Suara tangisan itu kembali terdengar malam ini. Jaraknya tidak seberapa jauh dari tempat tidurku. Sosok Nek Ti yang lengkap dengan mukena serta sajadah terlihat sedang menegadahkan tangannya. Dia lagi-lagi memohon pada Allah SWT berupa permintaan yang membuat diriku serta orang yang mendengarkan doanya bersedih hati.
Hari ini adalah hari ke- 28 atau minggu ke empat Nek Ti berada di rumah kami. Pagi ini, dia terlihat tersenyum cerah saat menyapa kami para cicitnya satu persatu di ruang tamu. Keadaan ini terlihat amat kontras dengan pemandangan semalam. Namun diriku senang Nek Ti tidak lagi sedih.
”Kamu-kah itu Hasan ?”tanya Nek Ti begitu aku mendektinya. ”Ya, Nek Ti. Saya Hasan,”jawabku.
Dari hati yang paling dalam, diriku sebenarnya amat kagum dengan sosok Nek Ti selama ini. Walaupun umurnya sudah mencapai se-abad dan matanya mengalami kebutaan karena ’dimakan’ usia, ingatan Nek Ti masih amat kuat. Dia juga tidak mengalami kepikunan seperti orang tua biasanya.
Dia ternyata juga mampu membedakan kehadiran, baik diriku maupun penghuni lain di rumah ini, walau hanya mendengar suara langkah kaki kami. Selain itu, dia juga terlihat masih sehat untuk ukuran wanita se-usianya.
Nek Ti adalah nenek buyut kami yang diberikan rahmad oleh Allah SWT berupa umur yang panjang, yaitu 102 tahun. Disaat semua anak-anak serta cucuya meninggal dunia karena ajal di hari tua. Nek Ti ternyata masih diberikan kesehatan sehingga berumur panjang.
Nek Ti sebenarnya memiliki 6 orang anak, 24 cucu serta 78 cicit. Orang tuaku adalah cucunya yang ke 15 atau cucu tertua yang masih hidup. Sedangkan semua anak Nek Ti, termasuk kakek kami, dan sejumlah cucunya yang lain telah meninggal dunia. Baik karena kecelakaan, musibah alam atau ajal di hari tua.
Dia tinggal di rumah kami sejak Om Surya, sepupu bapak meninggal dunia sebulan yang lalu. Saat itu, Nek Ti terlihat sedih karena kehilangan cucunya tersayang. Selain itu, Nek Ti tinggal dengan Om Surya juga hampir enam tahun lamanya, atau pasca tsunami melanda pesisir Aceh beberapa waktu lalu.
Karena khawatir, Nek Ti terluntang-luntang, bapak membawa Nek Ti ke rumah agar kami dapat merawatnya di sisa umurnya.
Sebelum tsunami, Nek Ti sebenarnya tinggal bersama anaknya yang bungsu bernama Aiyud, di Desa Labuy, Kecamatan Baitursalam, Aceh Besar. Kami biasanya sering memanggil dirinya dengan sebutan Nek Aiyud. Dia adalah adik kakek yang menjadi korban kedasyatan musibah tsunami Aceh.
Nek Aiyub bersama istri serta seluruh kelurga meninggal dalam musibah tersebut. Tapi, ajaibnya, Nek Ti malah selamat dari gelombang tsunami tersebut. Nek Ti sempat diseret gelombang tsunami, tetapi bajunya tersangkutan pada sebuah pohon besar serta menjadi penyelamat hidupnya.
Keselamatan Nek Ti sendiri, baru diketahui setelah diriya di tolong oleh sekelompok relawan yang datang ke desa tersebut pasca dua hari musibah. Kabar keselamatan Nek Ti ini kemudian beredar di kalangan cucu serta cicitnya sehingga membuat Om Surya serta bapakku menggelar rapat keluarga besar.
Hasilnya, Om Surya-lah yang menjadi penompang hidup Nek Ti selama enam tahun. Bapak sebelumnya pernah meminta untuk merawat Nek Ti, tapi dia lebih memilih tinggal dengan Om Surya hingga sebulan lalu.
Sifat Nek Ti yang sedang bercengkraman dengan cicit-cicitnya, membuat dia begitu dikagumi dikalangan cucunya yang rata-rata telah berumah tangga dan sukses. Hal ini juga yang membuat dia tidak begitu kesulitan untuk memilih tempat tinggal setelah Om Surya meninggal dunia.
Sedangkan di kalangan cicit Nek Ti, sejak SD hingga menempuh pendidikan tinggi, seperti sekarang. Ternyata dirikulah sosok yang paling dekat dengan Nek Ti. Hal ini sering menimbulkan kecemburuan di kalangan cicitnya yang lain, tidak terkecuali Wilda dan Suci, adikku sendiri.
