Jumat, 29 Oktober 2010

Saat Ijazah Jadi Bungkusan Kacang


Biaya pendidikan di negara milik para tuan ini terasa kian mahal. Namun mendapatkan ijazah saja, belum tentu akan memuluskan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian studi. Tanpa keahlian pribadi, ijazah tinggi pun hanya mampu berfungsi sebagai bungkusan kacang.

Hal inilah yang terancam menimpa ribuan sarjana dan mahasiswa lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ada di seluruh Aceh. Mereka kini terancam jadi pengganguran intelektual. Pasalnya, Dinas Pendidikan di negeri bekas konflik saat ini sedang mengwacanakan penutupan sementara rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) bidang keguruan dengan alasan jumlah Cek Gu yang ada di Provinsi Aceh saat ini suah over kapasitas atau melebihi target.

Hasil ini terungkap dalam pemaparan Kadis Pendidikan Aceh, Bakhtiar Ishak, saat menerima penulis di ruang kerjanya, Kamis (21/10) lalu. Namun di sejumlah kota dan kabupaten, seperti Kota Banda Aceh, Sabang, serta Kota Lhokseumawe sudah mulai menerapkan kebijakan ini sejak awal 2011.

Jumlah guru yang ada di Provinsi Aceh saat ini telah mencapai 91.141 orang pertahun 2009 lalu. Jumlah ini dinilai belum termasuk dari hasil rekrutmen baru pada tahun 2010 ini. Berdasarkan pemaparan data ini dianggap jumlah guru sudah over kapasitas serta melebihi dari kebutuhan untuk daerah ini sebesar 14 persen.

“Jadi mau tidak mau harus dilakukan (penghentian CPNS guru-red). Inilah realita yang terjadi di pendidikan kita saat ini,”ucap Kadis Pendidikan Aceh, Bakhtiar Ishak.

Menurut penulis, yang ditakutkan kebijakan ini justru akan mempengaruhi nasib ribuan sarjana dan mahasiswa lulusan FKIP di seluruh Aceh. Apalagi, sarjana pendidikan yang diluluskan pertahunnya diperkirakan mencapai ribuan orang. Jumlah ini belum termasuk lulusan dari sejumlah universitas ’toko’, swasta maupun program kelas jauh, yang menjamur di Aceh. Sungguh suatu fakta yang sangat memprihatikan yang sedang terjadi di daerah ini.

Menurut Bakhtiar, kasus ini diduga karena dalam rekrumen mahasiswa keguruan pihak fakultas dilaporkan sering kali tidak pernah berkoordinasi dengan dinas, baik untuk urusan kebutuhan guru maupun kebijakan lainnya. Hasilnya jumlah guru untuk mata pelajaran tertentu yang dianggap sudah mencukupi, tetap diterima calon mahasiswanya.

”Nanti jika para lulusan ini tidak direkrut jadi CPNS, maka kami disalahkan. Jadi kondisi ini kian serba salah. Belum lagi pendirian sejumlah universitas swasta yang ada di Aceh juga tidak pernah dikoordinasi dengan dinas. Hasilnya, banyak lulusan disana yang kemudian tidak bisa direkrut atau diterlantarkan,”tandasnya.


Analisis penulis, kebijakan ini seolah ingin menjelaskan kepada publik bahwa kuliah dan menempuh pendidikan tinggi, tidak mesti semuanya direkrut jadi PNS. Biarpun, lulusan dari fakultas tertentu memang mengajarkan pendidikan profesi, seperti kasus FKIP.

Demo Mahasiswa
Menariknya lagi, pemaparan data ini ternyata mengakibatkan Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh didemo puluhan mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unyiah, Kamis (21/10) lalu. Massa ini menuntut klarifikasi dari dinas itu, terkait publikasi hasil penelitian Tim Koordinasi Pembangunan Pendidikan Aceh (TKP2A) yang menyebutkan Provinsi Aceh telah kelebihan guru.

Massa ini menggelar aksinya pukul 10.30 WIB dengan membawa serta sejumlah karton dan spanduk berisi nada protes.

Massa juga sempat meneriakan slogan pembubaran Majelis Pendidikan Daerah (MPD) yang dinggap kurang memberikan kontribusi bagi pendidikan di Aceh, dan TKP2A yang dinilai hanya mengopy paste jumlah guru dari data web yang dinilai tidak update dan diragukan kebenarannya.

”Kita menuntut TKP2A untuk meminta maaf kepada rakyat Aceh dan masyarakat pendidikan. Pasalnya, data yang mereka buat menyesatkan dan hanya olah data diatas meja,”ucap Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKIP Unsyiah, Safrudin, dalam orasinya. Aksi ini sendiri, dijaga belasan personil kepolisian.

