Jumat, 23 September 2011

Bagi Kami, Perang Itu Hobi…!


Hari itu, kamis (1/8) jalan Medan-Banda Aceh, tepatnya di pertikungan Pasar Impres Krueng Mane tampak relatif lebih padat dari biasanya. Sekelompok remaja paruh baya sedang berkumpul di ujung jembatan. Rata-rata diantara mereka berusia 10 hingga 15 tahun. Mimik wajah mereka yang terlihat serius memberi kesan sedang merencanakan sesuai, namun entah rencana apa itu.

Tiga orang diantara mereka memegang erat senjata jenis AK-47. Satu orang tampak memegang senjata laras pendek serta dua lainnya yang berdiri paling sudut jembatan memegang senjata dengan jenis yang lebih canggih.

Posisi sekelompok pemuda ini seperti tentara yang hendak mengempur musuh. Padahal, daerah Krueng Mane dan sekitar merupakan wilayah dalam Provinsi Aceh yang telah damai pasca konflik tanggal 15 Agustus 2005 lalu.

”Pai lewat, Pai lewat,”teriak seorang bocah. Bocah ini memakai baju kotak-kotak dan celana berwarna biru. Tampaknya, dia merupakan komandan dari sekelompok pasukan ’kecil’ tadi. Namun tidak jelas maksud dari kata ’pai’ yang sempat dilontarkannya. Seruan bocah yang belakangan diketahui Aidil, 14 ini, ditunjukan untuk sekelompok remaja lainnya diatas mobil bak terbuka yang hendak melalui jembatan Krueng Mane-Gerungok. Mereka juga memegang senjata dengan merek yang tak kalah canggihnya.

Seruan Aidil ini ternyata amat dipatuhi oleh ’geng’ tadi. Beberapa personil yang memegang AK-47 kemudian langsung mengarahkan senjatanya terhadap ’musuh’ tadi. Namun, ’sang musuh’ yang berada di atas mobil pun ternyata sudah siaga terhadap kemungkinan diserang. Kedua kelompok ini kemudian saling ’jual-beli’ peluru dalam waktu yang relatif singkat.

”Ka tembak, pai-pai,”ucap para bocah ’musuh’ lainnya diatas mobil tadi. Sejumlah peluru dari pasukan Aidil ternyata cukup membuat mereka kerepotan dan beberapa diantaranya tampak bersembunyi untuk mencegah hantaman peluru ke tubuhnya. Aksi dua kelompok remaja ini sempat membuat sejumlah pengguna kenderaan lainnya mengeluarkan sumpah serapa. Pasalnya, aksi mereka ini membuat arus lalu lintas terganggu. Beberapa pengemudi bahkan terkena ’peluru nyasar’.

Namun, aksi dua kelompok ini bukan berarti konflik Aceh terulang kembali. Kedua ’pasukan’ tadi hanyalah anak-anak yang melakukan perang-perangan dengan mengunakan senjata mainan. Sikap sekelompok ’pasukan’ tadi juga tidaklah ada hubungannya dengan konflik Aceh yang sempat menjadi perhatian dunia internasional.

”Bagi kami, perang-perangan itu sudah menjadi hobi,”ungkap Aidil usai aksi perang-perangan tadi. Beberapa diantara mereka tersenyum puas karena mampu mengenai tubuh musuh.

”Payah moe awaknya munoe (mereka harus menangis tadi),”tambah bocah lainnya bernama Idris. Diantara ’pasukan’ ini cuma dia yang memegang senjata laras pendek dan paling kecil.

Menurut Aidil, sudah menjadi kebiasaan anak-anak di daerah mereka, setiap perayaan Hari Raya, baik Idul Adha maupun Idul Fitri, selalu bermain perang-perangan. Anak-anak dari masing-masing Desa (yang memiliki senjata mainan-red) selalu membentuk satu kelompok dan berkumpul pada satu tempat untuk ’menyerang’ kelompok lainnya.

”Awaknyan na peng, dijak ngon manto. Sedangkan kamoe hana peng, mempreh bak jembatan mantong (mereka ada uang, bisa pergi dengan mobil. Sedangkan kami tidak ada uang, terpaksa menunggu di jembatan),”tutur Aidil lagi. Untuk mengwujudkan hobi mereka tersebut, para bocah tadi ternyata rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang tergolong banyak untuk anak-anak setiap tahunnya.

”AK-47 Cuma 54 Ribe. Meunyoe yang nyan 100 ribe,”ungkap Aidil mantang sambil menuju senjata mainan yang lebih besar milik anggota kelompok mereka. Namun ketika ditanya mengenai maksud ’Pai’ dari kata-kata mereka tadi, Aidil tidak mau menjawab. Matanya cuma memang kearah jalannya.

”Cuma mainan bang, kon betoi-betoi,”ucap dia sambil berlari menjauhi tempat wartawan berdiri. Tingkah Aidil ini ternyata diikuti oleh rekan-rekannya. Mereka sepertinya kembali mencoba menghadang pasukan lainnya di lokasi yang lebih strategis.

Rabu, 27 Juli 2011

Penantian Ti Mani


Ti Mani sejak tadi terus mencucuhkan air matanya. Kabar tentang adanya perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, ternyata mampu membuatnya terharu. Wanita tua yang tinggal sebatang karang ini sepertinya masih terus berharap bisa berkumpul kembali dengan Saifullah, anak semata wayangya yang menjadi korban penghilangan paksa semasa konflik.

Sejak tadi pagi, Ti Mani terlihat sangat betah menatap siaran televisi di rumahku. Dia memenuhi janjinya untuk datang ke rumah kami guna menyaksikan kabar terbaru tentang masa depan daerah ini. Ini adalah kali pertama aku kembali ke kampung halaman sejak eksodus dulu.

Memang hari ini hampir semua televisi swasta di tanah air, menyiarkan berita tersebut, di samping berita tentang jumlah korban tsunami yang baru berhasil ditemukan tentunya. Cuplikan gambar para elit GAM dan perwakilan Pemerintah RI juga ditanyakan berulang dalam tempo waktu yang lama.

”Apa benar semua tahanan eks GAM akan dibebaskan?”tanya Ti Mani tiba-tiba. Sasaran pertanyaan Ti Mani ini jelas tertunjuk pada diriku. Maklum cuma kami berdua yang sedang menyaksikan tanyangan televisi di rumahku saat ini. Namun jawaban dari pertanyaan ini membuat diriku serba salah dalam menjawabnya.

