dari universitas swasta dan universitas toko. Rekrutmen guru ini yang dinilai kemudian bermasalah, tidak sesuai harapan serta kelayakan untuk mengajar.

”Universitas toko dulu yang seharusnya ditutup. Kemudian penerimaan CPNS hanya difokuskan pada FKIP Unsyiah dan Tarbiyah IAIN Ar-Raniry yang memang sudah diakui. Baru kemudian diberikan pelatihan untuk peningkatan kapasitas guru di lapangan. Jika langsung menutup CPNS untuk guru baru seperti yang diwacanakan, tetapi guru yang sudah direkrut berkualitas rendah hasil universitas toko atau kelas jauh yang ilegal bagaimana?”ungkapnya.

”Kami (FKIP-red) juga siap ditutup jika dianggap tidak berkompenten mendidik calon guru,”ucap dia.

Sementara itu, Budi Azhari, M.Pd, Ketua Aliansi Sarjana Pendidikan Aceh (ASPA) melalui siaran pressnya, mengatakan pihaknya pendukung aksi demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa FKIP Unsyiah, berkaitan dengan pembubaran Majelis Pendidikan Daerah (MPD) dan TKP2A.

Katanya, MPD selama ini hanya menjadi beban anggaran pendidikan Aceh. Selain itu, kinerja MPD juga dianggap tidak sesuai dengan pos anggaran yang mereka miliki, alias lamban dan tidak produktif.

”Kita juga meminta dinas pendidikan untuk tidak menggunakan data TKP2A sebagai acuan untuk menghentikan rekrutmen guru baru. Ini akan berdampak buruk bagi ribuan guru honor tidak jelas nasibnya. Padahal, mereka telah mengabdi bertahun-tahun lamanya serta menuggu untuk diangkat menjadi PNS,”pungkasnya.

”Rendahnya mutu pendidikan Aceh hari ini, bukan karena hanya permasalahan guru, tetapi karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada mutu.penggunaan anggaran masih di dominasi oleh pembangunan fisik sehingga Dinas Pendidikan indetik dengan dinas PU,”akhirinya


Dosa Universitas Toko
Argumentasi yang sama sebenarnya juga diungkapkan oleh pakar pendidikan lainnya. Kelebihan ‘stok’ guru di Provinsi Aceh yang berujung dengan wacana penghentian sementara rekrutmen guru baru dinilai merupakan ‘dosa warisan’ dari universitas toko.

Sejumlah universitas swasta dan universitas terbuka (UT) di Aceh dinilai bersalah dan ‘berdosa’ karena tidak pernah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Provinsi saat membuka kelas jauh serta melakukan penerimaan ribuan mahasiswa baru pertahunnya.

“Sini harus dilihat dulu akal persoalannya. Tidak sepatutnya Dinas Pendidikan Aceh maupun MPD divonis bersalah setelah mempublikasi data penelitian TKP2A. Yang ‘berdosa’ disini adalah universitas swasta yang tidak pernah berkoordinasi dengan pihak dinas saat melakukan rekrutmen calon mahasiswanya, “ucap Wakil Ketua Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh, Anas M. Adam.

Menurutnya, persoalan pendidikan Aceh hari ini merupakan persoalan serius yang harus melibatkan berbagai pihak didalamnya. Minimnya koordinasi antara petinggi universitas dengan pengambil kebijakan daerah, dinilai telah menyebabkan stok guru di daerah ini melebihi kapasitas.

Para petinggi universitas, lanjutnya lagi, terutama fakultas keguruan swasta dianggap sering kali tidak mau berkoordinasi dengan dinas mengenai kebutuhan guru di daerah ini. Mereka (petinggi swasta-rd) dilaporkan selalu merekrut mahasiswa keguruan dalam jumlah banyak, biarpun kebutuhan guru di Aceh tidak sebesar itu.

“Akhirnya, ketika jumlah guru melebihi kapasitas seperti sekarang dan wacana penghentian rekrutmen guru sementara muncul, kenapa yang disalahkan adalah pemerintah ? Seharusnya mereka berkoordinasi terlebih dahulu dengan dinas saat melakukan rekrutmen mahasiswa yang sesuai dengan permintaan kebutuhan guru didaerah dan bidang studi yang masih kurang, “ungkap mantan Kadisdik ini lagi.

Terkait laporan TKP2A juga, tambah dia, dirinya mengaku tidak semua daerah yang mengalami kekurangan guru. Ada guru bidang studi tertentu, seperti muatan lokal, dilaporkan tidak ada guru sama sekali. Demikian juga dengan beberapa mata pelajaran lainnya.

“Persentase kelebihan guru itu adalah rata-rata ditingkat provinsi. Persoalannya terjadi pada proses pendistribusian. Kedepan, kita harapkan universitas hanya membuka bidang studi tertentu yang memang masih dibutuhkan dilapangan serta tidak seperti sekarang,”tandasnya.

“Ditingkat seleksi calon guru juga harus di utamakan dari fakultas yang diakui, seperti saran dekan FKIP Unsyiah. Para orang tua juga ingin anaknya jadi pendidik, juga harus selektif dalam memilih universitas dan jurusan yang masih dibutuhkan,”akhirinya.

Ijazah Jadi Bungkus Kacang
Bagi penulis sendiri, hasil pemaparan beberapa argumentasi pakar pendidikan Aceh tadi, memiliki satu ’benang merah’ yang dapat disimpulkan satu arti, yaitu penyebab rendahnya kualitas pendidikan Aceh hari ini, disebabkan oleh banyaknya aksi para mafia pendidikan.
Para mafia ini menghargai sebuah ijazah hanya dengan uang belasan juta. Mendapatkan ijazah tidak perlu adanya keahhlian khusus, cukup menyetor uang jutaan rupiah, maka ijazah pun bisa didapatkan dengan mudah.