Makanya, sejak Nek Ti pindah ke rumah kami, dia tidur di kamar ku. Hal ini membuat semua ’aktivitas malamnya’ kuketahui, baik berupa solat malam hingga doa-doanya yang membuat diriku bersedih hati.
Nek Ti juga selalu bercerita tentang sejarah Aceh kepada diriku di saat kami hendak tidur. Fakta-fakta sejarah yang sering tidak terdapat di dalam buku, dengan mudah ku dapat darinya. Dia juga bercerita kepadaku tentang sosok Panglima Teuku Nyak Makam yang memimpin pasukan di Lamnga untuk Kerajaan Aceh.
Sejarah tentang sosok ini tidak pernah aku dapatkan dari buku-buku pelajaran sejarah nasional. Padahal, konon menurun Nek Ti, Panglima Teuku Nyak Makam adalah salah satu panglima perang Aceh yang sangat ditakuti oleh Belanda.
”Hasan, kamu kok melamun pagi-pagi? Ajak Nek Ti duduk di meja makan. Mungkin dia lapar,”kata bapakku. Kemunculannya tiba-tiba ini membuat lamunanku tentang Nek Ti menjadi buyar dan hilang.
”Nenek belum lapar Burhan. Kalian makan aja dulu,”ucap Nek Ti kepada bapak. Pendengarannya amat peka sehingga rasa kekaguman ku kembali muncul.
”Ada yang Burhan ingin sampaikan nek, tetapi nenek harus tabah ya !”ucap bapak lagi, menarik perhatianku dan Nek Ti. Segera ku dorong kursi roda Nek Ti ke meja makan. ”Apa itu ? ”tanya nek Ti.
”Ayu meninggal dunia tadi pagi nek. Ayu cicit nenek, anak dari Filman,”kata bapak lagi. Aku terkejut mendengar hal ini. Pasalnya, Ayu adalah sepupu kami. Dia masih berumur 14 tahun dan baru kemarin Om Filman bersama ayu berkunjung ke rumah untuk melihat kondisi kesehatan Nek Ti.
Tapi yang paling bersedih, ternyata bukan diriku ataupun bapak. Air mata tampak turun di wajah Nek Ti yang berkaca-kaca. Aku sendiri seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Nek Ti saat itu. Ya, Allah.....Cuma kau yang tahu apa yang terbaik bagi hambamu.
***
Setelah beberapa bulan kematian Ayu, Nek Ti terlihat lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar. Dia memperbanyak solat dan ibadah lainnya sehingga membuat diriku enggan untuk menganggunya. Padahal, beberapa hari ini dia sudah berjanji sama diriku untuk menuntaskan cerita sejarah tentang Aceh Lhee Sagoe, atau Aceh Tiga Segi.
”Aku pulang ke rumah aja ah. Siapa tahu Nek Ti mau berbaik hati dan menuntaskan ceritanya kepadaku,”gumam diriku di dalam hati. Sejak kecil, aku memang sudah tertarik dengan hal yang berbau sejarah dan hal ini pula yang membuat diriku dengan Nek Ti bisa akrab.
Dalam perjalanan pulang, hatiku agak gelisah. Aku tidak pernah di landa perasaan seperti. Kegelisahan tersebut kian menjadi-jadi setelah kulihat semua saudara kami berkumpul di rumah. Beberapa diantara mereka adalah saudara jauh, atau cucu Nek Ti.
”Suci, kenapa di rumah banyak orang ?” tanyaku pada adik bungsuku. ”Itu, Nek Ti meninggal dunia kak. Dia meninggal dengan mukena masih di badannya,”ucap suci terputus-putus.
Jawaban ini membuat air mataku tumpah tak tertahankan. Entah, aku harus bagaimana mengungkapkan rasa atas kematian Nek Ti ini. Disatu sisi, aku sangat sedih dengan kenjadian ini karena kehilangan sosok nenek buyut yang selama ini sangat menyayangi kami. Tapi, di sisi lain, inilah jawaban dari doa-doa Nek Ti selama ini.
”Tuhan, segera cabut lah nyawa hambamu ini. Hamba sudah terlalu banyak menerima hikmahmu. Hamba takut, hamba akan kufur jika terus diberikan umur yang panjang,” teringat doa Nek Ti setiap malam. Tuhan mendengarkan harapanmu nek ti, doa kami selalu bersamamu. (murdhani)
Review Pintu, Aplikasi Trading Crypto dan Investasi Aset Digital
2 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.