Sabtu, 25 September 2010

Selamat Datang di Banda Aceh, Kota 1001 Parkir


Wajah Zaki Tampak Memerah. Padahal, cahaya matahari sedang tidak begitu teriknya saat itu, Kamis (23/9) .Pasar Peunayong, tempat yang dia singgahi, juga tidaklah sesumpek biasanya. Namun pria berkulit sawo matang ini masih terus mengelutuk sambil menarik dompet hitam miliknya.

Dia menyerahkan uang lembaran dua ribuan kepada seorang bapak-bapak bertubuh subuh yang mengenakan jaket biru bertulisan juru pangkir Kota Banda Aceh.

Tampaknya, dialog antara dirinya dengan tukang pangkir tadilah yang membuat muka M. Zaki asal Kota Bandung ini memerah. Dialog mereka tadi juga sempat menarik perhatian sejumlah pria bermuka sipit dan warga lokal lainnya, yang mengintip dari dalam toko Ponsel dengan wajah penasaran.

Berbeda dengan si bapak-bapak tadi, dia justru menebar senyum lebar dengan penuh kemenangan. Uang lembaran dua ribuan yang didapatkannya tadi, langsung disatukan dengan lembaran lainnya. Uang tersebut diletakan paling atas dari tumpukan ‘rupiah’ lainnya. Sedangkan recehan Rp50, dimasukannya kedalam kantong baju.

“Kota apa ini? sedikit-sedikit uang,”ucap Zaki sambil membetulkan bawaannya diatas sepeda motor merek Vario. Tampaknya Amarah Zaki belum juga reda sesuai ‘berdialog’ dengan juru Pangkir tadi. ‘Kerjaannya’ untuk merapikan barang bawaan guna memudahkan saat mengemudi nanti, jadi lama hanya karena kemarahan tadi.

“Saya marah mas, saya hanya memarkirkan kreta hanya untuk mengecek HP sebentar, sudah dikenakan tarif parkir,”keluh pria yang berumur seperempat abad ini kepada penulis, saat menyapanya.

Tanpa diminta, Zaki mengisahkan bahwa hari itu, dia dengan modal pas-pasan bermaksud untuk belanja di Pasar Peunayong, sekaligus mengecek kondisi HP di Graha Nokia. Maklum HP-nya itu sudah agak ‘kadaruarsa’ sehingga sering bemasalah saat menerima telpon. Untuk aktivitas ini, pria yang mengaku tinggal di Darussalam selama di Aceh, cuma membawa serta uang, Rp50 ribu perak.

“Tadinya, saya pikir cukup segitu. Untuk belanja Rp40 ribu sudah cukup. Sisanya, bisa untuk ngopi atau apalah,”kata turis lokal ini. Kedatangannya ke Aceh, hanya untuk mengantar adik sematanya yang hendak menempuh pendidikan di Unsyiah, serta memastikan adiknya itu mendapatkan kos yang baik dan nyaman.’Vario’ itu sendiri, di pinjam dari temannya yang ada di Aceh.

Namun, kata Zaki, perhitungannya tersebut jauh melesat dari target semula. Dia, ternyata lupa memasukan uang untuk keperluan parkir. Dari lima tempat, di kawasan Pasar Aceh dan Pasar Peunayong yang disinggahi, ternyata menghabiskan dana sebesar tujuh ribuan.

“Dari tiga tempat, diambil Rp2 ribu sekali parkir. Sedangkan dua tempat lagi, seribu sekali parkir. Saya marah karena sikap mereka (tukang parkir-red) sudah keterlaluan,”tandasnya.

“Setiap saya singgahi satu toko, selalu diharuskan parkir sepeda motor. Jadi, parkir disini (Kota Banda Aceh-red) ada dimana-mana. Udah itu, tarif parkir disini juga tidak disamaratakan, serta bervariasi,”ungkap dia secara menggebu-gebu. Maklum, Zaki baru kali ini datang ke Aceh.

Yang pertama, dia datang saat tsunami. Serta yang kedua, adalah kali ini dengan tujuan mengantar adeknya untuk kuliah. Zaki juga tidak tahu, keberadaan Qanun No 11 tahun 2007 tentang pengutipan retribusi parkir di Kota Banda Aceh.

“Saya pulang dulu mas!”ucap dia sambil meninggal lokasi. Keluhan ini merupakan satu dari seribu protes tentang pengelolaan parkir yang tidak profesional di Aceh.

Menyangkut hal ini, Ketua Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Arif Fadillah, sebenarnya sudah meminta para Juru Parkir (Jukir) di wilayah kota Banda Aceh agar dalam melakukan pengutipan biaya retribusi sesuai dengan Qanun No 11 tahun 2007.

“Saya tidak setuju dengan pengutipan retribusi parkir yang selama ini melanggar Qanun,” ujar Arif, menaggapi keluhan warga pengguna jasa parkir terhadap tidak menentunya tarif retribusi yang ditetapkan oleh Jukir di sejumlah lokasi di Banda Aceh.

Dijelaskannya, tarif parkir di kota Banda Aceh harus mengacu pada Qanun No 11 tahun 2007 tentang retribusi pelayanan parkir. Dalam Qanun tersebut, kata dia, besarnya biaya parkir untuk setiap kenderaan telah ditetapkan dan harus dipatuhi karena sifatnya telah mengikat.

“Dalam mengutip biaya retribusi, Jukir tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang berlaku, karena akan memberatkan pengguna jasa,” tegasnya. Sesuai dengan Qanun No 11 tahun 2007, tarif parkir roda dua maupun roda tiga Rp500-/sekali parkir. Untuk roda empat dan roda enam masing-masinya dikenakan Rp 1000-2000-/sekali parkir.

Namun dalam prakteknya, banyak sekali terdapat perlanggaran. Jargon Banda Aceh, dari kota wisata islam, sepertinya tidak pantas lagi disemaikan karena kemunafikan-kemunafikan ini. jargon yang cocok bagi Banda Aceh saat ini, adalah kota 1001 parkir.

Minggu, 19 September 2010

OKB Versus MoU Helsinki, Siapa Menang ?


