Minggu, 28 November 2010

Saat Yang Waras ’Berguru’ Pada Yang ’Sakit’...!!


Wanita berkulit sawo mantang ini memiliki postur tubuh mungil. Wajahnya yang teduh, terlihat selalu dibasuhi dengan air wudhu. Mukena putih, kain sarung kusam serta sajadah cap ’bantuan’, terlihat sangat akrab dengan dirinya. Selang satu jam sekali, dia selalu meminta izin pada tamu yang hadir ke rumahnya, untuk membiarkan dia melaksanakan solat sunat.

Namun, sayangnya bukanlah faktor kealimannya itu yang membuat para tamu-tamu ini menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumahnya di Desa Gani Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Tamu ini datang, karena rantai dan gembok di kakinya.

Ya, Fatimah, 37, memang sedang menderita gangguan jiwa. Anehnya, perilaku ketidakwarasan Fatimah ini justru ditunjukan dengan sikap kerajinan solat.

”Sudah cukup dulu Fatimah, bapak-bapak ini ingin bicara dengan kamu sebentar,”ungkap Adnan, 45, suami dari wanita itu. Tapi bukannya menuruti, Fatimah terus melanjuti solatnya hingga enam kali salam, atau 12 rakaat.

Selesai solat, Fatimah baru mau kembali menyapa tamu-tamunya tersebut. Dia sepertinya memang mengerti akan maksud dan tujuan kedatangan dari para tamu-tamunya ini.

”Untuk apa bapak-bapak datang kemarin, saya kah sudah sehat?”ungkap dia. Pertanyaan ini menimbulkan kerutan kening di antara para tamu-tamu yang hadir. Para tamu ini adalah pegawai dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh.

”Bagaimana kami tidak datang kemarin..!! Fatimah dari tadi solatnya kebanyakan,”ucap sesosok tamu perempuan. Mereka, datang mewakili Pukesmas Ingin Jaya.

”Nyan sembahyang sunat buk..!! Dub nabi yang ka geujamin syurga mantong sembahyang sunat, apalagi geutanyoe. Bek peugah droe ureng sehat apabila hana sembahyang,”balas Fatimah. Yang hadir tersentak dengan jawaban dari sosok yang dianggap gila ini.

Melihat hal ini, seorang pria yang terlihat paling tua dari barisan tamu, akhirnya ’angkat’ bicara. Dia adalah Direktur RSJ Aceh, Saifuddin AR. ”Oke kalau begitu Fatimah ke sini saja. Ajari saya kitab ini,”ucap dia.

Mendengar permohonan ini, Fatimah terlihat senang. Diambilkannya kitab perukunan, yang berisi tentang hukum-hukum dalam beribadah, untuk dijelaskan pada pria tadi. Bacaan arab-jawinya sangat lancar, lengkap dengan arti dan penjelasan. Dia juga membetulkan beberapa tulisan yang kurang terang dalam kitab tersebut. Maklum, usia kitab itu sendiri, terlihat sudah hampir sebaya dengan Fatimah.

”Get that, sudah hamper sehat dia. Tapi kenapa juga kamu suka memukul anak-anak,”tanya Saifuddin kepada Fatimah. Pertanyaan ini tidak langsung dijawab. Fatimah menunduk. ”Nyan watee saket,”akui dia.

”Oke kalau begitu, kamu ikut kami ke RSJ ya, disana kita sama-sama belajar dan berobat nanti,”ajak saifuddin.

”Jet, asal bek kamar dhalia beh pak..!! kamarnya kotor, jadi lon hanjeut lon seumbahyang enteuk,”pinta dia. Permintaan ini langsung disambut tawa oleh tamu yang hadir.

Menurut Adnan, 45, suami pasien, penyakit yang diderita oleh isteri tercintanya ini, diakuinya sudah mulai terlihat di awal-awal perkenalan mereka (sebelum menikah-red). Namun karena cinta, dirinya mengaku tetap menikahi pasien hingga akhirnya dikaruniain lima anak yang kini sudah tumbuh dewasa.

”kalau sudah sakit (kumat-red) dia sering melakukan solat hingga belasan rakaat. Dia juga tidak mau meninggalkan solat lima waktu dan solat lainnya, namun saat berkomunikasi tidak nyambung dan sering memukul anak-anak tanpa sebab. Karena hal ini, makanya saya merantai dia,”ucap Adnan.

Menurutnya, gangguan jiwa yang diderita oleh isterinya ini dirasakan paling parah dalam dua tahun terakhir. Pasien sering berpergian ke daerah-daerah yang jauh dengan berjalan kaki, dan kadang-kadang membawa serta dua anaknya yang masih kecil.

Jika sedang waras, lanjut dia, pasien cuma berdiam diri di rumah dan tidak mau mengerjakan tugas apapun, termasuk pekerjaan rumah tangga. Imbasnya, semua pekerjaan tersebut terpaksa ditangani oleh dirinya dan putrinya yang paling tua, yang kini masih berstatus sebagai siswa kelas 2 SMA.

”Saya merantainya hanya untuk keamanan saja biar tidak mencelakai anak-anak kami. Saya ingin dia diobati hingga sembuh,”ucap Adnan lagi di hadapan Drs. H. Saifuddin, Kepala Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh, saat menjemput pasien di rumahnya.