”Katanya seperti itu Ti..!! memangnya kenapa ?”tanya diriku lagi seolah-olah tidak mengerti maksud dari pertanyaan wanita berwajah teduh di depan. Aku sangat berharap pertanyaan balasan dari Ti Mani tidak bertambah.

”Apakah Saifullah akan ikut dibebaskan?”tanya dia lagi. Kali ini dengan mimik wajah yang sedikit memeras. Sedangkan Mata wanita tua itu tampak kian berkaca-kaca. Aku tidak tegas menyampaikan berita buruk yang membuatnya tambah sedih di sisa-sisa masa tuanya ini.

”Pastinya... Ti. Kah... Saiful di tangkap karena ikut kegiatan makar sewaktu konflik. Karena sudah damai, mereka semua pasti dibebaskan. Saiful akan segera kembali kesini dan melihat keadaan Ti yang baik-baik saja,”jawabku sambil menghiburnya. Sebenarnya aku sendiri tidak yakin dengan jawaban ini.

Mendengar jawaban tadi, Ti Mani terlihat kembali optimis. Dia mencoba bangun dari tempat duduknya, namun agak sempoyongan, maklum usia Ti Mani sendiri saat ini sudah mencapai 67 tahun. Usia yang rentan bagi seorang wanita untuk mendengar kabar yang menyakitkan. Kuraih tangannya agar dia mampu berdiri sempurna. ”Hendak kemana Ti ? bukankah beritanya belum habis?”tanya diriku pada wanita ini.

Wanita ini tidak segera menjawab. Cuma badannya mengarah ke pintu keluar. Sepertinya Ti Mani hendak pulang. ”Ti ingin membersihkan rumah. Takut kalau Saifullah pulang, dia akan merepet karena rumah dalam keadaan kotor,”jawabnya singkat. Jawaban ini membuat hatiku miris dan kembali teringat pada peristiwa yang mencekam empat tahun lalu.

***
Februari 2001

Hari itu, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, sedang di landa hujan lebat. Namun derasnya hujan ini seakan kalah dengan suara rentetan senjata antara TNI dengan GAM yang sudah berlangsung hampir 2,5 jam. Pertempuran ini terjadi tepat di desa kami, Nicah Awe.

Dan seperti pertempuran pada umumnya, terdengar kabar, bahwa pertempuran ini juga ’memakan’ korban dari kedua belah pihak. Seluruh pemuda Desa Nicah Awe, termasuk diriku dan Saifullah saat itu diminta segera meninggalkan kampung halaman kami agar tidak menambah daftar korban ’salah sasaran’ di daerah ini.

Diriku dan Saifullah sebenarnya adalah sahabat karib dan teman sepermainan sejak kecil. Usia kami juga tidak berbeda jauh. Saifullah cuma lebih tua satu tahun dari diriku. Pada Februari 2001 lalu, dia berumur 20 tahun.

Kami berdua berhasil lolos ke Kota Banda Aceh dengan berkat bantuan seorang sopir L300. Bang Din, sopir l300 tersebut mau mengantar kami walau tanpa bayaran sepeserpun. Sayangnya, selama seminggu di Kota Banda Aceh kami terluntang-luntang karena tidak memiliki famili seorang pun di kota bekas ibukota kerjaan Aceh ini.

Ketika malam tiba, kami biasanya tidur di teras Mesjid Raya Baiturrahman. Sedangkan ketika pagi harinya, kami membantu Bang Din untuk mencuci mobil L300 di salah satu loket. Hasil dari mencuci mobil ini ternyata cukup untuk mengisi kekosongan perut untuk siang hingga malam hari. Keadaan ini berlangsung hingga satu bulan lamanya.

Namun suatu hari, Saifullah terlihat agak pendiam. Biasanya, dialah yang paling semangat diantara kami berdua saat bekerja. Belakangan, aku baru mengetahui bahwa Cek Li, ayah Saifullah yang terlibat dalam pasukan GAM, ternyata tewas dalam pertempuran terakhir di Idi Rayeuk. Keadaan ini membuat Saifullah sedih dan termurung.

Pada malam harinya, dia minta pamit dariku. Saiful, katanya ingin pulang guna menjenguk Ti Mani, ibunya di kampung halaman. Apalagi, informasi yang kami dapatkan, Ti Mani saat itu sedang sakit-sakitan karena sering di datangi oleh tentara republik.

Pada malam itulah aku terakhir kalinya melihat Saifullah. ”Aku akan segera kembali Fir. Kamu tunggu disini. Kalau keadaan aman, aku akan segera kembali dengan membawa serta ijazah kita sehingga bisa kuliah disini. Kita akan segera jadi anak kulihan,”ucapnya.

Namun, janji Saifullah tersebut, ternyata tidak pernah terwujud. Dari Kota Banda Aceh, aku mendengar kabar bahwa rumah Ti Mani dibakar seminggu setelah suaminya tewas. Dan kabar yang beredar, Saifullah yang putus asa, akhirnya juga bergabung dengan eks pasukan yang pernah dipimpin oleh ayahnya semasa hidup.

Dia juga beberapa kali terlibat baku tembak dengan pasukan republik. Kepiawaiannya memegang senjata ternyata menguburkan mimpi dia untuk menjadi anak kuliahan di ibukota.

Sedangkan diriku mencoba bertahan di ibukota sebagai penjual pisang goreng. Hasil dari pekerjaan ini, ternyata mampu membuat diriku mendaftar di salah satu universitas terbaik daerah ini, yaitu Unsyiah dan akhirnya mampu meraih gelar sarjana disana.

Sejak berangkat ke Banda Aceh bersama Saifullah. Aku tidak pernah pulang ke Nicah Awe, termasuk ketika lebaran tiba. Hal ini pula yang menyebabkan diriku lupa terhadap sosok Saifullah, hingga suatu hari datang berita duka mengenai dirinya. ”Saiful, sebulan lalu di tangkap di wilayah Idi sama Raider. Semua pasukannya tewas di tempat. Sedangkan dirinya di tahan dan entah dibawa kemana,”ungkap Bang Din, ketika kami berjumpa di Darussalam.