Contoh kasus adalah pembukaan sejumlah kelas jauh dan universitas toko lainnya di Aceh saat ini. Para lulusan disana hanya diwajibkan kuliah, pada Sabtu Minggu, tetapi mendapatkan nilai yang cukup tinggi dan mudah untuk mencari pekerjaan dipemerintahan.

Sedangkan bagi mahasiswa keguruan yang kuliah di LPTK yang diakui, selain diwajibkan untuk menyelesaikan sederetan tugas yang menumpuk, mereka juga mendapatkan nilai pas-pasan, serta ratusan persyaratannya lainnya lainnya menghambat penyelesaian studi. Padahal, dari segi kualintas mereka lebih sangat mampu dibandingkan contoh mahasiswa yang pertama tadi.

Namun inilah yang sedang terjadi di negeri ini. Nasib selembar ijazah kini berada di tangan para pemegang kekuasan.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Membedah Setahun Kegagalan DPR Aceh


Kinerja setahun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang baru dilantik sejak 30 September 2009 hingga 30 September 2010 lalu, dinilai masih sangat buruk. Anggota dewan yang dominasi oleh para politikus dari salah satu partai lokal ini pun, menjadi bulan-bulannya media massa dan elemen sipil.

Paling tidak, hal inilah yang sedang menjadi pembahasan khusus dari sejumlah seminar dan diskusi, mulai dari hotel-hotel berbintang hingga kepembicaraan warung-warung kopi yang kecil milik masyarakat di seluruh Aceh.

Tidak ketinggalan, aksi jalanan ala mahasiswa juga kerap kali dilakukan sebagai nada protes atas kurang memuasnya kinerja ‘wakil masyarakat’ tersebut. Sedangkan kaum ibu-ibu juga tak luput itu ambil bagian dalam mengembangkan ‘pembicaraan ini’ sebagai gossip panas atau hot saat sedang berkumpul dengan para tetangga.

Suara sumbang bernada menyesal juga tak luput dari pembicaraan para pimpinan dayah dan pesantren. Mayoritas dari mereka, mengaku kecewa dengan kinerja para dewan yang dianggap lebih mementingkan ‘kelompok kecil’ dari kepentingan masyarakat banyak, kemudian melupakan pendekatan-pendekatan keagamaan, serta penguatan ekonomi.

Bagi penulis sendiri, kondisi ini seakan menjadi arus balik dari rangkaian kenjadian sejak tahun 2005 lalu. Dimana pada saat itu, isu kegagalan pemerintahan nasional juga sempat menguat di Aceh sehingga masyarakat mempercayakan para pemimpin lokal di Pilkada dan Pemilu 2009.

Saat itu, pemimpin dari partai nasional dianggap gagal dalam mengawal perdamaian Aceh. Para politis Parnas dianggap hanyalah kaki tangan dari pemerintah pusat yang telah lama mengkhianati rakyat Aceh sehingga kepercayaan terhadap pemimpinan lokal dinilai patut dicoba.

Namun nyatanya hal yang sama kini terulang menimpa para politisis partai lokal.Singkat cerita, tingkat kepopuleran pemimpin lokal dan partai lokal di Aceh kini sedang dirudung masalah. Hal ini dinilai memiliki dampak buruk dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan lokal.

Jika kita mau menganalisis, menurunnya populeritas pemimpin lokal ini terjadi pasca Pemilu 2009. akibatnya, transpormasi bentuk perjuangan yang dilakukan oleh para eks kombatan, dari pola perjuangan bersenjata ke perjuangan politik, juga terancam gagal bila keadaan ini terus dibiarkan.

Rapor merah
Setahun kinerja anggota dewan periode berjalan masih harus diberikan angka merah. Kinerja setahun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang dilantik sejak 30 September 2009 hingga 30 September 2010 dan di dominasi oleh para politikus dari Partai Aceh dinilai masih sangat buruk.

“Setahun kinerja anggota dewan periode berjalan masih harus diberikan angka merah. Namun belum ada pihak yang berani menyuarakan ini karena masih takut dengan kelompok eks kombatan yang memiliki suara mayoritas di DPR Aceh,”ucap Teuku Ardinsyah, perwakilan Aksara Strategis Institute, dalam acara Coffe Morning di kantor Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, beberapa waktu lalu.

Menyangkut hal yang sama, Isra safril, Kepala Divisi Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, menambahkan bahwa setahun kinerja DPRA masih meninggalkan sejumlah persoalan. Sejumlah persoalan ini dinilai terjadi karena lemahnya kinerja pihak terkait.

Pertama, kata dia, adalah permasalahan posisi kursi Wakil Ketua III DPRA adalah permasalahan serius yang masih belum terisi, tidak jelasnya aturan dan kepastian hukum itu telah menyebabkan tidak lengkapnya alat kelengkapan dewan.

Polemik ini dinilai bukan tanpa alasan, karena ada pemahaman antara UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dengan aturan UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Jika kembali melihat aturan pelantikan pimpinan DPRA, pada saat itu aturan yang dipergunakan adalah Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009.

Selanjutnya, adalah persoalan tentang usulan dana aspirasi Anggota DPRA sebesar Rp 5 miliar per anggota dewan atau sekitar Rp345 miliar dari total APBA Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp7,6 Triliun.