Menurutnya, data TKP2A yang menyebutkan bahwa guru di Aceh telah over kapasitas dengan jumlah 90 ribu lebih atau kelebihan sebanyak 14 persen adalah suatu hal yang aneh. Pasalnya, banyak sekolah-sekolah di perdalaman Aceh dinilai justru mengalami kekurangan guru dan mereka harus mengajar dua atau tiga mata pelajaran yang tidak dikuasainya.

Lebih aneh lagi, lanjut dia, rasio perbandingan guru dan murid rata-rata 1 : 10 dijadikan sebagai patokan untuk membenarkan hasil olahan data tersebut. Padahal, data ini dinilai hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dimana seharusnya memang secara nasional seorang guru kelas mengajar 20 siswa.

Namun untuk tingkat SMP atau SMA, rasio yang dibutuhkan dinilai akan berbeda, mengingat jam wajib perseorang guru hanya 24 jam perminggu dan mengajar satu pelajaran.

”Jadi data TKP2A adalah kesalahan fatal dan menyesatkan. Namun yang sangat kita sayangkan, Disdik Aceh sendiri langsung mengamini dan akan mengambil kebijakan peusiun dini untuk guru, pengalihan tugas ke admnitrasi serta penghentian rekrutmen keguruan. Tanggapan ini sangat bodoh,”tandas Agusmi, demotran lainya.

Dirinya juga meminta Disdik tidak hanya fokus pada pengerjaan proyek fisik tetapi juga pengutamaan mutu pendidikan.

Pukul 12.00 WIB, Kepala Disdik Aceh, Bakhtiar Ishak, turun menjumpai massa. Terkait tuntutan massa itu, dirinya mengaku akan segera turun ke lapangan dan mengecek ulang kebenaran data tersebut.

”Yang pasti ini akan kita tindak lanjuti. Namun mengenai ada sekolah yang belum memiliki guru yang lengkap, terjadi karena permasalahan distribusi saja. Proses pendistribusian guru ini adalah tanggungjawab kabupaten kota sehingga kawan-kawan harus sabar,”jelas Bakhtiar.

Usai mendengarkan hal ini, massa kemudian membubarkan diri. Massa juga sempat mengancam untuk kembali ’mengepung’ dan membakar kantor Disdik Aceh jika dalam waktu dekat tidak ada penyajian data yang kongkrit dari dinas.

Terlepas dari aksi tersebut, jika kita mau mencari akal persoalan mengapademo ini terjadi, maka jelaslah bahwa sumber persoalan sebenarnya terletak pada kegelisahan mahasiswa akan masa depanya.

Pada satu sisi, mereka dituntut memiliki pendidikan profesi yang mau tak mau harus menjadi guru. Namun disisi lain, mahasiswa itu kini juga dihadapkan pada kegelisahan akan masa depannya. Bisa-bisa, ijazah yang mereka peroleh nanti dan ribuan alumni sarjana pendidikan lainnya, terancam jadi bungkusan kacang.

Akal Permasalahan
Ada pro dan tentu adanya yang kontra. Hal ini juga terjadi untuk permasalahan yang sedang kita bahas saat ini.

Wacana penghentian sementara rekrutmen guru baru oleh Dinas Pendidikan Provinsi Aceh sebagai tindaklanjut hasil penelitian Tim Koordinasi Pembangunan Pendidikan Aceh (TKP2A) yang menyebutkan kebutuhan guru sudah over kapasitas dinilai sangat tidak tepat. Kelembagan itu juga dianggap tidak tahu akal persoalan pendidikan yang sedang terjadi di Aceh.

”Saya menilai kebijakan itu sangat tidak tepat. Jika kebijakan ini jadi dilakukan maka dinas itu memang tidak tahu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi oleh daerah Aceh saat ini,”ucap Pakar Pendidikan Aceh sekaligus Dekan FKIP Unsyiah, Prof. Yusuf Azis M.Pd, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Menurutnya, pasca dikeluarkan hasil penelitian TKP2A beberapa waktu lalu, Disdik Aceh seharusnya segera melakukan pengecekan ulang dan penyesuaian data di lapangan. Kegiatan ini dianggap penting untuk mengetahui tingkat kebenaran serta metode penelitian tersebut agar sesuai dengan realita yang terjadi.

Perbandingan rasio guru dan murid 1 : 20 juga dianggap tidak bisa menjadi faktor pembuktian untuk memklaim jumlah guru over kapasitas di Aceh. Pasalnya, jumlah tersebut dinilai belum termasuk hitungan guru bidang studi.