Aku sedikit terkejut mendengarkan kabar miris ini. Pasalnya, di surat kabar dijelaskan bahwa pasukan yang tewas di Idi di pimpin oleh Rambo. Tidak dijelaskan nama asli pimpinan pasukan tersebut. ”Banyak yang menyebutkan Saiful telah tewas,”ucap Bang Din lagi.

***

Juni 2011

Ini merupakan kepulanganku yang kesekian kalinya ke Nicah Awe. Pasca kesepakatan damai, enam tahun lalu, keadaan di kampungku sudah lebih baik dari sebelumnya. Masyarakat disana juga sudah leluasa berpergian ke ladang atau sawah guna mencari sesuap nasi.

Desa yang dulunya ’tidak pernah’ di huni oleh para pemuda ini, kini terasa ramai kembali. Beberapa diantara mereka juga ada yang tidak ku kenal. Maklum, mereka adalah ABG yang baru besar pasca konflik.

Oya, diriku kini juga telah berubah status menjadi guru PNS di salah satu daerah Ibukota. Status ini membuat orang tuaku di kampung menjadi bangga dan sering menjadi bahan obrolan para tetangga. Bagi mereka, menjadi PNS di ibukota adalah hal yang musthahir.

”Coba kalau si Amin juga lari ke Banda Aceh sewaktu konflik dulu. Tentu dia juga bisa kuliah dan jadi PNS seperti Firman saat ini. Sayangnya, Amin malah lari ke Malaysia untuk jadi tukang bangunan,”tutur Wak Fatimah, tetangga kami di kampung. Aku yang mendengarkan pembicaraan ini cuma mampu tersenyum kecil.

Tiba-tiba, sorot mataku saat itu tertunjuk pada Ti Mani. Dia terlihat sedang menyapu halaman rumahnya. Namun karena tubuhnya yang rentan membuat siapapun menjadi iba. Dia terlihat sempoyongan, namun terus melakukan aktivitas rutin tersebut.

”Ti Mani memang selalu begitu. Dia ini selalu ingin rumahnya bersih agar sewaktu Saiful pulang tidak diomeli. Ti Mani masih yakin kalau Saiful masih hidup dan segera pulang,”ungkap Mamak tiba-tiba. Penantian Ti Mani ternyata belum berakhir. Semoga harapanmu terkabul Ti.

Kamis, 14 Juli 2011

Para Pengais Rupiah dari Tumpukan Sampah


Hari itu, Senin (11/7), Kota Banda Aceh masih diselimuti awan tebal serta hujan lebat. Derasnya air yang berjatuhan dari langit, turun tanpa henti sejak sang surya menyanpa daerah ini dini hari tadi. Petanda ini biasanya dianggap sebagai rahmat bagi penduduk daerah yang berjulukan Kutaradja ini setelah lama di landa kemarau berkepanjangan.

Hujan yang disertai dengan angin kencang juga membuat sejumlah ruas jalan raya di ibukota menjadi area monopoli para borjuis yang memiliki kendaraan beroda empat. Sedangkan pengguna sepeda motor lebih memiliki berteduh hingga anugrah tuhan tersebut berhenti.

Di Simpang Mesra, sepasang suami istri yang mengenderai roda tiga dengan cat berwarna hijau tua berhenti mendadak. Mereka bukan sedang mencari tempat berteduh guna mengeringkan baju seperti yang lainnya. Padahal, keadaan alam sedang sangat tidak bersahabat saat itu.

Sang laki-laki tampak berpostur kurus kering dan berkulit sawo mantang. Dia memakai jaket hitam dan celana merek jeans. Sedangkan sang isteri berbaju katun dengan motik kotak-kotak. Mereka berhenti di dekat tumpukan sampah tidak jauh dari deretan toko tempat wartawan berteduh.

Lelaki kurus kering tadi kemudian membungkuk sambil mengais sejumlah barang yang berbahan plastik. Sedangkan sang wanita membuang air yang tertampung dalam botol tadi, kemudian memasukannya ke dalam goni besar yang terletak di atas becak hijau tua. Dua sejoli ini, sepertinya adalah warga Kutaradja yang berprofesi sebagai pemulung.

Gerakan Pasutri ini sangat cekatan. Tumpukan sampah plastik yang tadinya mengunung disana mampu berpindah tempat hanya dalam hitungan menit. Dinginnya angin yang disertai hujan lebat seakan tidak sedikitpun menganggu aktivitas rutin mereka.

”Kami sudah biasa bekerja dalam cuaca seperti ini, bahkan dalam suasana lebih ekstrim sekalipun. kalau kami tidak bekerja seperti ini, tidak bisa memberikan makanan untuk anak-anak di rumah,”ungkap pria kurus kering yang belakangan mengaku bernama Ismail, asal Gampong Keudah. Sedangkan istrinya mengaku bernama Alfida. Mereka juga telah dikarunia dua orang anak yang sedang menempuh pendidikan dasar.

”Mereka sedang sekolah. Kalau jam sekolah usai, mereka juga akan ikut memulung seperti kami,”tambah Ismail lagi. Keluarga Ismail, ternyata adalah sekelompok kecil dari kehidupan pemulung yang coba bertahan hidup di tengah-tengah himpitan masyarakat kota yang borjuis.

Menurutnya, penghasilan dari kegiatan memulung selama ini, ternyata mampu mengasapi dapur keluarganya selama ini. Dari kegiatan memulung pula, dirinya mampu menyekolahkan kedua putra-putrinya di Sekolah Dasar. Hal inilah yang selalu disyukurinya selama ini.

Jika di hitung-hitung, lanjut pria yang mengaku berasal dari Aceh Utara ini, penghasilannya dari kegiatan memulung, perharinya berkisar antara Rp45.000 hingga Rp60.000. Jumlah pendapatan ini tergantung pada jumlah sampah yang dihasilkan serta kecekatan dirinya berkerja.

”Kalau hujan seperti ini, kerja sedikit lamban. Botol plastikpun berair sehingga harus dikeringkan terlebih dahulu agar harganya lebih mahal. Para penampung biasanya membeli sampah plastik dengan harga Rp3.000 perkilo. Sedangkan sampah plastik berair Rp2000 perkilo. Kalau kami, rata-rata mendapatkan 15 hingga 20 Kg perharinya,”tutur Ismail.

