Selasa, 23 November 2010

Kapan Diwisuda?


“Undangan. Mohon kedatangan rekan-rekan, sahabat, dan kanda sekalian pada syukuran sarjana saya, Senin (18/10) di Mbak Moel Cafe, pukul 13.00 WIB. Kedatangan kawan-kawan adalah suatu kemulian bagi saya. Tertanda Maulinda”.

Tak terasa, SMS ini sudah belasan kali aku baca dan SMS ini pula yang membuatkanku tak bisa tidur. Nafas yang aku hembuskan juga terasa amat berat, tidak sebanding dengan berbagai persoalan kantor yang sedang menimpa diriku selama ini.

Ya, kegelisan memang sedang melanda diriku malam ini. Bukan hanya karena Maulinda adalah adik lettingku di Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah. Bukan juga karena dia termasuk salah satu mahasiswi yang pernah menyatakan cintanya padaku.

Bagiku, urusan asmara adalah persoalan kesekian dalam hidup ini. Hidup tanpa wanita juga akan memudahkan diriku untuk berkerja dan membiayain kuliah dua orang adik semata wayang yang sangatku cinta.

Sebenarnya ada sejumlah persoalan lain yang membuat diriku enggan untuk berjumpa dengan sosok eks mahasiswi tercantik di FKIP Sejarah Letting 2006 tersebut. Tapi sayangnya, jika aku tidak datang, aku juga tidak sangup melihat kekecewaan yang kesekian kalinya muncul di wajah pemilik senyum terindah yang pernah aku lihat itu.

”Datang ya bang! Mauli sangat berharap lho, supaya abang datang,” aku teringat ucapan Maya, melalui telpon tadi siang. Maya adalah kawan akrabnya Maulinda. Dia juga tahu segala persoalan yang pernah terjadi antara kami berdua.

Telpon itu yang mungkin menguatkan diriku untuk berani berhadapan langsung dengan Maulinda dan keluarganya. ”Ya sudah! Aku akan datang. Pagi hari ke kantor dulu untuk rapat redaksi, kemudian liputan sebentar dan baru ke acara Maulinda. Persetan dengan pertanyaan-pertanyaan itu,” gumamku akhirnya dalam hati.

Kuraih sarung untuk menutupi mata, tujuan agar cepat tertidur. Namun lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul dan dia seolah-olah berwujud seseorang yang terus berbisik di kiri kanan telinga. Ampun,,,,,!!
***

”Bang firman ya? Lama tak berjumpa ? Udah diwisuda bang?” berondong Siska dengan pertanyaan saat bertemu diparkiran Mbak Moel. Siska adalah pengurus himpunan di FKIP Sejarah. Dia, kalau gak salah adalah mahasiswi letting 2007.

.Deg, jantungku berbunyi. Ya tuhan, kenapa ketakutanku menjadi kenyataan.

”Belum, lagi nyusul dan memperbaiki beberapa mata kuliah yang dapat E. Insya allah tahun depan, kayaknya kelak,”ucapku mencoba memberi jawaban yang diplomatis sekaligus meyakinkannya.
”Jangan lama lagi lho bang, letting 2003 kah? Jangan sampai kami tinggali seorang diri di kampus nanti,”ucapnya lagi, dengan nada bercanda.

”Pasti, masak abang harus diwisuda dengan letting 2008, apa kata dunia!”candaku kembali. Siska terlihat tertawa lepas mendengarkan perkataanku.

Aku dan Siska kemudian memasuki Mbak Moel, tujuannya adalah untuk memenuhi undangan Maulinda. Ternyata pengunjung Mbak Moel memang sedang membludak, maklum cafe tersebut memang telah menjadi tempat favorit bagi para sarjana untuk mengelar hajatan dan syukuran karena telah mampu menyelesaikan pendidikan.

Aku mencari-cari Maulinda, tetapi sosok wanita anggun tersebut tidak juga aku temui. Beruntung, Siska sepertinya menemukan lokasi duduk mereka. Barisan sebelah kiri paling belakang, dekat dengan Mushala. ”Ayo bang, itu mereka,”tunjuk dia ke barisan beberapa mahasiswa yang sedang tertawa lepas. Tidak ada yang aku kenal.

”Yalah, merekakan rata-rata masih semester 5. Sedangkan aku, adalah mahasiswa Letting Tua alias Lettu yang belum selesai-selesai,”gumamku dalam hati lagi. Sebuah gelar yang membuat aku selalu tertunduk lesu saat bertemu dengan mahasiswa satu jurusan.

”Hei-hei, beri jalan, mahasiswa letting tua sedang berjalan kemari. Kalian harus hormat sama orang tua,”terdengar sebuah suara yang sangat akrab di telinga bergurau memecah kegembiraan. Duh, kiamat....!

