Jumat, 23 September 2011

Bagi Kami, Perang Itu Hobi…!


Hari itu, kamis (1/8) jalan Medan-Banda Aceh, tepatnya di pertikungan Pasar Impres Krueng Mane tampak relatif lebih padat dari biasanya. Sekelompok remaja paruh baya sedang berkumpul di ujung jembatan. Rata-rata diantara mereka berusia 10 hingga 15 tahun. Mimik wajah mereka yang terlihat serius memberi kesan sedang merencanakan sesuai, namun entah rencana apa itu.

Tiga orang diantara mereka memegang erat senjata jenis AK-47. Satu orang tampak memegang senjata laras pendek serta dua lainnya yang berdiri paling sudut jembatan memegang senjata dengan jenis yang lebih canggih.

Posisi sekelompok pemuda ini seperti tentara yang hendak mengempur musuh. Padahal, daerah Krueng Mane dan sekitar merupakan wilayah dalam Provinsi Aceh yang telah damai pasca konflik tanggal 15 Agustus 2005 lalu.

”Pai lewat, Pai lewat,”teriak seorang bocah. Bocah ini memakai baju kotak-kotak dan celana berwarna biru. Tampaknya, dia merupakan komandan dari sekelompok pasukan ’kecil’ tadi. Namun tidak jelas maksud dari kata ’pai’ yang sempat dilontarkannya. Seruan bocah yang belakangan diketahui Aidil, 14 ini, ditunjukan untuk sekelompok remaja lainnya diatas mobil bak terbuka yang hendak melalui jembatan Krueng Mane-Gerungok. Mereka juga memegang senjata dengan merek yang tak kalah canggihnya.

Seruan Aidil ini ternyata amat dipatuhi oleh ’geng’ tadi. Beberapa personil yang memegang AK-47 kemudian langsung mengarahkan senjatanya terhadap ’musuh’ tadi. Namun, ’sang musuh’ yang berada di atas mobil pun ternyata sudah siaga terhadap kemungkinan diserang. Kedua kelompok ini kemudian saling ’jual-beli’ peluru dalam waktu yang relatif singkat.

”Ka tembak, pai-pai,”ucap para bocah ’musuh’ lainnya diatas mobil tadi. Sejumlah peluru dari pasukan Aidil ternyata cukup membuat mereka kerepotan dan beberapa diantaranya tampak bersembunyi untuk mencegah hantaman peluru ke tubuhnya. Aksi dua kelompok remaja ini sempat membuat sejumlah pengguna kenderaan lainnya mengeluarkan sumpah serapa. Pasalnya, aksi mereka ini membuat arus lalu lintas terganggu. Beberapa pengemudi bahkan terkena ’peluru nyasar’.

Namun, aksi dua kelompok ini bukan berarti konflik Aceh terulang kembali. Kedua ’pasukan’ tadi hanyalah anak-anak yang melakukan perang-perangan dengan mengunakan senjata mainan. Sikap sekelompok ’pasukan’ tadi juga tidaklah ada hubungannya dengan konflik Aceh yang sempat menjadi perhatian dunia internasional.

”Bagi kami, perang-perangan itu sudah menjadi hobi,”ungkap Aidil usai aksi perang-perangan tadi. Beberapa diantara mereka tersenyum puas karena mampu mengenai tubuh musuh.

”Payah moe awaknya munoe (mereka harus menangis tadi),”tambah bocah lainnya bernama Idris. Diantara ’pasukan’ ini cuma dia yang memegang senjata laras pendek dan paling kecil.

Menurut Aidil, sudah menjadi kebiasaan anak-anak di daerah mereka, setiap perayaan Hari Raya, baik Idul Adha maupun Idul Fitri, selalu bermain perang-perangan. Anak-anak dari masing-masing Desa (yang memiliki senjata mainan-red) selalu membentuk satu kelompok dan berkumpul pada satu tempat untuk ’menyerang’ kelompok lainnya.

”Awaknyan na peng, dijak ngon manto. Sedangkan kamoe hana peng, mempreh bak jembatan mantong (mereka ada uang, bisa pergi dengan mobil. Sedangkan kami tidak ada uang, terpaksa menunggu di jembatan),”tutur Aidil lagi. Untuk mengwujudkan hobi mereka tersebut, para bocah tadi ternyata rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang tergolong banyak untuk anak-anak setiap tahunnya.

”AK-47 Cuma 54 Ribe. Meunyoe yang nyan 100 ribe,”ungkap Aidil mantang sambil menuju senjata mainan yang lebih besar milik anggota kelompok mereka. Namun ketika ditanya mengenai maksud ’Pai’ dari kata-kata mereka tadi, Aidil tidak mau menjawab. Matanya cuma memang kearah jalannya.

”Cuma mainan bang, kon betoi-betoi,”ucap dia sambil berlari menjauhi tempat wartawan berdiri. Tingkah Aidil ini ternyata diikuti oleh rekan-rekannya. Mereka sepertinya kembali mencoba menghadang pasukan lainnya di lokasi yang lebih strategis.

Rabu, 27 Juli 2011

Penantian Ti Mani


Ti Mani sejak tadi terus mencucuhkan air matanya. Kabar tentang adanya perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, ternyata mampu membuatnya terharu. Wanita tua yang tinggal sebatang karang ini sepertinya masih terus berharap bisa berkumpul kembali dengan Saifullah, anak semata wayangya yang menjadi korban penghilangan paksa semasa konflik.

Sejak tadi pagi, Ti Mani terlihat sangat betah menatap siaran televisi di rumahku. Dia memenuhi janjinya untuk datang ke rumah kami guna menyaksikan kabar terbaru tentang masa depan daerah ini. Ini adalah kali pertama aku kembali ke kampung halaman sejak eksodus dulu.

Memang hari ini hampir semua televisi swasta di tanah air, menyiarkan berita tersebut, di samping berita tentang jumlah korban tsunami yang baru berhasil ditemukan tentunya. Cuplikan gambar para elit GAM dan perwakilan Pemerintah RI juga ditanyakan berulang dalam tempo waktu yang lama.

”Apa benar semua tahanan eks GAM akan dibebaskan?”tanya Ti Mani tiba-tiba. Sasaran pertanyaan Ti Mani ini jelas tertunjuk pada diriku. Maklum cuma kami berdua yang sedang menyaksikan tanyangan televisi di rumahku saat ini. Namun jawaban dari pertanyaan ini membuat diriku serba salah dalam menjawabnya.

”Katanya seperti itu Ti..!! memangnya kenapa ?”tanya diriku lagi seolah-olah tidak mengerti maksud dari pertanyaan wanita berwajah teduh di depan. Aku sangat berharap pertanyaan balasan dari Ti Mani tidak bertambah.

”Apakah Saifullah akan ikut dibebaskan?”tanya dia lagi. Kali ini dengan mimik wajah yang sedikit memeras. Sedangkan Mata wanita tua itu tampak kian berkaca-kaca. Aku tidak tegas menyampaikan berita buruk yang membuatnya tambah sedih di sisa-sisa masa tuanya ini.

”Pastinya... Ti. Kah... Saiful di tangkap karena ikut kegiatan makar sewaktu konflik. Karena sudah damai, mereka semua pasti dibebaskan. Saiful akan segera kembali kesini dan melihat keadaan Ti yang baik-baik saja,”jawabku sambil menghiburnya. Sebenarnya aku sendiri tidak yakin dengan jawaban ini.

Mendengar jawaban tadi, Ti Mani terlihat kembali optimis. Dia mencoba bangun dari tempat duduknya, namun agak sempoyongan, maklum usia Ti Mani sendiri saat ini sudah mencapai 67 tahun. Usia yang rentan bagi seorang wanita untuk mendengar kabar yang menyakitkan. Kuraih tangannya agar dia mampu berdiri sempurna. ”Hendak kemana Ti ? bukankah beritanya belum habis?”tanya diriku pada wanita ini.

Wanita ini tidak segera menjawab. Cuma badannya mengarah ke pintu keluar. Sepertinya Ti Mani hendak pulang. ”Ti ingin membersihkan rumah. Takut kalau Saifullah pulang, dia akan merepet karena rumah dalam keadaan kotor,”jawabnya singkat. Jawaban ini membuat hatiku miris dan kembali teringat pada peristiwa yang mencekam empat tahun lalu.

***
Februari 2001

Hari itu, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, sedang di landa hujan lebat. Namun derasnya hujan ini seakan kalah dengan suara rentetan senjata antara TNI dengan GAM yang sudah berlangsung hampir 2,5 jam. Pertempuran ini terjadi tepat di desa kami, Nicah Awe.

Dan seperti pertempuran pada umumnya, terdengar kabar, bahwa pertempuran ini juga ’memakan’ korban dari kedua belah pihak. Seluruh pemuda Desa Nicah Awe, termasuk diriku dan Saifullah saat itu diminta segera meninggalkan kampung halaman kami agar tidak menambah daftar korban ’salah sasaran’ di daerah ini.

Diriku dan Saifullah sebenarnya adalah sahabat karib dan teman sepermainan sejak kecil. Usia kami juga tidak berbeda jauh. Saifullah cuma lebih tua satu tahun dari diriku. Pada Februari 2001 lalu, dia berumur 20 tahun.

Kami berdua berhasil lolos ke Kota Banda Aceh dengan berkat bantuan seorang sopir L300. Bang Din, sopir l300 tersebut mau mengantar kami walau tanpa bayaran sepeserpun. Sayangnya, selama seminggu di Kota Banda Aceh kami terluntang-luntang karena tidak memiliki famili seorang pun di kota bekas ibukota kerjaan Aceh ini.

Ketika malam tiba, kami biasanya tidur di teras Mesjid Raya Baiturrahman. Sedangkan ketika pagi harinya, kami membantu Bang Din untuk mencuci mobil L300 di salah satu loket. Hasil dari mencuci mobil ini ternyata cukup untuk mengisi kekosongan perut untuk siang hingga malam hari. Keadaan ini berlangsung hingga satu bulan lamanya.

Namun suatu hari, Saifullah terlihat agak pendiam. Biasanya, dialah yang paling semangat diantara kami berdua saat bekerja. Belakangan, aku baru mengetahui bahwa Cek Li, ayah Saifullah yang terlibat dalam pasukan GAM, ternyata tewas dalam pertempuran terakhir di Idi Rayeuk. Keadaan ini membuat Saifullah sedih dan termurung.

Pada malam harinya, dia minta pamit dariku. Saiful, katanya ingin pulang guna menjenguk Ti Mani, ibunya di kampung halaman. Apalagi, informasi yang kami dapatkan, Ti Mani saat itu sedang sakit-sakitan karena sering di datangi oleh tentara republik.

Pada malam itulah aku terakhir kalinya melihat Saifullah. ”Aku akan segera kembali Fir. Kamu tunggu disini. Kalau keadaan aman, aku akan segera kembali dengan membawa serta ijazah kita sehingga bisa kuliah disini. Kita akan segera jadi anak kulihan,”ucapnya.

Namun, janji Saifullah tersebut, ternyata tidak pernah terwujud. Dari Kota Banda Aceh, aku mendengar kabar bahwa rumah Ti Mani dibakar seminggu setelah suaminya tewas. Dan kabar yang beredar, Saifullah yang putus asa, akhirnya juga bergabung dengan eks pasukan yang pernah dipimpin oleh ayahnya semasa hidup.

Dia juga beberapa kali terlibat baku tembak dengan pasukan republik. Kepiawaiannya memegang senjata ternyata menguburkan mimpi dia untuk menjadi anak kuliahan di ibukota.

Sedangkan diriku mencoba bertahan di ibukota sebagai penjual pisang goreng. Hasil dari pekerjaan ini, ternyata mampu membuat diriku mendaftar di salah satu universitas terbaik daerah ini, yaitu Unsyiah dan akhirnya mampu meraih gelar sarjana disana.

Sejak berangkat ke Banda Aceh bersama Saifullah. Aku tidak pernah pulang ke Nicah Awe, termasuk ketika lebaran tiba. Hal ini pula yang menyebabkan diriku lupa terhadap sosok Saifullah, hingga suatu hari datang berita duka mengenai dirinya. ”Saiful, sebulan lalu di tangkap di wilayah Idi sama Raider. Semua pasukannya tewas di tempat. Sedangkan dirinya di tahan dan entah dibawa kemana,”ungkap Bang Din, ketika kami berjumpa di Darussalam.

Aku sedikit terkejut mendengarkan kabar miris ini. Pasalnya, di surat kabar dijelaskan bahwa pasukan yang tewas di Idi di pimpin oleh Rambo. Tidak dijelaskan nama asli pimpinan pasukan tersebut. ”Banyak yang menyebutkan Saiful telah tewas,”ucap Bang Din lagi.

***

Juni 2011

Ini merupakan kepulanganku yang kesekian kalinya ke Nicah Awe. Pasca kesepakatan damai, enam tahun lalu, keadaan di kampungku sudah lebih baik dari sebelumnya. Masyarakat disana juga sudah leluasa berpergian ke ladang atau sawah guna mencari sesuap nasi.

Desa yang dulunya ’tidak pernah’ di huni oleh para pemuda ini, kini terasa ramai kembali. Beberapa diantara mereka juga ada yang tidak ku kenal. Maklum, mereka adalah ABG yang baru besar pasca konflik.

Oya, diriku kini juga telah berubah status menjadi guru PNS di salah satu daerah Ibukota. Status ini membuat orang tuaku di kampung menjadi bangga dan sering menjadi bahan obrolan para tetangga. Bagi mereka, menjadi PNS di ibukota adalah hal yang musthahir.

