Rabu, 27 Juli 2011

Penantian Ti Mani


Ti Mani sejak tadi terus mencucuhkan air matanya. Kabar tentang adanya perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, ternyata mampu membuatnya terharu. Wanita tua yang tinggal sebatang karang ini sepertinya masih terus berharap bisa berkumpul kembali dengan Saifullah, anak semata wayangya yang menjadi korban penghilangan paksa semasa konflik.

Sejak tadi pagi, Ti Mani terlihat sangat betah menatap siaran televisi di rumahku. Dia memenuhi janjinya untuk datang ke rumah kami guna menyaksikan kabar terbaru tentang masa depan daerah ini. Ini adalah kali pertama aku kembali ke kampung halaman sejak eksodus dulu.

Memang hari ini hampir semua televisi swasta di tanah air, menyiarkan berita tersebut, di samping berita tentang jumlah korban tsunami yang baru berhasil ditemukan tentunya. Cuplikan gambar para elit GAM dan perwakilan Pemerintah RI juga ditanyakan berulang dalam tempo waktu yang lama.

”Apa benar semua tahanan eks GAM akan dibebaskan?”tanya Ti Mani tiba-tiba. Sasaran pertanyaan Ti Mani ini jelas tertunjuk pada diriku. Maklum cuma kami berdua yang sedang menyaksikan tanyangan televisi di rumahku saat ini. Namun jawaban dari pertanyaan ini membuat diriku serba salah dalam menjawabnya.

”Katanya seperti itu Ti..!! memangnya kenapa ?”tanya diriku lagi seolah-olah tidak mengerti maksud dari pertanyaan wanita berwajah teduh di depan. Aku sangat berharap pertanyaan balasan dari Ti Mani tidak bertambah.

”Apakah Saifullah akan ikut dibebaskan?”tanya dia lagi. Kali ini dengan mimik wajah yang sedikit memeras. Sedangkan Mata wanita tua itu tampak kian berkaca-kaca. Aku tidak tegas menyampaikan berita buruk yang membuatnya tambah sedih di sisa-sisa masa tuanya ini.

”Pastinya... Ti. Kah... Saiful di tangkap karena ikut kegiatan makar sewaktu konflik. Karena sudah damai, mereka semua pasti dibebaskan. Saiful akan segera kembali kesini dan melihat keadaan Ti yang baik-baik saja,”jawabku sambil menghiburnya. Sebenarnya aku sendiri tidak yakin dengan jawaban ini.

Mendengar jawaban tadi, Ti Mani terlihat kembali optimis. Dia mencoba bangun dari tempat duduknya, namun agak sempoyongan, maklum usia Ti Mani sendiri saat ini sudah mencapai 67 tahun. Usia yang rentan bagi seorang wanita untuk mendengar kabar yang menyakitkan. Kuraih tangannya agar dia mampu berdiri sempurna. ”Hendak kemana Ti ? bukankah beritanya belum habis?”tanya diriku pada wanita ini.

Wanita ini tidak segera menjawab. Cuma badannya mengarah ke pintu keluar. Sepertinya Ti Mani hendak pulang. ”Ti ingin membersihkan rumah. Takut kalau Saifullah pulang, dia akan merepet karena rumah dalam keadaan kotor,”jawabnya singkat. Jawaban ini membuat hatiku miris dan kembali teringat pada peristiwa yang mencekam empat tahun lalu.

***
Februari 2001

Hari itu, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, sedang di landa hujan lebat. Namun derasnya hujan ini seakan kalah dengan suara rentetan senjata antara TNI dengan GAM yang sudah berlangsung hampir 2,5 jam. Pertempuran ini terjadi tepat di desa kami, Nicah Awe.

Dan seperti pertempuran pada umumnya, terdengar kabar, bahwa pertempuran ini juga ’memakan’ korban dari kedua belah pihak. Seluruh pemuda Desa Nicah Awe, termasuk diriku dan Saifullah saat itu diminta segera meninggalkan kampung halaman kami agar tidak menambah daftar korban ’salah sasaran’ di daerah ini.