Pesaing utama Ismail dalam memulung selama ini, tambah dia, adalah para petugas kebersihan kota. Para petugas tersebut memulai kerja dari pukul 22.00 WIB hingga pukul 05.00 WIB dini hari. Saat-saat itu, seluruh sampah plastik sudah pasti diboyong semua oleh para petugas sehingga sulit bagi mereka untuk mengais rezeki dari sampah.

”Oleh karena itu, kami terpaksa bekerja di luar jadwal mereka. Jika beruntung, kami menemukan rumah warga yang baru melaksanakan pesta pernikahan sehingga dipastikan akan banyak sampah pasti disana. Jika sedang sial, ya seperti sekarang, hujan lebat tanpa henti dari pagi,”ungkapnya sambil tersenyum dan tabah menjalani profesinya tersebut.

Tak lama, hujan pun mulai berhenti. Ismail kemudian meminta izin untuk melanjutkan kerjanya guna mengais sedikit rupiah dari tumpukan sampah kota tua ini. Dia ingin menaklukan kota ini dengan tekan bajanya.

Ditempat terpisah, Syarifuddin, Ketua Lembaga Perhimpunan Pemulung (LPP) yang baru saja terbentuk pada Juni 2011, mengaku jumlah pemulung di Kota Banda Aceh saat ini mencapai ribuan. Namun yang bergbung dengan pihaknya saat ini berjumlah 175 Kepala Keluarga (KK) atau 525 masyarakat di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar yang berprofesi sebagai pemulung.

”Rata-rata mereka menghasilkan 15 hingga 20 Kg sampah plastik setiap harinya. Selama seminggu, LPP menampung hampir satu ton sampah plastik. Peran pemulung dalam menjaga kebersihan kota sangat berarti, namun sering kali mereka didiskreditkan oleh Pemerintah. Kehidupan mereka masih sangat memprihatinkan,”akhiri dia.

Sabtu, 09 Juli 2011

Mastura, Lumpuh Setelah Peluru Menembus Kepalanya


Gadis kecil berkulit sawo mantang ini memiliki senyuman yang amat menawan. Padahal, dirinya merupakan salah satu saksi hidup tentang perihnya kehidupan masyarakat Aceh semasa konflik.

Gadis ini bernama Mastura. Kini dia berumur 11 tahun, asal Gampong Tanjong, Idi, Kabupaten Aceh Timur. Bocah berwajah polos ini menderita kelumpuhan setelah peluru nyasar menempus kepalanya, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kondisinya yang lumpuh ini membuat dirinya tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak seperti bocah lainnya pasca damai di Aceh. Selama sepuluh tahun terakhir, dilaluinya hanya dalam sebuah kamar kecil di desa kelahirannya itu.

“Mastura lumpuh sejak kecil. Ini berawal dari peluru nyasar yang menembus kepalanya sekitar sepuluh tahun lalu. Waktu itu Aceh sedang konflik,”kisah Rukiyah, 49, orang tua Mastura, saat ditemui oleh wartawan di kantor Lembaga Advokasi Buruh dan Nelayan Aceh (Labna), Jum’at (8/7).

Dia mengisahkan, malapetaka yang menimpa putri bungsunya tersebut terjadi pada pertengahan 2002 lalu. Sebagaimana keadaan daerah konflik pada umumnya, suasana Gampong Tanjong, kecamatan Idi, saat itu sedang sangat mencekam. Suara rentetan senjata api dan bom meletus hampir saban hari serta sering menewaskan masyarakat sipil yang tidak bersalah. Naas, Mastura yang masih berumur 13 bulan pun ikut menjadi korban.

Dan, pada hari serta bulan yang tidak lagi diingat oleh Rukiyah. Saat itu, untuk kesekian kalinnya terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM di Gampong Tanjong. Dirinya tanpa sengaja membawa Mastura keluar rumah guna menghirup udara segar.

”Tiba-tiba suara rentetan senjatapun kembali terdengar. Saya coba berlindung dan menutup tubuh Mastura. Namun pas saya memegang kepala dia, terlihat darah. Saat itulah, saya baru sadar bahwa Mastura telah menjadi korban peluru nyasar,”papar Rukiyah.

Pasca insiden tersebut, lanjut dia, pihaknya langsung melarikan Mastura ke RS Langsa. Seminggu kemudian dirujuk ke RS Adam Malik, Medan. Disana, nyawa Mastura dapat diselamatkan dan bocah tersebut mulai sadarkan diri.”Kami juga sempat membawa Mastura ke RS Mutiara di Medan. Saat itu, ada orang yang baik hati yang mau membiayai pengobatan anak saya,”ungkap janda yang ditinggal cerai suaminya ini.

Setelah keadaan Mastura semakin membaik. Pihak keluarga kemudian kembali membawa pulang dirinya ke kampung halaman. Sayangnya, saat itu keluarga tidak sadar kalau bayi mereka mulai lumpuh. Keadaan ini baru diketahui saat usia Mastura memasuki tahun ke 5 dan ke 6. Sebagaimana bayi pada umumnya, pada tahun-tahun tersebut seharusnya Mastura sudah mampu berjalan dan berbicara.

Keanehan lainnya, lanjut dia, tiap malam Masyura selalu dihantui oleh rasa sakit dan mimpi buruk. Keadaan ini selalu berulang pada pukul 02.00 dini hari. Selain itu, sejak terkena peluru nyasar, bocah Mastura juga tidak bisa mengontrol buang air sendiri.

”Kami biasanya membawanya ke dukun atau tabib kampung. Tapi tidak sembuh-sembuh juga. Akhirnya, setelah 10 tahun, kini saya kembali mencoba mengobatinya ke rumah sakit. Saya berharap dia bisa segera normal seperti anak lainnya,”pungkas Rukiyah.

Sayangnya, tambah dia, selama perawatan Mastura, dirinya tidak lagi dapat bekerja sebagai pedagang makanan seperti biasanya. Padahal, dari jerih payah pekerjaan tersebutlah mereka hidup selama ini. Nafkah terhadap dirinya dan biaya pengobotan Mastura saat ini ditanggung oleh anak yang paling tua. ”Saya berharap ada dermawan yang tergerak hati untuk membantu anak saya sembuh. Saya Cuma ingin mastura sehat,”akhiri dia. Apakah yang hendak membantu ?

