Selasa, 17 Agustus 2010

Ketika Uang Nelayanpun Ikut Disikat Maling Berdasi


Bukan lagi sebuah rahasia umum kalau negara kita, Indonesia termasuk dalam daftar tiga besar peraih gelar negara terkorup di dunia. Perilaku gemar berkorupsi menjamur di semua profesi pekerjaan, yaitu mulai dari pejabat paling tinggi, para PNS di pemerintahan, para pelaku wirausaha, serta masyarakat biasa.

Sebagai salah satu contoh, uang hibah untuk nelayan miskin pun rupanya tak luput dari sasaran tindakan korupsi. Hal ini diduga terjadi pada Yayasan Pangkai Meureuno Aneuk Nelayan (YPMAN), yang merupakan lembaga otonom hasil bentukan Panglima Laot Aceh, pada proyek pembelian sepetak tanah di Desa Neuheun seluas 7.149 m2 dengan dugaan Mark Up sebesar Rp750 juta lebih.

Yayasan Pangkai Meureuno Aneuk Nelayan (YPMAN) diduga telah melakukan Mark Up dana hibah nelayan dalam pembelian sepetak tanah di jalan Laksamana Malahayati, Km 13.5, Neuheun, Aceh Besar. Dana yang dikucurkan untuk pembelian tanah seluas 7.149 m2 tersebut, bersumber dari bantuan hibah Menkokesra sebesar Rp4,45 milyar dan hasil lelang kapal ikan Thailand, sebesar Rp11,9 milyar dengan post anggaran khusus untuk pembelian tanah sebesar Rp1.251.075 ribu.

Menurut sumber dan data yang diperoleh penulis di lapangan, pembelian tanah seluas 7.149 m2 sejatinya akan dipergunakan untuk membangun sekretariat Yayasan Pangkai Meureuno Aneuk Nelayan (YPMAN).

Dugaan adanya Mark Up, karena harga tanah yang dibayar cuma sebesar Rp70 ribu per meternya, dengan jumlah total keseluruhan harga tanah sebesar Rp500.430.000, pada masyarakat.

Sementara dalam laporan Rapat Kerja YPMAN, TA. 2009-2010, pihak yang membeli tanah tersebut membuat jumlah harga tanah permeternya yang dibeli adalah sebesar Rp175 ribu, dengan total keseluruhan sebesar Rp1.251.075.000.

Dalam hal ini, pihak Lembaga Laot tersebut diduga telah meraup keuntungan atau Mark Up dari post anggaran pembelian tanah sebesar Rp750.645.000 ribu.

“Dugaan Mark Up yang terjadi, sekitar Rp105 ribu per meternya oleh panitia pembelian tanah. Jika dikalikan, maka total jumlah Mark Up yang terjadi sebesar Rp750 juta lebih,” ungkap salah seorang sumber kepada penulis.

Selain itu, beberapa temuan penulis juga menunjukan bahwa ada beberapa dugaan lain yang dapat menguatkan bahwa adanya ‘upaya bersama’ dalam dugaan Mark Up dana nelayan ini.

Sebagai contoh, dana YPMAN sebesar Rp1.251.075.000 dicairkan dari pihak keuangan lembaga sekitar tanggal 4 Maret 2009. Padahal, tanah untuk lokasi sekretariat Yayasan di Desa Neuheun Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, baru didapatkan pada tanggal 20 Maret 2009 lalu. Sedangkan proses pembayarannya baru dilakukan pada tanggal 26 Maret 2009.

“Jadi jarak pencairan uang dari yayasan tersebut dengan penyesuaian penetapan tanah, mempunyai limit waktu yang lama sekitar 16 hari. Mengapa dana sudah dicairkan duluan sesebelum tanah didapatkan kalau bukan ada tujuan hendak bermain,”jelas sumber tadi.

Diduga, tiga pengurus Yayasan Pangkai Meureuno Aneuk Nelayan (YPMAN), atau lembaga otonom bentukan panglima laot Aceh diduga terlibat aktif pada penyelewengan dan dugaan Mark Up dana hibah nelayan dalam pembelian sepetak tanah di jalan Laksamana Malahayati, KM 13.5, Desa Neuheun, Aceh Besar. Sebut saja mereka berinisiar Bus, Mif, serta Is.

Ketiga pengurus ini diduga dengan sengaja melakukan skenario penyelewengan dana hibah sehingga merugikan nelayan sebesar Rp750.645.000.

Menurut sumber informasi yang diperoleh, tiga nama yang dinilai bertanggungjawab ini adalah Bus selaku ketua YPMAN, Mif, Sekretaris YPMAN serta Is, selaku pihak ketiga atau agen tanah yang sedang diperkarakan oleh masyarakat setempat saat ini.

“Keterlibatan ketiganya memiliki porsi masing-masing. Mereka ‘yang diduga bermain’ dibalik dugaan Mark Up yang terjadi, yaitu Rp750.645.000,” ucap sumber penulis lainnya yang minta namanya dirahasiakan, Sabtu (9/10) lalu.