Diriku dan Saifullah sebenarnya adalah sahabat karib dan teman sepermainan sejak kecil. Usia kami juga tidak berbeda jauh. Saifullah cuma lebih tua satu tahun dari diriku. Pada Februari 2001 lalu, dia berumur 20 tahun.

Kami berdua berhasil lolos ke Kota Banda Aceh dengan berkat bantuan seorang sopir L300. Bang Din, sopir l300 tersebut mau mengantar kami walau tanpa bayaran sepeserpun. Sayangnya, selama seminggu di Kota Banda Aceh kami terluntang-luntang karena tidak memiliki famili seorang pun di kota bekas ibukota kerjaan Aceh ini.

Ketika malam tiba, kami biasanya tidur di teras Mesjid Raya Baiturrahman. Sedangkan ketika pagi harinya, kami membantu Bang Din untuk mencuci mobil L300 di salah satu loket. Hasil dari mencuci mobil ini ternyata cukup untuk mengisi kekosongan perut untuk siang hingga malam hari. Keadaan ini berlangsung hingga satu bulan lamanya.

Namun suatu hari, Saifullah terlihat agak pendiam. Biasanya, dialah yang paling semangat diantara kami berdua saat bekerja. Belakangan, aku baru mengetahui bahwa Cek Li, ayah Saifullah yang terlibat dalam pasukan GAM, ternyata tewas dalam pertempuran terakhir di Idi Rayeuk. Keadaan ini membuat Saifullah sedih dan termurung.

Pada malam harinya, dia minta pamit dariku. Saiful, katanya ingin pulang guna menjenguk Ti Mani, ibunya di kampung halaman. Apalagi, informasi yang kami dapatkan, Ti Mani saat itu sedang sakit-sakitan karena sering di datangi oleh tentara republik.

Pada malam itulah aku terakhir kalinya melihat Saifullah. ”Aku akan segera kembali Fir. Kamu tunggu disini. Kalau keadaan aman, aku akan segera kembali dengan membawa serta ijazah kita sehingga bisa kuliah disini. Kita akan segera jadi anak kulihan,”ucapnya.

Namun, janji Saifullah tersebut, ternyata tidak pernah terwujud. Dari Kota Banda Aceh, aku mendengar kabar bahwa rumah Ti Mani dibakar seminggu setelah suaminya tewas. Dan kabar yang beredar, Saifullah yang putus asa, akhirnya juga bergabung dengan eks pasukan yang pernah dipimpin oleh ayahnya semasa hidup.

Dia juga beberapa kali terlibat baku tembak dengan pasukan republik. Kepiawaiannya memegang senjata ternyata menguburkan mimpi dia untuk menjadi anak kuliahan di ibukota.

Sedangkan diriku mencoba bertahan di ibukota sebagai penjual pisang goreng. Hasil dari pekerjaan ini, ternyata mampu membuat diriku mendaftar di salah satu universitas terbaik daerah ini, yaitu Unsyiah dan akhirnya mampu meraih gelar sarjana disana.

Sejak berangkat ke Banda Aceh bersama Saifullah. Aku tidak pernah pulang ke Nicah Awe, termasuk ketika lebaran tiba. Hal ini pula yang menyebabkan diriku lupa terhadap sosok Saifullah, hingga suatu hari datang berita duka mengenai dirinya. ”Saiful, sebulan lalu di tangkap di wilayah Idi sama Raider. Semua pasukannya tewas di tempat. Sedangkan dirinya di tahan dan entah dibawa kemana,”ungkap Bang Din, ketika kami berjumpa di Darussalam.

Aku sedikit terkejut mendengarkan kabar miris ini. Pasalnya, di surat kabar dijelaskan bahwa pasukan yang tewas di Idi di pimpin oleh Rambo. Tidak dijelaskan nama asli pimpinan pasukan tersebut. ”Banyak yang menyebutkan Saiful telah tewas,”ucap Bang Din lagi.

***

Juni 2011

Ini merupakan kepulanganku yang kesekian kalinya ke Nicah Awe. Pasca kesepakatan damai, enam tahun lalu, keadaan di kampungku sudah lebih baik dari sebelumnya. Masyarakat disana juga sudah leluasa berpergian ke ladang atau sawah guna mencari sesuap nasi.