”Coba kalau si Amin juga lari ke Banda Aceh sewaktu konflik dulu. Tentu dia juga bisa kuliah dan jadi PNS seperti Firman saat ini. Sayangnya, Amin malah lari ke Malaysia untuk jadi tukang bangunan,”tutur Wak Fatimah, tetangga kami di kampung. Aku yang mendengarkan pembicaraan ini cuma mampu tersenyum kecil.

Tiba-tiba, sorot mataku saat itu tertunjuk pada Ti Mani. Dia terlihat sedang menyapu halaman rumahnya. Namun karena tubuhnya yang rentan membuat siapapun menjadi iba. Dia terlihat sempoyongan, namun terus melakukan aktivitas rutin tersebut.

”Ti Mani memang selalu begitu. Dia ini selalu ingin rumahnya bersih agar sewaktu Saiful pulang tidak diomeli. Ti Mani masih yakin kalau Saiful masih hidup dan segera pulang,”ungkap Mamak tiba-tiba. Penantian Ti Mani ternyata belum berakhir. Semoga harapanmu terkabul Ti.

Kamis, 14 Juli 2011

Para Pengais Rupiah dari Tumpukan Sampah


Hari itu, Senin (11/7), Kota Banda Aceh masih diselimuti awan tebal serta hujan lebat. Derasnya air yang berjatuhan dari langit, turun tanpa henti sejak sang surya menyanpa daerah ini dini hari tadi. Petanda ini biasanya dianggap sebagai rahmat bagi penduduk daerah yang berjulukan Kutaradja ini setelah lama di landa kemarau berkepanjangan.

Hujan yang disertai dengan angin kencang juga membuat sejumlah ruas jalan raya di ibukota menjadi area monopoli para borjuis yang memiliki kendaraan beroda empat. Sedangkan pengguna sepeda motor lebih memiliki berteduh hingga anugrah tuhan tersebut berhenti.

Di Simpang Mesra, sepasang suami istri yang mengenderai roda tiga dengan cat berwarna hijau tua berhenti mendadak. Mereka bukan sedang mencari tempat berteduh guna mengeringkan baju seperti yang lainnya. Padahal, keadaan alam sedang sangat tidak bersahabat saat itu.

Sang laki-laki tampak berpostur kurus kering dan berkulit sawo mantang. Dia memakai jaket hitam dan celana merek jeans. Sedangkan sang isteri berbaju katun dengan motik kotak-kotak. Mereka berhenti di dekat tumpukan sampah tidak jauh dari deretan toko tempat wartawan berteduh.

Lelaki kurus kering tadi kemudian membungkuk sambil mengais sejumlah barang yang berbahan plastik. Sedangkan sang wanita membuang air yang tertampung dalam botol tadi, kemudian memasukannya ke dalam goni besar yang terletak di atas becak hijau tua. Dua sejoli ini, sepertinya adalah warga Kutaradja yang berprofesi sebagai pemulung.

Gerakan Pasutri ini sangat cekatan. Tumpukan sampah plastik yang tadinya mengunung disana mampu berpindah tempat hanya dalam hitungan menit. Dinginnya angin yang disertai hujan lebat seakan tidak sedikitpun menganggu aktivitas rutin mereka.

”Kami sudah biasa bekerja dalam cuaca seperti ini, bahkan dalam suasana lebih ekstrim sekalipun. kalau kami tidak bekerja seperti ini, tidak bisa memberikan makanan untuk anak-anak di rumah,”ungkap pria kurus kering yang belakangan mengaku bernama Ismail, asal Gampong Keudah. Sedangkan istrinya mengaku bernama Alfida. Mereka juga telah dikarunia dua orang anak yang sedang menempuh pendidikan dasar.

”Mereka sedang sekolah. Kalau jam sekolah usai, mereka juga akan ikut memulung seperti kami,”tambah Ismail lagi. Keluarga Ismail, ternyata adalah sekelompok kecil dari kehidupan pemulung yang coba bertahan hidup di tengah-tengah himpitan masyarakat kota yang borjuis.

Menurutnya, penghasilan dari kegiatan memulung selama ini, ternyata mampu mengasapi dapur keluarganya selama ini. Dari kegiatan memulung pula, dirinya mampu menyekolahkan kedua putra-putrinya di Sekolah Dasar. Hal inilah yang selalu disyukurinya selama ini.

Jika di hitung-hitung, lanjut pria yang mengaku berasal dari Aceh Utara ini, penghasilannya dari kegiatan memulung, perharinya berkisar antara Rp45.000 hingga Rp60.000. Jumlah pendapatan ini tergantung pada jumlah sampah yang dihasilkan serta kecekatan dirinya berkerja.

”Kalau hujan seperti ini, kerja sedikit lamban. Botol plastikpun berair sehingga harus dikeringkan terlebih dahulu agar harganya lebih mahal. Para penampung biasanya membeli sampah plastik dengan harga Rp3.000 perkilo. Sedangkan sampah plastik berair Rp2000 perkilo. Kalau kami, rata-rata mendapatkan 15 hingga 20 Kg perharinya,”tutur Ismail.

Pesaing utama Ismail dalam memulung selama ini, tambah dia, adalah para petugas kebersihan kota. Para petugas tersebut memulai kerja dari pukul 22.00 WIB hingga pukul 05.00 WIB dini hari. Saat-saat itu, seluruh sampah plastik sudah pasti diboyong semua oleh para petugas sehingga sulit bagi mereka untuk mengais rezeki dari sampah.

”Oleh karena itu, kami terpaksa bekerja di luar jadwal mereka. Jika beruntung, kami menemukan rumah warga yang baru melaksanakan pesta pernikahan sehingga dipastikan akan banyak sampah pasti disana. Jika sedang sial, ya seperti sekarang, hujan lebat tanpa henti dari pagi,”ungkapnya sambil tersenyum dan tabah menjalani profesinya tersebut.

Tak lama, hujan pun mulai berhenti. Ismail kemudian meminta izin untuk melanjutkan kerjanya guna mengais sedikit rupiah dari tumpukan sampah kota tua ini. Dia ingin menaklukan kota ini dengan tekan bajanya.

Ditempat terpisah, Syarifuddin, Ketua Lembaga Perhimpunan Pemulung (LPP) yang baru saja terbentuk pada Juni 2011, mengaku jumlah pemulung di Kota Banda Aceh saat ini mencapai ribuan. Namun yang bergbung dengan pihaknya saat ini berjumlah 175 Kepala Keluarga (KK) atau 525 masyarakat di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar yang berprofesi sebagai pemulung.

”Rata-rata mereka menghasilkan 15 hingga 20 Kg sampah plastik setiap harinya. Selama seminggu, LPP menampung hampir satu ton sampah plastik. Peran pemulung dalam menjaga kebersihan kota sangat berarti, namun sering kali mereka didiskreditkan oleh Pemerintah. Kehidupan mereka masih sangat memprihatinkan,”akhiri dia.

Sabtu, 09 Juli 2011

Mastura, Lumpuh Setelah Peluru Menembus Kepalanya


Gadis kecil berkulit sawo mantang ini memiliki senyuman yang amat menawan. Padahal, dirinya merupakan salah satu saksi hidup tentang perihnya kehidupan masyarakat Aceh semasa konflik.

Gadis ini bernama Mastura. Kini dia berumur 11 tahun, asal Gampong Tanjong, Idi, Kabupaten Aceh Timur. Bocah berwajah polos ini menderita kelumpuhan setelah peluru nyasar menempus kepalanya, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kondisinya yang lumpuh ini membuat dirinya tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak seperti bocah lainnya pasca damai di Aceh. Selama sepuluh tahun terakhir, dilaluinya hanya dalam sebuah kamar kecil di desa kelahirannya itu.

“Mastura lumpuh sejak kecil. Ini berawal dari peluru nyasar yang menembus kepalanya sekitar sepuluh tahun lalu. Waktu itu Aceh sedang konflik,”kisah Rukiyah, 49, orang tua Mastura, saat ditemui oleh wartawan di kantor Lembaga Advokasi Buruh dan Nelayan Aceh (Labna), Jum’at (8/7).

Dia mengisahkan, malapetaka yang menimpa putri bungsunya tersebut terjadi pada pertengahan 2002 lalu. Sebagaimana keadaan daerah konflik pada umumnya, suasana Gampong Tanjong, kecamatan Idi, saat itu sedang sangat mencekam. Suara rentetan senjata api dan bom meletus hampir saban hari serta sering menewaskan masyarakat sipil yang tidak bersalah. Naas, Mastura yang masih berumur 13 bulan pun ikut menjadi korban.

Dan, pada hari serta bulan yang tidak lagi diingat oleh Rukiyah. Saat itu, untuk kesekian kalinnya terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM di Gampong Tanjong. Dirinya tanpa sengaja membawa Mastura keluar rumah guna menghirup udara segar.

”Tiba-tiba suara rentetan senjatapun kembali terdengar. Saya coba berlindung dan menutup tubuh Mastura. Namun pas saya memegang kepala dia, terlihat darah. Saat itulah, saya baru sadar bahwa Mastura telah menjadi korban peluru nyasar,”papar Rukiyah.

Pasca insiden tersebut, lanjut dia, pihaknya langsung melarikan Mastura ke RS Langsa. Seminggu kemudian dirujuk ke RS Adam Malik, Medan. Disana, nyawa Mastura dapat diselamatkan dan bocah tersebut mulai sadarkan diri.”Kami juga sempat membawa Mastura ke RS Mutiara di Medan. Saat itu, ada orang yang baik hati yang mau membiayai pengobatan anak saya,”ungkap janda yang ditinggal cerai suaminya ini.

Setelah keadaan Mastura semakin membaik. Pihak keluarga kemudian kembali membawa pulang dirinya ke kampung halaman. Sayangnya, saat itu keluarga tidak sadar kalau bayi mereka mulai lumpuh. Keadaan ini baru diketahui saat usia Mastura memasuki tahun ke 5 dan ke 6. Sebagaimana bayi pada umumnya, pada tahun-tahun tersebut seharusnya Mastura sudah mampu berjalan dan berbicara.

Keanehan lainnya, lanjut dia, tiap malam Masyura selalu dihantui oleh rasa sakit dan mimpi buruk. Keadaan ini selalu berulang pada pukul 02.00 dini hari. Selain itu, sejak terkena peluru nyasar, bocah Mastura juga tidak bisa mengontrol buang air sendiri.

”Kami biasanya membawanya ke dukun atau tabib kampung. Tapi tidak sembuh-sembuh juga. Akhirnya, setelah 10 tahun, kini saya kembali mencoba mengobatinya ke rumah sakit. Saya berharap dia bisa segera normal seperti anak lainnya,”pungkas Rukiyah.

Sayangnya, tambah dia, selama perawatan Mastura, dirinya tidak lagi dapat bekerja sebagai pedagang makanan seperti biasanya. Padahal, dari jerih payah pekerjaan tersebutlah mereka hidup selama ini. Nafkah terhadap dirinya dan biaya pengobotan Mastura saat ini ditanggung oleh anak yang paling tua. ”Saya berharap ada dermawan yang tergerak hati untuk membantu anak saya sembuh. Saya Cuma ingin mastura sehat,”akhiri dia. Apakah yang hendak membantu ?

Rabu, 22 Juni 2011

Saat Aceh Besar Ingin Kembali ke ’Lhe Sagoe’


Wacana pemekaran Kabupaten Aceh Besar menjadi tiga kabupaten baru telah menjadi topik hangat belakangan ini. Upaya pemekaran tersebut menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat, baik yang mendukung dengan harapan perubahan, maupun yang mencela dengan dugaan adanya permainan politik di belakang gerakan tersebut.

Kabupaten Aceh Besar sebenarnya memiliki luas wilayah mencapai 2.974,12 Km2 atau kabupaten paling luas di provinsi ini. Sebagian besar wilayahnya berada di daratan dan sebagian kecil berada di kepulauan. Sekitar 10 persen desa di Kabupaten Aceh Besar merupakan desa pesisir dengan ibu kota Jantho itu. Berdasarkan data yang dimiliki oleh daerah tersebut, kabupaten ini terdiri dari 23 Kecamatan, 68 Mukim, dan 604 Desa.

Asal mula daerah Aceh Besar yang luas ini, menurut sejumlah sumber berasal dari peta kekuasaan kesultanan Aceh Darusalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Saat itu, di awal-awal masa pemerintahannya daerah ini cuma meliputi bekas daerah kekuasan tiga kerajaan hindu seperti Indra Patra, Indrapuri serta Indrapurwa.

Atas dasar inilah Kerajaan Aceh disebut dengan julukan Aceh Lhe Sagoe. Selanjutnya, wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Padang, Pedir, Pasai, Deli dan Aru hingga selanjutnya ke Malaka.

Saat ini Kabupaten Aceh Besar sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, Kota Sabang, dan Kota Banda Aceh, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya, Sebelah timur degan Kabupaten Pidie, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Berdasarkan sejumlah cacatan sejarah, sebelum dikeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar merupakan daerah yang terdiri dari tiga kewedanaan, yaitu Kewedanaan Seulimum, Kewedanaan Lhoknga serta Kewedanaan Sabang. Akhirnya dengan perjuangan yang panjang Kabupaten Aceh besar disahkan menjadi daerah otonom melalui Undang-undag Nomor 7 Tahun 1956 dengan ibukotanya pada waktu itu adalah Banda Aceh dan juga merupakan wilayah hukum Kotamadya Banda Aceh.