Salah satu fungsi DPRA adalah penyusunan anggaran (budgeting), namun tidak serta merta setelah fungsi tersebut juga harus membuat program dan kemudian memberikan kepada eksekutif. Jika kembali menelik pada UU No 34 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tidak menyebutkan adanya program yang harus dikerjakan oleh legislatif seperti yang dilaksanakan oleh eksekutif, karena DPRA hanya berfungsi untuk legislasi atau melahirkan regulasi, penyusunan anggaran (budgeting) dan monitoring program eksekutif.

Permasalahan lain, selama setahun kerja Anggota DPRA, ada 21 Rancangan Qanun yang menjadi Prioritas pada tahun 2010. Namun, hanya ada satu Qanun yang selesai disahkan yakni Qanun APBA Tahun Anggaran 2010, meskipun qanun tersebut tidak termasuk dalam daftar 21 Rancangan Qanun Prioritas 2010. Namun, hingga kini belum ada satupun Rancangan Qanun yang disahkan.

Terakhir, tambah dia, adalah molornya penandatangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Aggaran Sementara (PPAS) Tahun 2011 dari jadwal semestinya. Seharusnya, seperti yang diatur dalam Pasal 87 Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, ayat 3 menerangkan bahwa Rancangan KUA dan Rancangan PPAS yang telah dibahas, selanjutnya disepakati menjadi KUA dan PPAS paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.

“Namun hingga akhir September 2010 atau setahun masa bakti Anggota DPRA belum juga ada titik terang jadwal penandatangan nota kesepatan KUA dan PPAS 2011 antara Pemerintah Aceh dan DPRA. Ini seharusnya menjadi catatan besar, agar proses penyusunan RAPBA 2011 tidak molor seperti tahun-tahun sebelumnya dengan alasan klasik serta saling menyalahkan,”akhirnya.

Pemaparan kedua tokoh ini bisa jadi sebuah rujukan penting mengenai lambannya kinerja legislative periode yang sedang berjalan.

Kondisi psiologis masyarakat yang ingin secepatnya meninggalkan masa ‘kegelapan’ yang terjadi akibat konflik yang berkepanjangan ternyata bertolak belakangan dengan kinerja dewan yang ‘lamban’. Hal inilah yang mengakibatkan sorotan negative tersebut berhembus kencang ditengah-tengah masyarakat.

Beda Pola Penanganan
Sebenarnya, semua kesalahan-kesalahan tadi juga tidak sepatutnya dialamatkan kepada jajaran legislative yang baru. Pasalnya, menurut amatan penulis, terdapat perbedaan pola dan bentuk penanganan masalah antara kerja legislative dari partai nasional periode sebelumnya dengan kerja legislative dari partai lokal pada periode yang sedang berjalan.

Legislatis pada periode sebelumnya, lebih mengutamakan penguatan ekonomi masyarakat dan menjalankan konsep pendampingan ekonomi untuk masyarakat pendalaman sehingga lebih menyentuh pada akal permasalahan. Namun konsep ini ternyata tidak dapat bertahan lama karena konflik yang sedang terjadi.

Sedangkan legislative baru, seprtinya masih focus dalam penguatan produk hukum untuk mengimplementasikan butir-butir MoU Helsinki. Namun kenyataannya, hingga lima tahun usia perjanjian, pemerintah pusat belum juga menerbitkan 6 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Peraturan Presiden (Perpres), serta 1 Keputusan Presiden (Kepres).

Aturan turunan UUPA yang hingga kini masih menjadi utang pemerintah pusat adalah PP tentang Kawasan Khusus, PP tentang Pengelolaan Migas, PP tentang Pelimpahan Kewenangan, PP tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh/Kab/Kota, PP tentang Penetapan nama Aceh dan gelar pejabat yang dipilih setelah Pemilu 2009, dan PP tentang Standar, Norma dan Prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh/Kab/Kota.

Sementara dua Perpres turunan dari UU PA yang belum ada adalah Perpres tentang kerja sama internasional dengan Aceh, Perpres tentang Pengalihan Kanwil BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kab/Kota menjadi perangkat daerah Aceh dan perangkat Kab/Kota.

Sedangkan Kepres turunan dari UUPA adalah, Kepres tentang Penetapan dan pemberhentian Sekda Aceh.

Disinilah terdapat berbagai kendala yang ‘mungkin’ menyebabkan para dewan baru ini bekerja lebih lamban. Sayangnya, kenyataan seperti ini, ternyata juga tidak pernah diungkapkan ke public agar masyarakat mengerti dan tidak terlalu berharap pada ‘perjanjian keramat’ MoU Helsinki.

Akhirnya, masyarakat Aceh selalu diiming-imingkan dengan ‘angin syurga’ dan kecewa talkala mengetahui apa yang dijanjikan ternyata hanyalah omong kosong.

Masukan Berharga
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Amir Helmi, menyangkut tanggapan elemen sipil dan sorotan negative yang dialamatkan kepada pihaknya yang menilai kinerja setahun DPRA masih buruk, mengatakan hal ini adalah sebuah masukan yang berarti bagi pembaikan kinerja dewan kedepan. Namun dirinya mengatakan tidak sepakat jika dewan periode berjalan ini, dikatakan tidak berbuah apa-apa.

“Bagi saya, penilaian setahun kinerja ini adalah hal yang positif dari elemen sipil dalam mencermati kinerja legislatif. Namun bukan berarti kita (dewan-red) tidak berbuat apa-apa,”ucap politisi dari Partai Demokrat ini.

Dia menjelaskan, mengenai lambannya pengesahan qanun, secara prinsip pihaknya mengakui memang telah menetapkan 21 qanun prioriotas. Namun dalam pelaksanaannya, pembahasan qanun itu tidak dapat berjalan secara maksimal, karena baru 9 qanun yang masuk dalam tahap pembahasan dan baru 2 qanun yang dipastikan akan selesai per September ini.