”Perhitungan jumlah guru over kapasitas atau tidak, bukan pada rasio perbandingan guru dan murid. Tetapi, pada penyesuaian kebutuhan guru bidang studi dengan angkatan kerja dan penempatan yang sesuai,”ungkap dia.

Persoalan pendidikan hari ini, lanjut dia, adalah proses pendistribusian guru yang tidak seimbang di sejumlah daerah. Selain itu, adanya guru bidang studi tertentu yang tidak mengajar berdasarkan disiplin ilmu yang dimilikiya. Pengalihan tugas guru ke bagian adminitrasi, serta persoalan universitas toko yang menjamur.

”Dalam penelitian itu, ada tidak dijelaskan, bahwa banyak mata pelajaran seperti bahasa indonesa dan sejarah yang diajarkan oleh guru yang memiliki disiplin ilmu berbeda. Selain itu, jumlah guru yang dikatakan over kapasitas itu, sudah termasuk ratusan guru yang telah dialihkan fungsinya ke adminitrasi belum !! seperti di Gayo Lues. Jika ini belum dimasukan dan hanya memakai berdasarkan data copy Web, maka hasil penelitian tersebut diragukan,”paparnya.

Lebih lanjut, tambah Yusuf Azis, jumlah guru Aceh yang diproduksi oleh FKIP Unsyiah dan Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, sebenarnya hanyalah 40 persen. Sedangkan 60 persen guru yang direkrut selama ini lainnya berasal dari universitas swasta dan universitas toko. Rekrutmen guru ini yang dinilai kemudian bermasalah, tidak sesuai harapan serta kelayakan untuk mengajar.

”Universitas toko dulu yang seharusnya ditutup. Kemudian penerimaan CPNS hanya difokuskan pada FKIP Unsyiah dan Tarbiyah IAIN Ar-Raniry yang memang sudah diakui. Baru kemudian diberikan pelatihan untuk peningkatan kapasitas guru di lapangan. Jika langsung menutup CPNS untuk guru baru seperti yang diwacanakan, tetapi guru yang sudah direkrut berkualitas rendah hasil universitas toko atau kelas jauh yang ilegal bagaimana?”ungkapnya.

”Kami (FKIP-red) juga siap ditutup jika dianggap tidak berkompenten mendidik calon guru,”ucap dia.

Sementara itu, Budi Azhari, M.Pd, Ketua Aliansi Sarjana Pendidikan Aceh (ASPA) melalui siaran pressnya, mengatakan pihaknya pendukung aksi demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa FKIP Unsyiah, berkaitan dengan pembubaran Majelis Pendidikan Daerah (MPD) dan TKP2A.

Katanya, MPD selama ini hanya menjadi beban anggaran pendidikan Aceh. Selain itu, kinerja MPD juga dianggap tidak sesuai dengan pos anggaran yang mereka miliki, alias lamban dan tidak produktif.

”Kita juga meminta dinas pendidikan untuk tidak menggunakan data TKP2A sebagai acuan untuk menghentikan rekrutmen guru baru. Ini akan berdampak buruk bagi ribuan guru honor tidak jelas nasibnya. Padahal, mereka telah mengabdi bertahun-tahun lamanya serta menuggu untuk diangkat menjadi PNS,”pungkasnya.

”Rendahnya mutu pendidikan Aceh hari ini, bukan karena hanya permasalahan guru, tetapi karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada mutu.penggunaan anggaran masih di dominasi oleh pembangunan fisik sehingga Dinas Pendidikan indetik dengan dinas PU,”akhirinya


Dosa Universitas Toko
Argumentasi yang sama sebenarnya juga diungkapkan oleh pakar pendidikan lainnya. Kelebihan ‘stok’ guru di Provinsi Aceh yang berujung dengan wacana penghentian sementara rekrutmen guru baru dinilai merupakan ‘dosa warisan’ dari universitas toko.

Sejumlah universitas swasta dan universitas terbuka (UT) di Aceh dinilai bersalah dan ‘berdosa’ karena tidak pernah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Provinsi saat membuka kelas jauh serta melakukan penerimaan ribuan mahasiswa baru pertahunnya.

“Sini harus dilihat dulu akal persoalannya. Tidak sepatutnya Dinas Pendidikan Aceh maupun MPD divonis bersalah setelah mempublikasi data penelitian TKP2A. Yang ‘berdosa’ disini adalah universitas swasta yang tidak pernah berkoordinasi dengan pihak dinas saat melakukan rekrutmen calon mahasiswanya, “ucap Wakil Ketua Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh, Anas M. Adam.