Sementara itu, Saifuddin, Kepala Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh, mengatakan penjemputan pasien jiwa ini merupakan salah satu bagian dari deklarasi bebas pasung yang dicentuskan oleh Pemerintah Aceh selama ini. Dirinya juga berharap, setiap keluarga yang anggota keluarganya menderita gangguan jiwa, agar dapat segera diberitahukan kepada pihaknya.

”Ini agar Aceh terbebas dari perilaku pasung. Saat ini banyak penderita gangguan jiwa yang masih dipasung oleh keluarganya. Mereka masih malu jika hal ini diketahui oleh orang, padahal tidak demikian,”tandas dia.

Terlepas dari permasalahan tersebut, serta adanya anggapan gila terhadap sosok seperti Fatimah. Jawaban dari wanita itu sebenarnya amatlah logis untuk keadaan seperti sekarang. Alangkah aneh, ketika banyak orang yang saat ini mengaku waras, tetapi malah meninggalkan shalat. Sedangkan sosok seperti Fatimah sendiri, dicap gila. Namun keikhlasan dan senyum Fatimah seakan membiarkan hal ini terjadi

Selasa, 23 November 2010

Kapan Diwisuda?


“Undangan. Mohon kedatangan rekan-rekan, sahabat, dan kanda sekalian pada syukuran sarjana saya, Senin (18/10) di Mbak Moel Cafe, pukul 13.00 WIB. Kedatangan kawan-kawan adalah suatu kemulian bagi saya. Tertanda Maulinda”.

Tak terasa, SMS ini sudah belasan kali aku baca dan SMS ini pula yang membuatkanku tak bisa tidur. Nafas yang aku hembuskan juga terasa amat berat, tidak sebanding dengan berbagai persoalan kantor yang sedang menimpa diriku selama ini.

Ya, kegelisan memang sedang melanda diriku malam ini. Bukan hanya karena Maulinda adalah adik lettingku di Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah. Bukan juga karena dia termasuk salah satu mahasiswi yang pernah menyatakan cintanya padaku.

Bagiku, urusan asmara adalah persoalan kesekian dalam hidup ini. Hidup tanpa wanita juga akan memudahkan diriku untuk berkerja dan membiayain kuliah dua orang adik semata wayang yang sangatku cinta.

Sebenarnya ada sejumlah persoalan lain yang membuat diriku enggan untuk berjumpa dengan sosok eks mahasiswi tercantik di FKIP Sejarah Letting 2006 tersebut. Tapi sayangnya, jika aku tidak datang, aku juga tidak sangup melihat kekecewaan yang kesekian kalinya muncul di wajah pemilik senyum terindah yang pernah aku lihat itu.

”Datang ya bang! Mauli sangat berharap lho, supaya abang datang,” aku teringat ucapan Maya, melalui telpon tadi siang. Maya adalah kawan akrabnya Maulinda. Dia juga tahu segala persoalan yang pernah terjadi antara kami berdua.

Telpon itu yang mungkin menguatkan diriku untuk berani berhadapan langsung dengan Maulinda dan keluarganya. ”Ya sudah! Aku akan datang. Pagi hari ke kantor dulu untuk rapat redaksi, kemudian liputan sebentar dan baru ke acara Maulinda. Persetan dengan pertanyaan-pertanyaan itu,” gumamku akhirnya dalam hati.

Kuraih sarung untuk menutupi mata, tujuan agar cepat tertidur. Namun lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul dan dia seolah-olah berwujud seseorang yang terus berbisik di kiri kanan telinga. Ampun,,,,,!!
***

”Bang firman ya? Lama tak berjumpa ? Udah diwisuda bang?” berondong Siska dengan pertanyaan saat bertemu diparkiran Mbak Moel. Siska adalah pengurus himpunan di FKIP Sejarah. Dia, kalau gak salah adalah mahasiswi letting 2007.

.Deg, jantungku berbunyi. Ya tuhan, kenapa ketakutanku menjadi kenyataan.

”Belum, lagi nyusul dan memperbaiki beberapa mata kuliah yang dapat E. Insya allah tahun depan, kayaknya kelak,”ucapku mencoba memberi jawaban yang diplomatis sekaligus meyakinkannya.
”Jangan lama lagi lho bang, letting 2003 kah? Jangan sampai kami tinggali seorang diri di kampus nanti,”ucapnya lagi, dengan nada bercanda.

”Pasti, masak abang harus diwisuda dengan letting 2008, apa kata dunia!”candaku kembali. Siska terlihat tertawa lepas mendengarkan perkataanku.

Aku dan Siska kemudian memasuki Mbak Moel, tujuannya adalah untuk memenuhi undangan Maulinda. Ternyata pengunjung Mbak Moel memang sedang membludak, maklum cafe tersebut memang telah menjadi tempat favorit bagi para sarjana untuk mengelar hajatan dan syukuran karena telah mampu menyelesaikan pendidikan.

Aku mencari-cari Maulinda, tetapi sosok wanita anggun tersebut tidak juga aku temui. Beruntung, Siska sepertinya menemukan lokasi duduk mereka. Barisan sebelah kiri paling belakang, dekat dengan Mushala. ”Ayo bang, itu mereka,”tunjuk dia ke barisan beberapa mahasiswa yang sedang tertawa lepas. Tidak ada yang aku kenal.

