Rabu, 02 Februari 2011

Jenggot Aksesoris


Otak-ku tak lagi dapat berpikir rasional. Suara jangkrik yang bersahutan dan bau obat yang kian menyegat hidung tak juga dapat membantu-ku melupakan jeritan-jeritan dari kamar dengan cat dan aksesoris serba putih yang ada di depan.

Aku panik. Entah sudah puluhan kali diriku mondar-mandir di depan ruangan tadi. Tidak juga kuhiraukan lagi bagaimana tatapan orang sekeliling terhadap tingkah ku ini. Sekalipun aku dicap gila, mungkin..!

Beberapa suster jaga dan para pengunjung disana sempat merasa sedikit terganggu dengan suara derap langkah kakiku yang tak bisa berdiam diri. Mereka kemudian mencoba memberi isyarat agar diriku bersikap tenang, namun sengaja ku-hiraukan.

Sulthan sepertinya sadar akan kepanikanku ini. Dia adalah salah satu kawan akrab-ku yang masih tersisa di kutaradja sejak masa-masa di kampus dulu. Anak jurangan kopi dari Takengon ini mencoba mengalihkan perhatianku dengan mengungkit kembali kisah lama saat kami masih berstatus mahasiswa.

Ya, masa-masa ’romantisme’ kami yang senang dengan gelar aktivis kampus, tapi dulu. Mulai dari gelar aktivis Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Mudaris, kemudian menyeberang ke organisasi ”aliran kiri”, hingga beralih kegerakan pro nasionalisme keacehan.

Seperti kasus-kasus sebelumnya, jika Sulthan sudah mulai bercerita, unjung-unjungnya pasti tetap di isi dengan cerita-cerita yang intinya memuji kehebatan pribadi, seperti cerita tentang sosok ayahnya yang kaya raya di kampung, deretan pacarnya yang cantik-cantik serta ditutup dengan kisah kehidupannya yang serba mapan saat ini.

”Semua banyak yang berubah ya Bud, kecuali jengotmu itu. Dari status jenggot ideologis hingga ke jenggot aksesoris,”ucap dia sambil terkekeh. Mendengarkan perkataan ini kembali membuat diriku cuma mampu tersenyum secara pahit. Pasalnya, apa yang ditutur oleh ’makhluk hitam’ memang ada benarnya juga.

”Berarti bukan aku saja yang sadar akan hal ini, Sultan juga,”gumamku hingga akhirnya larut dalam lamunan masa lalu.

Oya, perkenalkan. Namaku Budi Azhari. Mungkin Nama Budi terinspirasi dengan tokoh Budi di buku-buku pelajaran SD, karena memang Ayahku dulu adalah seorang guru SD di pedalaman Aceh Tamiang. Sedangkan Azhari adalah nama Ulama salah seorang pimpinan Dayah di kampung asal Ayahku di Leubu-Bireun.

Aku di lahirkan di Kota Kecil dekat perbatasan Aceh dan Sumatera Utara, di Desa Seumadam, dan kemudian aku dibesarkan di pedalaman Aceh Tamiang tepatnya di Mukim Kalul, kecamatan Tamiang Hulu. Sejak kecil kami sudah terbiasa dengan hidup pas-pasan, maklumlah nasib keluarga guru jaman itu memang seperti yang digambarkan dalam lagu Iwan Fals ”Umar Bakrie”.

Para bocah di daerah kami, biasanya memiliki kebisaan unik di saat memasuki usia remaja, yaitu menumbuhkan kumis. Kumis merupakan simbol ’pria dewasa’ pada saat itu, dan seseorang remaja yang memiliki kumis dianggap ’ Macho’, namun akulah yang membuat tren berbeda di sana.

Saat kelas tiga SMP, aku menumbuhkan jenggot. Namun ’tradisi baru’ ini sering kali ditertawakan oleh rekan sebaya disana. ”Orang mukmin serta ummat islam itu disunnatkan untuk memanjangkan jenggot, bukan kumis. Memelihara jenggot itu merupakan sunnah Nabi,”papar diriku setiap mendapatkan ejekan.