Menurutnya, persoalan pendidikan Aceh hari ini merupakan persoalan serius yang harus melibatkan berbagai pihak didalamnya. Minimnya koordinasi antara petinggi universitas dengan pengambil kebijakan daerah, dinilai telah menyebabkan stok guru di daerah ini melebihi kapasitas.

Para petinggi universitas, lanjutnya lagi, terutama fakultas keguruan swasta dianggap sering kali tidak mau berkoordinasi dengan dinas mengenai kebutuhan guru di daerah ini. Mereka (petinggi swasta-rd) dilaporkan selalu merekrut mahasiswa keguruan dalam jumlah banyak, biarpun kebutuhan guru di Aceh tidak sebesar itu.

“Akhirnya, ketika jumlah guru melebihi kapasitas seperti sekarang dan wacana penghentian rekrutmen guru sementara muncul, kenapa yang disalahkan adalah pemerintah ? Seharusnya mereka berkoordinasi terlebih dahulu dengan dinas saat melakukan rekrutmen mahasiswa yang sesuai dengan permintaan kebutuhan guru didaerah dan bidang studi yang masih kurang, “ungkap mantan Kadisdik ini lagi.

Terkait laporan TKP2A juga, tambah dia, dirinya mengaku tidak semua daerah yang mengalami kekurangan guru. Ada guru bidang studi tertentu, seperti muatan lokal, dilaporkan tidak ada guru sama sekali. Demikian juga dengan beberapa mata pelajaran lainnya.

“Persentase kelebihan guru itu adalah rata-rata ditingkat provinsi. Persoalannya terjadi pada proses pendistribusian. Kedepan, kita harapkan universitas hanya membuka bidang studi tertentu yang memang masih dibutuhkan dilapangan serta tidak seperti sekarang,”tandasnya.

“Ditingkat seleksi calon guru juga harus di utamakan dari fakultas yang diakui, seperti saran dekan FKIP Unsyiah. Para orang tua juga ingin anaknya jadi pendidik, juga harus selektif dalam memilih universitas dan jurusan yang masih dibutuhkan,”akhirinya.

Ijazah Jadi Bungkus Kacang
Bagi penulis sendiri, hasil pemaparan beberapa argumentasi pakar pendidikan Aceh tadi, memiliki satu ’benang merah’ yang dapat disimpulkan satu arti, yaitu penyebab rendahnya kualitas pendidikan Aceh hari ini, disebabkan oleh banyaknya aksi para mafia pendidikan.
Para mafia ini menghargai sebuah ijazah hanya dengan uang belasan juta. Mendapatkan ijazah tidak perlu adanya keahhlian khusus, cukup menyetor uang jutaan rupiah, maka ijazah pun bisa didapatkan dengan mudah.

Contoh kasus adalah pembukaan sejumlah kelas jauh dan universitas toko lainnya di Aceh saat ini. Para lulusan disana hanya diwajibkan kuliah, pada Sabtu Minggu, tetapi mendapatkan nilai yang cukup tinggi dan mudah untuk mencari pekerjaan dipemerintahan.

Sedangkan bagi mahasiswa keguruan yang kuliah di LPTK yang diakui, selain diwajibkan untuk menyelesaikan sederetan tugas yang menumpuk, mereka juga mendapatkan nilai pas-pasan, serta ratusan persyaratannya lainnya lainnya menghambat penyelesaian studi. Padahal, dari segi kualintas mereka lebih sangat mampu dibandingkan contoh mahasiswa yang pertama tadi.

Namun inilah yang sedang terjadi di negeri ini. Nasib selembar ijazah kini berada di tangan para pemegang kekuasan.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Membedah Setahun Kegagalan DPR Aceh


Kinerja setahun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang baru dilantik sejak 30 September 2009 hingga 30 September 2010 lalu, dinilai masih sangat buruk. Anggota dewan yang dominasi oleh para politikus dari salah satu partai lokal ini pun, menjadi bulan-bulannya media massa dan elemen sipil.

Paling tidak, hal inilah yang sedang menjadi pembahasan khusus dari sejumlah seminar dan diskusi, mulai dari hotel-hotel berbintang hingga kepembicaraan warung-warung kopi yang kecil milik masyarakat di seluruh Aceh.

Tidak ketinggalan, aksi jalanan ala mahasiswa juga kerap kali dilakukan sebagai nada protes atas kurang memuasnya kinerja ‘wakil masyarakat’ tersebut. Sedangkan kaum ibu-ibu juga tak luput itu ambil bagian dalam mengembangkan ‘pembicaraan ini’ sebagai gossip panas atau hot saat sedang berkumpul dengan para tetangga.

