Sabtu, 25 September 2010

Selamat Datang di Banda Aceh, Kota 1001 Parkir


Wajah Zaki Tampak Memerah. Padahal, cahaya matahari sedang tidak begitu teriknya saat itu, Kamis (23/9) .Pasar Peunayong, tempat yang dia singgahi, juga tidaklah sesumpek biasanya. Namun pria berkulit sawo matang ini masih terus mengelutuk sambil menarik dompet hitam miliknya.

Dia menyerahkan uang lembaran dua ribuan kepada seorang bapak-bapak bertubuh subuh yang mengenakan jaket biru bertulisan juru pangkir Kota Banda Aceh.

Tampaknya, dialog antara dirinya dengan tukang pangkir tadilah yang membuat muka M. Zaki asal Kota Bandung ini memerah. Dialog mereka tadi juga sempat menarik perhatian sejumlah pria bermuka sipit dan warga lokal lainnya, yang mengintip dari dalam toko Ponsel dengan wajah penasaran.

Berbeda dengan si bapak-bapak tadi, dia justru menebar senyum lebar dengan penuh kemenangan. Uang lembaran dua ribuan yang didapatkannya tadi, langsung disatukan dengan lembaran lainnya. Uang tersebut diletakan paling atas dari tumpukan ‘rupiah’ lainnya. Sedangkan recehan Rp50, dimasukannya kedalam kantong baju.

“Kota apa ini? sedikit-sedikit uang,”ucap Zaki sambil membetulkan bawaannya diatas sepeda motor merek Vario. Tampaknya Amarah Zaki belum juga reda sesuai ‘berdialog’ dengan juru Pangkir tadi. ‘Kerjaannya’ untuk merapikan barang bawaan guna memudahkan saat mengemudi nanti, jadi lama hanya karena kemarahan tadi.

“Saya marah mas, saya hanya memarkirkan kreta hanya untuk mengecek HP sebentar, sudah dikenakan tarif parkir,”keluh pria yang berumur seperempat abad ini kepada penulis, saat menyapanya.

Tanpa diminta, Zaki mengisahkan bahwa hari itu, dia dengan modal pas-pasan bermaksud untuk belanja di Pasar Peunayong, sekaligus mengecek kondisi HP di Graha Nokia. Maklum HP-nya itu sudah agak ‘kadaruarsa’ sehingga sering bemasalah saat menerima telpon. Untuk aktivitas ini, pria yang mengaku tinggal di Darussalam selama di Aceh, cuma membawa serta uang, Rp50 ribu perak.

“Tadinya, saya pikir cukup segitu. Untuk belanja Rp40 ribu sudah cukup. Sisanya, bisa untuk ngopi atau apalah,”kata turis lokal ini. Kedatangannya ke Aceh, hanya untuk mengantar adik sematanya yang hendak menempuh pendidikan di Unsyiah, serta memastikan adiknya itu mendapatkan kos yang baik dan nyaman.’Vario’ itu sendiri, di pinjam dari temannya yang ada di Aceh.

Namun, kata Zaki, perhitungannya tersebut jauh melesat dari target semula. Dia, ternyata lupa memasukan uang untuk keperluan parkir. Dari lima tempat, di kawasan Pasar Aceh dan Pasar Peunayong yang disinggahi, ternyata menghabiskan dana sebesar tujuh ribuan.

“Dari tiga tempat, diambil Rp2 ribu sekali parkir. Sedangkan dua tempat lagi, seribu sekali parkir. Saya marah karena sikap mereka (tukang parkir-red) sudah keterlaluan,”tandasnya.

“Setiap saya singgahi satu toko, selalu diharuskan parkir sepeda motor. Jadi, parkir disini (Kota Banda Aceh-red) ada dimana-mana. Udah itu, tarif parkir disini juga tidak disamaratakan, serta bervariasi,”ungkap dia secara menggebu-gebu. Maklum, Zaki baru kali ini datang ke Aceh.

Yang pertama, dia datang saat tsunami. Serta yang kedua, adalah kali ini dengan tujuan mengantar adeknya untuk kuliah. Zaki juga tidak tahu, keberadaan Qanun No 11 tahun 2007 tentang pengutipan retribusi parkir di Kota Banda Aceh.

“Saya pulang dulu mas!”ucap dia sambil meninggal lokasi. Keluhan ini merupakan satu dari seribu protes tentang pengelolaan parkir yang tidak profesional di Aceh.

Menyangkut hal ini, Ketua Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Arif Fadillah, sebenarnya sudah meminta para Juru Parkir (Jukir) di wilayah kota Banda Aceh agar dalam melakukan pengutipan biaya retribusi sesuai dengan Qanun No 11 tahun 2007.

“Saya tidak setuju dengan pengutipan retribusi parkir yang selama ini melanggar Qanun,” ujar Arif, menaggapi keluhan warga pengguna jasa parkir terhadap tidak menentunya tarif retribusi yang ditetapkan oleh Jukir di sejumlah lokasi di Banda Aceh.

Dijelaskannya, tarif parkir di kota Banda Aceh harus mengacu pada Qanun No 11 tahun 2007 tentang retribusi pelayanan parkir. Dalam Qanun tersebut, kata dia, besarnya biaya parkir untuk setiap kenderaan telah ditetapkan dan harus dipatuhi karena sifatnya telah mengikat.

“Dalam mengutip biaya retribusi, Jukir tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang berlaku, karena akan memberatkan pengguna jasa,” tegasnya. Sesuai dengan Qanun No 11 tahun 2007, tarif parkir roda dua maupun roda tiga Rp500-/sekali parkir. Untuk roda empat dan roda enam masing-masinya dikenakan Rp 1000-2000-/sekali parkir.

Namun dalam prakteknya, banyak sekali terdapat perlanggaran. Jargon Banda Aceh, dari kota wisata islam, sepertinya tidak pantas lagi disemaikan karena kemunafikan-kemunafikan ini. jargon yang cocok bagi Banda Aceh saat ini, adalah kota 1001 parkir.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york