Rabu, 22 Juni 2011

Saat Aceh Besar Ingin Kembali ke ’Lhe Sagoe’


Wacana pemekaran Kabupaten Aceh Besar menjadi tiga kabupaten baru telah menjadi topik hangat belakangan ini. Upaya pemekaran tersebut menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat, baik yang mendukung dengan harapan perubahan, maupun yang mencela dengan dugaan adanya permainan politik di belakang gerakan tersebut.

Kabupaten Aceh Besar sebenarnya memiliki luas wilayah mencapai 2.974,12 Km2 atau kabupaten paling luas di provinsi ini. Sebagian besar wilayahnya berada di daratan dan sebagian kecil berada di kepulauan. Sekitar 10 persen desa di Kabupaten Aceh Besar merupakan desa pesisir dengan ibu kota Jantho itu. Berdasarkan data yang dimiliki oleh daerah tersebut, kabupaten ini terdiri dari 23 Kecamatan, 68 Mukim, dan 604 Desa.

Asal mula daerah Aceh Besar yang luas ini, menurut sejumlah sumber berasal dari peta kekuasaan kesultanan Aceh Darusalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Saat itu, di awal-awal masa pemerintahannya daerah ini cuma meliputi bekas daerah kekuasan tiga kerajaan hindu seperti Indra Patra, Indrapuri serta Indrapurwa.

Atas dasar inilah Kerajaan Aceh disebut dengan julukan Aceh Lhe Sagoe. Selanjutnya, wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Padang, Pedir, Pasai, Deli dan Aru hingga selanjutnya ke Malaka.

Saat ini Kabupaten Aceh Besar sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, Kota Sabang, dan Kota Banda Aceh, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya, Sebelah timur degan Kabupaten Pidie, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Berdasarkan sejumlah cacatan sejarah, sebelum dikeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar merupakan daerah yang terdiri dari tiga kewedanaan, yaitu Kewedanaan Seulimum, Kewedanaan Lhoknga serta Kewedanaan Sabang. Akhirnya dengan perjuangan yang panjang Kabupaten Aceh besar disahkan menjadi daerah otonom melalui Undang-undag Nomor 7 Tahun 1956 dengan ibukotanya pada waktu itu adalah Banda Aceh dan juga merupakan wilayah hukum Kotamadya Banda Aceh.

Namun, saat itu juga muncul sejumlah tuntutan dari masyarakat yang mengharapkan perkembangan daerah yang semakin maju dan berwawasan luas. Keberadaan kotamadya Banda Aceh sebagai pusat ibukota saat itu dianggap kurang efisien sebagai ibukota, baik untuk masa tersebut maupun untuk masa yang akan datang. Usaha pemindahan Ibukota dari Wilayah Banda Aceh pun kemudian bermunculan serta mulai dirintis sejak tahun 1969, dimana lokasi awalnya dipilih Kecamatan Indrapuri yang jaraknya 25 KM dari Banda Aceh. Usaha pemindahan tersebut akhirnya gagal yang disebabkan oleh sejumlah faktor serta kendala.

Selanjutnya, pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibukota untuk kedua kalinya muncul serta mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di Kecamatan Seulimum tepatnya kemukinan Janthoi yang jaraknya sekitar 52 km dari Banda Aceh. Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai keluarnya Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah Kotamadya Banda Aceh.

Saat itu, wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Besar dihitung berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Departemen Dalam Negeri dan pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan ternama, yaitu PT. Markam Jaya yang ditinjau dari segala aspek dapat dan disimpulkan bahwa yang dianggap memenuhi syarat sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh besar adalah Kemukinan Janthoi dengan nama Kota Jantho.

Setelah ditetapkan Kota Jantho sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar yang baru, maka secara bertahap pemindahan ibukota terus dimulai, dan akhirnya secara serentak seluruh aktivitas perkantoran resmi dipindahkan dari Banda Aceh ke Jantho pada tanggal 29 Agustus 1983.

Sayangnya, pemindahan ini ternyata tanpa perhitungan yang mantang. Hal ini akhirnya menyebabkan Kota Jantho menjadi kota mati. Selain itu, pemindahan pusat adminitrasi Aceh Besar ke ’hutan’ Jantho juga menyebabkan tata kelola pemerintah menjadi lamban seperti saat ini.