”Yalah, merekakan rata-rata masih semester 5. Sedangkan aku, adalah mahasiswa Letting Tua alias Lettu yang belum selesai-selesai,”gumamku dalam hati lagi. Sebuah gelar yang membuat aku selalu tertunduk lesu saat bertemu dengan mahasiswa satu jurusan.

”Hei-hei, beri jalan, mahasiswa letting tua sedang berjalan kemari. Kalian harus hormat sama orang tua,”terdengar sebuah suara yang sangat akrab di telinga bergurau memecah kegembiraan. Duh, kiamat....!

Ihsan ternyata belum berubah dari dulu. Dia adalah mahasiswa satu angkatan dengan diriku. Bedanya dia sudah selesai pendidikan sejak awal 2007 lalu. Pria ini paling suka mencandain orang atau temannya sekalipun ditengah-tengah keramaian. Parahnya lagi, ternyata sosok pria hitam tersebut juga diundang dalam acara ini.

”Ternyata pak jurnalis masih ganteng seperti dulu. Mau ketemu dengan calon mertua ya pak ?”ungkapnya lagi. Serangan kata-kata darinya kali ini ternyata mendapat respon lebih heboh dari yang pertama. Lirikan mata mereka tertunjuk pada diriku dan sosok wanita berbaju merah jambu yang sedang tertunduk dan tersipu-sipu malu. Di sampingnya, ada wanita paruh baya yang juga tersenyum simpul penuh makna.

Ya tuhan, kapan ejekan ini akan berakhir...!!

***

Selasa pagi terasa jauh lebih baik. Biarpun semalaman hujan turun dengan lebat untuk membasahi bumi dan menuai banjir untuk beberapa daerah, tapi bagiku itu lebih baik daripada kenjadian Senin siang kembali terulang.

Senyuman Maulinda saat diriku meninggalkan acaranya juga masih membekas di ingatan. Dia berkali-kali minta maaf dan mengatakan senang atas kedatanganku. Dan, hal yang paling membuatku berperasaan campur aduk seperti sekarang adalah perkataannya yang terakhir saat mengantar diriku di prakiran. ”Saya masih menunggu abang. Bunda juga mendukung,”kata dia.

”Ah, sebaiknya aku lupakan saja harapan itu. Dia adalah anak seorang pejabat pemerintah, sedangkan aku, cuma jurnalis biasa dan mahasiswa abadi,” gumamku dalam hati sambilku teruskan menikmati udara pagi.

Pagi itu, bundaku tampak sedang menyapu halaman. Melihat diriku telah bangun, dirinya bergegas menyelesaikan pekerjaannya dan menghampiri diriku. Ya tuhan, aku sesungguhnya sudah tidak tega melihat sosok orang tua yang sangat kusayangi ini bekerja keras diusianya yang telah senja.

”Nasi sudah bunda siapkan di atas meja. Sana makan,”katanya singkat. Aku cuma mengangguk kecil dan bergegas masuk kedalam, di sana hanya kulihat setumpuk nasi putih serta telor mata sapi. Namun bagiku ini adalah menu termewah yang bisa kudapatkan di pagi hari, biasanya cuma nasi putih plus minyak goreng dan garam.

Segera kuambil piring dan sendok serta melahap hindangan tersebut.

”Fitri butuh uang untuk praktikum, katanya. Mamak bilang suruh bersabar dulu, soalnya abang belum gajian,”ucap bunda tiba-tiba di samping. Aku tidak tahu, sejak kapan bunda berada di samping. Namun informasi yang disampaikannya justru jauh lebih berarti.

Fitri, adalah adikku yang tertua. Dia saat ini sedang menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian Unsyiah. Dia sebenarnya seangkatan dengan Maulinda, namun keberuntungan ternyata belum memihak dirinya sehingga dia belum juga bisa menyelesaikan kuliahnya pada tahun ini. Tahun lalu Fitri terpaksa tidak aktif karena kekurangan biaya.

”Ya bun! Nanti Firman cari solusinya. Kan itu praktikum terakhir dia, jadi sayang kalau tertunda lagi. Bunda sampaikan saja, besok uangnya sudah ada sehingga dia tidak perlu cemas,”ungkapku menghibur bunda.

Wanita itu tampak tersenyum. Senyum inilah yang paling ingin ku cari selama ini. Senyum yang hilang pasca gelombang besar meluluh-lantakan daerah kami 5 tahun silam. Gelombang itu menewaskan ribuan orang di daerah ini, termasuk Abi.

Selesai makan, aku berpakaian dan hendak berangkat ke kantor. Namun sebelumnya, aku ingin berpamitan dulu dengan bunda. Sayangnya, sosok tersebut sedang tidak berada di dapur. Mungkin dia di rumah tetangga, pikirku. Akupun segera bergegasan ke sana.

”Muhammad, anak saya sudah selesai S2 lho, Buk Sukma. Dia akan segera pulang dari Malang. Kami berencana untuk membuat sedikit syukuran! Mohon dibantu ya,”ucap Tante Lis, tetangga samping rumah kami. Aku secara tidak sengaja mendengarkan pembicaraan ini.

