Jumat, 23 September 2011

Bagi Kami, Perang Itu Hobi…!


Hari itu, kamis (1/8) jalan Medan-Banda Aceh, tepatnya di pertikungan Pasar Impres Krueng Mane tampak relatif lebih padat dari biasanya. Sekelompok remaja paruh baya sedang berkumpul di ujung jembatan. Rata-rata diantara mereka berusia 10 hingga 15 tahun. Mimik wajah mereka yang terlihat serius memberi kesan sedang merencanakan sesuai, namun entah rencana apa itu.

Tiga orang diantara mereka memegang erat senjata jenis AK-47. Satu orang tampak memegang senjata laras pendek serta dua lainnya yang berdiri paling sudut jembatan memegang senjata dengan jenis yang lebih canggih.

Posisi sekelompok pemuda ini seperti tentara yang hendak mengempur musuh. Padahal, daerah Krueng Mane dan sekitar merupakan wilayah dalam Provinsi Aceh yang telah damai pasca konflik tanggal 15 Agustus 2005 lalu.

”Pai lewat, Pai lewat,”teriak seorang bocah. Bocah ini memakai baju kotak-kotak dan celana berwarna biru. Tampaknya, dia merupakan komandan dari sekelompok pasukan ’kecil’ tadi. Namun tidak jelas maksud dari kata ’pai’ yang sempat dilontarkannya. Seruan bocah yang belakangan diketahui Aidil, 14 ini, ditunjukan untuk sekelompok remaja lainnya diatas mobil bak terbuka yang hendak melalui jembatan Krueng Mane-Gerungok. Mereka juga memegang senjata dengan merek yang tak kalah canggihnya.

Seruan Aidil ini ternyata amat dipatuhi oleh ’geng’ tadi. Beberapa personil yang memegang AK-47 kemudian langsung mengarahkan senjatanya terhadap ’musuh’ tadi. Namun, ’sang musuh’ yang berada di atas mobil pun ternyata sudah siaga terhadap kemungkinan diserang. Kedua kelompok ini kemudian saling ’jual-beli’ peluru dalam waktu yang relatif singkat.

”Ka tembak, pai-pai,”ucap para bocah ’musuh’ lainnya diatas mobil tadi. Sejumlah peluru dari pasukan Aidil ternyata cukup membuat mereka kerepotan dan beberapa diantaranya tampak bersembunyi untuk mencegah hantaman peluru ke tubuhnya. Aksi dua kelompok remaja ini sempat membuat sejumlah pengguna kenderaan lainnya mengeluarkan sumpah serapa. Pasalnya, aksi mereka ini membuat arus lalu lintas terganggu. Beberapa pengemudi bahkan terkena ’peluru nyasar’.

Namun, aksi dua kelompok ini bukan berarti konflik Aceh terulang kembali. Kedua ’pasukan’ tadi hanyalah anak-anak yang melakukan perang-perangan dengan mengunakan senjata mainan. Sikap sekelompok ’pasukan’ tadi juga tidaklah ada hubungannya dengan konflik Aceh yang sempat menjadi perhatian dunia internasional.

”Bagi kami, perang-perangan itu sudah menjadi hobi,”ungkap Aidil usai aksi perang-perangan tadi. Beberapa diantara mereka tersenyum puas karena mampu mengenai tubuh musuh.

”Payah moe awaknya munoe (mereka harus menangis tadi),”tambah bocah lainnya bernama Idris. Diantara ’pasukan’ ini cuma dia yang memegang senjata laras pendek dan paling kecil.

Menurut Aidil, sudah menjadi kebiasaan anak-anak di daerah mereka, setiap perayaan Hari Raya, baik Idul Adha maupun Idul Fitri, selalu bermain perang-perangan. Anak-anak dari masing-masing Desa (yang memiliki senjata mainan-red) selalu membentuk satu kelompok dan berkumpul pada satu tempat untuk ’menyerang’ kelompok lainnya.

”Awaknyan na peng, dijak ngon manto. Sedangkan kamoe hana peng, mempreh bak jembatan mantong (mereka ada uang, bisa pergi dengan mobil. Sedangkan kami tidak ada uang, terpaksa menunggu di jembatan),”tutur Aidil lagi. Untuk mengwujudkan hobi mereka tersebut, para bocah tadi ternyata rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang tergolong banyak untuk anak-anak setiap tahunnya.

”AK-47 Cuma 54 Ribe. Meunyoe yang nyan 100 ribe,”ungkap Aidil mantang sambil menuju senjata mainan yang lebih besar milik anggota kelompok mereka. Namun ketika ditanya mengenai maksud ’Pai’ dari kata-kata mereka tadi, Aidil tidak mau menjawab. Matanya cuma memang kearah jalannya.

”Cuma mainan bang, kon betoi-betoi,”ucap dia sambil berlari menjauhi tempat wartawan berdiri. Tingkah Aidil ini ternyata diikuti oleh rekan-rekannya. Mereka sepertinya kembali mencoba menghadang pasukan lainnya di lokasi yang lebih strategis.

 
Free Host | lasik surgery new york