Salah pilih ibukota kabupaten juga menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat. Pembagian kue pembangunan yang sering kali tidak adil akhirnya menyebabkan masyarakat eks Indra Purwa dan Indra Patra menuntut ’pisah’ dari kabupaten induk. Kini, setelah sekian lama, wacana pemekaran Kabupaten Aceh Besar menjadi tiga wilayah kembali mengema. Daerah-daerah ini, seperti Aceh Rayeuk, Aceh Raya dan Aceh Besar.

Untuk wilayah calon kabupaten Aceh Rayeuk meliputi tujuh Kecamatan, Mesjid Raya, Baitursalam, Darussalam, Kuta Baro, Baruna Jaya, Blang Bintang serta Ingin Jaya. Sedangkan wilayah Kabupaten Aceh Raya diwacanakan terdiri dari Kecamatan Darul Imarah, Peukan Bada, Lhoknga, Leupung, Lhong dan Kecamatan Pulo Aceh. Sementara Kabupaten Induk yakni Aceh Besar mulai dari Ingin Jaya, Montasik, Indrapuri, Jantho, Seulimum dan Lembah Seulawah.

Untuk Sagoe Indrapurwa (Aceh Raya-red), elemen masyarakat disana telah berjumlah hampir 12 tahun lamanya. Sedangkan untuk sagoe Indra Patra (Aceh Rayeuk) baru dalam tahap awal perintisan. Anehnya, pemekaran ini justru mendapatkan respon positif dari pihak eksekutif dan legislatif setempat.

Ingin Kembali Ke Lhe Sagoe
Tujuh kecamatan pesisir Aceh Besar menuntut ’talak tiga’ alias pisah dari kabupaten induk. Ketujuh kecamatan ini adalah Mesjid Raya, Baitursalam, Darussalam, Kuta Baro, Baruna Jaya, Blang Bintang serta Ingin Jaya.

”Komitmen pisah atau talak tiga dari Aceh Besar ini sudah disepakati oleh 26 mukim di 7 kecamatan. Selain itu, tokoh masyarakat serta geuchik juga sudah menyepakatinya. Saat ini tinggal menunggu deklarasi serta advokasi tuntutan ke pemerintah pusat,”ungkap Tgk. Umran Juned, salah seorang tokoh masyarakat yang juga Ketua Panitia Persiapan Kabupaten Aceh Rayeuk, Kamis (9/6) lalu.

Menurutnya, faktor geografis serta perilaku diskriminasi pembangunan yang mereka alami selama puluhan tahun dianggap merupakan salah satu alasan mengapa masyarakat dari tujuh kecamatan ini menuntut ’merdeka’ dari Aceh Besar. Tujuh kecamatan pesisir ini dinilai paling sedikit mendapatkan ’kue’ Pembangunan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar yang beribukota di Jantho selama ini.

Selain itu, lanjut dia, tuntutan pemekaran Aceh Rayeuk ini juga didasari oleh faktor sejarah. Dimana sejak dahulu, kata dia, daerah ini telah terbagi dalam tiga kerajaan, seperti Indra Patra (di Kecamatan Mesjid Raya), Indrapuri, serta Indra Purwa, dengan sebutan Aceh Lheu Sagoe.

Wilayah eks kerajaan Indra Patra dengan 26 mukim-nya dinilai layak untuk dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Rayeuk. Sedangkan untuk wilayah Indra Puri secara otomatis masuk dalam Aceh Besar.

”Untuk masyarakat di wilayah eks kerajaan Indra Purwa sudah komit mendirikan kabupaten baru bernama Aceh Raya. Mereka bahkan sudah sejak dulu memperjuangkan hak mereka, sedangkan kita (Aceh Rayeuk-red) baru hendak deklarasi,”jelasnya.

”Faktor jarak yang harus di tempuh oleh masyarakat di tujuh kecamatan pesisir untuk mendatangi pusat adminitrasi Aceh Besar di Jantho juga salah satu alasan tuntutan pemekaran kabupaten baru ini. Selama ini, masyarakat yang tinggal di Mesjid Raya misalnya, mereka harus melalui perjalanan jauh ke Jantho, bahkan harus melalui Kota Banda Aceh,”paparnya lagi.