Kata dia, hal ini diakibatkan oleh keterlambatan Raqan yang disampaikan oleh jajaran eksekutif maupun Raqan yang menjadi inisitaif DPRA karena masih ada draft yang baru yang perlu dibahas dari awal. Belum lagi dalam pelaksanaannya juga disertakan emosi dari sejumlah pihak yang tetap ngotot mempertahankan isi qanun.

“Pandangan saya selaku wakil ketua dalam hal ini terjadi karena adanya cara pandang yg berbda antara eksekuti dan legislatif sehingga hal ini terjadi,”tandasnya.

Selain itu, tambah dia, molornya pembahasan KUA dan PPAS karena ada perbedaan pandangan dari legislative yang perlu di klarifikasi kembali ke ekesekutif. Selain itu, masalah hari libur, masalah puasa dinilai juga merupakan penyebab pembahasan ini terganggu. Disamping itu, juga ada perubahan kenaikan Pagu ditengah pembahasan.

“Ada kenaikan Pagu sehing diperlukan sinkronisasi kembali. Disatu sisi juga kita harus memlihat kembali sisi belanja kebutuhan Aceh. ini merupakan permasalahan yang menyebabkan kinerja dewan belum maksimal,”aklhirinya.

Terlepas dari semua persoalan ini, bagi penulis, keterus-terangan pihak legislatif baru dan partai politik pengusung untuk mengaku kekurangan mereka adalah suatu hal yang mutlak dilakukan untuk saat ini. Perilaku tersebut penting sehingga tidak kembali dicap ‘gagal dan pengkhianat’ oleh masyarakat Aceh selaku pemilih.

Dewan baru juga harus mampu merangkul semua pihak guna menuntupi kelemahan mereka dan dapat menuntut pemerintah pusat untuk memenuhi semua janji yang telah disepakati pada 15 Agustus 2005 lalu.

Jika para dewan ini masih bertindak sebagai dewan dari kelompok tertentu, maka mereka pasti akan ditinggalkan masyarakat. Akhirnya, kasus yang sama seperti yang menimpa partai nasional diawal perdamaian Aceh, juga akan berimbas pada mereka.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Gila, RSUZA Cuma Miliki Satu Dokter Bedah Special Kanker..!



Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) adalah rumah sakit terbesar dan termewah di Aceh. Namun nyatanya, RS kebanggaan kita ini cuma memiliki satu dokter ahli bedah bidang Onkologi atau kanker dan tumor. Apa kata dunia ??

Penulis sendiri, sebenarnya tanpa sadar menemukan fakta yang mengejutkan ini. Fakta ini sekaligus menjawab semua persoalan dan carut marut di RS itu yang sedang menjadi buah bibir di daerah ini.

Sekilas, karena adanya temuan ini, penulis sempat terbayang bagaimana para pemimpin di negeri ini di akhir tahun lalu, membangga-banggakan gedung baru untuk RSUZA yang menghabiskan dana miliaran. Kemudian, kebanggaan itu ditambah lagi dengan dicetuskannya program ‘spektakuler’ Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dengan dana ratusan miliar rupiah.

Namun sayangnya, kebanggan ini tidak juga ditambah dengan peningkatan SDM dan kualitas dokter di sana. Pemerintah kita tidak juga mendatangkan para dokter ahli untuk meningkatkan pelayanan.

Di RS kebanggaan kita, saat ini cuma memiliki satu dokter ahli bedah bidang Onkologi atau kanker dan tumor. Akibatnya, sejumlah pasien di daerah ini yang hendak menjalani operasi di rumah sakit itu, terpaksa harus mengantri hingga berbulan-bulan lamanya.

Menurut sumber penulis, dokter ahli bedah Onkologi di RSUZA tersebut adalah dr. Ismet. Dokter yang bersangkutan dilaporkan sempat berseteru dengan jajaran manajemen RSUZA, sehingga dirinya diskor selama 3 bulan. Akibatnya, pihak manajemen terpaksa menolak perawatan pasien penderita kanker dan tumor dengan berbagai alasan.

“Jadi penolakan selama ini bukan karena pelayanan buruk, tetapi murni karena memang sedang tidak ada dokter,”ucap sumber itu.

Lanjutnya lagi, beberapa waktu lalu, pihak RSUZA dengan dr. Ismet telah berdamai kembali. Dengan alasan masih saling membutuhkan, sanksi terhadap dr. Ismet akhirnya dicabut saat sanksi berjalan dua bulan. Namun sayangnya, operasi pasien penderita kanker harus menunggu berbulan-bulan lamanya.

“Ini belum lagi, dr. Ismet masih harus melakukan operasi di rumah sakit lain. Kondisi sangat riskan,”ungkapnya.

Sementara itu, Riski, salah seorang keluarga pasien penderita tumor dari Aceh Barat Daya (Abdya), juga mengaku hal yang sama. Kata dia, pasien (saudaranya-red) terpaksa harus mengantri hingga 5 bulan lamanya hanya untuk mengoperasi tumor ganas yang tumbuh dipangkal paha.

“Kami pikir bisa langsung di operasi sesampai di RSUZA. Namun setelah dicek pada poli bedah, pasien diharuskan pulang dahulu dan menunggu untuk dioperasi pada bulan Maret 2011 nanti,”ungkap dia.

Menyangkit hal ini, Husaini, Humas RSUZA, yang dihubungi juga membenarkan hal ini. Katanya, dokter ahli Onkologi di RSUZA hanyalah dr. Ismet seorang diri. Sedangkan dokter untuk bidang bedah umum banyak terdapat di rumah sakit itu.

“Dokter bedah onkologi memang hanya dr. Ismet seorang. Makanya pasien harus antri di operasi dan keluarga diharuskan bersabar,”tandasnya.