Desa yang dulunya ’tidak pernah’ di huni oleh para pemuda ini, kini terasa ramai kembali. Beberapa diantara mereka juga ada yang tidak ku kenal. Maklum, mereka adalah ABG yang baru besar pasca konflik.

Oya, diriku kini juga telah berubah status menjadi guru PNS di salah satu daerah Ibukota. Status ini membuat orang tuaku di kampung menjadi bangga dan sering menjadi bahan obrolan para tetangga. Bagi mereka, menjadi PNS di ibukota adalah hal yang musthahir.

”Coba kalau si Amin juga lari ke Banda Aceh sewaktu konflik dulu. Tentu dia juga bisa kuliah dan jadi PNS seperti Firman saat ini. Sayangnya, Amin malah lari ke Malaysia untuk jadi tukang bangunan,”tutur Wak Fatimah, tetangga kami di kampung. Aku yang mendengarkan pembicaraan ini cuma mampu tersenyum kecil.

Tiba-tiba, sorot mataku saat itu tertunjuk pada Ti Mani. Dia terlihat sedang menyapu halaman rumahnya. Namun karena tubuhnya yang rentan membuat siapapun menjadi iba. Dia terlihat sempoyongan, namun terus melakukan aktivitas rutin tersebut.

”Ti Mani memang selalu begitu. Dia ini selalu ingin rumahnya bersih agar sewaktu Saiful pulang tidak diomeli. Ti Mani masih yakin kalau Saiful masih hidup dan segera pulang,”ungkap Mamak tiba-tiba. Penantian Ti Mani ternyata belum berakhir. Semoga harapanmu terkabul Ti.

Kamis, 14 Juli 2011

Para Pengais Rupiah dari Tumpukan Sampah


Hari itu, Senin (11/7), Kota Banda Aceh masih diselimuti awan tebal serta hujan lebat. Derasnya air yang berjatuhan dari langit, turun tanpa henti sejak sang surya menyanpa daerah ini dini hari tadi. Petanda ini biasanya dianggap sebagai rahmat bagi penduduk daerah yang berjulukan Kutaradja ini setelah lama di landa kemarau berkepanjangan.

Hujan yang disertai dengan angin kencang juga membuat sejumlah ruas jalan raya di ibukota menjadi area monopoli para borjuis yang memiliki kendaraan beroda empat. Sedangkan pengguna sepeda motor lebih memiliki berteduh hingga anugrah tuhan tersebut berhenti.

Di Simpang Mesra, sepasang suami istri yang mengenderai roda tiga dengan cat berwarna hijau tua berhenti mendadak. Mereka bukan sedang mencari tempat berteduh guna mengeringkan baju seperti yang lainnya. Padahal, keadaan alam sedang sangat tidak bersahabat saat itu.

Sang laki-laki tampak berpostur kurus kering dan berkulit sawo mantang. Dia memakai jaket hitam dan celana merek jeans. Sedangkan sang isteri berbaju katun dengan motik kotak-kotak. Mereka berhenti di dekat tumpukan sampah tidak jauh dari deretan toko tempat wartawan berteduh.

Lelaki kurus kering tadi kemudian membungkuk sambil mengais sejumlah barang yang berbahan plastik. Sedangkan sang wanita membuang air yang tertampung dalam botol tadi, kemudian memasukannya ke dalam goni besar yang terletak di atas becak hijau tua. Dua sejoli ini, sepertinya adalah warga Kutaradja yang berprofesi sebagai pemulung.

Gerakan Pasutri ini sangat cekatan. Tumpukan sampah plastik yang tadinya mengunung disana mampu berpindah tempat hanya dalam hitungan menit. Dinginnya angin yang disertai hujan lebat seakan tidak sedikitpun menganggu aktivitas rutin mereka.