Namun, saat itu juga muncul sejumlah tuntutan dari masyarakat yang mengharapkan perkembangan daerah yang semakin maju dan berwawasan luas. Keberadaan kotamadya Banda Aceh sebagai pusat ibukota saat itu dianggap kurang efisien sebagai ibukota, baik untuk masa tersebut maupun untuk masa yang akan datang. Usaha pemindahan Ibukota dari Wilayah Banda Aceh pun kemudian bermunculan serta mulai dirintis sejak tahun 1969, dimana lokasi awalnya dipilih Kecamatan Indrapuri yang jaraknya 25 KM dari Banda Aceh. Usaha pemindahan tersebut akhirnya gagal yang disebabkan oleh sejumlah faktor serta kendala.

Selanjutnya, pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibukota untuk kedua kalinya muncul serta mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di Kecamatan Seulimum tepatnya kemukinan Janthoi yang jaraknya sekitar 52 km dari Banda Aceh. Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai keluarnya Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah Kotamadya Banda Aceh.

Saat itu, wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Besar dihitung berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Departemen Dalam Negeri dan pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan ternama, yaitu PT. Markam Jaya yang ditinjau dari segala aspek dapat dan disimpulkan bahwa yang dianggap memenuhi syarat sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh besar adalah Kemukinan Janthoi dengan nama Kota Jantho.

Setelah ditetapkan Kota Jantho sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar yang baru, maka secara bertahap pemindahan ibukota terus dimulai, dan akhirnya secara serentak seluruh aktivitas perkantoran resmi dipindahkan dari Banda Aceh ke Jantho pada tanggal 29 Agustus 1983.

Sayangnya, pemindahan ini ternyata tanpa perhitungan yang mantang. Hal ini akhirnya menyebabkan Kota Jantho menjadi kota mati. Selain itu, pemindahan pusat adminitrasi Aceh Besar ke ’hutan’ Jantho juga menyebabkan tata kelola pemerintah menjadi lamban seperti saat ini.

Salah pilih ibukota kabupaten juga menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat. Pembagian kue pembangunan yang sering kali tidak adil akhirnya menyebabkan masyarakat eks Indra Purwa dan Indra Patra menuntut ’pisah’ dari kabupaten induk. Kini, setelah sekian lama, wacana pemekaran Kabupaten Aceh Besar menjadi tiga wilayah kembali mengema. Daerah-daerah ini, seperti Aceh Rayeuk, Aceh Raya dan Aceh Besar.

Untuk wilayah calon kabupaten Aceh Rayeuk meliputi tujuh Kecamatan, Mesjid Raya, Baitursalam, Darussalam, Kuta Baro, Baruna Jaya, Blang Bintang serta Ingin Jaya. Sedangkan wilayah Kabupaten Aceh Raya diwacanakan terdiri dari Kecamatan Darul Imarah, Peukan Bada, Lhoknga, Leupung, Lhong dan Kecamatan Pulo Aceh. Sementara Kabupaten Induk yakni Aceh Besar mulai dari Ingin Jaya, Montasik, Indrapuri, Jantho, Seulimum dan Lembah Seulawah.

Untuk Sagoe Indrapurwa (Aceh Raya-red), elemen masyarakat disana telah berjumlah hampir 12 tahun lamanya. Sedangkan untuk sagoe Indra Patra (Aceh Rayeuk) baru dalam tahap awal perintisan. Anehnya, pemekaran ini justru mendapatkan respon positif dari pihak eksekutif dan legislatif setempat.

Ingin Kembali Ke Lhe Sagoe
Tujuh kecamatan pesisir Aceh Besar menuntut ’talak tiga’ alias pisah dari kabupaten induk. Ketujuh kecamatan ini adalah Mesjid Raya, Baitursalam, Darussalam, Kuta Baro, Baruna Jaya, Blang Bintang serta Ingin Jaya.

”Komitmen pisah atau talak tiga dari Aceh Besar ini sudah disepakati oleh 26 mukim di 7 kecamatan. Selain itu, tokoh masyarakat serta geuchik juga sudah menyepakatinya. Saat ini tinggal menunggu deklarasi serta advokasi tuntutan ke pemerintah pusat,”ungkap Tgk. Umran Juned, salah seorang tokoh masyarakat yang juga Ketua Panitia Persiapan Kabupaten Aceh Rayeuk, Kamis (9/6) lalu.

Menurutnya, faktor geografis serta perilaku diskriminasi pembangunan yang mereka alami selama puluhan tahun dianggap merupakan salah satu alasan mengapa masyarakat dari tujuh kecamatan ini menuntut ’merdeka’ dari Aceh Besar. Tujuh kecamatan pesisir ini dinilai paling sedikit mendapatkan ’kue’ Pembangunan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar yang beribukota di Jantho selama ini.

Selain itu, lanjut dia, tuntutan pemekaran Aceh Rayeuk ini juga didasari oleh faktor sejarah. Dimana sejak dahulu, kata dia, daerah ini telah terbagi dalam tiga kerajaan, seperti Indra Patra (di Kecamatan Mesjid Raya), Indrapuri, serta Indra Purwa, dengan sebutan Aceh Lheu Sagoe.

Wilayah eks kerajaan Indra Patra dengan 26 mukim-nya dinilai layak untuk dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Rayeuk. Sedangkan untuk wilayah Indra Puri secara otomatis masuk dalam Aceh Besar.

”Untuk masyarakat di wilayah eks kerajaan Indra Purwa sudah komit mendirikan kabupaten baru bernama Aceh Raya. Mereka bahkan sudah sejak dulu memperjuangkan hak mereka, sedangkan kita (Aceh Rayeuk-red) baru hendak deklarasi,”jelasnya.

”Faktor jarak yang harus di tempuh oleh masyarakat di tujuh kecamatan pesisir untuk mendatangi pusat adminitrasi Aceh Besar di Jantho juga salah satu alasan tuntutan pemekaran kabupaten baru ini. Selama ini, masyarakat yang tinggal di Mesjid Raya misalnya, mereka harus melalui perjalanan jauh ke Jantho, bahkan harus melalui Kota Banda Aceh,”paparnya lagi.

Untuk meloloskan kabupaten baru ini, tambah dia, pihaknya saat ini sedang menggalang surat dukungan dari semua geuchik di tujuh kecamatan tersebut. Adminitrasi ini dinilai sudah rampung hampir 80 persen dari persyaratan yang diperlukan. ”Kita sudah menggelar 4 kali pertemuan untuk mengwujudkan ide ini dan seharus ini sudah terlihat ada kemajuan,”akhirinya.

Harapan senada juga diungkapkan oleh Geuchik Gampong Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Rusli Rasyid. Menurutnya, Pemekaran Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu solusi terbaik untuk mengatasi persoalan ketertinggalan pembangunan di daerah tersebut. Pasalnya, Aceh Besar merupakan satu-satunya kabupaten yang belum pernah dimekarkan sejak dahulu kala.

”Selain itu, pemekaran juga bisa mempercepat jalannya roda pemerintahan. Selama ini, kami harus menempuh jarak yang relatif jauh untuk mengurus adminitrasi gampong,” keluh dia.

Antara Kota Banda Aceh dan Pemekaran
Sebenarnya, sejak beberapa tahun terakhir, keberadaan tujuh kecamatan yang tergabung dalam pemekaran calon kabupaten Aceh Rayeuk sering kali dikait-kaitkan dengan Kota Banda Aceh. Dimana, Pemko setempat berharap daerah ini bisa masuk dalam wilayah adminitrasi mereka guna mengatasi kepadatan penduduk di ibukota Provinsi Aceh.

Kedua pimpinan daerah ini, seperti Bupati Aceh Besar di bawa pimpinan Bukhari Daud dan Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin, dikabarkan juga sempat menggelar beberapa kali pertemuan untuk mengwujudkan ide tersebut. Namun akhirnya, wacana ini kembali hilang di telan masa.

Gagalnya harapan ini, disinyalir karena tidak adanya kompensasi yang jelas dari walikota Banda Aceh kepada Pemkab Aceh Besar selaku kabupaten induk. Pasalnya, daerah pesisir yang dilirik oleh Kotamadya Banda Aceh merupakan lumbung PAD bagi Aceh besar selama ini.

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, di sejumlah tempat, juga secara terang-terangan menyatakan mendukung pengabungan sejumlah daerah Aceh Besar menjadi bagian dari Kota Banda Aceh, daripada pemekaran seperti yang dicentuskan belakangan ini. Pasalnya, wacana pemekaran yang dicentuskan belakangan ini saraf dengan nuasa politik dan kepentingan segelintir golongan.

Akan tetapi, terlepas dari mekar tidaknya daerah ini, ataupun digabungkan ke Kota Banda Aceh, masyarakat di pesisir Aceh Besar sangat mengharapkan adanya pembangunan bagi daerahnya. Pasalnya, hampir 90 persen pesisir Aceh Besar dalam lokasi eks tsunami yang masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah.

Sabtu, 11 Juni 2011

Ujian Nasional


Ami terlihat gelisah. Sejak dari tadi, dia terus memandang Hanphone (HP) yang berwarna putih. Dia seperti mengharapkan sesuatu muncul dari benda elektronik tersebut, tapi tidak jelas apa yang dikehendakinya.

”Apa yang kamu tunggu dek? SMS dari pacar ya !”tanya Safrida, sang kakak. Dia lebih tua tiga tahun dari Ami, dan sudah menempuh pendidikan di Unsyiah. Salah satu universitas terfavorit yang ada di Aceh. Sedangkan Ami yang disindir oleh kakaknya itu, masih duduk di kelas 3 pada salah satu SMA di daerah Aceh Besar.

Antara Safrida dengan Ami memang sudah terbiasa saling menggoda. Apalagi jika mereka berdua sedang berada di tempat tidur. Demikian juga yang terjadi saat ini. Akan tetapi, Ami ternyata tidak merespon perkataan kakaknya seperti biasa, dia tetap dengan aktivitasnya semula, yaitu mengamati HP yang dipegangnya sejak dari tadi.

”Apa Rahmad selingkuh ya dek ? atau dia marah karena kelakuaanmu yang sering kekanak-kanakan?”tanya Safrida serius. Dia sepertinya tidak tahan melihat adek semata wayangnya itu cemberut.

Safrida juga mengetahui bahwa adiknya selama ini sedang menjalin hubungan khusus dengan seorang remaja bernama Rahmad yang juga masih berstatus pelajar 3 SMA. Mungkin, hal ini yang menyebab adiknya menjadi cemberut serta memandang Hp terus menerus.

”Dasar abg, sedikit-sedikit berantem sama pacar,”ucap Safrida. Namun perkataan yang terakhir ini menimbulkan reaksi dari lawan bicaranya. Ami yang sejak tadi cemberut berusaha menoleh kearah kakaknya.

”Kak, kalau tidak tahu permasalahannya, jangan ikut campur. Ini tidak ada hubungannya dengan cowok, apalagi Rahmad,”ucap Ami seketika. Respon ini ternyata menimbulkan rasa penasaran dari sang kakak. Pasalnya, tidak biasanya Ami menjadi cemberut.

Adiknya itu juga terbilang gadis cerewet selama ini. Jika ada sesuatu hal yang tidak disenanginya, dia selalu protes, termasuk kepada orangnya yang berprofesi sebagai PNS biasa di jajaran Pemerintahan Kota Banda Aceh.

Hal inilah yang membuat Safrida selalu mengalah setiap dilihat adiknya sedang kesal terhadap dirinya. Padahal, persoalan yang menyebabkan kemarahan tersebut, tidak lebih karena sarung bantal yang sobek atau kamar tidur mereka kotor gara-gara dirinya.

Tapi tidak demikian yang terjadi saat ini. Ami tetap diam dan cemberut seribu bahasa seperti sedang menantikan sesuatu. Selaku kakaknya, Safrida menilai ada sesuatu perkara besar yang sedang dinantikan oleh adiknya tersebut.

”Ayolah dek katakan, apa yang membuatmu menjadi cemberut. Masak, si cerewet bisa caem seperti ini,”ulang Safrida lagi.

”Lho, bukannya kakak senang jika Ami diam seperti sekarang. Biasanya, jika Ami ribut, selalu diusir dari kamar,”jawab sang adik yang membuat Safrida mengalah. Dia sebenarnya kangen dengan kecerewetan adiknya malam ini. Maklum, sejak siang tadi, aktivitasnya selalu dipenuhi dengan aktivitas perkulihan dan kegiatan jurnal ilmiah. Kegiatan ini membuat kepalanya terasa membeku dan membutuhkan hiburan. Biasanya, tingkah Ami-lah yang membuat dirinya tertawa lepas.

”Sudah sana tidur, Ami lagi malas ngobrol dengan kutu buku,”tegas adiknya.

Merasa disindir, Safrida mencoba menyerah. Dia bergegas mengambil bantal guling yang tadi tertinggal di ruang tamu saat nonton televisi. Setelah itu, dirinya mencoba memejamkan mata untuk menuju ke alam mimpi seperti biasanya. Sayangnya, keinginannya tersebut kembali terganggu dengan suara histeris Ami.

”Ada apa? Ada apa ? ”tanya Safrida dalam keadaan setengah sadar. Sedangkan Ami tidak menjawab pertanyaan kakaknya tersebut. Dia masih terlalu sibuk dengan penemuan terbarunya. ”Akhirnya, jawaban UN untuk besok pagi, masuk juga melalu hanphone,”kata dia. Jawaban ini, tentu saja membuat Safrida tambah melongo tak karuan.

Doa Nek Ti


Suara tangisan itu kembali terdengar malam ini. Jaraknya tidak seberapa jauh dari tempat tidurku. Sosok Nek Ti yang lengkap dengan mukena serta sajadah terlihat sedang menegadahkan tangannya. Dia lagi-lagi memohon pada Allah SWT berupa permintaan yang membuat diriku serta orang yang mendengarkan doanya bersedih hati.