Sementara itu, Pemerintah Aceh juga diminta segera mencari solusi menyangkut krisis dokter yang sedang terjadi di RSUZA saat ini. Krisis dokter ahli bedah Onkologi atau kanker ini dinilai hanya akan memperburuk pelayanan kesehatan di daerah ini.

“Kita minta eksekutif untuk segera mencari solusi mengenai krisis dokter spesial di RSUZA saat ini. jangan sampai kasus ini berlarut dan penanganan kesehatan bagi pasien terabaikan,”ucap Ketua Komisi F Bidang Kesra Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Yunus Ilyas, kepada penulis, kemarin.

Menurutnya, adalah suatu yang mustahir seorang dokter harus melayani ribuan pasien di daerah ini. keterlambatan penanganan dinilai hanya akan mengakibatkan penyakit pasien tambah parah. Hal ini juga akan mengakibatkan semua kebijakan yang dibuat bersama antara eksekutif dan legislatif menjadi terkendala.

Dia mencontohkan, penerapan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Aceh. Namun program ini tidak akan berjalan maksimal jika RSUZA dan rumah sakit swasta lainnya masih krisis dokter ahli.

“Apalagi, dokter juga manusia yang bisa jenuh dan sakit. Kita akan segera membahas permasalahan ini,”ucap politisi dari partai demokrat ini.

Salah satu jalan keluar yang harus ditempuh, lanjut dia lagi, melakukan penambahan dokter Onkologi atau spesial kanker baru ke Aceh. Upaya Penambahan dokter ini, bisa dilakukan dengan kontrak khusus maupun melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk mendatangkan dokter spesial bidang tertentu (yang sedang krisis di RSUZA-red).

Cara lain, lanjut dia, adalah pemberian beasiswa pendidikan untuk dokter muda guna segera memperoleh pendidikan spesial. Cara ini dinilai merupakan target jangka panjang untuk mengisi kekosongan dokter di berbagai rumah sakit yang ada di Aceh. “Permasalahan ini harus segera di atasi. Dewan akan segera berkoordinasi dengan eksekutif,”tandasnya.

Terlepas dari tanggapan tersebut, serius tidaknya para dewan terhormat ini, krisis di RSUZA memang harus segera diatasi. Tugas dari para pemimpin kita saat ini untuk menjadi solusi terhadap permasalahan itu.

Apalagi, berdasarkan data terbaru, pasca penerapan JKA hampir ribuan rakyat Aceh dari berbagai pelosok negeri mulai berdatangan ke rumah sakit untuk berobat. Masyarakat ini mendapat angin syurga dibidang kesehatan.

Tapi, bisa anda bayangkan betapa kecewanya mereka ketika tahu tingkat pelayanan kesehatan masih buruk dan dokter yang menangani mereka masih sangat sedikit. Masyarakat masih harus mengantri hingga berbulan-bulan lamanya harus untuk memperoleh kata ‘sembuh’.

Satu dokter menanggani ribuan pasien!! Ini adalah hal yang gila dan hanya terjadi di Aceh. Semoga jadi renungan bagi kita semua.

Sabtu, 25 September 2010

Selamat Datang di Banda Aceh, Kota 1001 Parkir


Wajah Zaki Tampak Memerah. Padahal, cahaya matahari sedang tidak begitu teriknya saat itu, Kamis (23/9) .Pasar Peunayong, tempat yang dia singgahi, juga tidaklah sesumpek biasanya. Namun pria berkulit sawo matang ini masih terus mengelutuk sambil menarik dompet hitam miliknya.

Dia menyerahkan uang lembaran dua ribuan kepada seorang bapak-bapak bertubuh subuh yang mengenakan jaket biru bertulisan juru pangkir Kota Banda Aceh.

Tampaknya, dialog antara dirinya dengan tukang pangkir tadilah yang membuat muka M. Zaki asal Kota Bandung ini memerah. Dialog mereka tadi juga sempat menarik perhatian sejumlah pria bermuka sipit dan warga lokal lainnya, yang mengintip dari dalam toko Ponsel dengan wajah penasaran.

Berbeda dengan si bapak-bapak tadi, dia justru menebar senyum lebar dengan penuh kemenangan. Uang lembaran dua ribuan yang didapatkannya tadi, langsung disatukan dengan lembaran lainnya. Uang tersebut diletakan paling atas dari tumpukan ‘rupiah’ lainnya. Sedangkan recehan Rp50, dimasukannya kedalam kantong baju.

“Kota apa ini? sedikit-sedikit uang,”ucap Zaki sambil membetulkan bawaannya diatas sepeda motor merek Vario. Tampaknya Amarah Zaki belum juga reda sesuai ‘berdialog’ dengan juru Pangkir tadi. ‘Kerjaannya’ untuk merapikan barang bawaan guna memudahkan saat mengemudi nanti, jadi lama hanya karena kemarahan tadi.

“Saya marah mas, saya hanya memarkirkan kreta hanya untuk mengecek HP sebentar, sudah dikenakan tarif parkir,”keluh pria yang berumur seperempat abad ini kepada penulis, saat menyapanya.

Tanpa diminta, Zaki mengisahkan bahwa hari itu, dia dengan modal pas-pasan bermaksud untuk belanja di Pasar Peunayong, sekaligus mengecek kondisi HP di Graha Nokia. Maklum HP-nya itu sudah agak ‘kadaruarsa’ sehingga sering bemasalah saat menerima telpon. Untuk aktivitas ini, pria yang mengaku tinggal di Darussalam selama di Aceh, cuma membawa serta uang, Rp50 ribu perak.