Rabu, 22 Juni 2011

Saat Aceh Besar Ingin Kembali ke ’Lhe Sagoe’


Wacana pemekaran Kabupaten Aceh Besar menjadi tiga kabupaten baru telah menjadi topik hangat belakangan ini. Upaya pemekaran tersebut menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat, baik yang mendukung dengan harapan perubahan, maupun yang mencela dengan dugaan adanya permainan politik di belakang gerakan tersebut.

Kabupaten Aceh Besar sebenarnya memiliki luas wilayah mencapai 2.974,12 Km2 atau kabupaten paling luas di provinsi ini. Sebagian besar wilayahnya berada di daratan dan sebagian kecil berada di kepulauan. Sekitar 10 persen desa di Kabupaten Aceh Besar merupakan desa pesisir dengan ibu kota Jantho itu. Berdasarkan data yang dimiliki oleh daerah tersebut, kabupaten ini terdiri dari 23 Kecamatan, 68 Mukim, dan 604 Desa.

Asal mula daerah Aceh Besar yang luas ini, menurut sejumlah sumber berasal dari peta kekuasaan kesultanan Aceh Darusalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Saat itu, di awal-awal masa pemerintahannya daerah ini cuma meliputi bekas daerah kekuasan tiga kerajaan hindu seperti Indra Patra, Indrapuri serta Indrapurwa.

Atas dasar inilah Kerajaan Aceh disebut dengan julukan Aceh Lhe Sagoe. Selanjutnya, wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Padang, Pedir, Pasai, Deli dan Aru hingga selanjutnya ke Malaka.

Saat ini Kabupaten Aceh Besar sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, Kota Sabang, dan Kota Banda Aceh, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya, Sebelah timur degan Kabupaten Pidie, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Berdasarkan sejumlah cacatan sejarah, sebelum dikeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar merupakan daerah yang terdiri dari tiga kewedanaan, yaitu Kewedanaan Seulimum, Kewedanaan Lhoknga serta Kewedanaan Sabang. Akhirnya dengan perjuangan yang panjang Kabupaten Aceh besar disahkan menjadi daerah otonom melalui Undang-undag Nomor 7 Tahun 1956 dengan ibukotanya pada waktu itu adalah Banda Aceh dan juga merupakan wilayah hukum Kotamadya Banda Aceh.

Namun, saat itu juga muncul sejumlah tuntutan dari masyarakat yang mengharapkan perkembangan daerah yang semakin maju dan berwawasan luas. Keberadaan kotamadya Banda Aceh sebagai pusat ibukota saat itu dianggap kurang efisien sebagai ibukota, baik untuk masa tersebut maupun untuk masa yang akan datang. Usaha pemindahan Ibukota dari Wilayah Banda Aceh pun kemudian bermunculan serta mulai dirintis sejak tahun 1969, dimana lokasi awalnya dipilih Kecamatan Indrapuri yang jaraknya 25 KM dari Banda Aceh. Usaha pemindahan tersebut akhirnya gagal yang disebabkan oleh sejumlah faktor serta kendala.

Selanjutnya, pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibukota untuk kedua kalinya muncul serta mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di Kecamatan Seulimum tepatnya kemukinan Janthoi yang jaraknya sekitar 52 km dari Banda Aceh. Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai keluarnya Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah Kotamadya Banda Aceh.

Saat itu, wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Besar dihitung berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Departemen Dalam Negeri dan pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan ternama, yaitu PT. Markam Jaya yang ditinjau dari segala aspek dapat dan disimpulkan bahwa yang dianggap memenuhi syarat sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh besar adalah Kemukinan Janthoi dengan nama Kota Jantho.

Setelah ditetapkan Kota Jantho sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar yang baru, maka secara bertahap pemindahan ibukota terus dimulai, dan akhirnya secara serentak seluruh aktivitas perkantoran resmi dipindahkan dari Banda Aceh ke Jantho pada tanggal 29 Agustus 1983.

Sayangnya, pemindahan ini ternyata tanpa perhitungan yang mantang. Hal ini akhirnya menyebabkan Kota Jantho menjadi kota mati. Selain itu, pemindahan pusat adminitrasi Aceh Besar ke ’hutan’ Jantho juga menyebabkan tata kelola pemerintah menjadi lamban seperti saat ini.

Salah pilih ibukota kabupaten juga menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat. Pembagian kue pembangunan yang sering kali tidak adil akhirnya menyebabkan masyarakat eks Indra Purwa dan Indra Patra menuntut ’pisah’ dari kabupaten induk. Kini, setelah sekian lama, wacana pemekaran Kabupaten Aceh Besar menjadi tiga wilayah kembali mengema. Daerah-daerah ini, seperti Aceh Rayeuk, Aceh Raya dan Aceh Besar.

Untuk wilayah calon kabupaten Aceh Rayeuk meliputi tujuh Kecamatan, Mesjid Raya, Baitursalam, Darussalam, Kuta Baro, Baruna Jaya, Blang Bintang serta Ingin Jaya. Sedangkan wilayah Kabupaten Aceh Raya diwacanakan terdiri dari Kecamatan Darul Imarah, Peukan Bada, Lhoknga, Leupung, Lhong dan Kecamatan Pulo Aceh. Sementara Kabupaten Induk yakni Aceh Besar mulai dari Ingin Jaya, Montasik, Indrapuri, Jantho, Seulimum dan Lembah Seulawah.

Untuk Sagoe Indrapurwa (Aceh Raya-red), elemen masyarakat disana telah berjumlah hampir 12 tahun lamanya. Sedangkan untuk sagoe Indra Patra (Aceh Rayeuk) baru dalam tahap awal perintisan. Anehnya, pemekaran ini justru mendapatkan respon positif dari pihak eksekutif dan legislatif setempat.

Ingin Kembali Ke Lhe Sagoe
Tujuh kecamatan pesisir Aceh Besar menuntut ’talak tiga’ alias pisah dari kabupaten induk. Ketujuh kecamatan ini adalah Mesjid Raya, Baitursalam, Darussalam, Kuta Baro, Baruna Jaya, Blang Bintang serta Ingin Jaya.

