Sepekan terakhir ini aku seperti kedapatan ’durian runtuh’. Sang dewi fortuna sepertinya memang sedang berada disekelilingku belakang ini. Soalnya, banyak berita bahagia yang menghampiri keluargaku. Do’a dan harapan bunda tercinta sepertinya mulai dikabulkan sedikit demi sedikit.
Pertama, Fitri adikku yang tertua akhirnya memperoleh gelar SP, alias Sarjana Pertanian. Sedangkan yang kedua, aku memperoleh Job sampingan untuk mengelola salah satu media kampus di Kutaradja. Tentu saja, pekerjaan tersebut, mungkin akan sangat membantu diriku dalam menanggung nafkah keluarga pasca meninggalnya Abi dalam musibah tsunami yang melanda Aceh di akhir tahun 2004 lalu.
Dan untuk keberuntungan yang terakhir, aku seperti sedang bermimpi. Sesaat perkataan pak TA. Sakti seakan membawa aku ke awan-awan. Saking senangnya, perkataan dosen pembimbingku itu selanjutnya tidak lagi mampu aku cerna.
Dia adalah sosok yang paling berjasa dalam pengembangan studiku di FKIP Sejarah Unsyiah. Kekaguman aku terhadap dirinya, menempatkan dia sebagai sosok yang harus aku muliakan kedua, setelah bunda. Semangatnyalah yang selalu meruntuhkan keegoisan diriku setiap kali hendak ’menutup buku’ dalam mengejar cita-cita.
Setiap kali aku mengeluh tentang jadwal kerja yang padat dan tanggungjawabku yang besar dalam menafkahi keluarga. Dia selalu muncul dengan petuah-petuah bijaknya sehingga diriku kembali bersemangat hingga seperti sekarang.
”Hai, jangan senang dulu. Kamu masih harus menyelesaikan skipsimu. Yang baru kami terima adalah proposal skipsi, bukan sidang akhir,”katanya yang diamini oleh beberapa dosen lainnya. Beberapa di antara mereka ada yang tertawa melihat tingkahku, ada juga yang cuma tersenyum simpul, bijak. Maklum, diriku adalah mahasiswa angkatan 2003 yang masih ’tersisa’ di jurusan itu.
”Iya pak! Terimakasih banyak,”balasku. Aku berdiri dan memberikan salam kepada mereka semua, tapi ketika kaki hendak melangkah keluar, sang dosen itu kembali memanggil dan meminta diriku kembali menghadap mereka.
”Ada apa pak ? Apa ada yang kurang jelas atau ditanyakan lagi?”tanyaku dengan harap-harap cemas. “Oh...tidak, saya cuma mau tanya, Kantin FKIP masih dibukakah? Mie disana kayaknya enak tue,”ungkap Saiful Mahdi, dosen termuda dia sana dengan penuh makna. Terkait dengan pertanyaan ini, aku cuma tersenyum simpul. Aku mengerti bahwa para dosen-dosen ini, sebenarnya ingin ditraktir mie made in Kantin FKIP yang memang terkenal dengan rasanya yang enak.
”Oke pak, segera saya pesan. Terimakasih banyak sekali lagi,”ungkapku yang di balas dengan tatapan yang senang pula dari para dosen ini.
Aku meneruskan langkahku menuju pintu. Sikapku saat itu sengaja ku buat se-bersahaja mungkin hingga keluar dari beberapa meter dari kantor jurusan sejarah. Disana, dengan suara yang lantang aku berteriak sambil berlomba setinggi-tingginya.
”Berhasillllllllllllllllllllllll..........l, terimakasih ya allah akhirnya proposal skipsi-ku diterima juga,”teriakku sekeras-kerasnya. Namun teriakanku ini sepertinya terdengar sama mahasiswa yang sedang belajar dari bangunan terdekat disana. Proses belajar mengajar mereka-pun sepertinya terganggu karena suaraku. Sejumlah mahasiswa dan dosen keluar ruangan guna mencari sumber suara dan menatapku.
Melihat tingkahku mereka terheran-heran dan ketawa kecil. Merasa jadi pusat perhatian, aku jadi merasa malu. ”Saya minta maaf telah menganggu, maaf,”ucapku akhirnya dengan segera bergegas menuju Kantin Bang Pon untuk memenuhi janjiku dengan para dosen sejarah.