Perjanjian di Helsinki memiliki arti tersendiri bagi masyarakat di Aceh. Sayangnya, setelah lima tahun berlalu, perjanjian itu sepertinya tidak juga membelikan perubahan bagi masyarakat, kecuali tumbuh subur-nya sejumlah Orang Kaya Baru (OKB) di daerah ini.

Perjanjian di Helsinki sebenarnya mempunyai pertalian yang sangat erat dengan Undang-Undang pemerintahan Aceh (UUPA). MoU Helsinki yang memerintahkan pembentukan UUPA dan kemudian UUPA memerintahkan pembentukan qanun-qanun.

Perjanjian MoU Helsinki bukan hanya menjadi titik awal dari perdamaian, namun juga menjadi awal mula pengelolaan pemerintahan provinsi NAD dengan cara-cara yang jauh berbeda dari sebelumnya melalui UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Jika merujuk pada pasal-pasalnya, maka UU tersebut memiliki beberapa fungsi yaitu, penguat eksistensi NKRI, sebagai instrumen yuridis untuk penyelenggaraan pemerintah daerah, instrumen yuridis pelaksanaan MoU serta untuk penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh.

Keberadaan UUPA dianggap sebagai katalisator yang membawa perubahan situasi di Aceh untuk menjadi lebih adil. Namun, dalam perjalanan waktu, terutama dari tahun 2006 hingga akhir 2010, menurut pengamatan penulis banyak terdapat kendala sehingga semua fungsi tadi tidak dapat berjalan.

Kelemahannya seperti, banyaknya qanun atau produk hukum yang belum dilahirkan hingga akhir 2010, lemahnya SDM legislatif, pertikaian antar pemimpin, perilaku korupsi hingga perpecahan.

Selain itu, kelemahan ini dapat dilihat dari banyak PP dan Kepres yang merupakan amanah dari perjanjian MoU Helsinki yang tidak juga diterbitkan oleh pemerintah pusat hingga lima tahun. Pemerintah Pusat dinilai masih berutang untuk menyelesaikan 6 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Peraturan Presiden (Perpres), serta 1 Keputusan Presiden (Kepres).

Aturan turunan UUPA yang hingga kini masih menjadi utang pemerintah pusat adalah PP tentang Kawasan Khusus, PP tentang Pengelolaan Migas, PP tentang Pelimpahan Kewenangan, PP tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh/Kab/Kota, PP tentang Penetapan nama Aceh dan gelar pejabat yang dipilih setelah Pemilu 2009, dan PP tentang Standar, Norma dan Prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh/Kab/Kota.

Sementara dua Perpres turunan dari UU PA yang belum ada adalah Perpres tentang kerja sama internasional dengan Aceh, Perpres tentang Pengalihan Kanwil BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kab/Kota menjadi perangkat daerah Aceh dan perangkat Kab/Kota.

Sedangkan Kepres turunan dari UU PA adalah, Kepres tentang Penetapan dan pemberhentian Sekda Aceh.

Dalam beberapa aspek, UUPA sebenarnya merupakan sebuah produk hukum yang sangat progresif dalam kaitannya dengan pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah.

Namun karena banyaknya permasalahan tadi, tidak sedikit kewenangan yang seharusnya dimiliki Pemerintahan Aceh, kini seperti dihambat (baik sengaja atau tidak-red) oleh pemerintah pusat.

Perjanjian MoU Helsinki yang sebenarnya mengisyaratkan harus adanya save govement (pemerintahan sendiri-red) di Aceh, kini hanya sebatas perjanjian di kertas belaka. Parahnya lagi, kondisi seperti ini tidak juga dibentengi dengan dorongan yang kuat dari Pemerintah Aceh ke pemerintah pusat di Jakarta, saat ini.

Analisis penulis, kondisi ini terjadi karena banyaknya timbul perpecahan antara para pemimpin di Aceh pasca damai. Padahal, mayoritas dari pemimpin itu sendiri, sebenarnya merupakan eks kombatan yang sebelumnya melakukan perlawanan hingga adanya MoU Helsinki.

Rasa curiga hingga pemerataan ekonomi yang tidak seimbang, terutama untuk eks kombatan, diduga kuat merupakan alasan dibalik pertikaan baru di Aceh. Konflik internal dan pertikaian yang menjalar dari ‘arus bawah’ hingga para pimpinan tertinggi, ikut terseret.
Korupsi pasca MoU Helsinki
Di Aceh, pasca damai muncul banyak kasus dugaan korupsi, namunnya sayangnya, kasus-kasus tersebut tidak pernah tertuntaskan. Kasus seperti penjualan aset daerah berupa rangka baja dan kasus bobolnya deposito 220 miliar milik pemkab Aceh Utara dinilai dua kasus yang paling menyita ‘mata publik’ selama ini.

Selain itu, ada juga kasus dugaan korupsi dana abadi pendidikan Aceh Rp2,4 triyun yang mengendap di bank sejak tahun 2003 lalu. konon, bunga dari dana ini berkisar 12 miliar pertahun, tetapi tidak jelas mengalir kemana.

Kasus-kasus ini pula yang diduga menyebabkan kepercayaan publik kian menipis terhadap para pemimpin yang maju melalui jalur independen atau pemimpin yang berlatar belakang perjuangan, biarpun kasus ini tidak bisa disamaratakan untuk semua daerah.

Paling tidak, munculnya sejumlah laporan dugaan korupsi pasca damai di Aceh telah mengikis kepercayaan masyarakat. Tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap ‘pemimpin lokal’ cenderung meningkat sehingga roda pembangunan yang sedang dirintis menuai kendala.

Ketidakpuasan ini juga terjadi karena adanya ketidakseimbangan ‘pembagian ekonomi’ ditengah-tengah masyarakat.

Dimana dalam banyak kasus terjadi, kelompok yang dekat dengan kekuasaan selalu mendapatkan ‘cipratan’ ekonomi yang lebih dominan daripada kelompok lainnya. Pola inilah akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial ditengah-tengah masyarakat Aceh.

Dalam masyarakat Aceh, juga muncul istilah OKB alias Orang Kaya Baru pasca penandatangan perjanjian MoU Helsinki. Terlepas sumber dana para ‘OKB’ tersebut halal atau tidak, namun munculnya statemen ini patut menjadi perhatian khusus dari semua pihak yang peduli pada perdamaian Aceh.