”Komitmen pisah atau talak tiga dari Aceh Besar ini sudah disepakati oleh 26 mukim di 7 kecamatan. Selain itu, tokoh masyarakat serta geuchik juga sudah menyepakatinya. Saat ini tinggal menunggu deklarasi serta advokasi tuntutan ke pemerintah pusat,”ungkap Tgk. Umran Juned, salah seorang tokoh masyarakat yang juga Ketua Panitia Persiapan Kabupaten Aceh Rayeuk, Kamis (9/6) lalu.

Menurutnya, faktor geografis serta perilaku diskriminasi pembangunan yang mereka alami selama puluhan tahun dianggap merupakan salah satu alasan mengapa masyarakat dari tujuh kecamatan ini menuntut ’merdeka’ dari Aceh Besar. Tujuh kecamatan pesisir ini dinilai paling sedikit mendapatkan ’kue’ Pembangunan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar yang beribukota di Jantho selama ini.

Selain itu, lanjut dia, tuntutan pemekaran Aceh Rayeuk ini juga didasari oleh faktor sejarah. Dimana sejak dahulu, kata dia, daerah ini telah terbagi dalam tiga kerajaan, seperti Indra Patra (di Kecamatan Mesjid Raya), Indrapuri, serta Indra Purwa, dengan sebutan Aceh Lheu Sagoe.

Wilayah eks kerajaan Indra Patra dengan 26 mukim-nya dinilai layak untuk dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Rayeuk. Sedangkan untuk wilayah Indra Puri secara otomatis masuk dalam Aceh Besar.

”Untuk masyarakat di wilayah eks kerajaan Indra Purwa sudah komit mendirikan kabupaten baru bernama Aceh Raya. Mereka bahkan sudah sejak dulu memperjuangkan hak mereka, sedangkan kita (Aceh Rayeuk-red) baru hendak deklarasi,”jelasnya.

”Faktor jarak yang harus di tempuh oleh masyarakat di tujuh kecamatan pesisir untuk mendatangi pusat adminitrasi Aceh Besar di Jantho juga salah satu alasan tuntutan pemekaran kabupaten baru ini. Selama ini, masyarakat yang tinggal di Mesjid Raya misalnya, mereka harus melalui perjalanan jauh ke Jantho, bahkan harus melalui Kota Banda Aceh,”paparnya lagi.

Untuk meloloskan kabupaten baru ini, tambah dia, pihaknya saat ini sedang menggalang surat dukungan dari semua geuchik di tujuh kecamatan tersebut. Adminitrasi ini dinilai sudah rampung hampir 80 persen dari persyaratan yang diperlukan. ”Kita sudah menggelar 4 kali pertemuan untuk mengwujudkan ide ini dan seharus ini sudah terlihat ada kemajuan,”akhirinya.

Harapan senada juga diungkapkan oleh Geuchik Gampong Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Rusli Rasyid. Menurutnya, Pemekaran Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu solusi terbaik untuk mengatasi persoalan ketertinggalan pembangunan di daerah tersebut. Pasalnya, Aceh Besar merupakan satu-satunya kabupaten yang belum pernah dimekarkan sejak dahulu kala.

”Selain itu, pemekaran juga bisa mempercepat jalannya roda pemerintahan. Selama ini, kami harus menempuh jarak yang relatif jauh untuk mengurus adminitrasi gampong,” keluh dia.

Antara Kota Banda Aceh dan Pemekaran
Sebenarnya, sejak beberapa tahun terakhir, keberadaan tujuh kecamatan yang tergabung dalam pemekaran calon kabupaten Aceh Rayeuk sering kali dikait-kaitkan dengan Kota Banda Aceh. Dimana, Pemko setempat berharap daerah ini bisa masuk dalam wilayah adminitrasi mereka guna mengatasi kepadatan penduduk di ibukota Provinsi Aceh.

Kedua pimpinan daerah ini, seperti Bupati Aceh Besar di bawa pimpinan Bukhari Daud dan Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin, dikabarkan juga sempat menggelar beberapa kali pertemuan untuk mengwujudkan ide tersebut. Namun akhirnya, wacana ini kembali hilang di telan masa.

Gagalnya harapan ini, disinyalir karena tidak adanya kompensasi yang jelas dari walikota Banda Aceh kepada Pemkab Aceh Besar selaku kabupaten induk. Pasalnya, daerah pesisir yang dilirik oleh Kotamadya Banda Aceh merupakan lumbung PAD bagi Aceh besar selama ini.

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, di sejumlah tempat, juga secara terang-terangan menyatakan mendukung pengabungan sejumlah daerah Aceh Besar menjadi bagian dari Kota Banda Aceh, daripada pemekaran seperti yang dicentuskan belakangan ini. Pasalnya, wacana pemekaran yang dicentuskan belakangan ini saraf dengan nuasa politik dan kepentingan segelintir golongan.

Akan tetapi, terlepas dari mekar tidaknya daerah ini, ataupun digabungkan ke Kota Banda Aceh, masyarakat di pesisir Aceh Besar sangat mengharapkan adanya pembangunan bagi daerahnya. Pasalnya, hampir 90 persen pesisir Aceh Besar dalam lokasi eks tsunami yang masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah.

Sabtu, 11 Juni 2011

Ujian Nasional


Ami terlihat gelisah. Sejak dari tadi, dia terus memandang Hanphone (HP) yang berwarna putih. Dia seperti mengharapkan sesuatu muncul dari benda elektronik tersebut, tapi tidak jelas apa yang dikehendakinya.

”Apa yang kamu tunggu dek? SMS dari pacar ya !”tanya Safrida, sang kakak. Dia lebih tua tiga tahun dari Ami, dan sudah menempuh pendidikan di Unsyiah. Salah satu universitas terfavorit yang ada di Aceh. Sedangkan Ami yang disindir oleh kakaknya itu, masih duduk di kelas 3 pada salah satu SMA di daerah Aceh Besar.

Antara Safrida dengan Ami memang sudah terbiasa saling menggoda. Apalagi jika mereka berdua sedang berada di tempat tidur. Demikian juga yang terjadi saat ini. Akan tetapi, Ami ternyata tidak merespon perkataan kakaknya seperti biasa, dia tetap dengan aktivitasnya semula, yaitu mengamati HP yang dipegangnya sejak dari tadi.

”Apa Rahmad selingkuh ya dek ? atau dia marah karena kelakuaanmu yang sering kekanak-kanakan?”tanya Safrida serius. Dia sepertinya tidak tahan melihat adek semata wayangnya itu cemberut.