”Kami sudah biasa bekerja dalam cuaca seperti ini, bahkan dalam suasana lebih ekstrim sekalipun. kalau kami tidak bekerja seperti ini, tidak bisa memberikan makanan untuk anak-anak di rumah,”ungkap pria kurus kering yang belakangan mengaku bernama Ismail, asal Gampong Keudah. Sedangkan istrinya mengaku bernama Alfida. Mereka juga telah dikarunia dua orang anak yang sedang menempuh pendidikan dasar.

”Mereka sedang sekolah. Kalau jam sekolah usai, mereka juga akan ikut memulung seperti kami,”tambah Ismail lagi. Keluarga Ismail, ternyata adalah sekelompok kecil dari kehidupan pemulung yang coba bertahan hidup di tengah-tengah himpitan masyarakat kota yang borjuis.

Menurutnya, penghasilan dari kegiatan memulung selama ini, ternyata mampu mengasapi dapur keluarganya selama ini. Dari kegiatan memulung pula, dirinya mampu menyekolahkan kedua putra-putrinya di Sekolah Dasar. Hal inilah yang selalu disyukurinya selama ini.

Jika di hitung-hitung, lanjut pria yang mengaku berasal dari Aceh Utara ini, penghasilannya dari kegiatan memulung, perharinya berkisar antara Rp45.000 hingga Rp60.000. Jumlah pendapatan ini tergantung pada jumlah sampah yang dihasilkan serta kecekatan dirinya berkerja.

”Kalau hujan seperti ini, kerja sedikit lamban. Botol plastikpun berair sehingga harus dikeringkan terlebih dahulu agar harganya lebih mahal. Para penampung biasanya membeli sampah plastik dengan harga Rp3.000 perkilo. Sedangkan sampah plastik berair Rp2000 perkilo. Kalau kami, rata-rata mendapatkan 15 hingga 20 Kg perharinya,”tutur Ismail.

Pesaing utama Ismail dalam memulung selama ini, tambah dia, adalah para petugas kebersihan kota. Para petugas tersebut memulai kerja dari pukul 22.00 WIB hingga pukul 05.00 WIB dini hari. Saat-saat itu, seluruh sampah plastik sudah pasti diboyong semua oleh para petugas sehingga sulit bagi mereka untuk mengais rezeki dari sampah.

”Oleh karena itu, kami terpaksa bekerja di luar jadwal mereka. Jika beruntung, kami menemukan rumah warga yang baru melaksanakan pesta pernikahan sehingga dipastikan akan banyak sampah pasti disana. Jika sedang sial, ya seperti sekarang, hujan lebat tanpa henti dari pagi,”ungkapnya sambil tersenyum dan tabah menjalani profesinya tersebut.

Tak lama, hujan pun mulai berhenti. Ismail kemudian meminta izin untuk melanjutkan kerjanya guna mengais sedikit rupiah dari tumpukan sampah kota tua ini. Dia ingin menaklukan kota ini dengan tekan bajanya.

Ditempat terpisah, Syarifuddin, Ketua Lembaga Perhimpunan Pemulung (LPP) yang baru saja terbentuk pada Juni 2011, mengaku jumlah pemulung di Kota Banda Aceh saat ini mencapai ribuan. Namun yang bergbung dengan pihaknya saat ini berjumlah 175 Kepala Keluarga (KK) atau 525 masyarakat di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar yang berprofesi sebagai pemulung.

”Rata-rata mereka menghasilkan 15 hingga 20 Kg sampah plastik setiap harinya. Selama seminggu, LPP menampung hampir satu ton sampah plastik. Peran pemulung dalam menjaga kebersihan kota sangat berarti, namun sering kali mereka didiskreditkan oleh Pemerintah. Kehidupan mereka masih sangat memprihatinkan,”akhiri dia.

Sabtu, 09 Juli 2011

Mastura, Lumpuh Setelah Peluru Menembus Kepalanya


Gadis kecil berkulit sawo mantang ini memiliki senyuman yang amat menawan. Padahal, dirinya merupakan salah satu saksi hidup tentang perihnya kehidupan masyarakat Aceh semasa konflik.