Suara sumbang bernada menyesal juga tak luput dari pembicaraan para pimpinan dayah dan pesantren. Mayoritas dari mereka, mengaku kecewa dengan kinerja para dewan yang dianggap lebih mementingkan ‘kelompok kecil’ dari kepentingan masyarakat banyak, kemudian melupakan pendekatan-pendekatan keagamaan, serta penguatan ekonomi.

Bagi penulis sendiri, kondisi ini seakan menjadi arus balik dari rangkaian kenjadian sejak tahun 2005 lalu. Dimana pada saat itu, isu kegagalan pemerintahan nasional juga sempat menguat di Aceh sehingga masyarakat mempercayakan para pemimpin lokal di Pilkada dan Pemilu 2009.

Saat itu, pemimpin dari partai nasional dianggap gagal dalam mengawal perdamaian Aceh. Para politis Parnas dianggap hanyalah kaki tangan dari pemerintah pusat yang telah lama mengkhianati rakyat Aceh sehingga kepercayaan terhadap pemimpinan lokal dinilai patut dicoba.

Namun nyatanya hal yang sama kini terulang menimpa para politisis partai lokal.Singkat cerita, tingkat kepopuleran pemimpin lokal dan partai lokal di Aceh kini sedang dirudung masalah. Hal ini dinilai memiliki dampak buruk dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan lokal.

Jika kita mau menganalisis, menurunnya populeritas pemimpin lokal ini terjadi pasca Pemilu 2009. akibatnya, transpormasi bentuk perjuangan yang dilakukan oleh para eks kombatan, dari pola perjuangan bersenjata ke perjuangan politik, juga terancam gagal bila keadaan ini terus dibiarkan.

Rapor merah
Setahun kinerja anggota dewan periode berjalan masih harus diberikan angka merah. Kinerja setahun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang dilantik sejak 30 September 2009 hingga 30 September 2010 dan di dominasi oleh para politikus dari Partai Aceh dinilai masih sangat buruk.

“Setahun kinerja anggota dewan periode berjalan masih harus diberikan angka merah. Namun belum ada pihak yang berani menyuarakan ini karena masih takut dengan kelompok eks kombatan yang memiliki suara mayoritas di DPR Aceh,”ucap Teuku Ardinsyah, perwakilan Aksara Strategis Institute, dalam acara Coffe Morning di kantor Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, beberapa waktu lalu.

Menyangkut hal yang sama, Isra safril, Kepala Divisi Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, menambahkan bahwa setahun kinerja DPRA masih meninggalkan sejumlah persoalan. Sejumlah persoalan ini dinilai terjadi karena lemahnya kinerja pihak terkait.

Pertama, kata dia, adalah permasalahan posisi kursi Wakil Ketua III DPRA adalah permasalahan serius yang masih belum terisi, tidak jelasnya aturan dan kepastian hukum itu telah menyebabkan tidak lengkapnya alat kelengkapan dewan.

Polemik ini dinilai bukan tanpa alasan, karena ada pemahaman antara UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dengan aturan UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Jika kembali melihat aturan pelantikan pimpinan DPRA, pada saat itu aturan yang dipergunakan adalah Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009.

Selanjutnya, adalah persoalan tentang usulan dana aspirasi Anggota DPRA sebesar Rp 5 miliar per anggota dewan atau sekitar Rp345 miliar dari total APBA Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp7,6 Triliun.

Salah satu fungsi DPRA adalah penyusunan anggaran (budgeting), namun tidak serta merta setelah fungsi tersebut juga harus membuat program dan kemudian memberikan kepada eksekutif. Jika kembali menelik pada UU No 34 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tidak menyebutkan adanya program yang harus dikerjakan oleh legislatif seperti yang dilaksanakan oleh eksekutif, karena DPRA hanya berfungsi untuk legislasi atau melahirkan regulasi, penyusunan anggaran (budgeting) dan monitoring program eksekutif.

Permasalahan lain, selama setahun kerja Anggota DPRA, ada 21 Rancangan Qanun yang menjadi Prioritas pada tahun 2010. Namun, hanya ada satu Qanun yang selesai disahkan yakni Qanun APBA Tahun Anggaran 2010, meskipun qanun tersebut tidak termasuk dalam daftar 21 Rancangan Qanun Prioritas 2010. Namun, hingga kini belum ada satupun Rancangan Qanun yang disahkan.