Safrida juga mengetahui bahwa adiknya selama ini sedang menjalin hubungan khusus dengan seorang remaja bernama Rahmad yang juga masih berstatus pelajar 3 SMA. Mungkin, hal ini yang menyebab adiknya menjadi cemberut serta memandang Hp terus menerus.

”Dasar abg, sedikit-sedikit berantem sama pacar,”ucap Safrida. Namun perkataan yang terakhir ini menimbulkan reaksi dari lawan bicaranya. Ami yang sejak tadi cemberut berusaha menoleh kearah kakaknya.

”Kak, kalau tidak tahu permasalahannya, jangan ikut campur. Ini tidak ada hubungannya dengan cowok, apalagi Rahmad,”ucap Ami seketika. Respon ini ternyata menimbulkan rasa penasaran dari sang kakak. Pasalnya, tidak biasanya Ami menjadi cemberut.

Adiknya itu juga terbilang gadis cerewet selama ini. Jika ada sesuatu hal yang tidak disenanginya, dia selalu protes, termasuk kepada orangnya yang berprofesi sebagai PNS biasa di jajaran Pemerintahan Kota Banda Aceh.

Hal inilah yang membuat Safrida selalu mengalah setiap dilihat adiknya sedang kesal terhadap dirinya. Padahal, persoalan yang menyebabkan kemarahan tersebut, tidak lebih karena sarung bantal yang sobek atau kamar tidur mereka kotor gara-gara dirinya.

Tapi tidak demikian yang terjadi saat ini. Ami tetap diam dan cemberut seribu bahasa seperti sedang menantikan sesuatu. Selaku kakaknya, Safrida menilai ada sesuatu perkara besar yang sedang dinantikan oleh adiknya tersebut.

”Ayolah dek katakan, apa yang membuatmu menjadi cemberut. Masak, si cerewet bisa caem seperti ini,”ulang Safrida lagi.

”Lho, bukannya kakak senang jika Ami diam seperti sekarang. Biasanya, jika Ami ribut, selalu diusir dari kamar,”jawab sang adik yang membuat Safrida mengalah. Dia sebenarnya kangen dengan kecerewetan adiknya malam ini. Maklum, sejak siang tadi, aktivitasnya selalu dipenuhi dengan aktivitas perkulihan dan kegiatan jurnal ilmiah. Kegiatan ini membuat kepalanya terasa membeku dan membutuhkan hiburan. Biasanya, tingkah Ami-lah yang membuat dirinya tertawa lepas.

”Sudah sana tidur, Ami lagi malas ngobrol dengan kutu buku,”tegas adiknya.

Merasa disindir, Safrida mencoba menyerah. Dia bergegas mengambil bantal guling yang tadi tertinggal di ruang tamu saat nonton televisi. Setelah itu, dirinya mencoba memejamkan mata untuk menuju ke alam mimpi seperti biasanya. Sayangnya, keinginannya tersebut kembali terganggu dengan suara histeris Ami.

”Ada apa? Ada apa ? ”tanya Safrida dalam keadaan setengah sadar. Sedangkan Ami tidak menjawab pertanyaan kakaknya tersebut. Dia masih terlalu sibuk dengan penemuan terbarunya. ”Akhirnya, jawaban UN untuk besok pagi, masuk juga melalu hanphone,”kata dia. Jawaban ini, tentu saja membuat Safrida tambah melongo tak karuan.

Doa Nek Ti


Suara tangisan itu kembali terdengar malam ini. Jaraknya tidak seberapa jauh dari tempat tidurku. Sosok Nek Ti yang lengkap dengan mukena serta sajadah terlihat sedang menegadahkan tangannya. Dia lagi-lagi memohon pada Allah SWT berupa permintaan yang membuat diriku serta orang yang mendengarkan doanya bersedih hati.

Hari ini adalah hari ke- 28 atau minggu ke empat Nek Ti berada di rumah kami. Pagi ini, dia terlihat tersenyum cerah saat menyapa kami para cicitnya satu persatu di ruang tamu. Keadaan ini terlihat amat kontras dengan pemandangan semalam. Namun diriku senang Nek Ti tidak lagi sedih.

”Kamu-kah itu Hasan ?”tanya Nek Ti begitu aku mendektinya. ”Ya, Nek Ti. Saya Hasan,”jawabku.

Dari hati yang paling dalam, diriku sebenarnya amat kagum dengan sosok Nek Ti selama ini. Walaupun umurnya sudah mencapai se-abad dan matanya mengalami kebutaan karena ’dimakan’ usia, ingatan Nek Ti masih amat kuat. Dia juga tidak mengalami kepikunan seperti orang tua biasanya.

Dia ternyata juga mampu membedakan kehadiran, baik diriku maupun penghuni lain di rumah ini, walau hanya mendengar suara langkah kaki kami. Selain itu, dia juga terlihat masih sehat untuk ukuran wanita se-usianya.

Nek Ti adalah nenek buyut kami yang diberikan rahmad oleh Allah SWT berupa umur yang panjang, yaitu 102 tahun. Disaat semua anak-anak serta cucuya meninggal dunia karena ajal di hari tua. Nek Ti ternyata masih diberikan kesehatan sehingga berumur panjang.

Nek Ti sebenarnya memiliki 6 orang anak, 24 cucu serta 78 cicit. Orang tuaku adalah cucunya yang ke 15 atau cucu tertua yang masih hidup. Sedangkan semua anak Nek Ti, termasuk kakek kami, dan sejumlah cucunya yang lain telah meninggal dunia. Baik karena kecelakaan, musibah alam atau ajal di hari tua.

Dia tinggal di rumah kami sejak Om Surya, sepupu bapak meninggal dunia sebulan yang lalu. Saat itu, Nek Ti terlihat sedih karena kehilangan cucunya tersayang. Selain itu, Nek Ti tinggal dengan Om Surya juga hampir enam tahun lamanya, atau pasca tsunami melanda pesisir Aceh beberapa waktu lalu.

Karena khawatir, Nek Ti terluntang-luntang, bapak membawa Nek Ti ke rumah agar kami dapat merawatnya di sisa umurnya.