Candaan ini terus berkembang hingga aku hijrah ke Bireun kampung asal Ayahku, dan menyelesaikan MAN di Matang Gelumpang Dua. Sebagai siswa yang selalu mendapatkan juara umum di sekolah, cita-cita untuk melanjutkan ke perguruan tinggi menjadi suatu keharusan.

Kutaradja merupakan tujuanku untuk mewujudkan cita-cita dengan menempuh pendidikan tinggi pada salah satu universitas kebanggaan rakyat Aceh, yaitu Unsyiah. Ternyata, di kampus baruku, sosok pria berjenggot sudah merupakan hal yang lumrah, dan telah ada organiasi khusus yang mewadahinya. Maka diriku segera bergabung dengan organisasi yang berbasis mushalla, terlebih lagi abang lettingku adalah ketua lembaga tersebut.

”Ini jenggot ideologis yang harus dipertahankan,” ucap seorang senior di organisasi tersebut, dipertengahan tahun 1999 lalu, saat Aceh sedang di landa konflik. Tahun tersebut, statusku dari pelajar SMU berubah jadi seorang mahasiswa,

Mendengarkan pengakuan para senior tadi, diriku akhirnya semakin mantap untuk memelihara jenggot. Tidak hanya itu, diriku juga makin aktif dalam setiap kegiatan organisasi tersebut, mulai dari kegiatan yang bersifat kajian keislaman hingga ke demontrasi dan aksi jalanan untuk warga Palestina.

Mulanya, aku sangat aktif untuk diskusi dan aksi untuk memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina dan mengutuk Israel di Aceh. Namun gerakan inilah yang kemudian membuatku mundur teratur dari organisasi tersebut di akhir tahun 2000.

Alasannya, pada saat itu Aceh sedang di landa konflik dan hampir ratusan masyarakat hilang setiap harinya. Selain itu, pemberitaan temuan mayat tanpa status juga hampir setiap hari menghiasi media massa. Namun kasus-kasus itu tidak pernah direspon positif oleh organisasi tersebut. Terlebih lagi salah seorang teman baikku (Sayuti Nur-red) menjadi korban penculikan orang tidak dikenal di daerah Bireum Bayeun saat melakukan aksi sosial atas nama BEM Unsyiah saat itu.

”Mengapa harus memperjuangkan Palestina di Aceh, justru saat Aceh dilanda konflik. Mengapa Aceh justru kurang mendapat perhatian dari kawan-kawan aktivis mushalla? ”pikirku saat itu dan memutuskan keluar dari perkumpulan.

Pasca keluar dari perkumpulan aktivis mushalla, aku lebih banyak menghabiskan waktu di pustaka, kantin dan warung kopi, sehingga pergerakanku berubah dari berbasis mushallano menjadi kantino. Disanalah, diriku kemudian bertemu dengan sekelompok pria berjenggot baru, salah satunya adalah Sultan, dan inilah awal perjuangan kami sebagai salah satu elemen sipil untuk melawan penindasan Jakarta terhadap rakyat Seramoe Mekkah.

Dari Sultan, aku tahu kalau kelompok ini ternyata aktif memperjuangkan nasib orang Aceh di masa konflik, serta menghargai jenggot. Diriku kemudian mulai terlibat organisasi ini dan kembali turun ke lapangan, dengan isu yang agak berbeda dari sebelumnya.

Sayangnya pergerakan yang kami bangun cuma bertahan hingga akhir 2003. Alasannya, selain aku harus melanjutkan studi magisterku di Malang, dan juga anggota dari perkumpulan ini ternyata tidak ’berjenggot ideologis’. ”Jenggot mereka adalah jenggot aksesoris,”ucap Sultan suatu ketika.