”Oya, Muhammad kan satu angkatan dengan Firman? Dia masih kuliah?”selidik dia lagi. Mendengar hal ini, aku dapat menebak apa yang akan dijawab oleh bundaku.

”Masih kuliah, tapi belum selesai. Maklum harus kerja,”ucap bunda dengan nada yang dibuat-buat untuk tersenyum. Namun di balik itu semua, aku melihat sosok bunda saat itu sangat rapuh. Tanpa sadar, air mata ku turun membasahi muka. ”Mohon maaf bunda. Aku belum bisa mengwujudkan mimpimu.”

Melirik SDA Aceh Yang Masih Terabaikan


Daerah Aceh memiliki potensi sumber daya laut yang luar biasa. Namun sayangnya, cuma sedikit potensi alam ini yang mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Aceh. Sumber daya tersebut hingga kini masih terabaikan tanpa mampu dijamah keperawanannya oleh para ahli di daerah ini.

Di sektor perikanan, pesisir pantai Aceh memiliki panjang 1.660 km dengan luas perairan laut 295.370 km², terdiri atas luas wilayah perairan ( teritorial dan kepulauan ) seluas 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 238.807 km². Jenis ikan laut yang ditangkap: ikan kembung, layang, tongkol, tuna, dan tembang.

Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri perikanan tangkap di laut dan perairan umum (sungai, danau, waduk dan rawa-rawa) dan perikanan budidaya (ikan air payau di tambak, di kolam, ikan di sawah (mina padi) atau budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung, baik di laut maupun diperairan tawar).

Gempa bumi dan tsunami 2004 telah menyebabkan kerusakan besar di sektor kelautan dan perikanan. Produksi perikanan tangkap (kembung, laying, tongkol, tuna, dan tembang) pada 2005 sebanyak 109.152,2 ton, sementara produksi 2004 mencapai 140.780,8 ton.

Sedangkan produksi 2006 meningkat menjadi 154.000 ton. Potensi ikan tangkap di Aceh 1,8 juta ton.

Jika sektor perikanan Aceh mampu digarap secara maksimal, sektor ini sebenarnya mampu menyerap 257.300 tenaga kerja atau sekitar 51.460 kepala keluarga atau mencapai 31,68% dari 811.971 total tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian.

Potensi perikanan lainnya adalah budidaya rumput laut, kerapu, kakap, lobster dan kerang mutiara dengan potensi sebaran seluas ±12.014 ha,membentang mulai dari Sabang, Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeleu, sampai Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil. Pengembangan perikanan ini didukung oleh sebaran luas terumbu karang seluas ±274.841 ha, membentang mulai dari Sabang, Aceh Besar sampai pantai barat selatan Aceh.

Tidak hanya itu, Posisi Aceh juga berhadap langsung dengan lautan india yang merupakan sarang ikan tuna di dunia. Namun sektor ini ternyata belum mampu digarap maksimal oleh Pemerintah Aceh.

Sejumlah ikan tuna yang ditangkap oleh nelayan Aceh saat ini hanya ikan yang berada di daerah teritorial. Sedangkan tuna yang berada di laut lepas belum mampu sedikitpun dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh secara maksimal untuk kepentingan masyarakatnya.

Karena ketidakmampuan ini, keberadaan tuna akhirnya ’dijarah’ oleh nelayan dan pemerintah dari negara-negara tetangga. Sedangkan Aceh hanya menjadi penonton selama bertahun-tahun.

Parahnya lagi, Pemerintah Aceh saat ini bahkan belum mampu menyedikan pelabuhan yang dinilai layak untuk dijadikan tempat persinggahan kapal-kapal nelayan yang menangkap ikan tunas di lautan lepas. Kemudian, peluang inipun kini malah diambil alih oleh provinsi lain, seperti Muara Baru Jakarta. kondisi ini sangat memprihatikan sehingga perlu adanya pembenahan.

Bagi penulis sendiri, ada banyak hal yang perlu kembali didiskusikan ulang mengenai tata pembangunan bidang perikanan di Seramoe Mekkah.

Pelabuhan Standar Internasional
Provinsi Aceh dinilai belum memiliki satupun pelabuhan ikan yang berstandar internasional sebagai tempat merapatnya sejumlah kapal-kapal besar yang menangkap tuna di lautan india lepas. Kondisi ini dinilai sebagai satu peluang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara tidak sengaja telah dibuang oleh Pemerintah Aceh pada saat ini.

”Kita tidak memiliki satupun pelabuhan ikan yang layak disebut sebagai pelabuhan ikan standar internasional. Akibatnya, banyak sumber daya laut yang kaya akan ikan terabaikan begitu saja,”ungkap M. Adli Abdullah. M.Cl, Direktur Pusat Studi Adat Laut dan kebijakan Perikanan (Pushal-KP) Unsyiah, kepada wartawan, Kamis (4/11).

Menurutnya, daerah Aceh yang berhadapan langsung dengan lautan india lepas sebenarnya amat kaya dengan keberadaan ikan tuna. Namun untuk menangkap ikan ini, para nelayan diharuskan bergabung dalam Organisasi Indian Ocean Tuna Comisi (IOTC) atau Komisi Tuna Lautan India, karena populasi ikan ini sudah semakin sedikit.

