Selasa, 23 November 2010

Melirik SDA Aceh Yang Masih Terabaikan


Daerah Aceh memiliki potensi sumber daya laut yang luar biasa. Namun sayangnya, cuma sedikit potensi alam ini yang mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Aceh. Sumber daya tersebut hingga kini masih terabaikan tanpa mampu dijamah keperawanannya oleh para ahli di daerah ini.

Di sektor perikanan, pesisir pantai Aceh memiliki panjang 1.660 km dengan luas perairan laut 295.370 km², terdiri atas luas wilayah perairan ( teritorial dan kepulauan ) seluas 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 238.807 km². Jenis ikan laut yang ditangkap: ikan kembung, layang, tongkol, tuna, dan tembang.

Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri perikanan tangkap di laut dan perairan umum (sungai, danau, waduk dan rawa-rawa) dan perikanan budidaya (ikan air payau di tambak, di kolam, ikan di sawah (mina padi) atau budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung, baik di laut maupun diperairan tawar).

Gempa bumi dan tsunami 2004 telah menyebabkan kerusakan besar di sektor kelautan dan perikanan. Produksi perikanan tangkap (kembung, laying, tongkol, tuna, dan tembang) pada 2005 sebanyak 109.152,2 ton, sementara produksi 2004 mencapai 140.780,8 ton.

Sedangkan produksi 2006 meningkat menjadi 154.000 ton. Potensi ikan tangkap di Aceh 1,8 juta ton.

Jika sektor perikanan Aceh mampu digarap secara maksimal, sektor ini sebenarnya mampu menyerap 257.300 tenaga kerja atau sekitar 51.460 kepala keluarga atau mencapai 31,68% dari 811.971 total tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian.

Potensi perikanan lainnya adalah budidaya rumput laut, kerapu, kakap, lobster dan kerang mutiara dengan potensi sebaran seluas ±12.014 ha,membentang mulai dari Sabang, Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeleu, sampai Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil. Pengembangan perikanan ini didukung oleh sebaran luas terumbu karang seluas ±274.841 ha, membentang mulai dari Sabang, Aceh Besar sampai pantai barat selatan Aceh.

Tidak hanya itu, Posisi Aceh juga berhadap langsung dengan lautan india yang merupakan sarang ikan tuna di dunia. Namun sektor ini ternyata belum mampu digarap maksimal oleh Pemerintah Aceh.

Sejumlah ikan tuna yang ditangkap oleh nelayan Aceh saat ini hanya ikan yang berada di daerah teritorial. Sedangkan tuna yang berada di laut lepas belum mampu sedikitpun dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh secara maksimal untuk kepentingan masyarakatnya.

Karena ketidakmampuan ini, keberadaan tuna akhirnya ’dijarah’ oleh nelayan dan pemerintah dari negara-negara tetangga. Sedangkan Aceh hanya menjadi penonton selama bertahun-tahun.

Parahnya lagi, Pemerintah Aceh saat ini bahkan belum mampu menyedikan pelabuhan yang dinilai layak untuk dijadikan tempat persinggahan kapal-kapal nelayan yang menangkap ikan tunas di lautan lepas. Kemudian, peluang inipun kini malah diambil alih oleh provinsi lain, seperti Muara Baru Jakarta. kondisi ini sangat memprihatikan sehingga perlu adanya pembenahan.

Bagi penulis sendiri, ada banyak hal yang perlu kembali didiskusikan ulang mengenai tata pembangunan bidang perikanan di Seramoe Mekkah.

Pelabuhan Standar Internasional
Provinsi Aceh dinilai belum memiliki satupun pelabuhan ikan yang berstandar internasional sebagai tempat merapatnya sejumlah kapal-kapal besar yang menangkap tuna di lautan india lepas. Kondisi ini dinilai sebagai satu peluang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara tidak sengaja telah dibuang oleh Pemerintah Aceh pada saat ini.

”Kita tidak memiliki satupun pelabuhan ikan yang layak disebut sebagai pelabuhan ikan standar internasional. Akibatnya, banyak sumber daya laut yang kaya akan ikan terabaikan begitu saja,”ungkap M. Adli Abdullah. M.Cl, Direktur Pusat Studi Adat Laut dan kebijakan Perikanan (Pushal-KP) Unsyiah, kepada wartawan, Kamis (4/11).