Hari ini adalah hari ke- 28 atau minggu ke empat Nek Ti berada di rumah kami. Pagi ini, dia terlihat tersenyum cerah saat menyapa kami para cicitnya satu persatu di ruang tamu. Keadaan ini terlihat amat kontras dengan pemandangan semalam. Namun diriku senang Nek Ti tidak lagi sedih.

”Kamu-kah itu Hasan ?”tanya Nek Ti begitu aku mendektinya. ”Ya, Nek Ti. Saya Hasan,”jawabku.

Dari hati yang paling dalam, diriku sebenarnya amat kagum dengan sosok Nek Ti selama ini. Walaupun umurnya sudah mencapai se-abad dan matanya mengalami kebutaan karena ’dimakan’ usia, ingatan Nek Ti masih amat kuat. Dia juga tidak mengalami kepikunan seperti orang tua biasanya.

Dia ternyata juga mampu membedakan kehadiran, baik diriku maupun penghuni lain di rumah ini, walau hanya mendengar suara langkah kaki kami. Selain itu, dia juga terlihat masih sehat untuk ukuran wanita se-usianya.

Nek Ti adalah nenek buyut kami yang diberikan rahmad oleh Allah SWT berupa umur yang panjang, yaitu 102 tahun. Disaat semua anak-anak serta cucuya meninggal dunia karena ajal di hari tua. Nek Ti ternyata masih diberikan kesehatan sehingga berumur panjang.

Nek Ti sebenarnya memiliki 6 orang anak, 24 cucu serta 78 cicit. Orang tuaku adalah cucunya yang ke 15 atau cucu tertua yang masih hidup. Sedangkan semua anak Nek Ti, termasuk kakek kami, dan sejumlah cucunya yang lain telah meninggal dunia. Baik karena kecelakaan, musibah alam atau ajal di hari tua.

Dia tinggal di rumah kami sejak Om Surya, sepupu bapak meninggal dunia sebulan yang lalu. Saat itu, Nek Ti terlihat sedih karena kehilangan cucunya tersayang. Selain itu, Nek Ti tinggal dengan Om Surya juga hampir enam tahun lamanya, atau pasca tsunami melanda pesisir Aceh beberapa waktu lalu.

Karena khawatir, Nek Ti terluntang-luntang, bapak membawa Nek Ti ke rumah agar kami dapat merawatnya di sisa umurnya.

Sebelum tsunami, Nek Ti sebenarnya tinggal bersama anaknya yang bungsu bernama Aiyud, di Desa Labuy, Kecamatan Baitursalam, Aceh Besar. Kami biasanya sering memanggil dirinya dengan sebutan Nek Aiyud. Dia adalah adik kakek yang menjadi korban kedasyatan musibah tsunami Aceh.

Nek Aiyub bersama istri serta seluruh kelurga meninggal dalam musibah tersebut. Tapi, ajaibnya, Nek Ti malah selamat dari gelombang tsunami tersebut. Nek Ti sempat diseret gelombang tsunami, tetapi bajunya tersangkutan pada sebuah pohon besar serta menjadi penyelamat hidupnya.

Keselamatan Nek Ti sendiri, baru diketahui setelah diriya di tolong oleh sekelompok relawan yang datang ke desa tersebut pasca dua hari musibah. Kabar keselamatan Nek Ti ini kemudian beredar di kalangan cucu serta cicitnya sehingga membuat Om Surya serta bapakku menggelar rapat keluarga besar.

Hasilnya, Om Surya-lah yang menjadi penompang hidup Nek Ti selama enam tahun. Bapak sebelumnya pernah meminta untuk merawat Nek Ti, tapi dia lebih memilih tinggal dengan Om Surya hingga sebulan lalu.

Sifat Nek Ti yang sedang bercengkraman dengan cicit-cicitnya, membuat dia begitu dikagumi dikalangan cucunya yang rata-rata telah berumah tangga dan sukses. Hal ini juga yang membuat dia tidak begitu kesulitan untuk memilih tempat tinggal setelah Om Surya meninggal dunia.

Sedangkan di kalangan cicit Nek Ti, sejak SD hingga menempuh pendidikan tinggi, seperti sekarang. Ternyata dirikulah sosok yang paling dekat dengan Nek Ti. Hal ini sering menimbulkan kecemburuan di kalangan cicitnya yang lain, tidak terkecuali Wilda dan Suci, adikku sendiri.

Makanya, sejak Nek Ti pindah ke rumah kami, dia tidur di kamar ku. Hal ini membuat semua ’aktivitas malamnya’ kuketahui, baik berupa solat malam hingga doa-doanya yang membuat diriku bersedih hati.

Nek Ti juga selalu bercerita tentang sejarah Aceh kepada diriku di saat kami hendak tidur. Fakta-fakta sejarah yang sering tidak terdapat di dalam buku, dengan mudah ku dapat darinya. Dia juga bercerita kepadaku tentang sosok Panglima Teuku Nyak Makam yang memimpin pasukan di Lamnga untuk Kerajaan Aceh.

Sejarah tentang sosok ini tidak pernah aku dapatkan dari buku-buku pelajaran sejarah nasional. Padahal, konon menurun Nek Ti, Panglima Teuku Nyak Makam adalah salah satu panglima perang Aceh yang sangat ditakuti oleh Belanda.

”Hasan, kamu kok melamun pagi-pagi? Ajak Nek Ti duduk di meja makan. Mungkin dia lapar,”kata bapakku. Kemunculannya tiba-tiba ini membuat lamunanku tentang Nek Ti menjadi buyar dan hilang.

”Nenek belum lapar Burhan. Kalian makan aja dulu,”ucap Nek Ti kepada bapak. Pendengarannya amat peka sehingga rasa kekaguman ku kembali muncul.

”Ada yang Burhan ingin sampaikan nek, tetapi nenek harus tabah ya !”ucap bapak lagi, menarik perhatianku dan Nek Ti. Segera ku dorong kursi roda Nek Ti ke meja makan. ”Apa itu ? ”tanya nek Ti.

”Ayu meninggal dunia tadi pagi nek. Ayu cicit nenek, anak dari Filman,”kata bapak lagi. Aku terkejut mendengar hal ini. Pasalnya, Ayu adalah sepupu kami. Dia masih berumur 14 tahun dan baru kemarin Om Filman bersama ayu berkunjung ke rumah untuk melihat kondisi kesehatan Nek Ti.

Tapi yang paling bersedih, ternyata bukan diriku ataupun bapak. Air mata tampak turun di wajah Nek Ti yang berkaca-kaca. Aku sendiri seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Nek Ti saat itu. Ya, Allah.....Cuma kau yang tahu apa yang terbaik bagi hambamu.

***
Setelah beberapa bulan kematian Ayu, Nek Ti terlihat lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar. Dia memperbanyak solat dan ibadah lainnya sehingga membuat diriku enggan untuk menganggunya. Padahal, beberapa hari ini dia sudah berjanji sama diriku untuk menuntaskan cerita sejarah tentang Aceh Lhee Sagoe, atau Aceh Tiga Segi.

”Aku pulang ke rumah aja ah. Siapa tahu Nek Ti mau berbaik hati dan menuntaskan ceritanya kepadaku,”gumam diriku di dalam hati. Sejak kecil, aku memang sudah tertarik dengan hal yang berbau sejarah dan hal ini pula yang membuat diriku dengan Nek Ti bisa akrab.

Dalam perjalanan pulang, hatiku agak gelisah. Aku tidak pernah di landa perasaan seperti. Kegelisahan tersebut kian menjadi-jadi setelah kulihat semua saudara kami berkumpul di rumah. Beberapa diantara mereka adalah saudara jauh, atau cucu Nek Ti.

”Suci, kenapa di rumah banyak orang ?” tanyaku pada adik bungsuku. ”Itu, Nek Ti meninggal dunia kak. Dia meninggal dengan mukena masih di badannya,”ucap suci terputus-putus.

Jawaban ini membuat air mataku tumpah tak tertahankan. Entah, aku harus bagaimana mengungkapkan rasa atas kematian Nek Ti ini. Disatu sisi, aku sangat sedih dengan kenjadian ini karena kehilangan sosok nenek buyut yang selama ini sangat menyayangi kami. Tapi, di sisi lain, inilah jawaban dari doa-doa Nek Ti selama ini.

”Tuhan, segera cabut lah nyawa hambamu ini. Hamba sudah terlalu banyak menerima hikmahmu. Hamba takut, hamba akan kufur jika terus diberikan umur yang panjang,” teringat doa Nek Ti setiap malam. Tuhan mendengarkan harapanmu nek ti, doa kami selalu bersamamu. (murdhani)

Rabu, 18 Mei 2011

Tsunami Dalam Sejarah Aceh


Gempa dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, diyakini bukanlah pertama kali terjadi di Aceh. Bencana lebih dahsyat berupa megatsunami diperkirakan pernah menerjang provinsi ujung Sumatra itu pada 1.400 tahun lalu. Hal inilah yang membuat bencana tersebut akrab dalam catatan sejarah negeri eks konflik ini.

Masyarakat di Provinsi Aceh mengenal bencana alam berupa gelombang besar yang menerjang pemukiman penduduk dalam berbagai sebutan, seperti Tsunami yang diperkenalkan oleh masyarakat Jepang, Smong oleh masyarakat Semeulue serta Ie Beuna oleh masyarakat pesisir Aceh lainnya.

”Di Aceh memang mengenal adanya istilah ie beuna dan smong di kalangan masyarakat Kabupaten Simeulue. Musibah itu diperkirakan jauh lebih dahsyat dibandingkan musibah 26 Desember 2004 lalu,” kata Saiful Mahdi, Direktur Pusat Kajian Internasional Tentang Aceh dan Lautan Indian (ICAIOS), Selasa (26/4).

Kata Saiful, tsunami juga pernah menerjang Simeulue pada 1907. Masyarakat di sana kemudian mengenang kejadian itu dengan sebutan smong dan cerita ini diwariskan secara turun temurun.

”Pada 26 Desember 2004, sangat sedikit warga Simeulue menjadi korban. Artinya, orang tua di sana sudah memperingatkan generasi muda Simeulue tentang tsunami dan cara mengantisipasinya,” ungkap dia lagi.

Selain itu, adanya megatsunami di Aceh dapat juga dibuktikan dengan temuan Tim Studi Bencana Katastropika Purba dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupa bangunan kuno di dalam laut Aceh. Ini artinya, daratan yang ada di Aceh saat ini sebenarnya sangat luas, namun sedikit-demi sedikit di kikis oleh laut akibat bencana alam dalam berbagai bentuk.

Dahulu kala, sejumlah kondisi yang menjadi lautan saat ini sebenarnya adalah perkampungan penduduk. Namun karena bencana, daerah tersebut kemudian ditinggalkan.
Salah satu kasus yang membuktikan teori ini benar, terdapat di Desa Lamnga, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.

Menurut pengakuan orang tua dan para penduduk disana, sebesarnya lokasi Desa Lamnga, dulunya terletak disepanjang pinggiran laut dan tanah yang menjadi area tambak dan sungai saat ini. Namun karena adanya suatu bencana, masyarakat kemudian mengungsi ke lokasi yang lebih tinggi.

”Dulunya, lokasi desa saat ini adalah dataran tinggi yang sering dijadikan oleh mujahid Aceh untuk menyerang Belanda. Makanya, banyak kuburan kono di desa ini. Tetapi karena bencana, akhirnya masyarakat memilih menetap disini,”ungkap M. Ali Ibrahim, Sekdes Lamnga.

Sedangkan lokasi desa sebelumnya, lanjut dia, kini tergenang dengan air. Penduduk baru mengetahui hal ini setelah melakukan pengalian di sekitar daerah tersebut dengan tujuan pembangunan tambak. Di area tanah tersebut, ditemukan banyak peninggalan kuno, seperti piring, bangunan serta benda-benda yang memiliki muatan sejarah lainnya.

”Menurut orang tua, dulu terjadi perpindahan karena adanya ie beuna. Tapi, saya tidak ingat kenjadian tersebut,”ungkap dia.

Adanya sumber-sumber sejarah ini, membuktikan bahwa bencana alam memang akrab dengan penduduk di Seramoe Mekkah. Namun bencana ini sering lupa dalam cacatan sejarah sehingga harus menelan korban jiwa dalam jumlah yang banyak setiap kali bencana tersebut kembali menyapa daerah ini.

Padahal, jika bencana tersebut dijadikan sebagai pelajaran yang berharga dan informasi turun temurun kepada setiap generasi. Daerah ini akan lebih siap untuk menghadapi bencana.

Untuk tingkat nasional, Penelitian Tim Studi Bencana Katastropika Purba LIPI dan sejumlah lembaga penelitian lainnya, baik lembaga asing dan nasional juga menemukan fakta-fakta terbaru mengenai megatsunami yang pernah menerjang Indonesia.

Cacatan sejarah dan referensi nasional, tsunami di Indonesia mulai terkenal sejak tahun 1833. dimana, saat itu gelombang laut yang besar menerjang sumatera, Indonesia. Gempa berkekuatan 8,8-9,2 SR mengakibatkan tsunami besar yang menyapu pesisir barat Sumatera.

Kemudian, pada tahun 1883, gelombang tsunami juga menghntam krakatau, di Selat Sunda, Indonesia. Muntahan magma Krakatau menyebabkan dasar laut runtuh dan menimbulkan tsunami hingga 40 meter di atas permukaan laut. Tsunami menerjang Samudra Hindia dan Pasifik hingga ke pantai barat Amerika dan Amerika Selatan.

