Rabu, 28 April 2010

Menggugat Untuk Kartini


Tanggal 21 April diperingati dan dipersembahkan rakyat Indonesia untuk pahlawan emansipasi wanita se-Nusantara.Peringatan tersebut kian menjadi perdebatan menarik oleh para aktivis. Kalangan sejarahwan juga semakin banyak yang menggugat 21 April untuk Kartini.

Berdasarkan biografi Kartini yang ditulis oleh Mr.J.H Abendanon, teman pena nya di Belanda. Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kota Rembang.

Menurut biografi itu, Ia (kartini-red) adalah anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah memiliki tiga istri.

Dibeberapa sumber, posisi Kartini disini juga dikabarkan tidak pernah menikah dengan secara sah dengan suaminya tersebut, tetapi Mr.J.H Abendanon, sahabatnya di Belanda tersebut, mengatakan Kartini telah menikah pada tanggal 12 November 1903.

Kartini kecil, dikabarkan sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).

Membaca akhirnya menjadi kegemarannya, tiada hari dikabarkan tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa, terutama Belanda. Hal inilah yang disinyalir menumbulkan keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia.

Menurutnya, wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Dia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda, salah satunya kepada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang.

Suaminya, dikatakan dalam biografi tersebut, mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Dengan ketenarannya ini dikabarkan tidak membuat Kartini menjadi sombong.


Pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya.

Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Dari cerita inilah Kartini kemudian diangkat menjadi pahlawan wanita nomor satu di Nusantara dengan mengensampingkan pahlawan wanita lainnya, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Ratu Safiatuddin, serta R. Dewi Sartika yang juga mendirikan sekolah-sekolah bagi anak perempuan di daerah Pasundan pada tahun 1904.

Hal jugalah yang dinilai menjadi dasar gugatan terhadap Kartini yang terlalu diagung-agungkan oleh masyarakat ‘wong jowo’. Padahal, biografi Kartini ini dinilai terlalu di ‘hiperbola’kan oleh sahabatnya (Mr.J.H Abendanon-red), seperti memakai kata-kata tidak pernah berhenti membaca.

Jika kita menarik benang merah terhadap mata rantai kehidupan Kartini yang sebenarnya. Dua hal yang bisa dianggap menarik dari kehidupannya adalah mendirikan sekolah wanita dan proses penikahannya dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat. Ketenaran Kartini sendiri, baru diketahui oleh masyarakat luas, setelah adanya buku Door Duisternis Tot Licht.

Dengan kata lain, tulisan Mr.J.H Abendanon lah yang sebenarnya mampu menghipnotis publik sehingga bisa mencintai seorang Kartini.

Kartini Versus Cut Nyak Dhien

Jika kita mau membandingkan posisi Kartini dengan beberapa pahlawan wanita asal Aceh, seperti dengan Cut Nyak Dhien. Maka penempatan 21 April sebagai hari Kartini, jelas sebagai sebuah kesalahan.

Cut Nyak Dien lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Dia hadir hampir setengah abad lamanya sebelum ‘Wong Jowo’ mengenai Kartini.

Ayahnya Cut Nyak Dhien bernama Teuku Nanta Seutia, yaitu ulee balang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.

Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Cut Nyak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama.

Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, dia memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.

Tokoh ini dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir. Cut Nyak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Cut Nyak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya.

Perasaaan Cut Nyak Dien terasa hancur setelah kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut.

Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.

Keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia,

“Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).

Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang.

Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Cut Nyak Dien menjadi sangat marah.

Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.

Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.

Cut Nyak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.

Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.

Di Sumedang tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.

Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.

Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu (Cut Nyak Dien-red) tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.

Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, hingga dia meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.

Perjuangan Cut Nyak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

‘Kurang’ Kartini Dan ‘Lebih’ Cut Nyak Dhien

Dari perbandingan tadi, sebenar dengan jelas terlihat penempatan kondisi yang hampir sama antara Kartini dengan Cut Nyak Dhien. Namun sosok Cut Nyak Dhien-lah yang mengambil langkah tegas dan kuat dalam menyingkapi permasalah yang terjadi.