Untuk meloloskan kabupaten baru ini, tambah dia, pihaknya saat ini sedang menggalang surat dukungan dari semua geuchik di tujuh kecamatan tersebut. Adminitrasi ini dinilai sudah rampung hampir 80 persen dari persyaratan yang diperlukan. ”Kita sudah menggelar 4 kali pertemuan untuk mengwujudkan ide ini dan seharus ini sudah terlihat ada kemajuan,”akhirinya.

Harapan senada juga diungkapkan oleh Geuchik Gampong Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Rusli Rasyid. Menurutnya, Pemekaran Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu solusi terbaik untuk mengatasi persoalan ketertinggalan pembangunan di daerah tersebut. Pasalnya, Aceh Besar merupakan satu-satunya kabupaten yang belum pernah dimekarkan sejak dahulu kala.

”Selain itu, pemekaran juga bisa mempercepat jalannya roda pemerintahan. Selama ini, kami harus menempuh jarak yang relatif jauh untuk mengurus adminitrasi gampong,” keluh dia.

Antara Kota Banda Aceh dan Pemekaran
Sebenarnya, sejak beberapa tahun terakhir, keberadaan tujuh kecamatan yang tergabung dalam pemekaran calon kabupaten Aceh Rayeuk sering kali dikait-kaitkan dengan Kota Banda Aceh. Dimana, Pemko setempat berharap daerah ini bisa masuk dalam wilayah adminitrasi mereka guna mengatasi kepadatan penduduk di ibukota Provinsi Aceh.

Kedua pimpinan daerah ini, seperti Bupati Aceh Besar di bawa pimpinan Bukhari Daud dan Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin, dikabarkan juga sempat menggelar beberapa kali pertemuan untuk mengwujudkan ide tersebut. Namun akhirnya, wacana ini kembali hilang di telan masa.

Gagalnya harapan ini, disinyalir karena tidak adanya kompensasi yang jelas dari walikota Banda Aceh kepada Pemkab Aceh Besar selaku kabupaten induk. Pasalnya, daerah pesisir yang dilirik oleh Kotamadya Banda Aceh merupakan lumbung PAD bagi Aceh besar selama ini.

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, di sejumlah tempat, juga secara terang-terangan menyatakan mendukung pengabungan sejumlah daerah Aceh Besar menjadi bagian dari Kota Banda Aceh, daripada pemekaran seperti yang dicentuskan belakangan ini. Pasalnya, wacana pemekaran yang dicentuskan belakangan ini saraf dengan nuasa politik dan kepentingan segelintir golongan.

Akan tetapi, terlepas dari mekar tidaknya daerah ini, ataupun digabungkan ke Kota Banda Aceh, masyarakat di pesisir Aceh Besar sangat mengharapkan adanya pembangunan bagi daerahnya. Pasalnya, hampir 90 persen pesisir Aceh Besar dalam lokasi eks tsunami yang masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah.

Sabtu, 11 Juni 2011

Ujian Nasional


Ami terlihat gelisah. Sejak dari tadi, dia terus memandang Hanphone (HP) yang berwarna putih. Dia seperti mengharapkan sesuatu muncul dari benda elektronik tersebut, tapi tidak jelas apa yang dikehendakinya.

”Apa yang kamu tunggu dek? SMS dari pacar ya !”tanya Safrida, sang kakak. Dia lebih tua tiga tahun dari Ami, dan sudah menempuh pendidikan di Unsyiah. Salah satu universitas terfavorit yang ada di Aceh. Sedangkan Ami yang disindir oleh kakaknya itu, masih duduk di kelas 3 pada salah satu SMA di daerah Aceh Besar.

Antara Safrida dengan Ami memang sudah terbiasa saling menggoda. Apalagi jika mereka berdua sedang berada di tempat tidur. Demikian juga yang terjadi saat ini. Akan tetapi, Ami ternyata tidak merespon perkataan kakaknya seperti biasa, dia tetap dengan aktivitasnya semula, yaitu mengamati HP yang dipegangnya sejak dari tadi.

”Apa Rahmad selingkuh ya dek ? atau dia marah karena kelakuaanmu yang sering kekanak-kanakan?”tanya Safrida serius. Dia sepertinya tidak tahan melihat adek semata wayangnya itu cemberut.