Serangan tsunami setinggi 10 sampai 15 meter, yang dipicu akibat gempa di dasar laut, juga diperkirakan terjadi pada tahun 1994 di Jawa Timur, dengan korban tewas 238 orang, tsunami di Irian Jaya tahun 1996 yang menyebabkan 161 orang tewas, atau yang terhebat tsunami di negara tetangga Papua Nugini, pada tahun 1998 yang menewaskan 2.200 orang.

Selanjutnya, Pada 26 Desember 2044, giliran daerah ini diterjang gempa 9,1 SR yang menimbulkan tsunami besar yang menewaskan 166 ribu di Aceh dan 320 ribu orang dari delapan negara yang dilewati gelombang itu hingga ke Thailand, pantai timur India, Sri Lanka, bahkan pantai timur Afrika di Somalia, Kenya, dan Tanzania.

Tahun 2005 lalu, gempa berkekuatan 8,7 SR juga terjadi di lepas pantai Nias menewaskan 1.300 orang. Sedangkan pada tahun 2006, giliran gempa berkekuatan 7,7 SR mengguncang dasar Samudra Hindia, tepatnya 200 KM selatan Pangandaran. Gempa ini telah memicu gelombang tinggi hingga 6 meter di Pantai Cimerak serta sekitar 800 orang dilaporkan hilang.

Sejak dahulu kala, Indonesia, khususnya Aceh memang termasuk kawasan potensial gempa bumi hebat. Penyebabnya, Indonesia berada di beberapa jalur patahan atau tumbukan antara landas kontinen. Antara lain lempeng benua Asia dengan Indo-Australia, yang bergerak dan memicu gempa Aceh.

Zona patahan ini memanjang di Samudra Hindia, yaitu mulai dari Aceh di barat hingga sekitar Laut Timor di timur. Pergerakan tektonik lempeng di kawasan ini, seringkali memicu gempa hebat. Jika kekuatan gempa di dasar laut mencapai tujuh pada skala Richter atau lebih, dapat dipastikan akan terjadi gelombang pasang tsunami.

Pengukuran dinas geologi di berbagai penjuru dunia, memperkirakan energi gempa yang dilepaskan setara dengan energi letusan 10.000 bom atom. Akibatnya jutaan meter kubik air laut tiba tiba tersedot ke bawah, kemudian seolah dimuntahkan kembali membentuk gelombang berbentuk lingkaran, dengan kecepatan amat tinggi.

Di kawasan lautan terbuka, gelombang tsunami bergerak di bawah permukaan laut, dan biasanya di permukaaan hanya menunjukan gelombang yang tidak terlalu hebat. Gelombang pasang tsunami, akan melepaskan kembali semua energinya, jika bertemu kawasan pantai, teluk, ceruk atau kepulauan.

Masyarakat Cepat Lupa Bencana
Banyaknya timbul korban dalam setiap kasus bencana alam yang terjadi di Aceh, dan Indonesia pada umumnya dinilai karena masyarakatnya cepat lupa akan bencana tersebut. Sikap dan perilaku masyarakat yang terbiasa berpikir praktis akhirnya menelan korban dalam jumlah banyak secara berulang.

”Masyarakat kita terbiasa berpikir praktis. tingkat kesadaran antisipasi bencana masyarakat di Aceh dinilai sangat rendah,”tutur Ninok Leksono, wartawan senior Kompas dalam pelatihan jurnalistik di Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) tentang kebencanaan, beberapa waktu lalu.

Siklus bencana, kata dia, sebenarnya akan kembali berulang pada fase tertentu. Siklus ini, seperti longsor dalam hitungan tahun, banjir, serta tsunami dalam jangka waktu 100 tahun.

Sayangnya, karena masyarakat kita terbiasa dengan pemikiran praktis mengakibatkan mereka tidak terlalu ambil pusing mengenai siklus bencana tersebut. Apalagi, seperti bencana tsunami yang siklusnya disinyalirkan terjadi dalam seratus tahun sekali.

”Masyarakat berpikiran singkat. Jika bencana terjadi 100 tahun sekali, maka waktu tersebut tidak akan terjadi selama dia hidup. Pasalnya, umur manusia rata-rata cuma 63 tahun. Sedangkan keselamatan anak cucu nanti diserahkan pada yang maha kuasa,”ungkap dia.

Contoh kasus, kata dia, pada awal-awal tsunami, pemerintah telah menyerukan kepada masyarakat Aceh untuk tidak kembali membangun perumahan di area lokasi bencana. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan korban jiwa jika mereka kembali bermukim di area bekas bencana.

Tidak hanya masyarakat, lanjut dia, pemerintah serta pihak keamanan pun dinilai ikut-ikutan membangun pos yang berada di lokasi bekas bencana.

”Namun buktinya, saat ini banyak masyarakat yang melanggar seruaan tersebut dengan membangun perumahan di lokasi dekat pantai. Masyrakat kita cepat lupa akan bencana sehingga kalau musibah tersebut kembali berulang, mereka pasti akan menjadi korban selanjutnya,”akhiri dia

Sementara itu, Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBA, Armia SH, menambahkan bahwa mayoritas kabupaten/kota yang ada di Provinsi Aceh saat ini sebenarnya masih berpotensi besar untuk terjadi bencana alam maha dahsyat seperti gempa dan tsunami yang menimpa daerah ini pada akhir tahun 2004 lalu.

Tiga bencana yang diprediksikan akan kembali berulang di daerah paling utara Pulau Sumatra ini adalah, banjir, longsor serta gempa yang disertai tsunami.

“Kita (masyarakat Aceh-red) tinggal di atas lingkaran cincin api yang sewaktu-waktu bisa kembali menimbulkan bencana. Salah satu bencana yang akan akrab dengan kita adalah banjir dan gempa yang disusul oleh gelombang tsunami,”ungkap dia.

Menurutnya, hampir mayoritas kabupaten kota yang ada di daerah Aceh masih rawan terhadap bencana alam. Hal ini, seperti Kota Banda Aceh serta Meulaboh, yang rawan dengan gempa dan tsunami, kemudian Kabupaten Aceh Besar, Pidie, serta Pidie Jaya yang rawan terhadap banjir serta longsor.

Kemudian, lanjutnya, kabupaten Aceh Timur, Tamiang, Gayo Lues serta Abdya yang dinilai rawan banjir bandang akibat maraknya kasus illegal logging. Sedangkan Aceh Tengah dan sejumlah daerah lainnya juga dinilai rawan terhadap longsor.

“Semua ancaman bencana ini harus dapat diantisipasi untuk mencegah timbulnya korban jiwa. Namun untuk membangun kesadaran dari masyarakat guna mengantisipasi bencana sangat susah,”tegasnya.

Terlepas dari semua tanggapan para pakar tadi, sebenarnya antisipasi bencana memang sangat diperlukan untuk masyarakat di Aceh. Apalagi, kondisi alam daerah ini dianggap mulai tidak bersahabat. Kesiapan masyarakat dan respon aktif dari pemerintah sebenarnya sangat dibutuhkan untuk daerah ini. Hal ini untuk mengantisipasi korban jiwa yang lebih banyak di masa yang akan datang.

Sabtu, 30 April 2011

Self Government Made In Indonesia


Sejak tahun 2005 lalu Aceh dikatakan telah memiliki wewenang untuk mengatur pemerintahan sendiri alias Self Government. Namun realita yang terjadi, kewenangan yang diagung-agungkan kalangan elit di Aceh tersebut tidak kunjung diperoleh hingga enam tahun usia perdamaian berjalan.

Kata-kata Self Government memiliki arti yang luas. Namun dalam bahasa kasarnya, Self Government adalah suatu pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah untuk mengatur pemerintah sendiri, kecuali menyangkut tiga kebijakan moneter atau keuangan, keamanan, serta kebijakan luar negeri.

Artinya, diluar ketiga hal tadi, daerah ini seharusnya berhak untuk mengurus diri sendiri. Salah satu contohnya adalah daerah ini berhak memiliki lambang, bendera serta lagu kebangsaan sendiri sebagai simbol seperti halnya Puerto Rico di Negara Amerika Serikat.

Sayangnya, membandingkan implementasi Self Government di Aceh dengan Puerto Rico bagaikan langit dan bumi. Dimana, kewenangan Self Government yang dimiliki Aceh saat ini masih jauh dari apa yang diharapkan oleh rakyat. Implementasi Self Government ‘produk hukum’ made in Negara Indonesia ini juga jauh berbeda dengan daerah-daerah yang memiliki kewenangan serupa.

Dalam catatan sejarah dunia, banyak daerah yang telah diberikan wewenang dalam menjalankan self government. Negara-negara tersebut, seperti negara Malaysia untuk Serawak dan Sabah, Monaco, Greenland, Tibet, Negara Amerika untuk Puerto Rico serta yang terakhir adalah Indonesia untuk Aceh.

Dalam memperjuangkan hal ini, semua daerah-daerah tadi membutuhkan waktu yang relatif lama dan sikap tegas terhadap pemerintah pusat. Hal inilah yang mungkin perlu dicontoh oleh Pemerintah Aceh kedepan.

Sebenarnya, sejak adanya penandatangan MoU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republic Indonesia pada 15 Agustus 2005 lalu, Aceh telah didengung-dengungkan memiliki kewenangan berupa Self Government. Tetapi, karena ketiadaan pembahasan mengenai pola dan format yang tepat untuk menerjemahkan kata-kata self government dalam wujub nyata menyebabkan penerapan ide ini menjadi kendala dikemudian hari, dan terbukti.

Menurut Nur Djuli, salah satu tokoh Aceh yang terlibat dalam perundingan melalui opininya yang pernah dimuat salah satu media harian local di Aceh, kata-kata Self Government untuk pertama kali muncul dan diperkenalkan oleh Marti Ahtisaari selaku mediator perdamaian Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia di Helsinki. Dalam opininya, Self-Government’ disebutkan sebagai kewenangan yang berada satu tingkat di atas otonomi khusus.

Sedangkan daerah yang pernah menjalankan kewenangan ini, dicontohkannya seperti Pulau Aalan atau Olan di Finland yang berpenduduk 95 persen orang Swedia. Dimana, bahasa resmi daerah itu adalah bahasa Swedia, berbendera sendiri, serta disebutkan semua kapal angkatan laut dan pesawat udara Finland harus meminta izin pemerintah Olan terlebih dahulu sebelum masuk atau melintasi perairan atau ruang udara Olan.

Kewenangan ini selanjutnya diiyakan oleh perwakilan RI yang hadir, Hamid Awaluddin. Namun tindaklanjut dari kesepakatan inilah yang kini ditunggu realisasinya oleh masyarakat Aceh. Dan, hal inilah yang tidak pernah dapat diraih selama ini.

Masih Bisa di Hapus dan setingkat otonomi khusus
Pemerintah Pusat di Jakarta dianggap masih memungkinkan untuk menghapus kebijakan Self Government atau perlimpahan kewenangan dalam mengatur pemerintahan sendiri bagi Aceh. Pasalnya, kekhususan yang diberikan untuk Aceh pasca adanya perjanjian MoU di Helsinki tersebut, ternyata belum dimasukan dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pijakan hukum di Negara ini.

Hal inilah yang kemudian dikeluhkan oleh banyak aktivis dan pakar hukum yang berada di Aceh saat ini. Salah satunya, adalah Safaruddin, aktivis partai lokal Suara Independen Rakyat Aceh.

“Banyaknya kewenangan Aceh yang masih terbonsai. Seharusnya Self Government yang diberikan kepada Aceh harus dimasukan dalam UUD 1945. Hal itu merupakan penghargaan terhadap bergabungnya Aceh dalam bingkai NKRI, serta bukan kompensasi terhadap kelompok tertentu seperti sekarang,”ungkap Safaruddin selaku Ketua Tim Advokasi Partai SIRA, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Menurutnya, masyarakat harus sadar bahwa Aceh memiliki catatan buruk mengenai sejumlah gelar dan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat yang kemudian dicabut sejak masa Presiden Sukarno hingga sekarang. Hal yang sama juga diprediksikan akan terulang beberapa tahun kedepan jika Self Government tidak segera dalam UUD 1945 sebagai hukum dasar.

Sedangkan Kekhususan Aceh seperti yang diatur dalam UUPA saat ini terbukti tidak peka terhadap permasalahan yang terjadi saat ini. Dimana pada setiap point keistimewaan Aceh dalam UU tersebut, selalu di ikuti dengan kata-kata seperti ‘akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan yang ada’ yang pada akhirnya menimbulkan benturan-benturan kepentingan, serta berakhir dengan timbulnya konflik baru.

Terlebih, beberapa kebijakan yang sudah di sepakati dalam MoU Helsinki dan UUPA pun tidak mampu terimplementasi. Hal ini seperti pembentukan Pengadilan HAM, Pembebasan Tapol/Napol, pembentukan KKR, dan Komisi Klain korban korflik.

Hal ini terkendala karena semuanya harus menunggu turunan aturan sesuai dengan UU No 10 tahun 2004 tentang Peraturan pembentukan perundangan, dan inilah yang membuat Aceh merasa dirugikan.

“Momentum adanya usulan Amandemen UUD 1945 ini, SIRA akan mengajukan beberapa konsep keistimewaan Aceh yang harus di muat dalam UUD 1945 agar ‘Self Government’ dan ‘Istimewa’ Aceh terjadi dalam bingkai NKRI serta sejarah buruk tidak lagi terulang,”ungkap Safaruddin.

Partai SIRA, ungkap pria yang berprofesi sebagai advokat ini, mendukung upaya untuk mengamandemen UUD 1945. Selain Capres Independen yang akan di perjuangkan juga ini merupakan celah masuk untuk kembali memperkokoh kekhususan Aceh dalam bingkai NKRI.