Masyarakat Aceh, masih trautma dengan segala kemunafikan yang pernah terjadi masa lalu, baik semasa Soekarno maupun Megawati. Jangan sampai kasus ini juga menimpa pada tokoh Aceh saat ini. Perjanjian MoU Helsinki yang sebenarnya bertujuan untuk perdamaian, malah dimaafkan untuk memperkaya diri sendiri.

Tapol Napol, KKR serta pengadilan HAM
Dibalik semua persoalan tadi, sebenarnya ada sejumlah Pekerjaan Rumah (PR) yang harus segera dituntaskan oleh para pemimpin Aceh saat ini. Permasalahan ini seperti pembebasan 3 sisa Narapidana Politik (Napol) Aceh yang masih mendekam di penjara pasca penandatangan MoU di Helsinki, Pembentukan KKR serta Pengadilan HAM.

Semua itu merupakan amanah dari perjanjian MoU Helsinki yang belum juga direalisasikan oleh pemerintah pusat.

Namun sayangnya, para elemen sipil di Aceh juga pernah mengaku bahwa pihaknya pesimis kalau keberadaan KKR dan Pengadilan HAM di Aceh. Pasalnya, qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan HAM yang menjadi landasan hukum pembentukan keduanya, ternyata juga tidak masuk dalam Program Priolitas Legislative Aceh (Prolega) tahun 2010 ini.

Hal ini terjadi dikarenakan minimnya tindakan nyata dari kalangan dewan untuk melakukan pembahasan qanun tersebut.

“Belum ada langkah-langkah nyata yang dilakukan oleh jajaran legislative untuk menghadirkan qanun KKR di Aceh. Apalagi, dalam sidang pembahasan beberapa waktu lalu, tidak disebutkan Qanun KKR sebagai bagian dari 21 qanun yang masuk program priolitas legislative (Prolega) selama tahun 2010,”ucap Pj Direktur Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), Agusta Mukhtar, kepada media beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Hendra Fadli, Coordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, keseriusan dewan untuk memasukan Qanun KKR sebagai bagian dari Prolega 2010 merupakan awal dari penegakan keadilan bagi korban kekerasan di Aceh. Apalagi, semua tersebut juga merupakah poin penting dalam perjanjian damai Aceh.

Menyangkut hal ini sendiri, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), akhirnya juga mengakui bahwa salah satu penyebab lambannya pembebasan 3 sisa Narapidana Politik (Napol) Aceh adalah lemahnya lobi mereka di tingkat nasional.

Dewan juga mengatakan keterbatasan akses pihaknya untuk bisa bertemu langsung dengan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar serta Presiden SBY sebagai pemegang kebijakan adalah penyebab utama kegagalan tersebut.

“kita (DPRA-red) belum bisa bertemu langsung dengan Menkum HAM dan Presiden SBY untuk membicarakan masalah Napol Aceh. kita merasa sedang dibola-bolai oleh pemerintah pusat di Jakarta,”ucap ketua komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Adnan Beuransyah, dalam diskusi damai Aceh Pasca MoU Helsinki, yang digelar BEMA IAIN Ar-Raniry, dipertengahan tahun 2010 ini.

Menurutnya, untuk pembebasan tiga sisa Napol Aceh yang masih mendekam di Cipinang, pihaknya mengaku telah mengirimkan surat kepada Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar serta Presiden SBY, guna melakukan pertemuan khusus untuk membahas permasalahan ini. Namun para pemegang kebijakan tersebut ternyata tidak memberikan respon positif.

Bahkan, kata dia, balasan surat terhadap permintaan mereka pun tidak pernah dilakukan oleh kelembagaan terkait. Sedangkan Komisi A DPR Aceh sendiri, mengaku telah mengirim surat permohonan tersebut sebanyak 3 kali sejak awal tahun ini.

“Kita datangi langsung ke Jakarta, tetapi cuma bisa ketemu dengan Dirjen dan Kepala Lapas Cipinang. Mereka menyambut baik tawaran ini, tetapi tidak memiliki hak untuk membuat kebijakan,” jelas dia.

Karena sikap seperti ini, tambah Adnan lagi, pihaknya mengaku serba salah dengan masyarakat Aceh dan mahasiswa setiap ditanyakan soal komitmen dewan terhadap penyelesaian amanah MoU Helsinki. Apalagi, Komisi A mengaku juga pernah memberikan janji manis kepada rakyat Aceh, bahwa akan membebaskan Napol Aceh sebelum akhir tahun 2010 ini.

“Saat ini, dewan sedang mengatur ulang pertemuan dengan Menkum HAM dan Presiden SBY terkait hal yg hampir sama. Kita berharap pertemuan ini dapat membuahi hasil,”tandasnya.
Terlepas Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar juga sudah pernah menyatakan bahwa ke-3 sisa Napol Aceh tidak bisa dibebaskan dengan perjanjian MoU Helsinki. Namun dorongan yang kuat sebetulnya perlu dilakukan untuk mengubah kebijakan ini.

Tetapi, permasalah ini lagi-lagi terbetur dengan pertikaian internal dari dalam Pemerintahan Aceh sehingga hal ini terabaikan. Adanya perilaku korupsi hingga keberadaan pemimpin yang cuma memperkaya diri sendiri justru (OKB-red) telah mematahkan perjuangan ini.

OKB Versus MoU Helsinki
Perilaku korupsi dengan kemunculan sejumlah OKB baru dalam kasus ‘damai Aceh’ sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam cacatan sejarah Aceh. Jika kita bisa memakai bahasa kasar untuk menyebutkan mereka sebagai ‘para pengkhianat’ perjuangan, juga bukanlah sesuatu yang baru dalam cacatan sejarah dunia.

Kehadiran perjanjian MoU Helsinki untuk mendamaikan Aceh, kini telah dihadapkan pada babak baru berupa penyelesaian konflik internal karena perilaku korupsi hingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.

Memang tidak sedikit ‘para pembela’ MoU Helsinki yang kini masih komit mengawal UUPA hingga amanah perjanjian itu sendiri, dan tidak sedikit pula yang mengunakan awal damai tersebut sebagai langkah memperkaya diri sendiri walaupun dengan cara-cara tidak halal.