Negara Indonesia, lanjut dia, merupakan anggota organisasi IOTC yang ke 27 dan masuk menjadi anggota pada tahun 2007. Dari organisasi ini, Negara Indonesia dikabarkan mendapatkan devisa sebesar 1, 4 triliun pertahun dan berhak untuk menangkap tuna dalam kuorta 650 juta ton pertahun.

Sayangnya, ungkap dia lagi, hingga kini belum banyak nelayan Aceh yang mengambil peluang ini. Bahkan, Pemerintah Aceh dianggap juga kurang peka untuk melakukan upaya upaya pemanfaatan sektor ini.

”Tidak hanya itu, kita bahkan tidak memiliki satupun pelabuhan standar internasional yang layak agar kapal-kapal penangkap tuna ini bisa merapat di Aceh. Padahal jika ada, ini tentu sebuah peluang yang sangat luar biasa bagi nelayan dan pemerintah,”tutur mantan Sekjend panglima laot ini.

Selama ini, tambah dia, pelabuhan yang dijadikan tempat merapatnya kapal-kapal tuna ini adalah di Muara Baru, Jakarta. Adli juga mengaku sudah pernah berpergian ke pelabuhan Muara Baru dan bertemu dengan para pengusaha kapal ikan tuna disana. Para pengusaha itu mengaku, mereka merapat ke Muara Baru, karena Aceh tidak memiliki pelabuhan ikan standar internasional.

”Jika Aceh memiliki pelabuhan standar internasional, maka mereka mengaku lebih memilih Aceh sebagai lokasi merapat. Selain lebih dekat dengan lokasi penangkapan tuna (lautan India lepas-red), para pengusaha itu juga mengaku akan menghemat biaya perjalanan mereka sebesar 60 juta persekali penangkapan,”jelas dia.

Di Muara Baru, lanjut dia, gara-gara merapatkannya kapal-kapal tuna ini telah berhasil mempekerjakan hampir 40 ribu orang perhari. Jika Aceh memiliki pelabuhan standar internasional seperti Muara Baru, tentu hal yang sama juga dapat dilakukan di Aceh sehingga perekonomian masyarakat meningkat.

”Saat ini peluang ini sedang dilirik oleh Sumatra Barat dan Sibolga, Sumatra Utara. Sedangkan kita akan tiga pelabuhan yang rencananya dibangun standar internasional, seperti Pelabuhan Samudra Lampulo, Pelabuhan Labuhan Haji, serta Pelabuhan Idi. Namun kelanjutan pembangunan ketiga pelabuhan ini tidak jelas hingga sekarang sehingga jika tidak segera dilanjutkan pembangunannya pada 2011, peluang ini dikhawatirkan diambilalih oleh daerah lain,”akhiri dia.

Sama halnya dengan analisa penulis, gerak pemerintah dalam membedah pembangunan sektor perikanan seharusnya dapat dipercepat. Jangan sampai, peluang yang ada didepan mata pu akhirnya diserobot oleh pemerintahan provinsi lainnya.

Potensi Perikanan Aceh Belum Digarap Optimal
Potensi Sumber Daya Alam (SDA) bidang perikanan yang ada di perairan Aceh dinilai belum mampu digarap secara maksimal. Pemerintah Aceh periode ini, juga dianggap kurang serius dalam mengenjot sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bidang perikanan sehingga peluang tersebut telah diambil oleh provinsi lain, seperti Sumatra Utara dan Sumatra Barat.

”Potensi perikanan yang ada di perairan Aceh saat ini belum dapat digarap maksimal. Akibatnya, potensi tersebut malah dimanfaatkan oleh provinsi lain untuk mengenjot PAD mereka. Sedangkan kita hanya diam menyaksikan kasus ini terjadi,”ucap Muklisin, ahli perikanan Aceh dan dosen Fakultas Pertanian Unsyiah, dalam diskusi mingguan Pusat Studi Adat Laot dan Kebijakan Perikanan (Pushal-KP) Unsyiah, di Kantin AAC Dayan Dawood, Kamis ( 4/11).

Menurutnya, selain perikanan laut, potensi perikanan air tawar, perikanan air payau, serta budidaya perikanan dinilai juga masih kurang digarap maksimal. Keberadaan nelayan dan petani tambak juga dianggap masih kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, terutama untuk peningkatan pengetahuan budidaya ikan, serta kuncuran kredit.

Akibatnya, banyak cara-cara penangkapan yang dilakukan oleh para nelayan dianggap justru membunuh populasi ikan, seperti penggunaan pukat harimau, serta pencemaran air laut. Kasus seperti ini, ditemukan di danau Laut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah.

”Kondisi Danau laut tawar sangat memprihatinkan. Jaring ikan yang digunakan oleh para nelayan disana bisa menangkap anak ikan. Padahal, telah ada Perda yang mengatur hal ini, namun tidak diacukan. Belum lagi penggunaan bom racun yang dapat membunuh telur ikan,”ungkap Muklisin.

Dirinya mengaku telah melakukan penelitian hal ini selama berbulan-bulan di Danau Laut Tawar. Rekomendasi hasil penelitian ini juga telah disampaikan pada Pemkab Aceh Tengah dan Dinas Perikanan Provinsi Aceh, tetapi tidak ada tindaklanjuti yang berarti.