Pasca penandatanganan MoU Helsinki pada 15 agustus 2005 yang kemudian akan di implementasikan butir butirnya dalam UU No 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, namun kenyataannya masih banyak hal hal yang sudah disepakati tidak dilaksanakan dengan konsisten, bahkan dalam UUPA sendiri masih terjadi kesalah pahaman antara masyarakat, Pemerintah Aceh, DPR Aceh dan Pemerintah Pusat.

‘Saat ini juga menjadi hal yang harus dipertegas,karena selama itu ke Istimewaan Aceh seperti menanam tebu di pinggir bibir,”akhirinya.

Sementara, di tempat yang berbeda tokoh Aceh lainnya menilai kewenangan yang dimiliki oleh Provinsi Aceh pasca penandatangan MoU di Helsinki dan genjatan senjata itu belum layak dan pantas untuk disebut Self Government atau kebebasan dalam mengelola pemerintahan sendiri.

kewenangan yang sudah dimiliki saat ini dianggap masih setara dengan otonomi khusus yang sudah pernah diterapkan sejak awal tahun 2000 lalu.

“Memang benar kalau Aceh dikatakan sudah memiliki kewenangan penuh dalam menerapkan Self Government atau mengatur pemerintahan sendiri setelah penandatanganan MoU Helsinki. Namun dalam aplikasi di lapangan, kewenangan yang diberikan masih setara dengan otonomi khusus,”ungkap Yusra Habib Abdul Ghani, tokoh Aceh di Eropa.

Menurutnya, saat ini ada sejumlah negara yang telah memberikan kewenangan berupa Self Government bagi daerah kekuasaanya di dunia. Namun dari semua daerah yang memiliki kewenangan berupa Self Government tersebut, Provinsi Aceh dinilai paling beda dari yang lainnya.

Kewenangan dan posisi Self Government Aceh dalam aplikasinya dianggap masih sebatas otonomi yang kapan saja bisa dicabut oleh pemerintah pusat.

Tidak hanya itu, sejumlah perjanjian yang pernah disepakati oleh antara perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia dalam MoU Helsinki, ternyata juga belum sepenuhnya ditepati.

”Jika sudah Self Government, seharusnya kita memiliki bendera dan lagu kebangsaan sendiri yang berbeda dengan pemerintah pusat. Ini terjadi di Puerto Rico, dimana pada setiap event internasional, mereka selalu menyanyikan lagu daerah serta menghormati bendera sendiri, bukan Amerika,”ucap pria kelahiran Aceh Tengah ini.

Seharusnya kewenangan pemerintah pusat terhadap Aceh pasca Self Government, hanyalah meliputi kebijakan moneter atau keuangan, keamanan, serta kebijakan luar negeri. Namun yang terjadi, saat ini semua yang berkenaan dengan Aceh masih diatur pusat.

”Sayangnya, saya sudah menjadi warga asing untuk Aceh, jadi tidak bisa berkomentar lebih. Tapi, kalau ada yang terlibat dalam penandatangan MoU disini (seminar-red), bisa langsung kita kritik,”akhiri dia.

Menurut penulis, pendapat dari dua tokoh ini layak menjadi masukan atau saran yang berarti bagi semua elit politik yang ada di Aceh saat ini. Penerapan Self Government sesuai cita-cita adalah harapan dari semua masyarakat di Aceh. Mengenai tahapan atau proses yang harus ditempuh juga sangat memerlukan kerja keras dari semua pihak.

Sikap tegas dari Pemerintah Aceh dan kemauan kuat dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah ini juga perlu dikedepankan. Jangan sampai, kasus ini dibiarkan berlarut sehingga muncul opini negatif di kalangan masyarakat Aceh sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi terancam.

Dalam banyak kasus yang terjadi, konflik yang pernah terjadi di negara-negara dari berbagai belahan dunia berpotensi terulang dalam siklus waktu 10 tahunan. Penyebabnya, adalah tidak terlaksananya poin-poin perjanjian yang pernah disepakati, dan hal ini juga terjadi pada kasus Aceh.

Perdamaian di Aceh saat ini memasuki tahun ke enam. Artinya, masih tersisa empat tahun bagi pemerintah pusat untuk menyelesaikan utang janjinya kepada rakyat Aceh yang sejak dulu menjadi modal kemerdekaan negeri ini. Empat tahun ini akan terasa singkat jika dilalui dengan saling curiga seperti yang terjadi selama ini. Namun kita berharap, Aceh akan selalu damai selamanya.

Sabtu, 23 April 2011

Menanti Makna Dibalik Taubatnya Sang Pengembala


Hari itu, Jum’at (22/4) bertepatan dengan hari paskah bagi umat Kristiani. Namun Zainuddin bersama 129 pengikutnya justru memadati Mesjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh. Sang pengembala itu berikral untuk kembali kepangkuan islam.

Zainuddin memakai baju biru, berpeci serta sarung. Demikian juga dengan ratusan pengikutnya yang datang dari berbagai daerah, seperti Matang, Sigli dan Lhokseumawe serta Langsa. Jika dilihat sekilas, mereka seumpana alumni dayah atau pesantren yang baru selesai turun pengajian.

Rata-rata dari pengikut Millah Abraham memakai baju merah dan biru seperti halnya Zainuddin, sang ’pengembala’ mereka selama ini. Para pengikut ini juga masih terlihat polos dan berumur rata-rata 19 hingga 25 tahun.

Pada awal-awal pensyahadatannya, pengembala itu dengan tutur kata yang relatif lembut mengaku bersalah karena ajaran sesatnya selama ini. Dia berjanji akan meninggalkan semua yang ajaran yang pernah dia pelajari dan diajarkan pada orang lain.

"Selama ini saya berguru pada orang yang salah. Oleh karena itu, saya akan menyatakan pada pengikut, bahwa ajaran yang selama ini saya berikan pada mereka selama ini, menyimpang dari yang sebenarnya," katanya.

Beberapa pengikut yang mendengarkan pengakuan ini tertunduk, ada juga yang menatap tiang-tiang mesjid dengan padangan yang kosong. Tapi, sebahagian besar dari mereka terlihat bersikap wajar, seolah-olah tidak terjadi apa-apa selama ini.

Zainuddin berkisah dirinya sempat menetap di Jakarta. disana, dia pernah berguru pada seseorang yang memandang semua agama di dunia memiliki posisi sama. Pria itu juga membahas Injil, Taurat, Zabur dan Al-Quran, secara bersama yang kemudian diajarkan kepada dirinya dan diteruskan pada ratusan para pengikut baru di Aceh.

“Setelah di penjara saya banyak bersujud dan solat malam. Saya bermimpi bahwa apa yang saya ajarkan selama ini tidak sesuai dengan Al-qur’an dan Hadist. Setelah kenjadian itu, saya berbicara dengan polisi dan meminta untuk dikembalikan ke ajaran islam, termasuk mengajak pengikut untuk taubat,”ungkap dia yang mengaku sangat menyesal.

Diluar ikral tersebut, kenjadian yang menimpa Zainuddin ini sebenarnya sungguh mirip dengan kisah Ahmad Musadeq, pimpinan aliran Al-qiyadah Al Islamiyah yang pernah mengaku rasul pada awal-awal tahun 2006 lalu. Tetapi, karena banyaknya ancaman saat itu, dirinya kemudian mengaku bertaubat, pada 9 November 2006.

Didampingi dengan tiga tokoh ulama nasional, KH Agus Miftach, Bachtiar Aly, Said Agil Siroj, dan tim dari MUI, akhirnya Ahmad Mushaddeq menyatakan pertaubatannya di Mapolda Metro Jaya. Pertaubatannya ini disusul dengan taubat massa ribuan pengikutnya pada tempat-tempat yang berbeda.

Aliran yang pernah dibawah oleh Ahmad Musadeq pada tahun 2006 lalu dengan yang diajarkan oleh Zainuddin memiliki banyak kesamaan 100 persen, demikian juga nasib mereka berdua. Bahkan, nabi yang diakui oleh Zainuddin dan pengikutnya adalah Ahmad Musadeq.

Kini, dua sosok pengembala ini ’mengaku’ telah kembali bertaubat. Di masa Ahmad Musadeq, biarpun dirinya di bui selama 5 tahun karena melakukan penistaan agama, ajaran yang pernahnya diajarkan tetap berkembang hingga ke Seramoe Mekkah. Sedangkan makna dari taubat Zainuddin masih ditunggu ’harap-harap cemas’ oleh masyarakat Aceh.

Sedangkan Kapolresta Banda Aceh, Armen Syah Thay menyatakan, pihaknya akan tetap memproses hukum terhadap Zainuddin yang telah melakukan penistaan agama. ” Mereka akan diancam dengan hukuman penjara paling lama 5 tahun sesuai pasal 156 KUHP tentang penistaan agama,”ujar dia.

Senin, 11 April 2011

Putroe Phang Mencari Pewaris Tahta


Kisah cinta Sultan Iskandar Muda dengan permaisurinya Putroe Phang selalu menarik perhatian masyarakat Aceh. Gunongan dan Taman Putroe Phang di Kutaradja merupakan bukti abadi yang lahir dari cinta kasih mereka. Karena cinta ini pula sang Putroe Phang mencari ’kembali’ jejak sultan di Seramoe Mekkah.

Kalimat tadi bukanlah berarti bahwa permaisuri raja tersebut kembali hidup dan mencari kuburan sang suaminya, di awal tahun 2011 ini. Tulisan ini juga tidak sedikit pun akan menyentuh pembahasan tentang Sultan Iskandar Muda, melainkan membahas pewaris tahta terakhir mereka.

Tulisan ini, penulis mulai dari keinginan pihak berwenang dari Kesultanan Negeri Pahang Malaysia, Kamis (31/3) lalu, yang mengaku sedang mencari pewaris tahta murni kerajaan Aceh atau keturunan terakhir dari Sultan Mahammad Daud Syah.

Untuk menjalankan niat mereka ini, Kesultanan Pahang Malaysia, bahkan langsung mengutus Putrinya yang bergelar Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj untuk ikut bersama rombongan ke Aceh.

Menurut pengurus Kerajaan Pahang, cacatan sejarah mengenai keturunan sultan terakhir Aceh ini dinilai banyak yang sengaja dikaburkan sehingga menyebabkan banyak pihak minim informasi tentang hal tersebut. Selain itu, juga banyak pihak yang mengaku sebagai keturunan raja Aceh yang terakhir.

”Kesultanan Aceh sejak dulu sangat megah. Namun informasi sejarahnya yang kami dapatkan terputus hingga Sultan terakhir Muhammad Daud Syah. Kami tahu, ada keturunan dari Sultan Mahammad Daud Syah. Atas dasar tersebut, kami mencoba mencari tahu soal kebenaran tersebut dan baru kami temukan sekarang,”ungkap Kerabat Kesultanan Pahang Malaysia, Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj, di Hotel berbintang, Hermes Palace di Kota Banda Aceh.

Pada kesempatan tersebut, Putri Pahang menjamu sosok bernama Tuanku Raja Yusuf Bin Tuanku Raja Ibrahim Bin Sultan Mahammad Daud Syah, di ruang pertemuan Hermes Palace. Keduanya kemudian kembali membahas sejarah dan hubungan mesra yang sempat terjalin antara Pahang dengan Aceh.

Menurut putri Sultan Iskandar atau Raja Pahang Malaysia ini, Aceh sebenarnya merupakan sebuah daerah yang kaya akan budaya serta peninggalan sejarah. Salah satunya, adalah gunongan dan taman yang diperuntukan kepada putroe phang atau putri pahang, atau indatu dari Tunku Hajjah Azizah yang berstatus sebagai Putri Pahang saat ini.

”Makanya saya senang datang ke Aceh karena ada taman yang dibuat khusus di sini,”canda Tunku Hajjah Azizah di sela-sela makan.

Selama seminggu di Aceh, lanjut dia, dirinya menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak, termasuk Pemerintahan Aceh. Dan selama seminggu pula, banyak pihak yang mengaku keturunan sultan mencoba jumpai dengannya.

Setelah melalui berbagai pertemuan tersebut, terutama dengan pakar sejarah yang ada di Aceh. Dirinya mengaku baru bisa menyimpulkan siapa keturunan murni dari Sultan Aceh yang terakhir. Sosok tersebut adalah Tuanku Raja Yusuf.

Sosok Tuanku Raja Yusuf adalah cucu murni dari Sultan Muhammad Daud Syah. Namun anehnya, keberadaan sosok ini terkesan sengaja dihilangkan dari cacatan sejarah Aceh. Masyarakat di Aceh seharusnya lebih mengetahui sejarah bangsanya dibandingkan dengan warga luar seperti dirinya.

Anehnya lagi, masyarakat Aceh saat ini justru lebih mengenal jabatan Wali Nanggroe ketimbang cucu sultan yang sah.

Kerajaan Aceh dengan Pahang, lanjut dia, memiliki hubungan sejarah yang paling emosional. Hubungan ini tidak hanya terjadi karena perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Putri Pahang.

Hubungan Aceh-Pahang sudah terjalin sejak abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Kerajaan Pahang atau Pahang Darul Makmur merupakan salah satu negara bagian di Malaysia.

Sebagian besar negeri Pahang diselimuti hutan dan sebagian besar Taman Negara terletak dalam negeri Pahang. Pahang merupakan sebuah negeri ber-raja.Wujudnya negeri Pahang adalah sebelum wujudnya kerajaan melayu Melaka. Pahang mempunyai susur galur tamadun yang panjang, sejak dari zaman pra-sejarah lagi. Dahulunya kerajaan Pahang digelar Inderapura.