Safrida juga mengetahui bahwa adiknya selama ini sedang menjalin hubungan khusus dengan seorang remaja bernama Rahmad yang juga masih berstatus pelajar 3 SMA. Mungkin, hal ini yang menyebab adiknya menjadi cemberut serta memandang Hp terus menerus.

”Dasar abg, sedikit-sedikit berantem sama pacar,”ucap Safrida. Namun perkataan yang terakhir ini menimbulkan reaksi dari lawan bicaranya. Ami yang sejak tadi cemberut berusaha menoleh kearah kakaknya.

”Kak, kalau tidak tahu permasalahannya, jangan ikut campur. Ini tidak ada hubungannya dengan cowok, apalagi Rahmad,”ucap Ami seketika. Respon ini ternyata menimbulkan rasa penasaran dari sang kakak. Pasalnya, tidak biasanya Ami menjadi cemberut.

Adiknya itu juga terbilang gadis cerewet selama ini. Jika ada sesuatu hal yang tidak disenanginya, dia selalu protes, termasuk kepada orangnya yang berprofesi sebagai PNS biasa di jajaran Pemerintahan Kota Banda Aceh.

Hal inilah yang membuat Safrida selalu mengalah setiap dilihat adiknya sedang kesal terhadap dirinya. Padahal, persoalan yang menyebabkan kemarahan tersebut, tidak lebih karena sarung bantal yang sobek atau kamar tidur mereka kotor gara-gara dirinya.

Tapi tidak demikian yang terjadi saat ini. Ami tetap diam dan cemberut seribu bahasa seperti sedang menantikan sesuatu. Selaku kakaknya, Safrida menilai ada sesuatu perkara besar yang sedang dinantikan oleh adiknya tersebut.

”Ayolah dek katakan, apa yang membuatmu menjadi cemberut. Masak, si cerewet bisa caem seperti ini,”ulang Safrida lagi.

”Lho, bukannya kakak senang jika Ami diam seperti sekarang. Biasanya, jika Ami ribut, selalu diusir dari kamar,”jawab sang adik yang membuat Safrida mengalah. Dia sebenarnya kangen dengan kecerewetan adiknya malam ini. Maklum, sejak siang tadi, aktivitasnya selalu dipenuhi dengan aktivitas perkulihan dan kegiatan jurnal ilmiah. Kegiatan ini membuat kepalanya terasa membeku dan membutuhkan hiburan. Biasanya, tingkah Ami-lah yang membuat dirinya tertawa lepas.

”Sudah sana tidur, Ami lagi malas ngobrol dengan kutu buku,”tegas adiknya.

Merasa disindir, Safrida mencoba menyerah. Dia bergegas mengambil bantal guling yang tadi tertinggal di ruang tamu saat nonton televisi. Setelah itu, dirinya mencoba memejamkan mata untuk menuju ke alam mimpi seperti biasanya. Sayangnya, keinginannya tersebut kembali terganggu dengan suara histeris Ami.

”Ada apa? Ada apa ? ”tanya Safrida dalam keadaan setengah sadar. Sedangkan Ami tidak menjawab pertanyaan kakaknya tersebut. Dia masih terlalu sibuk dengan penemuan terbarunya. ”Akhirnya, jawaban UN untuk besok pagi, masuk juga melalu hanphone,”kata dia. Jawaban ini, tentu saja membuat Safrida tambah melongo tak karuan.

Doa Nek Ti


Suara tangisan itu kembali terdengar malam ini. Jaraknya tidak seberapa jauh dari tempat tidurku. Sosok Nek Ti yang lengkap dengan mukena serta sajadah terlihat sedang menegadahkan tangannya. Dia lagi-lagi memohon pada Allah SWT berupa permintaan yang membuat diriku serta orang yang mendengarkan doanya bersedih hati.

Hari ini adalah hari ke- 28 atau minggu ke empat Nek Ti berada di rumah kami. Pagi ini, dia terlihat tersenyum cerah saat menyapa kami para cicitnya satu persatu di ruang tamu. Keadaan ini terlihat amat kontras dengan pemandangan semalam. Namun diriku senang Nek Ti tidak lagi sedih.