”Masyarakat melakukan pelanggaran ini karena pengetahuan yang minim. Namun Pemkab dan Pemprov ternyata juga tidak mau peduli hal ini karena sektor itu tidak menjadi fokus pemasukan bagi PAD,”tutur dia.

Jika seandainya pemerintah fokus, tambahnya, pemerintah seharusnya mampu memberikan pemahaman yang baik bagi nelayan, serta memberikan fasilitas kredit untuk mengembangkan perekonomian mereka dan membangun fasilitas perikanan yang memadai.

Seriuskan Pemerintah Penting
Dalam membangun sektor perikanan Aceh sebenarnya sangat diperlukan adanya tingkat keseriusan yang tinggi dari pemimpin Aceh saat ini. Namun hal inilah yang sulit dicari oleh masyrakat saat ini.

Jika kita merujuk pada Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2011 yang diajukan oleh eksekutif ke legislatif beberapa waktu lalu. Maka secara jelas dapat dilihat bahwa para Pemimpin Aceh saat ini sebenar masih kurang serius untuk mengenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor perikanan.

Mengapa demikian? Karena alokasi anggaran untuk bidang perikanan ternyata masih sangat sedikit dibandingkan sektor lain. Pemerintah saat ini juga dinilai masih terus mengandalkan sektor pertambangan yang tidak dapat diperbahrui bidang sumber daya tersebut suatu saat habis.

Sebagai contoh, mudahnya keluar izin untuk bidang pertambangan, seperti untuk PT. Lhoong Setia Mining (LSM) di Aceh Besar dan PT.PSU di Aceh Selatan. Padahal, dampak dari izin tersebut disinyalir telah merusak lingkungan dan mendapatkan protes keras dari warga sekitar.

Selain itu, Pemerintah Aceh saat ini juga dirasakan enggan untuk fokus pada pembinaan nelayan Aceh. Para nelayan dan masyarakat pesisir Aceh saat ini masih mengandalkan kemampuan pribadi dan alat tangkap tradisional dalam setiap aktivitasnya. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa ikan-ikan yang berada di perairan Aceh seperti tuna yang memiliki nilai jual tinggi akhirnya malah menjadi tangkapan nelayan luar.

Bagi penulis, salah satu cara untuk mengenjot PAD Aceh kedepan, hanya dengan memanfaatkan sektor pertanian dan perikanan. Kedua sektor ini memiliki SDA yang melimpah.

Pemerintah sejatinya perlu membangun fasilitas yang memadai bagi nelayan, seperti pelabuhan ikan. Hal lain adalah pemberian kredit lunak agar nelayan Aceh mampu mengembangkan diri dan tidak selalu identik dengan kemiskinan. Jika sektor ini tidak dimanfaatkan, serta nelayan tidak diberikan fasilitas, maka sampai kapan pun daerah ini tidak akan berkembang.Sebaliknya, potensi yang ada saat ini malah akan dikuras oleh daerah lain.

Senin, 22 November 2010

Kekerasan-Kekerasan Atas Nama syariat Islam


Pelaksanaan hukum syariat sebenarnya bertujuan untuk mengatur tatanan kehidupan manusia yang baik dan sesuai dengan ketentuan agama. Namun ada kadang kala, tindakan dalam penerapan syariat terkesan dipaksakan hingga menimbulkan kekerasan-kekerasan dan menyebabkan imej islam menjadi buruk di mata masyarakat.

Cerminan prilaku bertolak belakang dengan harapan syariat ini terlihat pada aksi pembakaran puluhan cafe di Dusun Ujong Kareng, Desa Ladong, Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Hanya karena ingin menegakan syariat di daerah itu, massa yang terprovokasi akhirnya membakar puluhan kios yang menopang hidup puluhan kepala keluarga di daerah itu.

Aksi pembakaran massa ini telah menumbulkan imej baru tentang pelaksanaan islam di Aceh, seperti islam yang anarkis dan radikal. Imej dari penerapan syariat yang selama ini ditampilkan dalam sosok yang santun, melalui tindakan-tindakan penyadaran berubah menjadi sebaliknya.

Berdasarkan alur cerita, ratusan warga Desa Ladong (minus Warga Dusun Ujong Kareng-red), Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, Minggu (14/11), membakar puluhan pondok di Desa setempat. Aksi ini dilakukan, karena massa menilai keberadaan pondok-pondok cafe tersebut memicu perbuatan maksiat.

Massa dalam jumlah banyak itu tak mampu dikontrol sehingga berimbas pada pembakaran. Aparat kepolisian, Camat dan WH yang datang ke lokasi juga tak mampu berbuat banyak ketika massa melakukan pembakaran.

Ratusan pengunjung ketakutan dan pemilik cafe mengalami kerugian hingga belasan juta rupiah.

Ketegangan sempat terjadi antara massa dan pemilik pondok yang dibakar. Mereka tidak setuju karena tidak semua pondok di sepanjang pantai Ladong yang dibongkar. Tapi, hanya sebagian yang berada di Dusun Ujong Kareung dan di Dusun Indra Patra.

Selain itu, pemilik juga protes, karena pembongkaran tidak sesuai dengan perjanjian. Perjanjiannya, massa hanya pondok kecil yang dibongkar. Tapi dalam aksi di lapangan, malah pondok besar juga dibongkar dan dibakar.