Negeri Pahang Darul Makmur ialah sebuah negeri yang terbesar di Semenanjung Tanah Melayu dengan luas 35.515 kilometer persegi. Kemasyhuran dan kehebatan namanya pada masa lalu menjadi rebutan kerajaan yang ada di sekelilingnya. Pada masa ini Pahang adalah negeri di Semenanjung yang terbagi atas sebelas daerah yaitu Kuantan, Pekan, Rompin, Maran, Temerloh, Jerantut, Bentong, Raub, Lipis, Cameron Highlands dan Bera. Sedangkan penduduknya pula terdiri dari berbagai kaum dan bangsa.

Sebenarnya, bagi orang Aceh, negeri Melaka (Malaysia-red) atau kerajaan Pahang khususnya, tidaklah asing. Kerajaan Aceh Darussalam bahkan pernah terlibat dalam perang dengan Portugis selama 130 tahun (1511-1641) hanya untuk membebaskan daerah tersebut dari jajahan Portugis.

Menurut sejarah Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dengan armada Cakra Donya-nya berhasil membebaskan Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu dari penjajahan Portugis dan menjadi bagian dari kerajaan Aceh. Laksamana Malem Dagang berhasil mempersatukan wilayah Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu. Disinilah kemudian terbangun kampung etnis melayu di Aceh dan kampung Aceh di Pahang.

Hubungan Aceh dengan Pahang kemudian dilanjutkan pada masa sultan Muhammad Daud Syah. Dimana, disaat ibukota Aceh dipindahkan ke daerah Keumala di Pidie, Sultan Abubakar yang menjadi Raja Pahang pada saat itu, pernah beberapa kali mengirimkan utusan ke wilayah Keumala. Tujuannya, untuk memperkuat hubungan antar kedua kerajaan.

”Selaku keturunan Sultan Abubakar, saya juga ingin kembali memperkuat hubungan dengan Aceh,”tandas perempuan yang memiliki gelar Kebawah Duli Yang Teramat Mulia Tengku Puan Pahang, usai menjelaskan panjang lebar.

Sementara itu, bagi Tuanku Raja Yusuf, diakhir jamuan makan, mengaku dirinya tersanjung dengan keterangan dari Kesultanan Pahang Malaysia. Menurut dia, posisi dirinya dan keluarganya saat ini sangatlah tidak sebanding jika disandingkan dengan keluarga kesultanan Pahang.

”Rakyat Pahang masih mengakui raja mereka. Namun disini sudah tidak berlaku lagi,”tutur tuanku Raja Yusuf.

”Saya ini telah lama menjadi rakyat biasa, bahkan sejak lahir. Saya juga tidak mau mengaku-gaku sebagai keturunan sultan demi mendapatkan kemegahan dan ketenaran. Silahkan saja, orang lain yang mengaku. Tapi, atas kehormatan yang diberikan Kesultanan Pahang Malaysia, saya ucapkan ribuan terimakasih,”ungkap Raja Yusuf lagi.

Dalam pertemuan ini juga dihadiri keluarga dari pihak Kerajaan Pahang lainnya dan kelurga dari Tuanku Raja Yusuf, serta didampingi oleh Tuanku Maimun serta Tuanku Aswan, cucu dari Teuku Hasyim Banta Muda yang pernah menjadi Wali Nanggroe sewaktu Sultan Muhammad Daud Syah masih kecil.

Kerajaan Pahang juga mengundang para keturunan Sultan untuk mengunjungi pihaknya dalam waktu yang dekat ini. Namun undangan ini tidak dapat langsung dijawab oleh Tuanku Raja Yusuf. Pasalnya, pria yang berstatus PNS biasa disalah satu dinas tingkat Provinsi Aceh ini mengaku masih memiliki tanggungjawab yang besar pada negara ini.

”Undangan ini sangat memuliakan kami sekeluarga. Kami pasti memenuhi undangan ini, tetapi tidak dalam waktu dekat. Soalnya, saya sekarang adalah abdi negara biasa,”pungkas dia.


Keturunan Sultan Dan Rupiah
Sementara itu, Menurut M. Adli Abdullah, Mantan Panglima Laut Aceh, yang juga gemar menulis tentang sejarah Aceh, yang hadir dalam pertemuan dua kerabat raja tersebut, mengaku bahwa keberadaan sejumlah pihak yang mengaku keturunan sultan terakhir memang sering terjadi. Faktor ini dikarenakan kemuliaan dan rupiah yang melimpah yang dapat mereka peroleh dengan prilaku tersebut.

”Banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai keturunan sultan terakhir dan wali saat ini. Ini semua dilakukan untuk kepentingan politik pihak tertentu yang unjung-unjungnya adalah memperoleh rupiah,”tutur Dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Menurutnya, tindakan dari Kerajaan Pahang yang sengaja mencari keturunan murni dari sultan terakhir Aceh adalah suatu hal yang langkah. Dimana, cara ini justru tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah Aceh sendiri, selaku kaki tangan dari pemerintah pusat di Jakarta.

Selama puluhan tahun, lanjut dia, rakyat Aceh diharuskan hidup ditengah-tengah kebingungan dan ambisi pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai daerah ini walaupun harus menghapus cacatan sejarah bangsanya. Faktor ini kemudian berimbas dengan hilangnya pengakuan rakyat terhadap kesultan Aceh, serta beralih ke wali nanggroe.

”Rakyat Aceh seharusnya mengambil contoh dari sikap negeri pahang. Dimana, mereka tidak lupa akan sejarah bangsanya dan sejarah daerah mereka dengan Aceh,”ungkap dia.

Sementara itu, menurut penulis, dalam cacatan sejarah Aceh, posisi Wali Nanggroe sebenarnya diperuntukan untuk orang tertentu ketika daerah ini sedang terjadi krisis atau perperangan. Namun ketika Aceh sudah kembali aman seperti sekarang, maka seharusnya posisi wali dengan sendirinya menjadi gugur dan daerah ini dikembalikan pada sultan atau pewarisnya.Namun, yang berlaku di daerah ini, malah sebaliknya sehingga nasibnya kian tidak jelas hingga kini.

Selasa, 05 April 2011

Calon Mantu


Sudah dua hari terakhir ini, Yusuf tampak uring-uringan. Wajahnya sering cemberut dan tampak pucat. Sang orator ulung kala masih berstatus mahasiswa ini juga sering kali terlihat sedang melamun di kamar rumahnya, di Tangse. Wak Dirman dan Nek Laila-pun jadi ikut-ikutan sedih ketika melihat anak semata wayangnya itu berperilaku seperti orang tidak waras.

”Si gam kita, mungkin ingin segera dikawinkan pak ?”celetus Nek Laila kegirangan pada suaminya, Wak Dirman. Sedangkan sang suami yang bernama asli Sudirman itu masih tetap cemberut. Pasalnya, dia masih gak yakin kalau anak semata wayangnya yang masih berumur seperempat abad itu udah ingin cepat-cepat melangkah ke pelaminan seperti teman-temannya yang lain.

”Apanya yang tidak yakin ? Toh, waktu kita menikah dulu, bapak berumur 20 tahun. Jauh lebih muda 5 tahun dari usia Yusuf saat ini kah ?”tanya Nek Laila lagi, seperti mengerti apa yang dipikirkan oleh suaminya.

”Dulu, waktu bapak ingin nikah sama saya, kata ibu, bapak juga sering melamun di kamar. Hampir semua sisi kasur, bapak sobek ketika keinginan bapak belum dipenuhi oleh orang tua. Nah, kini si gam mempraktek hal yang sama yang pernah dilakukan oleh ayahnya. Kok itu aja tidak dipahami sie ?”tambah Nek Laila lagi.

Dikatakan begitu, Wak Dirman jelas cemberut. Dia sebenarnya agak risih ketika isteri tercintanya tersebut mengungkit perilaku-nya di masa lalu. Prilakunya untuk mendapatkan Nek Laila sebagai isteri, memang boleh dikatakan, sedikit kekanak-kanakan, jika di ingat pada saat ini.

Sedangkan Nek Laila sendiri, sebenarnya sudah sangat mengharapkan rumahnya diisi kembali oleh suara bayi. Ya, dia sudah sangat mengharapkan Yusuf untuk segera menikah dan memberikannya seorang cucu.

Dirinya, dulu juga terpaksa harus menunggu 15 tahun lamanya hanya untuk mendapatkan seorang bayi bernama Yusuf. Pada awal-awal pernikahannya dengan Wak Dirman, dia sering kali keguguran sehingga diharuskan menunggu waktu yang lama untuk boleh mengandung lagi.

Nah, di usianya yang tergolong senja, atau 58 tahun. Dia sangat mengharapkan impiannya itu segera terwujud. Apalagi, Yusuf tergolong pemuda yang cerdas dan taat agama. Yusuf pun kini sudah berstatus PNS, sehingga bisa dengan mudah menaklukan hati seorang Mertua.

”Mikir apalagi sie pak ? tidak mau kan Yusuf jadi lajang tua ? toh, banyak pemuda sebayanya yang belum memiliki pekerjaan pun sudah menikah,”ungkap Nek Laila lagi setelah sekian lama menunggu jawaban dari suaminya, tetapi tidak juga muncul.

Mendengar harapan besar dari istri tercintanya tersebut, Wak Dirman sebenarnya juga berkeinginan yang sama. Namun dia, tidak ingin bertindak sebagai orang tua yang otoriter seperti masa-masa Siti Nurbayah di Sumantra Barat. Tetapi, disisi lain, dirinya juga takut menanyakan perihal calon pasangan yang telah disensor oleh Yusuf selama ini. Takut dikatakan mengintervensi sang anak. Jadi, dirinya merasa serba salah.

Setelah sekian lama dia berpikir, Wak Dirman pun akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Dia memutuskan pergi ke halaman rumahnya, kemudian melirik kiri kanan, serta kembali lagi ke ruang tamu. ”Dimana diparkirkan sepeda bapak ?”tanyanya tiba-tiba pada Nek Laila. Sang istri yang dari tadi melamun dan tidak melihat sang suami keluar-pun terkejut.

”Sepeda Onthel bapak dimana mak?”ulang Wak Dirman lagi. ”Oh, di belakang rumah pak. Tadi di pinjam si Amin, dan pas dikembalikan, ibu bilang suruh parkir di belakang saja,”jawab Laila hingga Wak Dirman pun bergegas ke lokasi yang dituju.

Sebelum menaiki sepeda antiknya itu, Wak Dirman memeriksa dengan seksama. Siapa tahu, ban sepeda bocor atau ada yang rusak, pikir dia. Namun ternyata hal itu tidak terjadi, Wak Dirman pun mengayuh sepedanya dengan pelan meninggalkan rumahnya.

”Pak mau kemana ? pembicaraan kita belum selesai ?”seru Nek Laila dari ruang tamu hingga membuat Wak Dirman menghentikan sepeda tiba-tiba. ”Ini mau tanya solusi pada ahlinya,”jawab dia. Jawaban ini membuat Nek Laila berkerut kening, ’Pada ahli ?.

****

”Jadi kalian yakin, si Yusuf hingga hari ini belum punya calon ?”selidiki Wak Dirman di pos ronda, yang menjadi tempat mangkal para pemuda desa. Dua orang yang selalu menghabiskan waktunya disana, adalah Maimun dan Syahrul. Mereka adalah teman akrab Yusuf sejak SD, namun bedanya mereka berdua sudah menikah.

Kebiasaan di kampung, jika seorang pemuda yang sudah remaja, pasti akan cepat-cepat dinikahkan orang tuanya bila udah punya dambaan hati. Takut, terjerumus dalam perbuatan maksiat, kata mereka.

”Yakin wak,”jawab Maimun. ”Iya yakin, soalnya dia pernah pacaran sekali waktu SMA sama anak kampung sebelah, namun gagal. Sampai hari ini, dia belum berani lagi deketi cewek, padahal kami selalu mengcomblangi dengan hampir semua anak gadis yang ada di desa kita,”tambah Syahrul lagi.

”Kami comblang sama anak pak Daud, yang baru mendapatkan gelar sarjana di Banda Aceh, katanya terlalu hitam. Terus, pas di deketi dengan si Maisarah, cucunya Pawang Ramli yang berkulit putih mulus, kata Yusuf, belum sarjana. Jadi, dia tetap ada alasan untuk gak mau,”sambung Maimun. Wak Dirman pun cuma mengangguk kecil.

”Pernah sie dia kesemsem dengan si Yanti, anak pak Sekdes kita. Tapi sayangnya, malah si Yanti yang gak mau sama Yusuf. Orangnya cantik, kulit putih, serta berstatus perawat di Pukesmas kecamatan pula,”jelas Syahrul lagi.

Pertemuan mereka dengan Wak Dirman ini, ternyata dijadikan sebagai ajang pelampiasan kekesalan Syahrul dan Maimun, pada Yusuf. Dia memang terhitung unik dan lain dari yang lain, sejak SD dahulu kala.

Sejak dulu, Yusuf memang tergolong pria yang sensitif terhadap persoalan-persoalan yang bersifat pribadi, begitu juga yang berhubungan dengan pasangan hidup.

Yusuf juga orang yang sangat pemilih. Ini terbukti dari kasus terakhir, ketika Syahrul dan Maimum memilih menikah dengan gadis pilihan orang tuanya yang pas-pasan. Yusuf malah menolak dengan alasan belum menemukan dambaan hati yang cocok dengan seleranya. Namun tentu saja bukan karena kelebihan fisik yang dicari, tetapi juga kecantikan hatinya alias baik budi dan sopan santun.