Namun apapun alasanya, kedua kelompok tadi merupakan hal yang nyata yang sudah terjadi di Aceh. Permasalahan ini harus segera diselesaikan sehingga tidak menimbulkan kerugian ditengah-tengah masyarakat dan tuntutan MoU Helsinki dapat segera diwujudkan.

Jangan sampai, kasus ini malah akan menimbulkan gerakan bersenjata baru di Aceh sehingga damai yang sedang dirintis akan gagal. Siklus konflik Aceh yang selalu berulang 15 tahun sekali, juga diharapkan tidak terbukti untuk persoalan ini. Komitmen kuat dari Pemerintah Aceh untuk menyelesaikan amanah MoU Helsinki dinilai penting guna mencegah konflik berulang di Seramoe Mekkah ini.

Jumat, 17 September 2010

Saya Gila, Tapi Juga Butuh Duit


Laki-laki ini tampak kurus kering dengan baju hijau muda. Dia beberapa kali memegang kepala botaknya sambil merapikan barisan. Tujuh Teman yang di samping juga terus tersemyum simpul sambil melihat ke arah jalan raya. Dia seperti sedang menanti sesuatu yang akan muncul disana.

Pria botak tadi mengaku bernama Mansur, lahir di Pidie, sekitar 37 tahun lalu. Dia diberikan tugas khusus sebagai komandan barisan pasien jiwa dalam rangka menyambut Gubernur Aceh Irwandi Yusuf saat melakukan Sidak di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Aceh, Rabu (16/9) lalu.

Anggota pasukan dan dirinya sendiri, memang bisa di golongan sebagai pasien ‘hampir’ sembuh disana. Sedangkan yang masih sakit ‘parah’ tidak diizinkan keluar untuk menyambut orang nomor satu di Aceh itu. Mungkin hal inilah yang membuat mereka merasa bangga diri. Pasalnya, yang ‘sehat dan sembuh’ saja susah untuk bertatap muka dan berdialog langsung dengan Irwandi.

“Kira-kira eh geupenuhi dilee permintaan lon (kira-kira mau tidak ya, dipenuhi permintaan saya),”gumannya sendiri. Dari pertanyaannya tadi, ada sesuatu yang hendak disampaikannya langsung kepada gubernur. Namun dia tampak belum yakin dan ragu-ragu untuk mempertanyakan persoalan itu.

“Buk, eh geupenuhi kira-kira permintaan lon nyoe ? (buk, apa mau dipermintaan saya ini),”tanya dia kepada barisan terpisah pada wanita yang memakai seragam dinas dan putih-putih, seperti ingin memastikan lagi layak tidaknya pertanyaannya nanti. Ibu-ibu yang ditanya hanya tersenyum simpul, tidak menjawab.

“Katanyoe laju hai. Enteuk ta bagi dua (kamu tanya saja, nanti kita bagi dua),”ucap teman disampingnya dengan pakaian yang sama, tetapi bertubuh lebih subuh dan berambut sedikit lebat. Temannya ini sepertinya sudah tahu apa yang menjadi kegelisahan pria botak tadi. Mereka berdua tampak yang paling waras diantara pasukan penyambut tamu ini.

Kegelisahan dua sahabat ini seprtinya tidak bertahan lama. Pasalnya, mobil jeep Rubicon milik irwandi tampak meluncur kearah mereka sambil di kawal ketat oleh pihak kepolisian. Belasan wartawan yang dari tadi sudah berada di tempat, langsung beraksi guna mencari ‘bahan tulisan’ menarik.

Mansur dan tujuh temannya tampak begitu senang. Rasa paniknya tadi untuk menanyakan sesuatu seperti hilang. namun barisan yang dikomandoinya tadi kembali tampak berantakan. Maklum, mereka belum sembuh benar.

“Nyoe soe (Ini siapa),”tanya Irwandi. Dia memakai baju putih hari itu dengan wajah tersebut. Maklum lawan bicaranya kali ini bukanlah orang biasa. Hal ini mungkin saja menjadi pengalaman tersendiri baginyan.

“lon tuan Mansur dari Tangse (saya mansur dari Tangse),”ucap dia sambil tersenyum. “Pak neujok modal usaha ke lon dilee. Lon ka sehat akan segera teubiet dari rumoh sakit jiwa (pak, tolong kasih modal usaha untuk saya. Saya sudah sembuh dan habis keluar dari RJS),”todong Mansur dengan pertanyaan yang sejak tadi disimpannya.

Pertanyaan tadi tentu saja mengejutkan Irwandi. Beberapa rombongan yang hadir juga tersenyum tipis.

“Kalau sudah sembuh. Saya ini siapa ?”tanya ulang gubernur dengan mimik muka setengah ketawa. Dia sepertinya ini memastikan kewarasan Mansur.

“Irwandi, Gubernur Aceh,”jawab pria berkulit sawo mantang ini lagi. Jawaban ini membuat Irwandi senang.

“Untuk apa modal, kah masih di rumah sakit,”tandas Irwandi lagi. Dia masih ingin berdebat dengan Mansur. Yang hadir lagi-lagi ketawa menyaksikan dialog yang langka ini.

“Untuk modal meukat ungkot. Rp500.000 ka cukop (untuk berjualan ikan. Lima ratus ribu sudah cukup),”balas Mansur mantap.

Menurut keterangan dokter, Mansur sebelum ke RSJ akhir tahun lalu adalah warga Tangse yang dulunya berprofesi sebagai penjual ikan di Pasar Peunayong, Kota Banda Aceh. Musibah tsunami, diceritakan, telah meregut separuh hidup dan kewarasannya. Anak isterinya yang tinggal di daerah Peunayong menjadi korban dari musibah maha dasyat di dunia tersebut.

Hal inilah yang diduga membuat mansur putus asa dan kehilangan semangatnya untuk berkerja sebagai penjual ikan. Sekitar tahun 2006, Mansur kemudian kembali ke daerah asalnya di tangse. Disana, Mansur mencoba bekerja serabutan namun tidak juga mampu melupakan kenangan bersama isteri dan anaknya tersebut, hingga dia mulai berbicara sendiri.