Sebenarnya, sebelum pembakaran pondok dilakukan, masyarakat setempat sebenarnya telah menggelar rapat dan musyawarah pada Sabtu (13/11) pukul 15.00 WIB di Masjid Ladong. Rapat ini dihadiri unsur muspika, assisten I dan II, Kasatpol PP dan WH Aceh Besar, dan orang yang dituakan di gampong itu.

Keputusan rapat, diputuskan pembongkaran pondok-pondok kecil yang keberadaannya tertutup dan rawan pelanggaran syariat, tetapi tidak ada istilah pembakaran. Namun praktek yang terjadi di lapangan, akhirnya alah berbeda dan diluar kesepakatan.

Camat Masjid Raya, Yuslizar mengatakan, penertiban yang dilakukan seharusnya berdasarkan qanun gampong. “Tapi, apa yang terjadi setelah massa turun ke lapangan, itu di luar dugaan. Sejujurnya, kami juga tidak menginginkan ini terjadi,” ujar Yuslizar.

Menurut penulis, sebenarnya tidak ada yang salah dengan penerapan hukum syariat islam di Aceh. Namun tindakan anarkis seperti gerakan massa tadi yang seharusnya menjadi perhatian semua pihak yang menginginkan syariat berjalan kaffah di Aceh.

Tindakan anarkis seperti pembakaran cafe yang menyebabkan ribuan keluarga kehilangan pekerjaan, jutru membuat masyarakat semakin antipati dengan hukum tersebut. Akhirnya imej islam itu sendiri terasa sempit dan menjadi agama cemoohan dari non islam.

Pemilik Polisikan Pembakar Café di Ladong
Sekitar 50 pemilik cafe yang pondoknya di bakar massa di Dusun Ujong Kareng, Desa Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Senin (16) melaporkan kasus tersebut ke jajaran Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Banda Aceh. Selain melaporkan kasus perusakan yang mengakibat mereka mengalami kerugian puluhan juta, para pedagang tersebut juga melaporkan kasus penganiayaan yang menimpa mereka karena aksi brutal tersebut.

Para pedagang ini mendatangi Poltabes Banda Aceh, sekitar pukul 10.00 WIB. Menurut pedagang, pihaknya sengaja melaporkan kasus ini untuk mengetahui provokator yang berada dibalik pembakaran itu.

”Pembakaran ini karena ulah provokator. Beberapa warga yang sempat ikut-ikutan juga telah mengaku menyesal. Kita memperkarakan kasus ini dan menuntut polisi mengusut hingga tuntas,”ucap Zulkarnaen, 24, salah seorang pemilik cafe kepada penulis, kemarin.

Menurutnya, gara-gara adanya ulah provokator yang memanas-manasi warga, para pemilik cafe rata-rata mengalami kerugian hingga belasan juta. Pihaknya mencurigai adanya keterlibatan sejumlah warga luar (bukan warga Ladong-red) dalam pembakaran cafe, pada Minggu (15/11) lalu.

Katanya, lanjut dia, motif pembakaran ini disinyalir karena adanya persaingan bisnis yang tidak sehat. Pasalnya, ada sejumlah cafe tertentu ternyata tidak dibakar massa.

”Sejumlah nama yang diduga menjadi dalang dalam pembakaran ini telah dilaporkan. Kita berharap mereka dapat segera di tindak,”ucap Mariati, 46, pemilik warung lainnya.

Sementara itu, Amir, pemilik warung lainnya, juga menambahkan bahwa pihaknya juga melaporkan kasus penganiayaan yang menimpa mereka selama berlangsungnya pembakaran tersebut. Dirinya sendiri mengalami memar di seluruh tubuh akibat di pukul oleh oknum.

”Beberapa pembakar itu adalah orang yang suka memalak pengunjung cafe. Mereka meminta sejumlah uang dan memeras pengunjung dengan alasan telah melanggar syariat. Mereka pernah kami tegur untuk tidak melakukan hal itu lagi, tapi kemarin tiba-tiba datang dan membakar pondok kami dengan alasan melanggar syariat,”ungkap sumber lainnya.

Sementara itu, Kapoltabes Banda Aceh, Kombes Pol Armensyah Thay, menyangkut kasus ini kepada wartawan mengaku akan menindaklnjuti laporan warga tersebut. Dirinya juga mengaku prihatin atas kemalangan yang menimpa para pedagang ini. ”Kita akan menindaklanjuti kasus ini hingga selesai. Masyarakat hendaknya percaya pada polisi dan tidak main hakim sendiri,”tuturnya.

Pembakaran Cafe di Ladong Picu Konflik Antar Warga
Kasus pembakaran Cafe yang terjadi di Dusun Ujong Kareng, Desa Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, di Kabupaten Aceh Besar, ternyata masih menuai polemik di tengah-tengah warga. Pembakaran tersebut disinyalir telah mengakibatkan tumbuhnya konflik internal antar warga di desa setempat yang dikhawatirkan berujung dengan bentrokan massa.

Menurut sumber wartawan, pasca adanya pembakaran cafe yang terjadi Minggu (14/11) lalu di sana, telah mengakibatkan timbulnya sikap permusuhan antara warga dari Dusun Ujong Kareng dengan warga dari dusun lainnya di Ladong. Dua kelompok ini sama-sama sedang menuntut balas atas aksi yang terjadi Minggu lalu.