Sebelum tsunami, Nek Ti sebenarnya tinggal bersama anaknya yang bungsu bernama Aiyud, di Desa Labuy, Kecamatan Baitursalam, Aceh Besar. Kami biasanya sering memanggil dirinya dengan sebutan Nek Aiyud. Dia adalah adik kakek yang menjadi korban kedasyatan musibah tsunami Aceh.

Nek Aiyub bersama istri serta seluruh kelurga meninggal dalam musibah tersebut. Tapi, ajaibnya, Nek Ti malah selamat dari gelombang tsunami tersebut. Nek Ti sempat diseret gelombang tsunami, tetapi bajunya tersangkutan pada sebuah pohon besar serta menjadi penyelamat hidupnya.

Keselamatan Nek Ti sendiri, baru diketahui setelah diriya di tolong oleh sekelompok relawan yang datang ke desa tersebut pasca dua hari musibah. Kabar keselamatan Nek Ti ini kemudian beredar di kalangan cucu serta cicitnya sehingga membuat Om Surya serta bapakku menggelar rapat keluarga besar.

Hasilnya, Om Surya-lah yang menjadi penompang hidup Nek Ti selama enam tahun. Bapak sebelumnya pernah meminta untuk merawat Nek Ti, tapi dia lebih memilih tinggal dengan Om Surya hingga sebulan lalu.

Sifat Nek Ti yang sedang bercengkraman dengan cicit-cicitnya, membuat dia begitu dikagumi dikalangan cucunya yang rata-rata telah berumah tangga dan sukses. Hal ini juga yang membuat dia tidak begitu kesulitan untuk memilih tempat tinggal setelah Om Surya meninggal dunia.

Sedangkan di kalangan cicit Nek Ti, sejak SD hingga menempuh pendidikan tinggi, seperti sekarang. Ternyata dirikulah sosok yang paling dekat dengan Nek Ti. Hal ini sering menimbulkan kecemburuan di kalangan cicitnya yang lain, tidak terkecuali Wilda dan Suci, adikku sendiri.

Makanya, sejak Nek Ti pindah ke rumah kami, dia tidur di kamar ku. Hal ini membuat semua ’aktivitas malamnya’ kuketahui, baik berupa solat malam hingga doa-doanya yang membuat diriku bersedih hati.

Nek Ti juga selalu bercerita tentang sejarah Aceh kepada diriku di saat kami hendak tidur. Fakta-fakta sejarah yang sering tidak terdapat di dalam buku, dengan mudah ku dapat darinya. Dia juga bercerita kepadaku tentang sosok Panglima Teuku Nyak Makam yang memimpin pasukan di Lamnga untuk Kerajaan Aceh.

Sejarah tentang sosok ini tidak pernah aku dapatkan dari buku-buku pelajaran sejarah nasional. Padahal, konon menurun Nek Ti, Panglima Teuku Nyak Makam adalah salah satu panglima perang Aceh yang sangat ditakuti oleh Belanda.

”Hasan, kamu kok melamun pagi-pagi? Ajak Nek Ti duduk di meja makan. Mungkin dia lapar,”kata bapakku. Kemunculannya tiba-tiba ini membuat lamunanku tentang Nek Ti menjadi buyar dan hilang.

”Nenek belum lapar Burhan. Kalian makan aja dulu,”ucap Nek Ti kepada bapak. Pendengarannya amat peka sehingga rasa kekaguman ku kembali muncul.

”Ada yang Burhan ingin sampaikan nek, tetapi nenek harus tabah ya !”ucap bapak lagi, menarik perhatianku dan Nek Ti. Segera ku dorong kursi roda Nek Ti ke meja makan. ”Apa itu ? ”tanya nek Ti.

”Ayu meninggal dunia tadi pagi nek. Ayu cicit nenek, anak dari Filman,”kata bapak lagi. Aku terkejut mendengar hal ini. Pasalnya, Ayu adalah sepupu kami. Dia masih berumur 14 tahun dan baru kemarin Om Filman bersama ayu berkunjung ke rumah untuk melihat kondisi kesehatan Nek Ti.

Tapi yang paling bersedih, ternyata bukan diriku ataupun bapak. Air mata tampak turun di wajah Nek Ti yang berkaca-kaca. Aku sendiri seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Nek Ti saat itu. Ya, Allah.....Cuma kau yang tahu apa yang terbaik bagi hambamu.

***
Setelah beberapa bulan kematian Ayu, Nek Ti terlihat lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar. Dia memperbanyak solat dan ibadah lainnya sehingga membuat diriku enggan untuk menganggunya. Padahal, beberapa hari ini dia sudah berjanji sama diriku untuk menuntaskan cerita sejarah tentang Aceh Lhee Sagoe, atau Aceh Tiga Segi.

”Aku pulang ke rumah aja ah. Siapa tahu Nek Ti mau berbaik hati dan menuntaskan ceritanya kepadaku,”gumam diriku di dalam hati. Sejak kecil, aku memang sudah tertarik dengan hal yang berbau sejarah dan hal ini pula yang membuat diriku dengan Nek Ti bisa akrab.

Dalam perjalanan pulang, hatiku agak gelisah. Aku tidak pernah di landa perasaan seperti. Kegelisahan tersebut kian menjadi-jadi setelah kulihat semua saudara kami berkumpul di rumah. Beberapa diantara mereka adalah saudara jauh, atau cucu Nek Ti.

”Suci, kenapa di rumah banyak orang ?” tanyaku pada adik bungsuku. ”Itu, Nek Ti meninggal dunia kak. Dia meninggal dengan mukena masih di badannya,”ucap suci terputus-putus.

Jawaban ini membuat air mataku tumpah tak tertahankan. Entah, aku harus bagaimana mengungkapkan rasa atas kematian Nek Ti ini. Disatu sisi, aku sangat sedih dengan kenjadian ini karena kehilangan sosok nenek buyut yang selama ini sangat menyayangi kami. Tapi, di sisi lain, inilah jawaban dari doa-doa Nek Ti selama ini.

”Tuhan, segera cabut lah nyawa hambamu ini. Hamba sudah terlalu banyak menerima hikmahmu. Hamba takut, hamba akan kufur jika terus diberikan umur yang panjang,” teringat doa Nek Ti setiap malam. Tuhan mendengarkan harapanmu nek ti, doa kami selalu bersamamu. (murdhani)

 
Free Host | lasik surgery new york