Menurutnya, daerah Aceh yang berhadapan langsung dengan lautan india lepas sebenarnya amat kaya dengan keberadaan ikan tuna. Namun untuk menangkap ikan ini, para nelayan diharuskan bergabung dalam Organisasi Indian Ocean Tuna Comisi (IOTC) atau Komisi Tuna Lautan India, karena populasi ikan ini sudah semakin sedikit.

Negara Indonesia, lanjut dia, merupakan anggota organisasi IOTC yang ke 27 dan masuk menjadi anggota pada tahun 2007. Dari organisasi ini, Negara Indonesia dikabarkan mendapatkan devisa sebesar 1, 4 triliun pertahun dan berhak untuk menangkap tuna dalam kuorta 650 juta ton pertahun.

Sayangnya, ungkap dia lagi, hingga kini belum banyak nelayan Aceh yang mengambil peluang ini. Bahkan, Pemerintah Aceh dianggap juga kurang peka untuk melakukan upaya upaya pemanfaatan sektor ini.

”Tidak hanya itu, kita bahkan tidak memiliki satupun pelabuhan standar internasional yang layak agar kapal-kapal penangkap tuna ini bisa merapat di Aceh. Padahal jika ada, ini tentu sebuah peluang yang sangat luar biasa bagi nelayan dan pemerintah,”tutur mantan Sekjend panglima laot ini.

Selama ini, tambah dia, pelabuhan yang dijadikan tempat merapatnya kapal-kapal tuna ini adalah di Muara Baru, Jakarta. Adli juga mengaku sudah pernah berpergian ke pelabuhan Muara Baru dan bertemu dengan para pengusaha kapal ikan tuna disana. Para pengusaha itu mengaku, mereka merapat ke Muara Baru, karena Aceh tidak memiliki pelabuhan ikan standar internasional.

”Jika Aceh memiliki pelabuhan standar internasional, maka mereka mengaku lebih memilih Aceh sebagai lokasi merapat. Selain lebih dekat dengan lokasi penangkapan tuna (lautan India lepas-red), para pengusaha itu juga mengaku akan menghemat biaya perjalanan mereka sebesar 60 juta persekali penangkapan,”jelas dia.

Di Muara Baru, lanjut dia, gara-gara merapatkannya kapal-kapal tuna ini telah berhasil mempekerjakan hampir 40 ribu orang perhari. Jika Aceh memiliki pelabuhan standar internasional seperti Muara Baru, tentu hal yang sama juga dapat dilakukan di Aceh sehingga perekonomian masyarakat meningkat.

”Saat ini peluang ini sedang dilirik oleh Sumatra Barat dan Sibolga, Sumatra Utara. Sedangkan kita akan tiga pelabuhan yang rencananya dibangun standar internasional, seperti Pelabuhan Samudra Lampulo, Pelabuhan Labuhan Haji, serta Pelabuhan Idi. Namun kelanjutan pembangunan ketiga pelabuhan ini tidak jelas hingga sekarang sehingga jika tidak segera dilanjutkan pembangunannya pada 2011, peluang ini dikhawatirkan diambilalih oleh daerah lain,”akhiri dia.

Sama halnya dengan analisa penulis, gerak pemerintah dalam membedah pembangunan sektor perikanan seharusnya dapat dipercepat. Jangan sampai, peluang yang ada didepan mata pu akhirnya diserobot oleh pemerintahan provinsi lainnya.

Potensi Perikanan Aceh Belum Digarap Optimal
Potensi Sumber Daya Alam (SDA) bidang perikanan yang ada di perairan Aceh dinilai belum mampu digarap secara maksimal. Pemerintah Aceh periode ini, juga dianggap kurang serius dalam mengenjot sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bidang perikanan sehingga peluang tersebut telah diambil oleh provinsi lain, seperti Sumatra Utara dan Sumatra Barat.

”Potensi perikanan yang ada di perairan Aceh saat ini belum dapat digarap maksimal. Akibatnya, potensi tersebut malah dimanfaatkan oleh provinsi lain untuk mengenjot PAD mereka. Sedangkan kita hanya diam menyaksikan kasus ini terjadi,”ucap Muklisin, ahli perikanan Aceh dan dosen Fakultas Pertanian Unsyiah, dalam diskusi mingguan Pusat Studi Adat Laot dan Kebijakan Perikanan (Pushal-KP) Unsyiah, di Kantin AAC Dayan Dawood, Kamis ( 4/11).