“Tadinya, saya pikir cukup segitu. Untuk belanja Rp40 ribu sudah cukup. Sisanya, bisa untuk ngopi atau apalah,”kata turis lokal ini. Kedatangannya ke Aceh, hanya untuk mengantar adik sematanya yang hendak menempuh pendidikan di Unsyiah, serta memastikan adiknya itu mendapatkan kos yang baik dan nyaman.’Vario’ itu sendiri, di pinjam dari temannya yang ada di Aceh.

Namun, kata Zaki, perhitungannya tersebut jauh melesat dari target semula. Dia, ternyata lupa memasukan uang untuk keperluan parkir. Dari lima tempat, di kawasan Pasar Aceh dan Pasar Peunayong yang disinggahi, ternyata menghabiskan dana sebesar tujuh ribuan.

“Dari tiga tempat, diambil Rp2 ribu sekali parkir. Sedangkan dua tempat lagi, seribu sekali parkir. Saya marah karena sikap mereka (tukang parkir-red) sudah keterlaluan,”tandasnya.

“Setiap saya singgahi satu toko, selalu diharuskan parkir sepeda motor. Jadi, parkir disini (Kota Banda Aceh-red) ada dimana-mana. Udah itu, tarif parkir disini juga tidak disamaratakan, serta bervariasi,”ungkap dia secara menggebu-gebu. Maklum, Zaki baru kali ini datang ke Aceh.

Yang pertama, dia datang saat tsunami. Serta yang kedua, adalah kali ini dengan tujuan mengantar adeknya untuk kuliah. Zaki juga tidak tahu, keberadaan Qanun No 11 tahun 2007 tentang pengutipan retribusi parkir di Kota Banda Aceh.

“Saya pulang dulu mas!”ucap dia sambil meninggal lokasi. Keluhan ini merupakan satu dari seribu protes tentang pengelolaan parkir yang tidak profesional di Aceh.

Menyangkut hal ini, Ketua Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Arif Fadillah, sebenarnya sudah meminta para Juru Parkir (Jukir) di wilayah kota Banda Aceh agar dalam melakukan pengutipan biaya retribusi sesuai dengan Qanun No 11 tahun 2007.

“Saya tidak setuju dengan pengutipan retribusi parkir yang selama ini melanggar Qanun,” ujar Arif, menaggapi keluhan warga pengguna jasa parkir terhadap tidak menentunya tarif retribusi yang ditetapkan oleh Jukir di sejumlah lokasi di Banda Aceh.

Dijelaskannya, tarif parkir di kota Banda Aceh harus mengacu pada Qanun No 11 tahun 2007 tentang retribusi pelayanan parkir. Dalam Qanun tersebut, kata dia, besarnya biaya parkir untuk setiap kenderaan telah ditetapkan dan harus dipatuhi karena sifatnya telah mengikat.

“Dalam mengutip biaya retribusi, Jukir tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang berlaku, karena akan memberatkan pengguna jasa,” tegasnya. Sesuai dengan Qanun No 11 tahun 2007, tarif parkir roda dua maupun roda tiga Rp500-/sekali parkir. Untuk roda empat dan roda enam masing-masinya dikenakan Rp 1000-2000-/sekali parkir.

Namun dalam prakteknya, banyak sekali terdapat perlanggaran. Jargon Banda Aceh, dari kota wisata islam, sepertinya tidak pantas lagi disemaikan karena kemunafikan-kemunafikan ini. jargon yang cocok bagi Banda Aceh saat ini, adalah kota 1001 parkir.

Minggu, 19 September 2010

OKB Versus MoU Helsinki, Siapa Menang ?


Perjanjian di Helsinki memiliki arti tersendiri bagi masyarakat di Aceh. Sayangnya, setelah lima tahun berlalu, perjanjian itu sepertinya tidak juga membelikan perubahan bagi masyarakat, kecuali tumbuh subur-nya sejumlah Orang Kaya Baru (OKB) di daerah ini.

Perjanjian di Helsinki sebenarnya mempunyai pertalian yang sangat erat dengan Undang-Undang pemerintahan Aceh (UUPA). MoU Helsinki yang memerintahkan pembentukan UUPA dan kemudian UUPA memerintahkan pembentukan qanun-qanun.

Perjanjian MoU Helsinki bukan hanya menjadi titik awal dari perdamaian, namun juga menjadi awal mula pengelolaan pemerintahan provinsi NAD dengan cara-cara yang jauh berbeda dari sebelumnya melalui UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Jika merujuk pada pasal-pasalnya, maka UU tersebut memiliki beberapa fungsi yaitu, penguat eksistensi NKRI, sebagai instrumen yuridis untuk penyelenggaraan pemerintah daerah, instrumen yuridis pelaksanaan MoU serta untuk penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh.

Keberadaan UUPA dianggap sebagai katalisator yang membawa perubahan situasi di Aceh untuk menjadi lebih adil. Namun, dalam perjalanan waktu, terutama dari tahun 2006 hingga akhir 2010, menurut pengamatan penulis banyak terdapat kendala sehingga semua fungsi tadi tidak dapat berjalan.

Kelemahannya seperti, banyaknya qanun atau produk hukum yang belum dilahirkan hingga akhir 2010, lemahnya SDM legislatif, pertikaian antar pemimpin, perilaku korupsi hingga perpecahan.

Selain itu, kelemahan ini dapat dilihat dari banyak PP dan Kepres yang merupakan amanah dari perjanjian MoU Helsinki yang tidak juga diterbitkan oleh pemerintah pusat hingga lima tahun. Pemerintah Pusat dinilai masih berutang untuk menyelesaikan 6 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Peraturan Presiden (Perpres), serta 1 Keputusan Presiden (Kepres).