Sejak 2007 lalu, Mansur mengakui ada seseorang yang membisikan sesuatu pada dirinya, kemanapun dia pergi. Hal inilah yang membuat dirinya dianggap gila dan dibawa lari ke RSJ oleh orang kampung disana.

“Begini, kalau kamu sudah sembuh. Nanti temui saya. Bukan hanya Rp500.000 yang akan saja bantu, tetapi 2 juta,”ucap Gubernur lagi. “Bukan cuma dia (mansur-red), tetapi yang lain juga,”katanya sambil melempar senyum kepada semua pasukan penyambut dari pasien ini.

Hal ini tentu saja membuat kawan-kawan Mansur senang. Namun gubernur sepertinya masih penasaran dengan Mansur, dan kembali mencoba mengajak dia berdialog. “Sewa lapak di peunayong berapa harganya,”Tanya dia.

“Hana, meunyoe lon gratis disinan. Awak awai, awaknya pasti sayang keu ureung pungo lagee lon, “tandas Mansur lagi. Pengakuan polos ini kembali disertai tawa dari rombongan yang lain.

Senang dengan keramahan lawan bicara. Gubernur kemudian meminta stafnya untuk memberikannya segepok uang lembaran 20.000. Niatnya gubernur, uang tersebut hendak dibagi-bagikan untuk pasien disana. “Awak drokeuh peurele peng (kami mau uang),”Tanya dia. “Peurele, Kamoe Pungo, Tapi Pereule Peng Chiet Pak(perlu, kami gila, tapi uang tetap perlu),”tandas Mansur mewakili teman-temannya.

“Ini uang untuk beli rokok, di RSJ tidak ada uang, yang ada cuma baju,”ucap kawannya gembira sambil mengakhiri pembicaraan. Mansur CS meninggalkan rombongan. Dia dan teman-temannya merupakan satu dari seribu cerita yang terjadi di Aceh pasca konflik dan tsunami. Namun cerita itu tersimpan erat di RSJ menunggu diperhatikan.

Kamis, 16 September 2010

Mimpi Saya, Teuku Is Bebas Tahun lalu


Wanita ini tampak begitu tegar untuk seumurnya.Beberapa kali tangannya melambai ke arah iringan mobil yang sedang beranjak pulang seusai mengantar dia dan keluarga ke rumah sederhana milik M. Adli Abdullah, Dosen Fakultas Hukum Unsyiah di Darusalam. Para pengantar itu, adalah anggota KPA wilayah Pase dan Pidie.

Ibu dua anak itu bernama Asnani (39), lahir di Bireuen, 17 Desember 1970 silam. Dia adalah isteri Tgk Ismuhadi, Napol GAM yang masih ditahan di LP Cipinang. Suaminya, dituduh terlibat dalam peledakan Bursa Efek Jakarta (BEJ), 10 Tahun silam. Hukumannya pun tak tanggung-tanggung, Ismuhadi diganjar hukuman seumur hidup.

Asnani beberapa kali meneteskan air mata. Sedangkan Maulana Tadasi dan Nyak Cahya Keumala, buah hatinya lebih banyak terdiam.

“Saya terharu atas penyamputan selama di Aceh. Saya dan suami saya, ternyata belum dilupakan disini,”ucap sosok ibu dari dua oran anak ini.

Didampingi oleh Dewi Meuthia, Isteri Wakil Gubernur Aceh, serta sang pemilik rumah, dirinya menceritakan bahwa sudah lama berhasrat ingin berlebaran bersama keluarga di Aceh. Namun niat tersebut baru bisa diwujudkan pada Idul Fitri tahun 2010 ini.

“Banyak alasan mengapa kami jarang bisa pulang ke Aceh, factor ekonomi merupakan salah satunya,”ucap dia.

Dengan suara yang pelan, dirinya melanjutkan,bahwa niat bersiraturrahmi bersama keluarga di Aceh, sebenarnya sudah muncul di awal tahun 2009 lalu. Saat itu, dia bermimpi bahwa Tgk Ismuhadi, suaminya akan segera dibebaskan pada tahun tersebut, sehingga dirinya merencanakan untuk siraturrahmi dan liburan bersama ke kampung halaman.

Namun, mimpi tersebut ternyata belum menjadi kenyataan.

Tetapi, karena kerinduan yang mendalam, dia bersama dua buah hati, akhirnya minta pamit sama suami untuk bersiraturrahmi ke Aceh pada Idul Fitri ini, serta diizinkan.

“Mungkin, lebaran kedepan (2011-red) baru suami saya bisa ikut. Ini yang selalu saya doakan setiap solat lima waktu,”ucap wanita tegar yang kini masih menetap di Jakarta Selatan ini. Disana, dia menanti suaminya segera bebas.

“Kami se-keluarga mengharapkan Tgk cepat dibebaskan.” ujar Asnani lagi. Keinginan isteri tokoh masyarakat Aceh di Pulau Jawa ini memang cukup beralasan. Pasalnya, pembebasan tahanan Tapol/Napol GAM sudah disepakati antara RI dan GAM dalam MoU Helsinki.

“Jika anggota GAM lain dibebaskan, kenapa suami saya dan ayah dari anak saya belum juga dibebaskan?” tanyanya dengan raut wajah sedih. Asnani mengaku, suaminya dari dulu berbuat untuk kepentingan GAM dan perjuangan. Bahkan, demi perjuangan, keluarga lebih sering ditinggalkan. “Anak-anak kami juga telantar, sama seperti anak orang lain,” ceritanya tentang keadaan suaminya saat masih terlibat dalam perjuangan.

Asnani mengaku sangat sedih. Dia tak sanggup membayangkan jika suaminya harus menjalani hukuman sampai 35 tahun, berarti saat suaminya keluar nanti, sudah sangat tua. Saat itu, katanya, anak-anaknya sudah besar.

“Bagaimana saya harus menceritakan sejarah yang benar tentang ayahnya?” kembali Asnani berkata lirih. Mereka, sebutnya pasti akan bertanya tentang bapaknya. Mereka akan bertanya, kenapa ayahnya tidak dibebaskan seperti anggota GAM yang lain, apa bedanya antara ayahnya dengan orang lain.