Menurutnya, selain perikanan laut, potensi perikanan air tawar, perikanan air payau, serta budidaya perikanan dinilai juga masih kurang digarap maksimal. Keberadaan nelayan dan petani tambak juga dianggap masih kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, terutama untuk peningkatan pengetahuan budidaya ikan, serta kuncuran kredit.

Akibatnya, banyak cara-cara penangkapan yang dilakukan oleh para nelayan dianggap justru membunuh populasi ikan, seperti penggunaan pukat harimau, serta pencemaran air laut. Kasus seperti ini, ditemukan di danau Laut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah.

”Kondisi Danau laut tawar sangat memprihatinkan. Jaring ikan yang digunakan oleh para nelayan disana bisa menangkap anak ikan. Padahal, telah ada Perda yang mengatur hal ini, namun tidak diacukan. Belum lagi penggunaan bom racun yang dapat membunuh telur ikan,”ungkap Muklisin.

Dirinya mengaku telah melakukan penelitian hal ini selama berbulan-bulan di Danau Laut Tawar. Rekomendasi hasil penelitian ini juga telah disampaikan pada Pemkab Aceh Tengah dan Dinas Perikanan Provinsi Aceh, tetapi tidak ada tindaklanjuti yang berarti.

”Masyarakat melakukan pelanggaran ini karena pengetahuan yang minim. Namun Pemkab dan Pemprov ternyata juga tidak mau peduli hal ini karena sektor itu tidak menjadi fokus pemasukan bagi PAD,”tutur dia.

Jika seandainya pemerintah fokus, tambahnya, pemerintah seharusnya mampu memberikan pemahaman yang baik bagi nelayan, serta memberikan fasilitas kredit untuk mengembangkan perekonomian mereka dan membangun fasilitas perikanan yang memadai.

Seriuskan Pemerintah Penting
Dalam membangun sektor perikanan Aceh sebenarnya sangat diperlukan adanya tingkat keseriusan yang tinggi dari pemimpin Aceh saat ini. Namun hal inilah yang sulit dicari oleh masyrakat saat ini.

Jika kita merujuk pada Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2011 yang diajukan oleh eksekutif ke legislatif beberapa waktu lalu. Maka secara jelas dapat dilihat bahwa para Pemimpin Aceh saat ini sebenar masih kurang serius untuk mengenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor perikanan.

Mengapa demikian? Karena alokasi anggaran untuk bidang perikanan ternyata masih sangat sedikit dibandingkan sektor lain. Pemerintah saat ini juga dinilai masih terus mengandalkan sektor pertambangan yang tidak dapat diperbahrui bidang sumber daya tersebut suatu saat habis.

Sebagai contoh, mudahnya keluar izin untuk bidang pertambangan, seperti untuk PT. Lhoong Setia Mining (LSM) di Aceh Besar dan PT.PSU di Aceh Selatan. Padahal, dampak dari izin tersebut disinyalir telah merusak lingkungan dan mendapatkan protes keras dari warga sekitar.

Selain itu, Pemerintah Aceh saat ini juga dirasakan enggan untuk fokus pada pembinaan nelayan Aceh. Para nelayan dan masyarakat pesisir Aceh saat ini masih mengandalkan kemampuan pribadi dan alat tangkap tradisional dalam setiap aktivitasnya. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa ikan-ikan yang berada di perairan Aceh seperti tuna yang memiliki nilai jual tinggi akhirnya malah menjadi tangkapan nelayan luar.

Bagi penulis, salah satu cara untuk mengenjot PAD Aceh kedepan, hanya dengan memanfaatkan sektor pertanian dan perikanan. Kedua sektor ini memiliki SDA yang melimpah.

Pemerintah sejatinya perlu membangun fasilitas yang memadai bagi nelayan, seperti pelabuhan ikan. Hal lain adalah pemberian kredit lunak agar nelayan Aceh mampu mengembangkan diri dan tidak selalu identik dengan kemiskinan. Jika sektor ini tidak dimanfaatkan, serta nelayan tidak diberikan fasilitas, maka sampai kapan pun daerah ini tidak akan berkembang.Sebaliknya, potensi yang ada saat ini malah akan dikuras oleh daerah lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york