Kinerja setahun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang baru dilantik sejak 30 September 2009 hingga 30 September 2010 lalu, dinilai masih sangat buruk. Anggota dewan yang dominasi oleh para politikus dari salah satu partai lokal ini pun, menjadi bulan-bulannya media massa dan elemen sipil.
Paling tidak, hal inilah yang sedang menjadi pembahasan khusus dari sejumlah seminar dan diskusi, mulai dari hotel-hotel berbintang hingga kepembicaraan warung-warung kopi yang kecil milik masyarakat di seluruh Aceh.
Tidak ketinggalan, aksi jalanan ala mahasiswa juga kerap kali dilakukan sebagai nada protes atas kurang memuasnya kinerja ‘wakil masyarakat’ tersebut. Sedangkan kaum ibu-ibu juga tak luput itu ambil bagian dalam mengembangkan ‘pembicaraan ini’ sebagai gossip panas atau hot saat sedang berkumpul dengan para tetangga.
Suara sumbang bernada menyesal juga tak luput dari pembicaraan para pimpinan dayah dan pesantren. Mayoritas dari mereka, mengaku kecewa dengan kinerja para dewan yang dianggap lebih mementingkan ‘kelompok kecil’ dari kepentingan masyarakat banyak, kemudian melupakan pendekatan-pendekatan keagamaan, serta penguatan ekonomi.
Bagi penulis sendiri, kondisi ini seakan menjadi arus balik dari rangkaian kenjadian sejak tahun 2005 lalu. Dimana pada saat itu, isu kegagalan pemerintahan nasional juga sempat menguat di Aceh sehingga masyarakat mempercayakan para pemimpin lokal di Pilkada dan Pemilu 2009.
Saat itu, pemimpin dari partai nasional dianggap gagal dalam mengawal perdamaian Aceh. Para politis Parnas dianggap hanyalah kaki tangan dari pemerintah pusat yang telah lama mengkhianati rakyat Aceh sehingga kepercayaan terhadap pemimpinan lokal dinilai patut dicoba.
Namun nyatanya hal yang sama kini terulang menimpa para politisis partai lokal.Singkat cerita, tingkat kepopuleran pemimpin lokal dan partai lokal di Aceh kini sedang dirudung masalah. Hal ini dinilai memiliki dampak buruk dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan lokal.
Jika kita mau menganalisis, menurunnya populeritas pemimpin lokal ini terjadi pasca Pemilu 2009. akibatnya, transpormasi bentuk perjuangan yang dilakukan oleh para eks kombatan, dari pola perjuangan bersenjata ke perjuangan politik, juga terancam gagal bila keadaan ini terus dibiarkan.
Rapor merah
Setahun kinerja anggota dewan periode berjalan masih harus diberikan angka merah. Kinerja setahun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang dilantik sejak 30 September 2009 hingga 30 September 2010 dan di dominasi oleh para politikus dari Partai Aceh dinilai masih sangat buruk.
“Setahun kinerja anggota dewan periode berjalan masih harus diberikan angka merah. Namun belum ada pihak yang berani menyuarakan ini karena masih takut dengan kelompok eks kombatan yang memiliki suara mayoritas di DPR Aceh,”ucap Teuku Ardinsyah, perwakilan Aksara Strategis Institute, dalam acara Coffe Morning di kantor Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, beberapa waktu lalu.
Menyangkut hal yang sama, Isra safril, Kepala Divisi Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, menambahkan bahwa setahun kinerja DPRA masih meninggalkan sejumlah persoalan. Sejumlah persoalan ini dinilai terjadi karena lemahnya kinerja pihak terkait.
Pertama, kata dia, adalah permasalahan posisi kursi Wakil Ketua III DPRA adalah permasalahan serius yang masih belum terisi, tidak jelasnya aturan dan kepastian hukum itu telah menyebabkan tidak lengkapnya alat kelengkapan dewan.
Polemik ini dinilai bukan tanpa alasan, karena ada pemahaman antara UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dengan aturan UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Jika kembali melihat aturan pelantikan pimpinan DPRA, pada saat itu aturan yang dipergunakan adalah Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009.