Dulu, kata dia, saat anak-anaknya masuk kecil, dirinya selalu mencari berbagai alasan jika ditanya, mengapa Tgk Ismuhadi tidak pernah pulang ke rumah. Mulai dari kerja luar kota, ada keperluan hingga sejuta alasan lainnya.

“Ini semua demi kebaikan mereka. Tapi karena mereka saat ini sudah besar, saya tidak perlu bohong lagi tentang ayah mereka,”ucap Asnani.

Perjalanan hidup ibu dua anak ini memang penuh liku usai suaminya ditangkap. Dirinya juga sempat berpindah-pindah rumah demi menghindari pandangan negatif tetangga terhadap dia dan buah hatinya.

Untuk membiayai hidup sehari-hari, Asnani cuma bergantung pada satu Mini Bus hasil jerih payah suaminya sebelum ke tangkap. “Dulu, kami punya satu bengkel, namun sudah dijual karena tidak ada yang mengurusnya. Empat kopaja juga sudah di jual untuk menutupi ekonomi keluarga,”tutur dia.

Untuk kategori seorang isteri, Asnani tergolong isteri yang taat dan tabah. Dimana, saat isteri para Napol lain minta cerai karena tidak sanggup menanti dalam ketidakpastian, Asnani masih bertahan dan yakin suaminya akan segera bebas.

“Saya yakin, suami saya akan segera dibebaskan. Masih ada yang peduli di sini sehingga menjadi dorongan semangat bagi saya,”katanya.

“Saya minta Meuntroe dan Pemerintah Aceh tanggungjawab dan membebaskan suami saya segera,”harap Asnani lagi sambil menyekat air mata dengan unjung jilbab dengan nada penuh harap.

Harapan itu terasa tulus dari seorang isteri perjuang yang masih mendekam dibalik teruji. Tgk Ismuhadi, memang dikenal sebagai tokoh masyarakat Aceh di Jakarta. Dia banyak terlibat dalam kegiatan masyarakat Aceh, dan ikut membantu berbagai aksi masyarakat Aceh di Jakarta. Kasus peledakan BEJ menggiringnya ke dalam penjara. MoU Helsinki, antara pemerintah RI dan GAM, ‘hanya’ memberinya harapan untuk menghirup kembali udara bebas. Karena, dalam MoU disepakati point pemberian amnesti untuk anggota GAM yang ditahan maupun masyarakat Aceh yang tersangkut konflik Aceh.

Kamis, 02 September 2010

Lamnga, Medan Perang dan Panglima Tanpa Kepala


Tidak ada sejengkal tanah pun di daerah ini yang tidak di-isi oleh tulang belulang dan mayat para syuhada. Ada ribuan makam tanpa nama disini, yang berbaring indah tak beraturan di samping seorang panglima besar tanpa kepala, yaitu Teuku Nyak Makam.

Dia adalah sosok pahlawan yang luput dari catatan sejarah kita, dan panglima tak dikenang oleh para panglima era kini saat peringatan hari pahlawan nasional. Dia telah gugur bersama ribuan pasukannya disini, saat berjuang mempertahankan marwah dan harga diri Nanggroe Aceh dari tangan penjajah Belanda yang merongrong pangkuan ibu pertiwi saat itu.

Bagi penulis! Desa Lamnga sendiri, adalah daerah dengan potensi wisata sejarah yang amat kental, tetapi sayangnya disia-siakan oleh Pemerintah Aceh saat ini.

Desa Lamnga adalah sebuah daerah yang penuh lambang perjuangan, dan sejarah herois rakyat Aceh yang ternyata dilupakan pada masa ini. Daerah ini terletak di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.

Jarak yang hanya mencapai 12 Kilometer dari Kutaraja (Kota Banda Aceh-red), seharusnya daerah ini menjadi ikon wisata sejarah baru untuk Aceh. Paling tidak, hal ini yang tergambar pada diri penulis ketika turun ke lokasi, Selasa (31/3) lalu.

Ada beberapa sebutan yang melekat benar dengan daerah ini, seperti Lamnga Sigeu Poh dan Lamnga Pasie. Dinamakan dengan Lamnga Segeupoh! Hal ini karena, konon katanya, jika ada orang Belanda dan antek-anteknya melalui daerah ini, pasti akan menuaikan ajalnya di tangan para pejuang yang bertahan disana.

“Makanya, didaerah ini ada Dusun yang dinamakan dengan Abah Darah, atau Dusun dengan mulut darah. Lokasinya terletak tepat di jalan pintu masuk Desa. Di tempat itulah biasanya para pejuang Aceh melakukan patroli dan berperang dengan serdadu Belanda yang mencoba melintas ke Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, ”ucap Sukma, 46, warga setempat kepada penulis disana.

Menurutnya, di Abah Darah pula, pasukan Aceh dalam unit pasukan Dilamnga selalu melakukan sweping pendatang pada masa itu. “Kalau ada warga yang mencari perlindungan akan selamat. Demikian juga dengan serdadu dan tentara belanda yang menyamar ketika berpergian ke Krueng Raya. Mereka akan dibunuh secara massal disana,” jelas dia.

Tidak hanya perkataan Sukma, tetapi beberapa sumber penulis juga mengatakan hal yang sama saat itu. Masyarakat disana ternyata tahu betul setiap jengkal tanah mereka, termasuk keberadaan sejumlah tulang belulang dari ribuan jasad para syuhada yang bersemayam di bawah rumah-rumah penduduk.

Muhammad Ali Ibrahim, Sekretaris Desa Lamnga kepada penulis juga mengatakan, bahwa sebetulnya masyarakat Desa Lamnga dulunya tidaklah tinggal dilokasi seperti sekarang. Masyarakat, saat itu tinggal disekeliling sudut desa yang kini telah berubah menjadi lokasi tambak dan sungai yang mengelilingi desa.

“Di sini dulunya adalah hutan yang dipenuhi oleh makam para pejuang yang syahid dalam pertempuran. Namun sekitar tahun 60 atau 70-an pernah terjadi banjir besar di Aceh sehingga memaksa warga lamnga harus tinggal di dataran tinggi dan membangun rumah diatas kuburan-kuburan,”ucapnya.