Menurutnya, dugaan keterlibatan Bus selaku ketua YPMAN, serta Mif, diduga terjadi pada upaya pencairan dana yayasan jauh hari, sebelum pembayaran tanah terjadi. Dana tersebut dicairkan dari pihak keuangan lembaga sekitar tanggal 4 Maret 2009 dan tanah baru didapat sekitar tanggal 20 Maret 2009. Sementara pemilik tanah, baru dibayar sekitar tanggal 26 Maret 2009.

“Bus dan Mif diduga menarik dana cepat, yaitu 4 maret 2009 untuk diserahkan pada Is selaku pihak ketiga guna dicari tanah dan dibayar pada 26 Maret lalu. Skenario yang dibuat seolah-olah nantinya, pihak yayasan membeli tanah dari Is dengan harga Rp175.000 permeter. Padahal tanah tetap dibeli dengan dana yayasan,” ucap sumber tadi.

Sedangkan dugaan keterlibatan Is, tambah sumber tadi, adalah di duga karena mark up yang terjadi. Dia membeli tanah seharga Rp70 ribu permeter dengan luas 7.149 m2 dari Daeng, seorang warga Desa Neuheun. Namun tanah ini kemudian pada laporan Rapat Kerja YPMAN, TA. 2009-2010, pihak yang membeli tanah membuat jumlah tanah permeternya yang dibeli sebesar Rp175 ribu, dengan total keseluruhan sebesar Rp1.251.075 ribu.

“Ketiganya sudah dipanggil polisi beberapa kali karena dugaan mark up senilai 105.000 permeter atau Rp750.645.000 dari 7.149 m2 luas tanah yang dibeli. Namun ditingkat Kepolisian Banda Aceh, kasus ini sendiri sangat ditutupi karena ketiga tersangka memiliki jabatan penting pada sejumlah posisi di Aceh,” papar sumber tadi lagi.

Sementara sumber penulis lainnya, yaitu Geuchik Neuheun, Sabirin, S.Pd yang dihubungi penulis, mengakui adanya selisih harga tanah yang dibeli dengan harga dalam Laporan Kerja Panglima Laot, seperti yang dilihatnya dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) di Poltabes, saat dipanggil sebagai saksi beberapa kali. Namun, semua itu, katanya baru diketahui dikemudian hari, kalau harga tanah yang dianggarkan tersebut mencapai Rp1.251.075 ribu.

“Berdasarkan surat perjanjian jual beli tanah yang saya tanda tangani, dengan bubuhan tanda tangan Rossi (istri Daeng) sebagai penjual tanah, bahwa harga yang tertera sebesar Rp70 ribu per meter dengan luas tanah 7.149 m2, total keseluruhan tanah tersebut menjadi Rp500.430 ribu,” jelasnya.

Namun, sayangnya, kasus ini seakan kian raih di tingkat kepolisian. Beberapa kali dikonfirmasi oleh penulis, baik mendatangi langsung ke Poltabes Banda Aceh, maupun melalui HP, ternyata jajaran disana masih terkesan sangat menutupi adanya kasus ini, bahkan terkesan menyembunyikannya.

Pihak Polisi Kota Besar (Poltabes) Banda Aceh, Kombes Pol Syamsul Bahri melalui Kabag Reskrim, AKP Syahrul, Sik, cuma mengatakan satu kata secara singkat.

“Maaf, saya tidak bisa menjawabnya karena kasus tersebut bukan saya yang menanganinya. Saya harus memanggil pihak penyidik dulu untuk memastikan jawaban kasus tersebut,” ujarnya, Senin (12/10). Namun ketika penulis mendatangi kantor tersebut untuk kejelasan, tetap tidak memperoleh data yang dimaksud mengenai sejauh mana perkembangan kasus ini.

Disisi lain, Askhalani, Pjs Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, mengatakan, kasus tindakan pidana korupsi atau dugaan adanya Mark Up tersebut harus diungkap. “Sementara pihak aparat hukum, wajib melakukan penyidikan atas kasus tersebut dan mencari bukti-bukti kuat atas laporan tersebut,” ujarnya saat itu.

Katanya, tindak pidana korupsi merupakan delik aduan yang sifatnya kalau sudah ditangani oleh aparat penegak hukum, maka untuk kelengkapan kasus harus dicari sendiri oleh penyidik.

“Jadi kalau dibilang data tidak lengkap, maka ini harus dibuktikan. Sebagai perbandingan antara jumlah yang dibayar dan yang dicatat dalam transaksi pembayaran harga tanah adalah pintu masuk untuk menyelidiki laporan kasus tersebut. Bukannya menutup sebuah kasus hanya gara-gara data yang kurang lengkap,” jelasnya.

Menurutnya, dugaan Mark Up atas pembebasan tanah yayasan tersebut, melanggar UU No 31 Tahun 1999, jo UU No 20 Tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 dan 3, tentang unsur memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi.

Terlepas dari itu semua, kini lagi-lagi perilaku tikus berdasi di Aceh telah ‘memakan’ hak rakyat miskin. Dana yang seharusnya diperuntukan untuk pemberdayaan nelayan miskin Aceh, kini malah di Mark Up oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Haruskan kasus ini juga terbenam dengan ‘indah’ di pasir-pasir negeri yang katanya penegak syariat tuhan? Jawabannya! Hanya tuhan yang tahu. Semoga!!

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york