”Kamu-kah itu Hasan ?”tanya Nek Ti begitu aku mendektinya. ”Ya, Nek Ti. Saya Hasan,”jawabku.

Dari hati yang paling dalam, diriku sebenarnya amat kagum dengan sosok Nek Ti selama ini. Walaupun umurnya sudah mencapai se-abad dan matanya mengalami kebutaan karena ’dimakan’ usia, ingatan Nek Ti masih amat kuat. Dia juga tidak mengalami kepikunan seperti orang tua biasanya.

Dia ternyata juga mampu membedakan kehadiran, baik diriku maupun penghuni lain di rumah ini, walau hanya mendengar suara langkah kaki kami. Selain itu, dia juga terlihat masih sehat untuk ukuran wanita se-usianya.

Nek Ti adalah nenek buyut kami yang diberikan rahmad oleh Allah SWT berupa umur yang panjang, yaitu 102 tahun. Disaat semua anak-anak serta cucuya meninggal dunia karena ajal di hari tua. Nek Ti ternyata masih diberikan kesehatan sehingga berumur panjang.

Nek Ti sebenarnya memiliki 6 orang anak, 24 cucu serta 78 cicit. Orang tuaku adalah cucunya yang ke 15 atau cucu tertua yang masih hidup. Sedangkan semua anak Nek Ti, termasuk kakek kami, dan sejumlah cucunya yang lain telah meninggal dunia. Baik karena kecelakaan, musibah alam atau ajal di hari tua.

Dia tinggal di rumah kami sejak Om Surya, sepupu bapak meninggal dunia sebulan yang lalu. Saat itu, Nek Ti terlihat sedih karena kehilangan cucunya tersayang. Selain itu, Nek Ti tinggal dengan Om Surya juga hampir enam tahun lamanya, atau pasca tsunami melanda pesisir Aceh beberapa waktu lalu.

Karena khawatir, Nek Ti terluntang-luntang, bapak membawa Nek Ti ke rumah agar kami dapat merawatnya di sisa umurnya.

Sebelum tsunami, Nek Ti sebenarnya tinggal bersama anaknya yang bungsu bernama Aiyud, di Desa Labuy, Kecamatan Baitursalam, Aceh Besar. Kami biasanya sering memanggil dirinya dengan sebutan Nek Aiyud. Dia adalah adik kakek yang menjadi korban kedasyatan musibah tsunami Aceh.

Nek Aiyub bersama istri serta seluruh kelurga meninggal dalam musibah tersebut. Tapi, ajaibnya, Nek Ti malah selamat dari gelombang tsunami tersebut. Nek Ti sempat diseret gelombang tsunami, tetapi bajunya tersangkutan pada sebuah pohon besar serta menjadi penyelamat hidupnya.

Keselamatan Nek Ti sendiri, baru diketahui setelah diriya di tolong oleh sekelompok relawan yang datang ke desa tersebut pasca dua hari musibah. Kabar keselamatan Nek Ti ini kemudian beredar di kalangan cucu serta cicitnya sehingga membuat Om Surya serta bapakku menggelar rapat keluarga besar.

Hasilnya, Om Surya-lah yang menjadi penompang hidup Nek Ti selama enam tahun. Bapak sebelumnya pernah meminta untuk merawat Nek Ti, tapi dia lebih memilih tinggal dengan Om Surya hingga sebulan lalu.

Sifat Nek Ti yang sedang bercengkraman dengan cicit-cicitnya, membuat dia begitu dikagumi dikalangan cucunya yang rata-rata telah berumah tangga dan sukses. Hal ini juga yang membuat dia tidak begitu kesulitan untuk memilih tempat tinggal setelah Om Surya meninggal dunia.

Sedangkan di kalangan cicit Nek Ti, sejak SD hingga menempuh pendidikan tinggi, seperti sekarang. Ternyata dirikulah sosok yang paling dekat dengan Nek Ti. Hal ini sering menimbulkan kecemburuan di kalangan cicitnya yang lain, tidak terkecuali Wilda dan Suci, adikku sendiri.

Makanya, sejak Nek Ti pindah ke rumah kami, dia tidur di kamar ku. Hal ini membuat semua ’aktivitas malamnya’ kuketahui, baik berupa solat malam hingga doa-doanya yang membuat diriku bersedih hati.