Aturan turunan UUPA yang hingga kini masih menjadi utang pemerintah pusat adalah PP tentang Kawasan Khusus, PP tentang Pengelolaan Migas, PP tentang Pelimpahan Kewenangan, PP tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh/Kab/Kota, PP tentang Penetapan nama Aceh dan gelar pejabat yang dipilih setelah Pemilu 2009, dan PP tentang Standar, Norma dan Prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh/Kab/Kota.

Sementara dua Perpres turunan dari UU PA yang belum ada adalah Perpres tentang kerja sama internasional dengan Aceh, Perpres tentang Pengalihan Kanwil BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kab/Kota menjadi perangkat daerah Aceh dan perangkat Kab/Kota.

Sedangkan Kepres turunan dari UU PA adalah, Kepres tentang Penetapan dan pemberhentian Sekda Aceh.

Dalam beberapa aspek, UUPA sebenarnya merupakan sebuah produk hukum yang sangat progresif dalam kaitannya dengan pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah.

Namun karena banyaknya permasalahan tadi, tidak sedikit kewenangan yang seharusnya dimiliki Pemerintahan Aceh, kini seperti dihambat (baik sengaja atau tidak-red) oleh pemerintah pusat.

Perjanjian MoU Helsinki yang sebenarnya mengisyaratkan harus adanya save govement (pemerintahan sendiri-red) di Aceh, kini hanya sebatas perjanjian di kertas belaka. Parahnya lagi, kondisi seperti ini tidak juga dibentengi dengan dorongan yang kuat dari Pemerintah Aceh ke pemerintah pusat di Jakarta, saat ini.

Analisis penulis, kondisi ini terjadi karena banyaknya timbul perpecahan antara para pemimpin di Aceh pasca damai. Padahal, mayoritas dari pemimpin itu sendiri, sebenarnya merupakan eks kombatan yang sebelumnya melakukan perlawanan hingga adanya MoU Helsinki.

Rasa curiga hingga pemerataan ekonomi yang tidak seimbang, terutama untuk eks kombatan, diduga kuat merupakan alasan dibalik pertikaan baru di Aceh. Konflik internal dan pertikaian yang menjalar dari ‘arus bawah’ hingga para pimpinan tertinggi, ikut terseret.
Korupsi pasca MoU Helsinki
Di Aceh, pasca damai muncul banyak kasus dugaan korupsi, namunnya sayangnya, kasus-kasus tersebut tidak pernah tertuntaskan. Kasus seperti penjualan aset daerah berupa rangka baja dan kasus bobolnya deposito 220 miliar milik pemkab Aceh Utara dinilai dua kasus yang paling menyita ‘mata publik’ selama ini.

Selain itu, ada juga kasus dugaan korupsi dana abadi pendidikan Aceh Rp2,4 triyun yang mengendap di bank sejak tahun 2003 lalu. konon, bunga dari dana ini berkisar 12 miliar pertahun, tetapi tidak jelas mengalir kemana.

Kasus-kasus ini pula yang diduga menyebabkan kepercayaan publik kian menipis terhadap para pemimpin yang maju melalui jalur independen atau pemimpin yang berlatar belakang perjuangan, biarpun kasus ini tidak bisa disamaratakan untuk semua daerah.

Paling tidak, munculnya sejumlah laporan dugaan korupsi pasca damai di Aceh telah mengikis kepercayaan masyarakat. Tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap ‘pemimpin lokal’ cenderung meningkat sehingga roda pembangunan yang sedang dirintis menuai kendala.

Ketidakpuasan ini juga terjadi karena adanya ketidakseimbangan ‘pembagian ekonomi’ ditengah-tengah masyarakat.

Dimana dalam banyak kasus terjadi, kelompok yang dekat dengan kekuasaan selalu mendapatkan ‘cipratan’ ekonomi yang lebih dominan daripada kelompok lainnya. Pola inilah akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial ditengah-tengah masyarakat Aceh.

Dalam masyarakat Aceh, juga muncul istilah OKB alias Orang Kaya Baru pasca penandatangan perjanjian MoU Helsinki. Terlepas sumber dana para ‘OKB’ tersebut halal atau tidak, namun munculnya statemen ini patut menjadi perhatian khusus dari semua pihak yang peduli pada perdamaian Aceh.

Masyarakat Aceh, masih trautma dengan segala kemunafikan yang pernah terjadi masa lalu, baik semasa Soekarno maupun Megawati. Jangan sampai kasus ini juga menimpa pada tokoh Aceh saat ini. Perjanjian MoU Helsinki yang sebenarnya bertujuan untuk perdamaian, malah dimaafkan untuk memperkaya diri sendiri.

Tapol Napol, KKR serta pengadilan HAM
Dibalik semua persoalan tadi, sebenarnya ada sejumlah Pekerjaan Rumah (PR) yang harus segera dituntaskan oleh para pemimpin Aceh saat ini. Permasalahan ini seperti pembebasan 3 sisa Narapidana Politik (Napol) Aceh yang masih mendekam di penjara pasca penandatangan MoU di Helsinki, Pembentukan KKR serta Pengadilan HAM.

Semua itu merupakan amanah dari perjanjian MoU Helsinki yang belum juga direalisasikan oleh pemerintah pusat.

Namun sayangnya, para elemen sipil di Aceh juga pernah mengaku bahwa pihaknya pesimis kalau keberadaan KKR dan Pengadilan HAM di Aceh. Pasalnya, qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan HAM yang menjadi landasan hukum pembentukan keduanya, ternyata juga tidak masuk dalam Program Priolitas Legislative Aceh (Prolega) tahun 2010 ini.