Pertengahan tahun 2006 aku kembali ke Aceh. Selain aktif mengajar di perguruan tinggi, aku mencoba kembali mengagas perkumpulan baru yang pro terhadap nasionalisme keacehan, tetapi tetap berjenggot ideologi. Karena memang pada dasarnya menjadi aktivis sudah mendarah daging bagiku.,

”He Bud, kok malah melamun dari tadi, sedang bernostalgia dengan kisah masa lalu ya,” ucap Sultan secara tiba-tiba, sekaligus membangunkan diriku dari cuplikan ingatan sejarah.

Aku cuma tersenyum kecil mendengarkan perkataan dia ini. Jejariku sibuk mengaruk jenggot tipis yang masih menghiasi wajahku. Sejak tadi sebenarnya aku telah khawatir, bahwa satu persatu ’jenggot aksesoris’ ini jatuh ke lantai karena suntuk mendengarkan ocehan sultan yang sebenarnya aku sendiri tidak terlalu serius mendengarkannya, karena hilang dibawa lamunanku sendiri.

Aku kembali mencoba menata jenggot dengan rapi bersamaan dengan dibukanya pintu kamar depan. Dua wanita muda berpakaian layaknya seorang suster mencoba menghampiriku dan memberikan selamat secara bersamaan. ”Selamat pak Ustad, istri anda melahirkan bayi laki-laki. Anda suami dari ibu Khairul Muna-kan ?”ucap mereka.

Mendengar hal ini, aku sangat bahagia. Namun sesaat kembali tertegun. ”Siapa yang mereka panggil ustad ya..! apa karena jenggotku ini,” gumamku dalam hati. Panggilan tersebut sebenarnya bukanlah yang pertama kali aku dengar dan sangat kudambakan kembali, tetapi untuk saat ini, julukan itu terasa amatlah bertolak belakangan dengan sifatku sehingga diriku sedikit risih mendengarkannya.

”Ah, itukan julukan biasa,”gumamku lagi akhirinya. Aku lantas meminta izin dari suster muda untuk melihat istri dan bayiku.

Didalam, Kekasih hatiku itu tampaknya amatlah sangat kelelahan. Dia terbaring lemah setelah menghadapi ’bertarung’ hidup-mati untuk melahirkan buah hati kami. Aku kecup keningnya dengan rasa cinta yang luar biasa.

”Ini buah hati kita, berjenis kelamin ”Boh Lolo Bang” ungkapnya. Ya, cetusku lagi. Isteriku menamakan sang bayi kami, Nyak Nabil, dengan harapan menjadi anak yang cerdas dan shaleh.

Wajahku kemudian berpaling pada bayi mungil disampingnya yang terbalut dengan kain putih. Aku terharu melihat bayi mungil ini. Cinta dan kasih saya kami ternyata telah menghadirkan dia ke bumi konflik ini. Dia sepertinya sedang terlelap setelah sempat menumpakan amarah sesaat pertama kali menatap bumi tadi.

”Nak, aku adalah ayahmu. Kamu beruntung telah lahir dikeluarga yang penuh cinta dan suku yang taat agama,”bisikku padanya dengan muka berkaca-kaca. Hatiku amat bangga telah dianugerahi seorang bayi laki-laki. Dia akan menjadi penerusku nantinya, tapi bukan penerus sifat-sifat jelekku.

”Jika kamu punya jenggot nanti, jadilah iya sebagai jenggot ideologi,”bisikku lagi. Istri tersenyum. Rupanya dia mendengarkan penuturanku pada si kecil.

Tidak lama, dua suster muda tadi kembali masuk ruangan. Mereka menghampiri diriku lagi dengan membawa beberapa helai handuk putih. ”Sudah bisa diazankan pak, bayinya,”pinta sang suster dengan tersenyum sambi meletakan bawaan di lemari kecil di samping ranjang Muna.

Mendengar hal ini, aku mengangguk kecil dengan tangan terus meraba kantong celana, tapi yang kucari tidak juga ketemu. ”Celaka, dimana teks tulisan lafazh azannya aku simpan tadi?”gumamku tiba-tiba. Suster dan istriku pun cuma mampu berkerut kening. ****

 
Free Host | lasik surgery new york