Gadis ini bernama Mastura. Kini dia berumur 11 tahun, asal Gampong Tanjong, Idi, Kabupaten Aceh Timur. Bocah berwajah polos ini menderita kelumpuhan setelah peluru nyasar menempus kepalanya, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kondisinya yang lumpuh ini membuat dirinya tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak seperti bocah lainnya pasca damai di Aceh. Selama sepuluh tahun terakhir, dilaluinya hanya dalam sebuah kamar kecil di desa kelahirannya itu.

“Mastura lumpuh sejak kecil. Ini berawal dari peluru nyasar yang menembus kepalanya sekitar sepuluh tahun lalu. Waktu itu Aceh sedang konflik,”kisah Rukiyah, 49, orang tua Mastura, saat ditemui oleh wartawan di kantor Lembaga Advokasi Buruh dan Nelayan Aceh (Labna), Jum’at (8/7).

Dia mengisahkan, malapetaka yang menimpa putri bungsunya tersebut terjadi pada pertengahan 2002 lalu. Sebagaimana keadaan daerah konflik pada umumnya, suasana Gampong Tanjong, kecamatan Idi, saat itu sedang sangat mencekam. Suara rentetan senjata api dan bom meletus hampir saban hari serta sering menewaskan masyarakat sipil yang tidak bersalah. Naas, Mastura yang masih berumur 13 bulan pun ikut menjadi korban.

Dan, pada hari serta bulan yang tidak lagi diingat oleh Rukiyah. Saat itu, untuk kesekian kalinnya terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM di Gampong Tanjong. Dirinya tanpa sengaja membawa Mastura keluar rumah guna menghirup udara segar.

”Tiba-tiba suara rentetan senjatapun kembali terdengar. Saya coba berlindung dan menutup tubuh Mastura. Namun pas saya memegang kepala dia, terlihat darah. Saat itulah, saya baru sadar bahwa Mastura telah menjadi korban peluru nyasar,”papar Rukiyah.

Pasca insiden tersebut, lanjut dia, pihaknya langsung melarikan Mastura ke RS Langsa. Seminggu kemudian dirujuk ke RS Adam Malik, Medan. Disana, nyawa Mastura dapat diselamatkan dan bocah tersebut mulai sadarkan diri.”Kami juga sempat membawa Mastura ke RS Mutiara di Medan. Saat itu, ada orang yang baik hati yang mau membiayai pengobatan anak saya,”ungkap janda yang ditinggal cerai suaminya ini.

Setelah keadaan Mastura semakin membaik. Pihak keluarga kemudian kembali membawa pulang dirinya ke kampung halaman. Sayangnya, saat itu keluarga tidak sadar kalau bayi mereka mulai lumpuh. Keadaan ini baru diketahui saat usia Mastura memasuki tahun ke 5 dan ke 6. Sebagaimana bayi pada umumnya, pada tahun-tahun tersebut seharusnya Mastura sudah mampu berjalan dan berbicara.

Keanehan lainnya, lanjut dia, tiap malam Masyura selalu dihantui oleh rasa sakit dan mimpi buruk. Keadaan ini selalu berulang pada pukul 02.00 dini hari. Selain itu, sejak terkena peluru nyasar, bocah Mastura juga tidak bisa mengontrol buang air sendiri.

”Kami biasanya membawanya ke dukun atau tabib kampung. Tapi tidak sembuh-sembuh juga. Akhirnya, setelah 10 tahun, kini saya kembali mencoba mengobatinya ke rumah sakit. Saya berharap dia bisa segera normal seperti anak lainnya,”pungkas Rukiyah.

Sayangnya, tambah dia, selama perawatan Mastura, dirinya tidak lagi dapat bekerja sebagai pedagang makanan seperti biasanya. Padahal, dari jerih payah pekerjaan tersebutlah mereka hidup selama ini. Nafkah terhadap dirinya dan biaya pengobotan Mastura saat ini ditanggung oleh anak yang paling tua. ”Saya berharap ada dermawan yang tergerak hati untuk membantu anak saya sembuh. Saya Cuma ingin mastura sehat,”akhiri dia. Apakah yang hendak membantu ?

 
Free Host | lasik surgery new york