Terakhir, tambah dia, adalah molornya penandatangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Aggaran Sementara (PPAS) Tahun 2011 dari jadwal semestinya. Seharusnya, seperti yang diatur dalam Pasal 87 Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, ayat 3 menerangkan bahwa Rancangan KUA dan Rancangan PPAS yang telah dibahas, selanjutnya disepakati menjadi KUA dan PPAS paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.

“Namun hingga akhir September 2010 atau setahun masa bakti Anggota DPRA belum juga ada titik terang jadwal penandatangan nota kesepatan KUA dan PPAS 2011 antara Pemerintah Aceh dan DPRA. Ini seharusnya menjadi catatan besar, agar proses penyusunan RAPBA 2011 tidak molor seperti tahun-tahun sebelumnya dengan alasan klasik serta saling menyalahkan,”akhirnya.

Pemaparan kedua tokoh ini bisa jadi sebuah rujukan penting mengenai lambannya kinerja legislative periode yang sedang berjalan.

Kondisi psiologis masyarakat yang ingin secepatnya meninggalkan masa ‘kegelapan’ yang terjadi akibat konflik yang berkepanjangan ternyata bertolak belakangan dengan kinerja dewan yang ‘lamban’. Hal inilah yang mengakibatkan sorotan negative tersebut berhembus kencang ditengah-tengah masyarakat.

Beda Pola Penanganan
Sebenarnya, semua kesalahan-kesalahan tadi juga tidak sepatutnya dialamatkan kepada jajaran legislative yang baru. Pasalnya, menurut amatan penulis, terdapat perbedaan pola dan bentuk penanganan masalah antara kerja legislative dari partai nasional periode sebelumnya dengan kerja legislative dari partai lokal pada periode yang sedang berjalan.

Legislatis pada periode sebelumnya, lebih mengutamakan penguatan ekonomi masyarakat dan menjalankan konsep pendampingan ekonomi untuk masyarakat pendalaman sehingga lebih menyentuh pada akal permasalahan. Namun konsep ini ternyata tidak dapat bertahan lama karena konflik yang sedang terjadi.

Sedangkan legislative baru, seprtinya masih focus dalam penguatan produk hukum untuk mengimplementasikan butir-butir MoU Helsinki. Namun kenyataannya, hingga lima tahun usia perjanjian, pemerintah pusat belum juga menerbitkan 6 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Peraturan Presiden (Perpres), serta 1 Keputusan Presiden (Kepres).

Aturan turunan UUPA yang hingga kini masih menjadi utang pemerintah pusat adalah PP tentang Kawasan Khusus, PP tentang Pengelolaan Migas, PP tentang Pelimpahan Kewenangan, PP tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh/Kab/Kota, PP tentang Penetapan nama Aceh dan gelar pejabat yang dipilih setelah Pemilu 2009, dan PP tentang Standar, Norma dan Prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh/Kab/Kota.

Sementara dua Perpres turunan dari UU PA yang belum ada adalah Perpres tentang kerja sama internasional dengan Aceh, Perpres tentang Pengalihan Kanwil BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kab/Kota menjadi perangkat daerah Aceh dan perangkat Kab/Kota.

Sedangkan Kepres turunan dari UUPA adalah, Kepres tentang Penetapan dan pemberhentian Sekda Aceh.

Disinilah terdapat berbagai kendala yang ‘mungkin’ menyebabkan para dewan baru ini bekerja lebih lamban. Sayangnya, kenyataan seperti ini, ternyata juga tidak pernah diungkapkan ke public agar masyarakat mengerti dan tidak terlalu berharap pada ‘perjanjian keramat’ MoU Helsinki.

Akhirnya, masyarakat Aceh selalu diiming-imingkan dengan ‘angin syurga’ dan kecewa talkala mengetahui apa yang dijanjikan ternyata hanyalah omong kosong.

Masukan Berharga
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Amir Helmi, menyangkut tanggapan elemen sipil dan sorotan negative yang dialamatkan kepada pihaknya yang menilai kinerja setahun DPRA masih buruk, mengatakan hal ini adalah sebuah masukan yang berarti bagi pembaikan kinerja dewan kedepan. Namun dirinya mengatakan tidak sepakat jika dewan periode berjalan ini, dikatakan tidak berbuah apa-apa.

“Bagi saya, penilaian setahun kinerja ini adalah hal yang positif dari elemen sipil dalam mencermati kinerja legislatif. Namun bukan berarti kita (dewan-red) tidak berbuat apa-apa,”ucap politisi dari Partai Demokrat ini.