Ihsan ternyata belum berubah dari dulu. Dia adalah mahasiswa satu angkatan dengan diriku. Bedanya dia sudah selesai pendidikan sejak awal 2007 lalu. Pria ini paling suka mencandain orang atau temannya sekalipun ditengah-tengah keramaian. Parahnya lagi, ternyata sosok pria hitam tersebut juga diundang dalam acara ini.

”Ternyata pak jurnalis masih ganteng seperti dulu. Mau ketemu dengan calon mertua ya pak ?”ungkapnya lagi. Serangan kata-kata darinya kali ini ternyata mendapat respon lebih heboh dari yang pertama. Lirikan mata mereka tertunjuk pada diriku dan sosok wanita berbaju merah jambu yang sedang tertunduk dan tersipu-sipu malu. Di sampingnya, ada wanita paruh baya yang juga tersenyum simpul penuh makna.

Ya tuhan, kapan ejekan ini akan berakhir...!!

***

Selasa pagi terasa jauh lebih baik. Biarpun semalaman hujan turun dengan lebat untuk membasahi bumi dan menuai banjir untuk beberapa daerah, tapi bagiku itu lebih baik daripada kenjadian Senin siang kembali terulang.

Senyuman Maulinda saat diriku meninggalkan acaranya juga masih membekas di ingatan. Dia berkali-kali minta maaf dan mengatakan senang atas kedatanganku. Dan, hal yang paling membuatku berperasaan campur aduk seperti sekarang adalah perkataannya yang terakhir saat mengantar diriku di prakiran. ”Saya masih menunggu abang. Bunda juga mendukung,”kata dia.

”Ah, sebaiknya aku lupakan saja harapan itu. Dia adalah anak seorang pejabat pemerintah, sedangkan aku, cuma jurnalis biasa dan mahasiswa abadi,” gumamku dalam hati sambilku teruskan menikmati udara pagi.

Pagi itu, bundaku tampak sedang menyapu halaman. Melihat diriku telah bangun, dirinya bergegas menyelesaikan pekerjaannya dan menghampiri diriku. Ya tuhan, aku sesungguhnya sudah tidak tega melihat sosok orang tua yang sangat kusayangi ini bekerja keras diusianya yang telah senja.

”Nasi sudah bunda siapkan di atas meja. Sana makan,”katanya singkat. Aku cuma mengangguk kecil dan bergegas masuk kedalam, di sana hanya kulihat setumpuk nasi putih serta telor mata sapi. Namun bagiku ini adalah menu termewah yang bisa kudapatkan di pagi hari, biasanya cuma nasi putih plus minyak goreng dan garam.

Segera kuambil piring dan sendok serta melahap hindangan tersebut.

”Fitri butuh uang untuk praktikum, katanya. Mamak bilang suruh bersabar dulu, soalnya abang belum gajian,”ucap bunda tiba-tiba di samping. Aku tidak tahu, sejak kapan bunda berada di samping. Namun informasi yang disampaikannya justru jauh lebih berarti.

Fitri, adalah adikku yang tertua. Dia saat ini sedang menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian Unsyiah. Dia sebenarnya seangkatan dengan Maulinda, namun keberuntungan ternyata belum memihak dirinya sehingga dia belum juga bisa menyelesaikan kuliahnya pada tahun ini. Tahun lalu Fitri terpaksa tidak aktif karena kekurangan biaya.

”Ya bun! Nanti Firman cari solusinya. Kan itu praktikum terakhir dia, jadi sayang kalau tertunda lagi. Bunda sampaikan saja, besok uangnya sudah ada sehingga dia tidak perlu cemas,”ungkapku menghibur bunda.

Wanita itu tampak tersenyum. Senyum inilah yang paling ingin ku cari selama ini. Senyum yang hilang pasca gelombang besar meluluh-lantakan daerah kami 5 tahun silam. Gelombang itu menewaskan ribuan orang di daerah ini, termasuk Abi.

Selesai makan, aku berpakaian dan hendak berangkat ke kantor. Namun sebelumnya, aku ingin berpamitan dulu dengan bunda. Sayangnya, sosok tersebut sedang tidak berada di dapur. Mungkin dia di rumah tetangga, pikirku. Akupun segera bergegasan ke sana.

”Muhammad, anak saya sudah selesai S2 lho, Buk Sukma. Dia akan segera pulang dari Malang. Kami berencana untuk membuat sedikit syukuran! Mohon dibantu ya,”ucap Tante Lis, tetangga samping rumah kami. Aku secara tidak sengaja mendengarkan pembicaraan ini.

”Oya, Muhammad kan satu angkatan dengan Firman? Dia masih kuliah?”selidik dia lagi. Mendengar hal ini, aku dapat menebak apa yang akan dijawab oleh bundaku.

”Masih kuliah, tapi belum selesai. Maklum harus kerja,”ucap bunda dengan nada yang dibuat-buat untuk tersenyum. Namun di balik itu semua, aku melihat sosok bunda saat itu sangat rapuh. Tanpa sadar, air mata ku turun membasahi muka. ”Mohon maaf bunda. Aku belum bisa mengwujudkan mimpimu.”

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york