Nek Ti juga selalu bercerita tentang sejarah Aceh kepada diriku di saat kami hendak tidur. Fakta-fakta sejarah yang sering tidak terdapat di dalam buku, dengan mudah ku dapat darinya. Dia juga bercerita kepadaku tentang sosok Panglima Teuku Nyak Makam yang memimpin pasukan di Lamnga untuk Kerajaan Aceh.

Sejarah tentang sosok ini tidak pernah aku dapatkan dari buku-buku pelajaran sejarah nasional. Padahal, konon menurun Nek Ti, Panglima Teuku Nyak Makam adalah salah satu panglima perang Aceh yang sangat ditakuti oleh Belanda.

”Hasan, kamu kok melamun pagi-pagi? Ajak Nek Ti duduk di meja makan. Mungkin dia lapar,”kata bapakku. Kemunculannya tiba-tiba ini membuat lamunanku tentang Nek Ti menjadi buyar dan hilang.

”Nenek belum lapar Burhan. Kalian makan aja dulu,”ucap Nek Ti kepada bapak. Pendengarannya amat peka sehingga rasa kekaguman ku kembali muncul.

”Ada yang Burhan ingin sampaikan nek, tetapi nenek harus tabah ya !”ucap bapak lagi, menarik perhatianku dan Nek Ti. Segera ku dorong kursi roda Nek Ti ke meja makan. ”Apa itu ? ”tanya nek Ti.

”Ayu meninggal dunia tadi pagi nek. Ayu cicit nenek, anak dari Filman,”kata bapak lagi. Aku terkejut mendengar hal ini. Pasalnya, Ayu adalah sepupu kami. Dia masih berumur 14 tahun dan baru kemarin Om Filman bersama ayu berkunjung ke rumah untuk melihat kondisi kesehatan Nek Ti.

Tapi yang paling bersedih, ternyata bukan diriku ataupun bapak. Air mata tampak turun di wajah Nek Ti yang berkaca-kaca. Aku sendiri seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Nek Ti saat itu. Ya, Allah.....Cuma kau yang tahu apa yang terbaik bagi hambamu.

***
Setelah beberapa bulan kematian Ayu, Nek Ti terlihat lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar. Dia memperbanyak solat dan ibadah lainnya sehingga membuat diriku enggan untuk menganggunya. Padahal, beberapa hari ini dia sudah berjanji sama diriku untuk menuntaskan cerita sejarah tentang Aceh Lhee Sagoe, atau Aceh Tiga Segi.

”Aku pulang ke rumah aja ah. Siapa tahu Nek Ti mau berbaik hati dan menuntaskan ceritanya kepadaku,”gumam diriku di dalam hati. Sejak kecil, aku memang sudah tertarik dengan hal yang berbau sejarah dan hal ini pula yang membuat diriku dengan Nek Ti bisa akrab.

Dalam perjalanan pulang, hatiku agak gelisah. Aku tidak pernah di landa perasaan seperti. Kegelisahan tersebut kian menjadi-jadi setelah kulihat semua saudara kami berkumpul di rumah. Beberapa diantara mereka adalah saudara jauh, atau cucu Nek Ti.

”Suci, kenapa di rumah banyak orang ?” tanyaku pada adik bungsuku. ”Itu, Nek Ti meninggal dunia kak. Dia meninggal dengan mukena masih di badannya,”ucap suci terputus-putus.

Jawaban ini membuat air mataku tumpah tak tertahankan. Entah, aku harus bagaimana mengungkapkan rasa atas kematian Nek Ti ini. Disatu sisi, aku sangat sedih dengan kenjadian ini karena kehilangan sosok nenek buyut yang selama ini sangat menyayangi kami. Tapi, di sisi lain, inilah jawaban dari doa-doa Nek Ti selama ini.

”Tuhan, segera cabut lah nyawa hambamu ini. Hamba sudah terlalu banyak menerima hikmahmu. Hamba takut, hamba akan kufur jika terus diberikan umur yang panjang,” teringat doa Nek Ti setiap malam. Tuhan mendengarkan harapanmu nek ti, doa kami selalu bersamamu. (murdhani)

 
Free Host | lasik surgery new york