Dia menjelaskan, mengenai lambannya pengesahan qanun, secara prinsip pihaknya mengakui memang telah menetapkan 21 qanun prioriotas. Namun dalam pelaksanaannya, pembahasan qanun itu tidak dapat berjalan secara maksimal, karena baru 9 qanun yang masuk dalam tahap pembahasan dan baru 2 qanun yang dipastikan akan selesai per September ini.

Kata dia, hal ini diakibatkan oleh keterlambatan Raqan yang disampaikan oleh jajaran eksekutif maupun Raqan yang menjadi inisitaif DPRA karena masih ada draft yang baru yang perlu dibahas dari awal. Belum lagi dalam pelaksanaannya juga disertakan emosi dari sejumlah pihak yang tetap ngotot mempertahankan isi qanun.

“Pandangan saya selaku wakil ketua dalam hal ini terjadi karena adanya cara pandang yg berbda antara eksekuti dan legislatif sehingga hal ini terjadi,”tandasnya.

Selain itu, tambah dia, molornya pembahasan KUA dan PPAS karena ada perbedaan pandangan dari legislative yang perlu di klarifikasi kembali ke ekesekutif. Selain itu, masalah hari libur, masalah puasa dinilai juga merupakan penyebab pembahasan ini terganggu. Disamping itu, juga ada perubahan kenaikan Pagu ditengah pembahasan.

“Ada kenaikan Pagu sehing diperlukan sinkronisasi kembali. Disatu sisi juga kita harus memlihat kembali sisi belanja kebutuhan Aceh. ini merupakan permasalahan yang menyebabkan kinerja dewan belum maksimal,”aklhirinya.

Terlepas dari semua persoalan ini, bagi penulis, keterus-terangan pihak legislatif baru dan partai politik pengusung untuk mengaku kekurangan mereka adalah suatu hal yang mutlak dilakukan untuk saat ini. Perilaku tersebut penting sehingga tidak kembali dicap ‘gagal dan pengkhianat’ oleh masyarakat Aceh selaku pemilih.

Dewan baru juga harus mampu merangkul semua pihak guna menuntupi kelemahan mereka dan dapat menuntut pemerintah pusat untuk memenuhi semua janji yang telah disepakati pada 15 Agustus 2005 lalu.

Jika para dewan ini masih bertindak sebagai dewan dari kelompok tertentu, maka mereka pasti akan ditinggalkan masyarakat. Akhirnya, kasus yang sama seperti yang menimpa partai nasional diawal perdamaian Aceh, juga akan berimbas pada mereka.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Gila, RSUZA Cuma Miliki Satu Dokter Bedah Special Kanker..!



Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) adalah rumah sakit terbesar dan termewah di Aceh. Namun nyatanya, RS kebanggaan kita ini cuma memiliki satu dokter ahli bedah bidang Onkologi atau kanker dan tumor. Apa kata dunia ??

Penulis sendiri, sebenarnya tanpa sadar menemukan fakta yang mengejutkan ini. Fakta ini sekaligus menjawab semua persoalan dan carut marut di RS itu yang sedang menjadi buah bibir di daerah ini.

Sekilas, karena adanya temuan ini, penulis sempat terbayang bagaimana para pemimpin di negeri ini di akhir tahun lalu, membangga-banggakan gedung baru untuk RSUZA yang menghabiskan dana miliaran. Kemudian, kebanggaan itu ditambah lagi dengan dicetuskannya program ‘spektakuler’ Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dengan dana ratusan miliar rupiah.

Namun sayangnya, kebanggan ini tidak juga ditambah dengan peningkatan SDM dan kualitas dokter di sana. Pemerintah kita tidak juga mendatangkan para dokter ahli untuk meningkatkan pelayanan.

Di RS kebanggaan kita, saat ini cuma memiliki satu dokter ahli bedah bidang Onkologi atau kanker dan tumor. Akibatnya, sejumlah pasien di daerah ini yang hendak menjalani operasi di rumah sakit itu, terpaksa harus mengantri hingga berbulan-bulan lamanya.

Menurut sumber penulis, dokter ahli bedah Onkologi di RSUZA tersebut adalah dr. Ismet. Dokter yang bersangkutan dilaporkan sempat berseteru dengan jajaran manajemen RSUZA, sehingga dirinya diskor selama 3 bulan. Akibatnya, pihak manajemen terpaksa menolak perawatan pasien penderita kanker dan tumor dengan berbagai alasan.

“Jadi penolakan selama ini bukan karena pelayanan buruk, tetapi murni karena memang sedang tidak ada dokter,”ucap sumber itu.