”Mayoritas pemilik cafe adalah warga Ujong Kareng. Mereka belum bisa menerima cafe mereka dibakar serta pemiliknya dipukul massa. Saat ini suasana di sini (Ladong-red) sedang mencekam,”ucap sumber tadi.

Lanjut sumber tersebut lagi, tidak hanya menimbulkan perpecahan di tingkat masyarakat se-kampong. Konflik disinyalir juga terjadi di tingkat orang tua gampong (tuha peuet-red).

Orang tua gampong disana dinilai tidak bisa mencegah terjadinya pembakaran Cafe di sepanjang Dusun Ujong Kareng dalam desa itu. Padahal, pada rapat gampong sebelumnya, telah disepakati untuk tidak ada aksi-aksi pembakaran seperti yang terjadi pada Minggu lalu. Jika ada ditemukannya pelanggaran syariat, warga hanya akan menegur pengunjung yang bersangkutan.

”Namun yang terjadi malah sebaliknya. Camat dan WH yang turut ke lokasi malah diam seperti membiarkan aksi ini terjadi. Hari itu (Minggu-red) pemuda Dusun Ujong Kareng sebenarnya hendak menghentikan aksi pembakaran cafe milik keluarganya tersebut, namun dihentikan oleh orang tua gampong supaya tidak ada perkelahian massa,”ungkapnya.

Menyangkut hal ini, Geuchik Desa Ladong, Rusli AR, yang dihubungi oleh wartawan, membantah adanya perpecahan di daerah mereka. Namun dirinya juga mengaku belum bisa mencari jalan tengah guna mendamaikan warganya yang terlibat pertikaian tersebut.

”Alasannya, aksi pembakaran yang terjadi Minggu lalu tanpa sepengetahuan kami selaku orang tua gampong. Selain itu, aksi pelaporan polisi yang dilakukan oleh pemilik cafe juga tidak pernah diberitahukan kepada kami. Jadi posisi kami hari ini serba salah,”ungkapnya pasrah.

Haruskan syariat diterapkan dengan kekerasan ?
Pertanyaan ini sebenarnya yang harus menjadi bahan renungan kita selama ini. Pasalnya, penerapan syariat islam di daerah Aceh ternyata telah menimbulkan imej yang buruk-buruk di tingkat nasional dan masyarakat internasional.

Banyak para wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri luar, sepertinya enggan untuk mengunjungi Aceh hanya karena mendengar dan melihat informasi yang salah tentang penerapan syariat islam, seperti halnya pembakaran cafe secara massa tadi.

Selain itu, pernah juga ada aksi pemotongan rok dan swepping liar busana ketat oleh pihak tertentu di Aceh. Aksi-aksi ini justru mengakibat imej negatif tersebut di tingkat nasional sehingga menyebabkan masyarakat luar semakin antipati terhadap syariat.

Padahal, imej syariat yang selama ini yang muncul ke tingkat nasional dan internasional, hanyalah yang bersifat negatif semata.

Islam sebenarnya jutru memperlakukan penganutnya dengan sebaik-baiknya dan mengutamakan pentingan kesadaran dari masyarakat untuk pelaksanaan syariat secra kaffah. Islam mengajarkan sesuatu yang baik itu harus dimulai dengan cara-cara yang baik pula.

Orang islam yang baik, sebenarnya adalah orang yang berperan serta dalam memajukan dan mengembangkan agamanya serta berguna untuk orang islam lainnya secara khusus dan orang-orang di sekitarnya pada umumnya.

Kriteria orang itu adalah yang bagus ibadahnya, rukun dengan orang lain, tidak suka mencerai berai agamanya, tidak dibenci orang-orang baik, menjaga ukhuwah islamiyah, mengembangkan agama dalam berbagai aspek kehidupan, dan lain sebagainya.

Tujuan pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita dengan tuhan yang maha pecipta dengan meluruskan perilaku dan akhlak. Namun ini semua tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan tindakan kekerasan dalam setiap pelaksanaan syariat.

Kelembagaan seperti Dinas Syariat Islam dan lembaga Wilayatur Hisbah, Pesantren serta tempat pendidikan agama lainnya, seharusnya menekankan pengutamaan perilaku tersebut dibandingkan dengan pemaksaan kehendak.

Kembali pada sumber pembahasan tadi, kini gara-gara pembakaran pondok di Dusun Ujong Kareng, telah menyebabkan puluhan keluarga kehilangan sumber pendapatannya. Pejumlah pemilik pondok, sebenarnya berstatus janda dan memiliki beberapa orang anak yang harus diberikan nafkah setiap harinya. Hal ini berdasarkan pengakuan sejumlah warga disana.

Pemerintah daerah, mulai dari Camat dan Pemkab setempat seharus berinisiatif untuk memberikan ganti rugi yang sepantasnya bagi pemilik yang mengalami kerugian tersebut. Jangan sampai kekerasan dengan dalil syariat yang telah dipraktekan disana mengakibatkan janda-janda tersebut menjadi gelandangan dan pengemis di jalanan.

 
Free Host | lasik surgery new york