Selanjutnya, adalah persoalan tentang usulan dana aspirasi Anggota DPRA sebesar Rp 5 miliar per anggota dewan atau sekitar Rp345 miliar dari total APBA Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp7,6 Triliun.
Salah satu fungsi DPRA adalah penyusunan anggaran (budgeting), namun tidak serta merta setelah fungsi tersebut juga harus membuat program dan kemudian memberikan kepada eksekutif. Jika kembali menelik pada UU No 34 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tidak menyebutkan adanya program yang harus dikerjakan oleh legislatif seperti yang dilaksanakan oleh eksekutif, karena DPRA hanya berfungsi untuk legislasi atau melahirkan regulasi, penyusunan anggaran (budgeting) dan monitoring program eksekutif.
Permasalahan lain, selama setahun kerja Anggota DPRA, ada 21 Rancangan Qanun yang menjadi Prioritas pada tahun 2010. Namun, hanya ada satu Qanun yang selesai disahkan yakni Qanun APBA Tahun Anggaran 2010, meskipun qanun tersebut tidak termasuk dalam daftar 21 Rancangan Qanun Prioritas 2010. Namun, hingga kini belum ada satupun Rancangan Qanun yang disahkan.
Terakhir, tambah dia, adalah molornya penandatangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Aggaran Sementara (PPAS) Tahun 2011 dari jadwal semestinya. Seharusnya, seperti yang diatur dalam Pasal 87 Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, ayat 3 menerangkan bahwa Rancangan KUA dan Rancangan PPAS yang telah dibahas, selanjutnya disepakati menjadi KUA dan PPAS paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.
“Namun hingga akhir September 2010 atau setahun masa bakti Anggota DPRA belum juga ada titik terang jadwal penandatangan nota kesepatan KUA dan PPAS 2011 antara Pemerintah Aceh dan DPRA. Ini seharusnya menjadi catatan besar, agar proses penyusunan RAPBA 2011 tidak molor seperti tahun-tahun sebelumnya dengan alasan klasik serta saling menyalahkan,”akhirnya.
Pemaparan kedua tokoh ini bisa jadi sebuah rujukan penting mengenai lambannya kinerja legislative periode yang sedang berjalan.
Kondisi psiologis masyarakat yang ingin secepatnya meninggalkan masa ‘kegelapan’ yang terjadi akibat konflik yang berkepanjangan ternyata bertolak belakangan dengan kinerja dewan yang ‘lamban’. Hal inilah yang mengakibatkan sorotan negative tersebut berhembus kencang ditengah-tengah masyarakat.
Beda Pola Penanganan
Sebenarnya, semua kesalahan-kesalahan tadi juga tidak sepatutnya dialamatkan kepada jajaran legislative yang baru. Pasalnya, menurut amatan penulis, terdapat perbedaan pola dan bentuk penanganan masalah antara kerja legislative dari partai nasional periode sebelumnya dengan kerja legislative dari partai lokal pada periode yang sedang berjalan.
Legislatis pada periode sebelumnya, lebih mengutamakan penguatan ekonomi masyarakat dan menjalankan konsep pendampingan ekonomi untuk masyarakat pendalaman sehingga lebih menyentuh pada akal permasalahan. Namun konsep ini ternyata tidak dapat bertahan lama karena konflik yang sedang terjadi.
Sedangkan legislative baru, seprtinya masih focus dalam penguatan produk hukum untuk mengimplementasikan butir-butir MoU Helsinki. Namun kenyataannya, hingga lima tahun usia perjanjian, pemerintah pusat belum juga menerbitkan 6 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Peraturan Presiden (Perpres), serta 1 Keputusan Presiden (Kepres).
Aturan turunan UUPA yang hingga kini masih menjadi utang pemerintah pusat adalah PP tentang Kawasan Khusus, PP tentang Pengelolaan Migas, PP tentang Pelimpahan Kewenangan, PP tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh/Kab/Kota, PP tentang Penetapan nama Aceh dan gelar pejabat yang dipilih setelah Pemilu 2009, dan PP tentang Standar, Norma dan Prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh/Kab/Kota.