“Makanya, setiap ada perluasan rumah di Lamnga saat ini. Selalu ditemukan kerangka manusia, dan itu sudah biasa dialami oleh warga dan bukan hal yang mengejutkan lagi. Lokasi yang ditempati sekarang adalah tanah dengan makam besar yang pernah menjadi lokasi medan perang,” ungkapnya lagi.

Terlepas dari itu semua, daerah ini memang dikenal sebagai lokasi medan perang Belanda dengan para penjuang Aceh. Setidaknya, dalam beberapa catatan sejarah Aceh, tercatat daerah Lamnga pernah digunakan sebagai pusat komandon pasukan dilamnga yang menjadi unit pertahanan Kerajaan Aceh tempo dulu.

Catatan sejarah mengenai permasalahan ini kian mengecil setiap tahunnya. Hal ini, terjadi entah karena sejarah Lamnga ini tidak terlalu istimewa diceritakan, ataupun tidak ada yang mau mengembangkannya. Namun bagi penulis sendiri, tiada kata bosan untuk mengupas persoalan sejarah disana.

Kembali lagi pada perjuangan Pasukan Dilamnga. Tugas pokok dari pasukan ini menurut beberapa sumber yang didapatkan penulis adalah untuk menjaga Nanggroe Aceh di daerah pesisir dari serangan laut yang sering dilakukan oleh penjajah asal Belanda saat itu.

Pasukan Dilamnga sendiri pernah dipimpin oleh beberapa panglima besar Nanggroe Aceh saat itu. Hal ini seperti panglima perang Teuku Ibrahim Dilamnga (Suami Pertama Cut Nyak Dhien-red), serta Teuku Nyak Makam.

Kuburan Kedua tokoh ini terletak di samping Mesjid desa setempat. Pemugaran makam mereka tidak memakai keramik impor seperti layaknya tokoh sekarang. Sekelilingnya cuma ditumbuhi oleh sejumlah rumput kecil yang ditemani oleh batang kuda-kuda.

Menyangkut hal ini, satu kata yang pasti terucap. Perlakuan ini tentu saja sangat jauh dari kata layak untuk mengukur sikap perlakuan sebuah bangsa terhadap jasa para pahlawan nya. Bangsa kita ini, yang belum sepenuhnya menghargaian jasa pejuang.

Mitos perang dan panglima tanpa kepala
Di Desa Lamnga ini, terdapat dua makam yang dikeramatkan oleh penduduk. Pertama adalah Makam Panglima Teuku Ibrahim Dilamnga, suami pertama Cut Nyak Dhien. Dan yang kedua, yaitu Makam Panglima Teuku Nyak Makam. Jasad panglima ini dikuburkan tanpa kepala disisi kiri Mesjid Jamik Lamnga

Sebelum kita menguraikan tentang sebab musabab hilangnya kepala Panglima Teuku Nyak Makam ini. Alangkah lebih baik kalau kita menguraikan sedikit tentang sikap kepahlawanan Teuku Nyak Makam itu sendiri, sehingga oleh belanda baru dapat dipadamkan hanya dengan memecung kepalanya.

Teuku Nyak Makam dilahirkan di Lamnga, Kabupaten Aceh Besar pada tahun 1838. Sumber tertulis di makamnya menyebutkan bahwa kalau Teuku Nyak Makam ini memimpin perjuangan rakyat menentang belanda hampir 40 tahun lamanya.

Pasukan Dilamnga yang pada masa itu dibawah Pimpinan Teuku Nyak Makam bertugas mengawal Aceh bagian pesisir ternyata mampu membuat belanda pusing tujuh keliling. Penyerangan-penyerangan yang dilakukan Teuku Nyak Makam ternyata membuat belanda selalu harus hati-hati ketika menempuh perairan sepanjang Krueng Cut dan Krueng Raya serta Ulee Lhee.

Perlawanan Teuku Nyak Makam juga meliputi ke wilayah timur Aceh, serta hingga selat Malaka.

Teuku Nyak Makam baru berakhir ketika dirinya ditangkap oleh pasukan belanda di bawah pimpinan Letkol G.F Sooters dilamnga pada tanggal 21 Juli 1896. Pada saat itu beliau dalam keadaan sakit parah. Dirinya kemudian diseret ke Kutaraja dan dipacung dihadapan keluarga dan pengikutnya.

Konon, menurut beberapa sumber di lokasi makam, usai pemacungan dan kepalanya terpisah dari tubuhnya. Teuku Nyak Makam pun ternyata masih mampu berdiri dan melakukan perlawanan terhadap serdadu Belanda. Dengan tubuh tanpa kepala pula, kemudian teuku nyak makam kemudian dapat meloloskan diri dari kepungan belanda serta berlari meninggalkan lokasi pemacungan di kutaraja (pusat Kota Banda Aceh-red) hingga ke Dusun Abah Darah, Desa Lamnga yang menjadi markas Pasukan Dilamnga dan tempat kelahirannya.

Kalau dihitung-hitung, jarak Antara Desa Lamnga dengan Kota Banda Aceh saat ini sekitar 12 Kilometer, atau 15 menit jika melalui kenderaan bermotor. Dan pada saat itu, mampu ditempuh oleh Teuku Nyak Makam hanya dengan berlari dan tanpa kepala. Oleh pengikut dan pasukannya, Teuku Nyak Makam kemudian dimakamkan tanpa kepala disamping Mesjid Lamnga.

Sedangkan kepala Teuku Nyak Makam yang dipotong oleh penjajah Belanda kemudian dibawah keliling Kutaraja sebagai lambang penaklukan sekutu terhadap Penjuang Aceh. Kepala Teuku Nyak Makam ini kemudian diawetkan dalam sebuah botoh dan dipamerkan di koridor rumah sakit militer Belanda yang berada di daerah Kuta Alam pada saat itu.

Hingga kini Kepala Teuku Nyak Makam tidak diketahui sejarah jelas, baik dari keterangan sejarah maupun sumber-sumber lainnya. Adanya yang mengatakan bahwa kepala Teuku Nyak Makam ini kini berada di salah satu museum belanda yang dibawa pulang oleh sekutu ketika meninggalkan tanah air.

