Kamis, 14 Juli 2011

Para Pengais Rupiah dari Tumpukan Sampah


Hari itu, Senin (11/7), Kota Banda Aceh masih diselimuti awan tebal serta hujan lebat. Derasnya air yang berjatuhan dari langit, turun tanpa henti sejak sang surya menyanpa daerah ini dini hari tadi. Petanda ini biasanya dianggap sebagai rahmat bagi penduduk daerah yang berjulukan Kutaradja ini setelah lama di landa kemarau berkepanjangan.

Hujan yang disertai dengan angin kencang juga membuat sejumlah ruas jalan raya di ibukota menjadi area monopoli para borjuis yang memiliki kendaraan beroda empat. Sedangkan pengguna sepeda motor lebih memiliki berteduh hingga anugrah tuhan tersebut berhenti.

Di Simpang Mesra, sepasang suami istri yang mengenderai roda tiga dengan cat berwarna hijau tua berhenti mendadak. Mereka bukan sedang mencari tempat berteduh guna mengeringkan baju seperti yang lainnya. Padahal, keadaan alam sedang sangat tidak bersahabat saat itu.

Sang laki-laki tampak berpostur kurus kering dan berkulit sawo mantang. Dia memakai jaket hitam dan celana merek jeans. Sedangkan sang isteri berbaju katun dengan motik kotak-kotak. Mereka berhenti di dekat tumpukan sampah tidak jauh dari deretan toko tempat wartawan berteduh.

Lelaki kurus kering tadi kemudian membungkuk sambil mengais sejumlah barang yang berbahan plastik. Sedangkan sang wanita membuang air yang tertampung dalam botol tadi, kemudian memasukannya ke dalam goni besar yang terletak di atas becak hijau tua. Dua sejoli ini, sepertinya adalah warga Kutaradja yang berprofesi sebagai pemulung.

Gerakan Pasutri ini sangat cekatan. Tumpukan sampah plastik yang tadinya mengunung disana mampu berpindah tempat hanya dalam hitungan menit. Dinginnya angin yang disertai hujan lebat seakan tidak sedikitpun menganggu aktivitas rutin mereka.

”Kami sudah biasa bekerja dalam cuaca seperti ini, bahkan dalam suasana lebih ekstrim sekalipun. kalau kami tidak bekerja seperti ini, tidak bisa memberikan makanan untuk anak-anak di rumah,”ungkap pria kurus kering yang belakangan mengaku bernama Ismail, asal Gampong Keudah. Sedangkan istrinya mengaku bernama Alfida. Mereka juga telah dikarunia dua orang anak yang sedang menempuh pendidikan dasar.

”Mereka sedang sekolah. Kalau jam sekolah usai, mereka juga akan ikut memulung seperti kami,”tambah Ismail lagi. Keluarga Ismail, ternyata adalah sekelompok kecil dari kehidupan pemulung yang coba bertahan hidup di tengah-tengah himpitan masyarakat kota yang borjuis.

Menurutnya, penghasilan dari kegiatan memulung selama ini, ternyata mampu mengasapi dapur keluarganya selama ini. Dari kegiatan memulung pula, dirinya mampu menyekolahkan kedua putra-putrinya di Sekolah Dasar. Hal inilah yang selalu disyukurinya selama ini.

Jika di hitung-hitung, lanjut pria yang mengaku berasal dari Aceh Utara ini, penghasilannya dari kegiatan memulung, perharinya berkisar antara Rp45.000 hingga Rp60.000. Jumlah pendapatan ini tergantung pada jumlah sampah yang dihasilkan serta kecekatan dirinya berkerja.

”Kalau hujan seperti ini, kerja sedikit lamban. Botol plastikpun berair sehingga harus dikeringkan terlebih dahulu agar harganya lebih mahal. Para penampung biasanya membeli sampah plastik dengan harga Rp3.000 perkilo. Sedangkan sampah plastik berair Rp2000 perkilo. Kalau kami, rata-rata mendapatkan 15 hingga 20 Kg perharinya,”tutur Ismail.

Pesaing utama Ismail dalam memulung selama ini, tambah dia, adalah para petugas kebersihan kota. Para petugas tersebut memulai kerja dari pukul 22.00 WIB hingga pukul 05.00 WIB dini hari. Saat-saat itu, seluruh sampah plastik sudah pasti diboyong semua oleh para petugas sehingga sulit bagi mereka untuk mengais rezeki dari sampah.

”Oleh karena itu, kami terpaksa bekerja di luar jadwal mereka. Jika beruntung, kami menemukan rumah warga yang baru melaksanakan pesta pernikahan sehingga dipastikan akan banyak sampah pasti disana. Jika sedang sial, ya seperti sekarang, hujan lebat tanpa henti dari pagi,”ungkapnya sambil tersenyum dan tabah menjalani profesinya tersebut.

Tak lama, hujan pun mulai berhenti. Ismail kemudian meminta izin untuk melanjutkan kerjanya guna mengais sedikit rupiah dari tumpukan sampah kota tua ini. Dia ingin menaklukan kota ini dengan tekan bajanya.

Ditempat terpisah, Syarifuddin, Ketua Lembaga Perhimpunan Pemulung (LPP) yang baru saja terbentuk pada Juni 2011, mengaku jumlah pemulung di Kota Banda Aceh saat ini mencapai ribuan. Namun yang bergbung dengan pihaknya saat ini berjumlah 175 Kepala Keluarga (KK) atau 525 masyarakat di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar yang berprofesi sebagai pemulung.

”Rata-rata mereka menghasilkan 15 hingga 20 Kg sampah plastik setiap harinya. Selama seminggu, LPP menampung hampir satu ton sampah plastik. Peran pemulung dalam menjaga kebersihan kota sangat berarti, namun sering kali mereka didiskreditkan oleh Pemerintah. Kehidupan mereka masih sangat memprihatinkan,”akhiri dia.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york