Sementara dua Perpres turunan dari UU PA yang belum ada adalah Perpres tentang kerja sama internasional dengan Aceh, Perpres tentang Pengalihan Kanwil BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kab/Kota menjadi perangkat daerah Aceh dan perangkat Kab/Kota.
Sedangkan Kepres turunan dari UUPA adalah, Kepres tentang Penetapan dan pemberhentian Sekda Aceh.
Disinilah terdapat berbagai kendala yang ‘mungkin’ menyebabkan para dewan baru ini bekerja lebih lamban. Sayangnya, kenyataan seperti ini, ternyata juga tidak pernah diungkapkan ke public agar masyarakat mengerti dan tidak terlalu berharap pada ‘perjanjian keramat’ MoU Helsinki.
Akhirnya, masyarakat Aceh selalu diiming-imingkan dengan ‘angin syurga’ dan kecewa talkala mengetahui apa yang dijanjikan ternyata hanyalah omong kosong.
Masukan Berharga
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Amir Helmi, menyangkut tanggapan elemen sipil dan sorotan negative yang dialamatkan kepada pihaknya yang menilai kinerja setahun DPRA masih buruk, mengatakan hal ini adalah sebuah masukan yang berarti bagi pembaikan kinerja dewan kedepan. Namun dirinya mengatakan tidak sepakat jika dewan periode berjalan ini, dikatakan tidak berbuah apa-apa.
“Bagi saya, penilaian setahun kinerja ini adalah hal yang positif dari elemen sipil dalam mencermati kinerja legislatif. Namun bukan berarti kita (dewan-red) tidak berbuat apa-apa,”ucap politisi dari Partai Demokrat ini.
Dia menjelaskan, mengenai lambannya pengesahan qanun, secara prinsip pihaknya mengakui memang telah menetapkan 21 qanun prioriotas. Namun dalam pelaksanaannya, pembahasan qanun itu tidak dapat berjalan secara maksimal, karena baru 9 qanun yang masuk dalam tahap pembahasan dan baru 2 qanun yang dipastikan akan selesai per September ini.
Kata dia, hal ini diakibatkan oleh keterlambatan Raqan yang disampaikan oleh jajaran eksekutif maupun Raqan yang menjadi inisitaif DPRA karena masih ada draft yang baru yang perlu dibahas dari awal. Belum lagi dalam pelaksanaannya juga disertakan emosi dari sejumlah pihak yang tetap ngotot mempertahankan isi qanun.
“Pandangan saya selaku wakil ketua dalam hal ini terjadi karena adanya cara pandang yg berbda antara eksekuti dan legislatif sehingga hal ini terjadi,”tandasnya.
Selain itu, tambah dia, molornya pembahasan KUA dan PPAS karena ada perbedaan pandangan dari legislative yang perlu di klarifikasi kembali ke ekesekutif. Selain itu, masalah hari libur, masalah puasa dinilai juga merupakan penyebab pembahasan ini terganggu. Disamping itu, juga ada perubahan kenaikan Pagu ditengah pembahasan.
“Ada kenaikan Pagu sehing diperlukan sinkronisasi kembali. Disatu sisi juga kita harus memlihat kembali sisi belanja kebutuhan Aceh. ini merupakan permasalahan yang menyebabkan kinerja dewan belum maksimal,”aklhirinya.
Terlepas dari semua persoalan ini, bagi penulis, keterus-terangan pihak legislatif baru dan partai politik pengusung untuk mengaku kekurangan mereka adalah suatu hal yang mutlak dilakukan untuk saat ini. Perilaku tersebut penting sehingga tidak kembali dicap ‘gagal dan pengkhianat’ oleh masyarakat Aceh selaku pemilih.
Dewan baru juga harus mampu merangkul semua pihak guna menuntupi kelemahan mereka dan dapat menuntut pemerintah pusat untuk memenuhi semua janji yang telah disepakati pada 15 Agustus 2005 lalu.
Jika para dewan ini masih bertindak sebagai dewan dari kelompok tertentu, maka mereka pasti akan ditinggalkan masyarakat. Akhirnya, kasus yang sama seperti yang menimpa partai nasional diawal perdamaian Aceh, juga akan berimbas pada mereka.
Review Pintu, Aplikasi Trading Crypto dan Investasi Aset Digital
2 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.