Sumber lain juga menyebutkan bahwa kepala Teuku Nyak Makam ini hilang saat begitu saja atas kuasa tuhan. Yang jelas hingga kini, makam kuburan Teuku Nyak Makam yang terdapat di Desa Lamnga Kecamatan Krueng Raya, Aceh Besar, masih tanpa kepala.

Ini adalah sebuah sebuah Historis yang nyaris punah dan terlupakan saat ini. ketika belanda tidak lagi menjajah Aceh, dan rakyat hidup makmur seperti impian teuku nyak makam dulu, kini ketika semua itu tercapai, justru dia yang dilupakan masyarakat.

Lamnga kini
Setiap Perjuang kemerdekaan memang tidak mengharapkan untuk dipuja dan disanjung ketika usahanya menuai hasil. Demikian juga dengan ratusan kuburan tanpa nisan dan nama, serta makam Teuku Nyak Makam yang terdapat di Desa Lamnga Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.

Para syuhada ini, tentu tidak berharap agar makam-makam mereka dipugar seperti layaknya pahlaswan-pahlawan nasional yang syahid di komplek kalibata. Semua itu tidak pernah diharapkan mereka, kecuali sebuah janji syurga pada Allah SWT bagi hambanya yang telah berjuang mempertahankan bangsa dan agama.

Namun, sebuah pepatah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsa mereka. Bangsa yang besar itu, adalah bangsa yang menghargai para penjuang mereka yang telah gugur demi mempertahankan bangsa dari tangan para penjajah.

Untuk saat ini, Desa Lamnga memang dikenal oleh masyarakat provinsi Aceh, terutama lewat hasil bumi seperti Sira (garam-red), gelar Desa Percontohan Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh ini. Namun dari segi perjuangan maupun sejarah perlawanan Teuku Nyak Makam sangat sedikit masyarakat yang mengetahuinya.

Dengan keadaan kita yang seperti ini, akahkan kita menjadi sebuah bangsa besar nantinya!

Rabu, 01 September 2010

Hidayah Itu Datang di Awal Ramadhan..


Mulutnya tampak sedang berkomat-kamit, tapi tidak jelas apa yang sedang diucap. Beberapa kali, ia tampak menyapu peluh yang turun membahasi pipi. Dengan kopiah hitam dan baju koko putih, sosok itupun mengucapkan dua kalimah syahadat.

Hari itu, Jum’at (13/8) memang terasa berbeda dengan hari biasanya. Sinar mentari tidaklah seterik biasanya. Butiran peluh yang turun dari tubuh Hendri Silitonga juga bukan karena dia sedang bekerja seperti biasa.

Peringatan jum’at tersebut terasa berbeda. Selain karena terdapat dalam bulan ramadhan yang menjadi kemuliaan dari masyarakat muslim dunia. Hari Jum’at itu, juga merupakan awal baru dari hidup Muhammad Sabri, sebagai saudara baru kaum muslim.

Ketika ratusan raut wajah mendadak tegang menanti lafazt khusus yang keluar dari mulut Hendri. Dirinya justru tersenyum cerah sebagai sosok Muhammad Sabri.

Ya, Hendri Silitonga, sebenarnya adalah warga asal Sumatra Utara yang bekerja sebagai buruh bangunan di Aceh sejak awal 2007. Bertepatan pada Jumat (13/8) lalu, bertempat di Masjid Jamik Kampus Unsyiah, dirinya mengucapkan dua kalimah syahadat, atau masuk islam.

Pensyahadatan Hendri atau Muhammad sabri ini dibimbing langsung oleh Imam Masjid Drs. Tgk. M. Nur Ismail LML dan disaksikan Rektor Unsyiah Darni M. Daud dan sejumlah hadirin yang hadir.

Hendri Silitonga yang dulunya beragama Kristen Protestan. Pria berkulit hitam manis ini akhirnya membulatkan niatnya untuk menjadi muslim dan diganti namanya menjadi Muhammad Sabri. Dirinya juga telah melewati ribuan episode kelam dalam hidupnya.

Seusai pensyahadatan, muhammad Sabri, nama islamnya dari Hendri Silitonga, mengatakan keinginannya untuk masuk ke agama Islam timbul dari hatinya dengan penuh keiihklasan dan tidak ada paksaan dari orang lain serta setelah pertimbangan yang matang dan tidak ada keraguan sedikitpun.

“Saya sudah merantau ke mana-mana di seluruh Indonesia, tapi ketika tiba di Aceh terasa berbeda dengan tempat lain. Lingkungan tempat saya tinggal sangat baik sehingga timbul dalam hati saya untuk masuk ke agama Islam. Dan ini yang membuat saya sangat terharu,” katanya.

Sabri menambahkan kedua orang tuanya tidak melarang jika ia berbeda keyakinan karena sebelumnya adiknya juga sudah masuk Islam. “Orang tua dan keluarga tidak menentang jika saya mau memilih agama Islam, dan mereka menyerahkannya kepada saya,” jelas Sabri anak tertua dari lima bersaudara.

Jelasnya, keinginan untuk masuk Islam pertama kali diutarakan Muhammad Sabri ketika bekerja sebagai buruh bangunan di rumah Drh. Syahidin, dosen FK Unsyiah di Prada. Oleh keluarga tersebut, dirinya mengaku dibimbing hingga akhirnya resmi memeluk islam seperti sekarang ini.

Sementara itu Rektor Unsyiah Darni M Daud mengatakan akan memberi bantuan dan bimbingan kepada Muhammad Sabri, sehingga bisa mengamalkan ajaran islam sesuai dengan syariat.

Darni M Daud juga meminta supaya Muhammad Sabri tetap menjaga hubungan silaturahmi dengan keluarga. “Walaupun ananda sudah berbeda keyakinan ke agama Islam, hubungan manusiawi tetap dijalin dengan keluarga baik di sini maupun dengan keluarga di Sumtera Utara,” katanya.

Pengsyahadatan tersebut selain dihadiri oleh pembatu rektor dan dosen Unsyiah juga dihadiri oleh keluarga Syahidin, Kepala Desa, Teugku Imum dan tokoh masyarakat desa Kopelma dan Prada.

 
Free Host | lasik surgery new york