Hal ini terjadi dikarenakan minimnya tindakan nyata dari kalangan dewan untuk melakukan pembahasan qanun tersebut.

“Belum ada langkah-langkah nyata yang dilakukan oleh jajaran legislative untuk menghadirkan qanun KKR di Aceh. Apalagi, dalam sidang pembahasan beberapa waktu lalu, tidak disebutkan Qanun KKR sebagai bagian dari 21 qanun yang masuk program priolitas legislative (Prolega) selama tahun 2010,”ucap Pj Direktur Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), Agusta Mukhtar, kepada media beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Hendra Fadli, Coordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, keseriusan dewan untuk memasukan Qanun KKR sebagai bagian dari Prolega 2010 merupakan awal dari penegakan keadilan bagi korban kekerasan di Aceh. Apalagi, semua tersebut juga merupakah poin penting dalam perjanjian damai Aceh.

Menyangkut hal ini sendiri, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), akhirnya juga mengakui bahwa salah satu penyebab lambannya pembebasan 3 sisa Narapidana Politik (Napol) Aceh adalah lemahnya lobi mereka di tingkat nasional.

Dewan juga mengatakan keterbatasan akses pihaknya untuk bisa bertemu langsung dengan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar serta Presiden SBY sebagai pemegang kebijakan adalah penyebab utama kegagalan tersebut.

“kita (DPRA-red) belum bisa bertemu langsung dengan Menkum HAM dan Presiden SBY untuk membicarakan masalah Napol Aceh. kita merasa sedang dibola-bolai oleh pemerintah pusat di Jakarta,”ucap ketua komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Adnan Beuransyah, dalam diskusi damai Aceh Pasca MoU Helsinki, yang digelar BEMA IAIN Ar-Raniry, dipertengahan tahun 2010 ini.

Menurutnya, untuk pembebasan tiga sisa Napol Aceh yang masih mendekam di Cipinang, pihaknya mengaku telah mengirimkan surat kepada Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar serta Presiden SBY, guna melakukan pertemuan khusus untuk membahas permasalahan ini. Namun para pemegang kebijakan tersebut ternyata tidak memberikan respon positif.

Bahkan, kata dia, balasan surat terhadap permintaan mereka pun tidak pernah dilakukan oleh kelembagaan terkait. Sedangkan Komisi A DPR Aceh sendiri, mengaku telah mengirim surat permohonan tersebut sebanyak 3 kali sejak awal tahun ini.

“Kita datangi langsung ke Jakarta, tetapi cuma bisa ketemu dengan Dirjen dan Kepala Lapas Cipinang. Mereka menyambut baik tawaran ini, tetapi tidak memiliki hak untuk membuat kebijakan,” jelas dia.

Karena sikap seperti ini, tambah Adnan lagi, pihaknya mengaku serba salah dengan masyarakat Aceh dan mahasiswa setiap ditanyakan soal komitmen dewan terhadap penyelesaian amanah MoU Helsinki. Apalagi, Komisi A mengaku juga pernah memberikan janji manis kepada rakyat Aceh, bahwa akan membebaskan Napol Aceh sebelum akhir tahun 2010 ini.

“Saat ini, dewan sedang mengatur ulang pertemuan dengan Menkum HAM dan Presiden SBY terkait hal yg hampir sama. Kita berharap pertemuan ini dapat membuahi hasil,”tandasnya.
Terlepas Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar juga sudah pernah menyatakan bahwa ke-3 sisa Napol Aceh tidak bisa dibebaskan dengan perjanjian MoU Helsinki. Namun dorongan yang kuat sebetulnya perlu dilakukan untuk mengubah kebijakan ini.

Tetapi, permasalah ini lagi-lagi terbetur dengan pertikaian internal dari dalam Pemerintahan Aceh sehingga hal ini terabaikan. Adanya perilaku korupsi hingga keberadaan pemimpin yang cuma memperkaya diri sendiri justru (OKB-red) telah mematahkan perjuangan ini.

OKB Versus MoU Helsinki
Perilaku korupsi dengan kemunculan sejumlah OKB baru dalam kasus ‘damai Aceh’ sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam cacatan sejarah Aceh. Jika kita bisa memakai bahasa kasar untuk menyebutkan mereka sebagai ‘para pengkhianat’ perjuangan, juga bukanlah sesuatu yang baru dalam cacatan sejarah dunia.

Kehadiran perjanjian MoU Helsinki untuk mendamaikan Aceh, kini telah dihadapkan pada babak baru berupa penyelesaian konflik internal karena perilaku korupsi hingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.

Memang tidak sedikit ‘para pembela’ MoU Helsinki yang kini masih komit mengawal UUPA hingga amanah perjanjian itu sendiri, dan tidak sedikit pula yang mengunakan awal damai tersebut sebagai langkah memperkaya diri sendiri walaupun dengan cara-cara tidak halal.

Namun apapun alasanya, kedua kelompok tadi merupakan hal yang nyata yang sudah terjadi di Aceh. Permasalahan ini harus segera diselesaikan sehingga tidak menimbulkan kerugian ditengah-tengah masyarakat dan tuntutan MoU Helsinki dapat segera diwujudkan.

Jangan sampai, kasus ini malah akan menimbulkan gerakan bersenjata baru di Aceh sehingga damai yang sedang dirintis akan gagal. Siklus konflik Aceh yang selalu berulang 15 tahun sekali, juga diharapkan tidak terbukti untuk persoalan ini. Komitmen kuat dari Pemerintah Aceh untuk menyelesaikan amanah MoU Helsinki dinilai penting guna mencegah konflik berulang di Seramoe Mekkah ini.

 
Free Host | lasik surgery new york