Lanjutnya lagi, beberapa waktu lalu, pihak RSUZA dengan dr. Ismet telah berdamai kembali. Dengan alasan masih saling membutuhkan, sanksi terhadap dr. Ismet akhirnya dicabut saat sanksi berjalan dua bulan. Namun sayangnya, operasi pasien penderita kanker harus menunggu berbulan-bulan lamanya.

“Ini belum lagi, dr. Ismet masih harus melakukan operasi di rumah sakit lain. Kondisi sangat riskan,”ungkapnya.

Sementara itu, Riski, salah seorang keluarga pasien penderita tumor dari Aceh Barat Daya (Abdya), juga mengaku hal yang sama. Kata dia, pasien (saudaranya-red) terpaksa harus mengantri hingga 5 bulan lamanya hanya untuk mengoperasi tumor ganas yang tumbuh dipangkal paha.

“Kami pikir bisa langsung di operasi sesampai di RSUZA. Namun setelah dicek pada poli bedah, pasien diharuskan pulang dahulu dan menunggu untuk dioperasi pada bulan Maret 2011 nanti,”ungkap dia.

Menyangkit hal ini, Husaini, Humas RSUZA, yang dihubungi juga membenarkan hal ini. Katanya, dokter ahli Onkologi di RSUZA hanyalah dr. Ismet seorang diri. Sedangkan dokter untuk bidang bedah umum banyak terdapat di rumah sakit itu.

“Dokter bedah onkologi memang hanya dr. Ismet seorang. Makanya pasien harus antri di operasi dan keluarga diharuskan bersabar,”tandasnya.

Sementara itu, Pemerintah Aceh juga diminta segera mencari solusi menyangkut krisis dokter yang sedang terjadi di RSUZA saat ini. Krisis dokter ahli bedah Onkologi atau kanker ini dinilai hanya akan memperburuk pelayanan kesehatan di daerah ini.

“Kita minta eksekutif untuk segera mencari solusi mengenai krisis dokter spesial di RSUZA saat ini. jangan sampai kasus ini berlarut dan penanganan kesehatan bagi pasien terabaikan,”ucap Ketua Komisi F Bidang Kesra Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Yunus Ilyas, kepada penulis, kemarin.

Menurutnya, adalah suatu yang mustahir seorang dokter harus melayani ribuan pasien di daerah ini. keterlambatan penanganan dinilai hanya akan mengakibatkan penyakit pasien tambah parah. Hal ini juga akan mengakibatkan semua kebijakan yang dibuat bersama antara eksekutif dan legislatif menjadi terkendala.

Dia mencontohkan, penerapan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Aceh. Namun program ini tidak akan berjalan maksimal jika RSUZA dan rumah sakit swasta lainnya masih krisis dokter ahli.

“Apalagi, dokter juga manusia yang bisa jenuh dan sakit. Kita akan segera membahas permasalahan ini,”ucap politisi dari partai demokrat ini.

Salah satu jalan keluar yang harus ditempuh, lanjut dia lagi, melakukan penambahan dokter Onkologi atau spesial kanker baru ke Aceh. Upaya Penambahan dokter ini, bisa dilakukan dengan kontrak khusus maupun melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk mendatangkan dokter spesial bidang tertentu (yang sedang krisis di RSUZA-red).

Cara lain, lanjut dia, adalah pemberian beasiswa pendidikan untuk dokter muda guna segera memperoleh pendidikan spesial. Cara ini dinilai merupakan target jangka panjang untuk mengisi kekosongan dokter di berbagai rumah sakit yang ada di Aceh. “Permasalahan ini harus segera di atasi. Dewan akan segera berkoordinasi dengan eksekutif,”tandasnya.

Terlepas dari tanggapan tersebut, serius tidaknya para dewan terhormat ini, krisis di RSUZA memang harus segera diatasi. Tugas dari para pemimpin kita saat ini untuk menjadi solusi terhadap permasalahan itu.

Apalagi, berdasarkan data terbaru, pasca penerapan JKA hampir ribuan rakyat Aceh dari berbagai pelosok negeri mulai berdatangan ke rumah sakit untuk berobat. Masyarakat ini mendapat angin syurga dibidang kesehatan.

Tapi, bisa anda bayangkan betapa kecewanya mereka ketika tahu tingkat pelayanan kesehatan masih buruk dan dokter yang menangani mereka masih sangat sedikit. Masyarakat masih harus mengantri hingga berbulan-bulan lamanya harus untuk memperoleh kata ‘sembuh’.

Satu dokter menanggani ribuan pasien!! Ini adalah hal yang gila dan hanya terjadi di Aceh. Semoga jadi renungan bagi kita semua.

 
Free Host | lasik surgery new york