Tapi, menurut Syahrul dan Maimun, wanita yang cantik lahir dan batin, tentu susah dicari di akhir zaman ini. Wanita seperti itu, dinilai cuma ada dalam film-film. Dan yang berhasil mendapatkan wanita yang ’sempurna’ dengan kriteri seperti tadi cukup sulit, dengan perbandingkan satu perseribu. Imbasnya, jadilah Yusuf seperti sekarang, tidak juga laku-laku.

Kembali pada sosok Wak Dirman yang dari tadi belum juga menemukan solusi menyangkut masa depan anaknya. Dia tampaknya hanya mampu menarik nafas dalam-dalam. Yusuf boleh saja pernah jadi aktivis kampus di Unsyiah, namun untuk urusan asmara, sepertinya dia masih harus banyak belajar dari ayahnya, pikir Wak Dirman.

”Yusuf harus di Samsul Bahri-kan segera rupanya,”ungkapnya singkat. Maimun dan Syahrul yang mendengarkan hal ini, jelas melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh ayahnya teman akrab mereka tersebut. Namun Wak Dirman sendiri tidak punya waktu untuk menjelaskan hal ini. Dia langsung menderet sepeda ke arah balai desa.

***

Tanggal pernikahan Yusuf akhirnya ditetapkan. Dia akan dinikahnya pada 12 Desember depan. Kabar bahagia ini langsung menyebar cepat hingga pelosok kampung, dan tentu juga sampai ke telinga Maimun dan Syahrul.

Kedua sahabat Yusuf ini, jelas saja terheran-heran mendengarkan kabar heboh tersebut. Pasalnya baru seminggu lalu, Wak Dirman menanyakan persoalan tersebut pada mereka. Lebih shocknya lagi, calonnya Yusuf tersebut adalah Yanti, anak pak Sekdes.

”Kok bisa ya ? bukannya Yanti berkali-kali pernah menolak si Yusuf mentah-mentah. Tapi kok sekarang tiba-tiba jadi mau,”tanya Maimun pada Syahrul.
”Aku juga tidak habis pikir. Kok bisa jadi begini,”tutur Syahrul lagi merana akibat merasa kalah saing sama Yusuf.

Jika jadwal pernikahan Yusuf membuat Syahrul dan Maimun cemberut, tidak demikian dengan calon pengantin itu sendiri. Sifat Yusuf yang dulunya suka cemberut kini hilang total. Sejak Yanti mau jadi calon isterinya, kini dia malah sering terlihat tertawa. Parahnya, Yusuf kadang-kadang tertawa tidak sadar tempat, baik di warung makan, lapangan bola hingga WC. Penduduk di kampung mulai berbisik-bisik, kalau Yusuf di santet orang yang tidak suka dirinya menikahi anak pak Sekdes.Yang disusahkan dari peristiwa ini, tentu saja Nek Laila dan Wak Dirman, hehehe.

Jumat, 25 Maret 2011

‘Bom Waktu’ di Tangse


Pergunungan Tangse kini menyimpan ’bom waktu’ yang mungkin akan kembali ‘menelan’ korban jiwa dalam jumlah yang lebih di masa yang akan datang. Salah satu sebabnya, adalah perilaku illegal logging yang menyebabkan banjir bandang di daerah tersebut, kamis (10/3) lalu.

Jauh sebelum kenjadian tersebut, nama Tangse sebenarnya sudah cukup tenar di kalangan masyarakat Aceh dan Sumatra pada umumnya.Tangse adalah nama salah satu kecamatan di kabupaten yang terletak di dataran tinggi.Daerah tersebut juga menjadi jalur transfortasi alternatif bagi masyarakat pesisir barat-selatan.

Keindahan alam Tangse yang masih sangat alami dengan dedaunan yang hijau memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan lokal dan mancanegara. Selain karena daerah itu dikenal sebagai penghasil beras kualitas unggul dan juga penghasil buah durian yang produktif.

Kecamatan Tangse sejak dahulu sebenarnya telah menjadi produsen utama beras terbaik bagi Aceh dan Sumatra Utara. Kualitas padi seperti yang tumbuh dan bersemai di daerah itu, sulit tumbuh di daerah lain biarpun memiliki kadar air yang sama.

Namun, musibah banjir bandang yang terjadi di daerah tersebut, Kamis malam (10/3) lalu, sedikitnya telah mengubah imej daerah. Dari daerah yang dulunya dikenal sebagai objek wisata alam nan indah. Kini, menjadi salah satu daerah yang rawan terhadap bencana alam di masa yang akan datang.

”Kami masih was-was dan ketakutan untuk terus menetap di Tangse. Daerah ini masih menyimpan ‘bom waktu’ yang siap kembali ‘menelan’ korban jiwa. Keselamatan warga di Tangse menjadi taruhan karena ulah oknum yang tidak bertanggungjawab yang terus melakukan penebangan liar,”ungkap Sulaiman, 36, salah seorang petinggi Desa Rantau Panyang, kepada penulis, beberapa waktu lalu.

Argumen adanya ‘bom waktu’ di Tangse, menurut Sulaiman, sangatlah beralasan. Pasalnya, pergunungan di daerah itu kini sangat rentan dengan musibah longsor ketika musim hujan tiba. Jika hal ini, maka jumlah korban diperkirakan akan jauh lebih besar dari musibah banjir bandang yang telah menimpa daerah mereka, beberapa waktu lalu.

Lanjut dia lagi, pasca musibah, tanah di pergunungan Tangse kian labil. Tiap sudut di pergunungan ini, juga sudah terdapat sejumlah cela seukuran paha orang dewasa yang mungkin akan runtuh dalam waktu dekat ini. Parahnya lagi, sejumlah cela tersebut terdapat disejumlah titik yang memang didiami oleh masyarakat setempat.

”Masyarakat, mau tidak mau harus ekstra hati-hati. Kami tidak bisa pindah, karena inilah rumah kami,”papar Sulaiman.

Apa yang diungkap oleh Sulaiman ini, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang diutarakan oleh Hamdani, 32, warga Peunalom. Kekhawatiran akan adanya bencana yang lebih besar di masa yang akan datang, diakuinya, kini sedang menghantui warga di Tangse.

Hal inilah yang dinilai menjadi kecemasan para masyarakat pengungsi untuk kembali ke desa masing-masing guna melaksanakan aktivitas seperti bisa.

”Dulu, banyak orang tua di kampung yang mengatakan jangan memotong kayu sembarangan karena akan menyebabkan banjir, tapi malah ditertawakan. Kini, hal itu terwujub,”ucap dia disela-sela membersihkan kayu gelondongan yang menimbun badan jalan desa.

Kata dia, pergunungan Tangse sejak dulu memang dikenal dengan daerah yang cocok bagi pertanian. Hal ini disebabkan kondisi tanah disana yang tergolong lembut serta lunak dengan mata cangkul petani. Selain itu, tingginya debit air dipergunungan Tangse juga menyebabkan daerah tersebut menjadi subur bagi tanaman pangan.

Sayangnya, kondisi tersebut ternyata salah dimanfaatkan oleh para oknum, yang sering melakukan pembalakan liar. Sejumlah perpohonan besar yang seharusnya dipeliharan guna mengikat air hujan di dalam tanah juga dipotong secara sembarangan. Efeknya, sebahagian besar perpohonan besar di pergunungan Tangse menjadi hilang sehingga berimbas dengan terjadinya banjir bandang.

”Kini, masyarakat yang tidak tahu apa-apa yang menjadi korban. Musibah ini akan menjadi pelajaran penting bagi masyarakat Tangse dalam berladang ke depan,”lirik Hamdani.

Pengakuan dua warga ini setidaknya memberikan gambaran tentang kondisi Tangse pasca banjir bandang. Fenomena ini juga perlu segera disikapi secara arif dan bijaksana oleh pemerintah daerah setempat, sehingga dapat segera dilakukan langkah penanggulangan yang tepat agar bencana alam tidak lagi ’memakan’ orang disana.

Harga mahal dari sebuah kesalahan
Palang Merah Indonesia (PMI) mencatat dari 12 desa yang terkena dampak banjir bandang, terdapat 6350 jiwa mengungsi. Para pengungsi ini berasal dari Desa Layan sebanyak 702 warga, Blang Dalam dengan 598 warga, Penalom Sa dengan 1031 warga, Ranto Panyang 1005 warga, Blang Jeurat dengan 846 warga, Pulo Baro dengan 1029 warga, Blang Bungong 863 warga, Krueng Meriam 1114 warga, Peunalo dua 1015 warga, Blang Pandak 1237 warga, Blang Dhoot 1741 warga dan Keude Tangse 809 warga.

Selain itu, juga terdapat kerugian harta benda seperti 311 rumah rusak berat dan 163 rusak ringan, 1 unit sekolah, 2 puskesmas dan 5 tempat ibadah rusak ringan dan 6 tempat ibadah rusak berat dan 15 jembatan rusak berat.

Sedangkan jumlah korban jiwa jiwa yang meninggal dalam bencana alam tersebut berjumlah belasan orang. Sedangkan puluhan lainnya mengalami luka-luka ringan akibat terkena kayu yang diseret arus dalam banjir bandang.

Tidak hanya itu, jalan utama kecamatan yang menghubungkan antara Kecamatan Geumpang dengan Tangse juga sempat terputus akibat musibah tersebut. Padahal, keberadaan jalan tersebut sangatlah penting bagi sejumlah warga Geumpang dalam membawa hasil pertanian mereka ke pusat ibukota kabupaten untuk ditukar dengan rupiah.

Dalam beberapa waktu, penduduk di Kecamatan Geumpang juga dikabarkan sempat terisolir sehingga mengakibatkan harga barang di daerah tersebut mengalami kenaikan. Hampir seminggu pasca kenjadian, masyarakat disana terpaksa menempuh jarak yang relatif lebih jauh dalam membawa hasil bumi mereka ke Banda Aceh.

”Kami terpaksa memakai jalur Calang via rakit selama seminggu untuk membawa hasil bumi. Biaya perjalanan yang harus dikeluarkan jauh lebih tinggi,”ungkap salah seorang warga Geumpang.

Kerugian akibat banjir bandang Tangse diperkirakan mencapai ratusan miliar. Jumlah ini cuma perkiraan sementara karena banyaknya infrastruktur yang belum mampu di data.

“Perkiraan kami sementara kerugian akibat musibah ini tidak kurang dari Rp120 miliar, mengingat banyak sekali infrastruktur yang rusak,” kata Camat Tangse, Jafaruddin, kepada penulis, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, sekira 150 hektare lahan persawahaan warga juga rusak akibat banjir bandang. Lahan yang kini dipenuhi lumpur dan batang kayu itu sebagian besar sedang dalam proses memasuki musim tanam.

Banjir Tangse juga dilaporkan telah merusak sejumlah kebun warga yang ada di kaki pegunungan. Warga Tangse umumnya bekerja sebagai petani kebun dengan menanam kakao, kopi, durian, rambutan, dan lainnya sebagai sumber ekonomi.

Diperkirakan hampir ribuan warga Tangse kan akan kehilangan pekerjaan jika lahan-lahan pertanian itu tak segera direhabilitasi. Sedangkan untuk proses rehabilitasi diperkirakan memakan yang relatif lama mengingat banyaknya tingkat kerusakan yang masih dalam tahap pembenahan. ”Hal ini perlu segera ditangani akan sendi perekonomian warga dapat kembali hidup,”ungkap camat.

Tidak hanya itu, Asep Iwan Sugiana, Kepala Markas PMI Aceh, menambahkan masyarakat yang selamat dari banjir bandang juga menuai permasalah di tempat pengungsian. Permasalahan klasik tersebut, adalah kurangnya pasokan air bersih bagi warga.

“Untuk mengurangi dampak risiko seperti belum adanya air bersih untuk kebutuhan masyarakat dan terbatasnya jaringan komunikasi, PMI Aceh menindaklanjuti dengan mengirimkan 16 relawan dan staf yang tergabung dalam tim logistik, water sanitation (watsan) dan radio komunikasi,”papar dia.

Menurut penulis, jumlah angka-angka di atas, sebenarnya sangatlah tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan oleh segelintir oknum dari penghasilan ilegal logging. Penduduk juga dipaksa untuk merasakan pahitnya musibah yang tidak seimbang dengan keuntungan yang mereka peroleh.

Namun, amukan alam yang terjadi, Kamis (10/3) lalu, haruslah menjadi pelajaran penting bagi semua. Musibah seperti ini bukan tidak mungkin menimpa sejumlah daerah lainnya di Aceh nantinya, jika tata pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) tidak segera diperbaharui.

Pemerintah Aceh seharusnya dapat lebih jeli dalam melihat kondisi daerah ini pasca banjir Tangse. Pasalnya, Provinsi Aceh merupakan daerah yang paling rentan dengan bencana alam pasca gempa dan musibah tsunami yang menimpa daerah ini pada 26 Desember 2004 lalu.

Selain itu, bencana alam berupa banjir bandang seperti yang terjadi di Tangse juga bukanlah musibah alam yang pertama yang menimpa Aceh. Artinya, kesiapan dan kewaspadaan dari Pemerintah Aceh dan badan terkait, terhadap bencana alam harusnya jauh lebih.

Pemerintah Aceh juga perlu meningkatkan sosialisasi tentang bahaya bencana alam bagi masyarakat serta dampak dari perilaku pembalakan liar. Jangan sampai, kasus yang terjadi di Tangse kembali berupa di tempat lain dengan jumlah korban yang jauh lebih besar.

Sedangkan untuk penanganan khusus gunung Tangse pasca banjir perlu perhatian dari semua pihak. Kesadaran tersebut penting akan longsor yang dikhawatirkan oleh warga setempat tidak terjadi.

 
Free Host | lasik surgery new york