Pertama, Baik Kartini maupun Cut Nyak Dhien, sebenarnya adalah putri dari kaum ningrat. Namun di sepanjang hidupnya, sosok Kartini tidak pernah hidup kelaparan dan ‘bermain’ dengan peluru. Sebaliknya, Cut Nyak Dhien adalah putri dari golongan ningrat yang selalu berseteru di medan perang dan bersama dengan rakyat menghadapi penjajahan.

Kedua, perjuangan kartini yang dianggap berhasil adalah mendirikan sekolah wanita, tetapi atas dukungan dana dari suaminya Raden Adipati Joyodiningrat. Kondisi ini berbeda dengan Cut Nyak Dhien yang tetap berjuang walau kedua suaminya telah tiada.

Ketiga, Cut Nyak Dhien juga tidak pernah hingga menghembus nafas yang terakhir. Sedangkan Kartini hidup di dalam lingkungan pemerintahan yang kuasai oleh Belanda, serta tidak pernah berbicara tentang kesengsaraan rakyat yang diakibatkan oleh ulah Belanda.

Keempat, Cut Nyak Dhien memulai perjuangan menegakan emansipasi wanita dengan tulisan, semangat hingga raganya. Sedangkan kartini cuma bisa merespon emansipasinya melalui surat menyurat, serta baru diketahui setelah adanya buku Door Duisternis Tot Licht.

Kelima, perjuangan Cut Nyak Dhien telah lebih dahulu lahir setengah abad sebelum kartini tahu apa itu emansipasi.

Dengan fakta-fakta seperti ini, seharusnya Pemerintah seharusnya dapat meninjau kembali peringatan Hari Kartini pada 21 April. Jika memang pahlawan lain, seperti Cut Nyan Dhien, Ratu Safiatuddin, R. Dewi Sartika, Cut Meutia, serta Rahma el-Yunusia di Padang tidak cocok diperingati sebagai hari bersejarah, maka sepatutnya hari kartini juga ditiadakan.

3 komentar:

Tinta adalah Senjata mengatakan...

hanya untuk bahan bacaan..

adi mengatakan...

Berarti selama ini info tentang kartini adalah propaganda belanda untuk meredam semngat melawan penjjahan seperti yang telah dilakukan wanita.2 hebat yang telah melakukan seperti Cut Nyan Dhien, Ratu Safiatuddin, R. Dewi Sartika, Cut Meutia, serta Rahma el-Yunusia dan buayak yang lain-nya ... ^,*

KasmaPLadjo mengatakan...

Menurut saya pribadi, para pejuang wanita kita tentunya melakukan perjuangan mereka tanpa pernah berfikir bahwa suatu saat kita(generasi setelahnya) akan meng-agungkan beliau. sebenarnya tidak tepat juga dikatakan meng-agungkan, namun penempatan 21 April sebagai tanda terima kasih dan penghargaan bangsa ini kepada beliau. disisi lain untuk pejuang kaum wanita yang lainnya juga tak kalah hebatnya, bahkan mungin perjuangannya lebih besar. tapi apapun itu, inilah kita sekarang, berada di masa ini dan menikmati hasil perjuangan mereka. olehnya itu, alangkah lebih baiknya jika kita tak lagi saling berau argumen mengenai siapa yang seharusnya lebih dikenal. bahkan baik dari merka pun (baik cut nyak dhien, kartini dll) tidak menginginkan kita saling beradu hanya untuk memutuskan siapa yang seharusnya...Untuk Indonesia, Mari kita saling berpegangan tangan, berjuang untuk masa depan bangsa dan generasi selanjutya. sejarah ada untuk mengajarkan kita tentang PENGALAMAN yang merupakan guru terbaik.

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york