****
Waktu ternyata berlalu dengan cepat. Selang sebulan dari tanggal diterimanya proposal skipsiku, jadwal sidang akhir-pun akhirnya diagendakan.
Tidak banyak yang mengetahui perihal sidang akhir ini, termasuk bunda tercinta di rumah. Aku rencananya ingin memberikan kejutan untuk sosok wanita yang telah membesarkan diriku itu. Pelaksanaan sidang akhir ini, sengaja ingin aku coba rahasiakan dari dirinya. Setelah semuanya benar-benar selesai, rencananya baru aku beritahukan sehingga dia bisa merasa bangga.
Terbayang, kedepan bundaku tidak perlu lagi malu ketika bertemu dengan tetangga rumah. Bunda juga bisa memberikan jawaban yang optimis setiap kali mereka menanyakan kapan diriku di wisuda. ”Ah bunda, anakmu hari ini akan segera sidang akhir,”gumamku.
Untuk memuluskan prosesi paling sakral ini, aku sengaja meminta cuti kerja satu hari dari kantor. Alhamdulillah, permohonan cuti ini pun dikabulkan oleh pimpinan redaksi, bahkan bukan cuma satu hari, tetapi dua hari.
Perjalanan dari kantor ke FKIP Unsyiah, rencananya akan ditemani oleh Maulinda. Dia adalah adik angkatanku di Jurusan Sejarah Unsyiah. Dia sedikit lebih beruntung karena bisa menyelesaikan studi lebih cepat dari diriku. Eks mahasiswi cantik dan anggun letting 2006 ini, mungkin masih berharap adanya balasan cinta dariku.
Karena hal itulah yang mungkin menyebabkan anak pejabat teras Aceh ini mau bersusah payah menemani diriku menghadapi sidang akhir di kampus. Mengingat hal ini, hatiku berbunga-bunga. Pasalnya, suatu keberuntungan untuk dicintai oleh wanita cantik dan alim seperti Maulinda.
”Firman, ada cewek cantik yang mencarimu di bawa. Gila, cantik banget,”ucap Rahmad, rekan seprofesi di kantor. Bedanya, dia adalah fotografer, sedangkan aku adalah jurnalis.
”Siapa namanya Mad ? jangan-jangan orang yang komplain berita ya ?”selidiki aku lagi. ”Bukan, katanya dia bernama Mauli. Pake mobil Innova lagi, beruntung amat sih lho ? udah muka pas-pasan, tapi dapat cewek cantik,”tandasnya.
Aku yang mendengarkan hal ini cuma bisa tersenyum, karena sampai saat ini aku belum pernah sedikitpun mengungkapkan perasaan yang sama dengan Maulinda. Hubungan kami selama ini cuma teman baik. ”Oke aku berangkat dulu ya..!” tandas diriku sambil berlalu.
Turun dari lantai tiga kantor, aku berpas-pasan dengan beberapa pegawai bidang adminitrasi. Para perempuan ini tampak tersenyum-senyum penuh makna. Namun tingkah mereka ini tidak terlalu menarik perhatian diriku hingga berjumpa dengan Maulinda. ”Ternyata benar kata Rahmad, Maulinda hari ini tampak cantik sekali. Sungguh orang yang bodoh sepertiku yang menolak cintanya,”gumam diriku lagi.
”Itu mobil siapa dek ? bagus bener,”kataku sambil berbasa-basi untuk memulai pembicaraan. Semoga saja, Maulinda tidak tahu kalau aku memerhatikan dirinya sejak tadi. Mendengarkan pertanyaan ini, Mauli malah tersipu-sipu malu. ”Mobil Mauli bang. Hadiah kelulusan studi dari papa,”katanya singkat dan pelan.
Aku menelan ludah. Terbayang bagaimana kekayaan orang tua Maulinda yang sanggub memberikan mobil untuk anaknya, hanya karena dia telah mampu menyelesaikan studi. Bagiku, untuk mendapatkan mobil seperti itu perlu bekerja seumur hidup. Aku dan Maulinda berbeda bagaikan langit dan bumi.
”Ayo bang, kita jalan. Jangan berpikir yang enggak-enggak,”ungkap Maulinda memecah keheningan. Aku mengiyakan dan duduk disamping dia. Maklum, hingga kini aku belum mampu menyetir mobil.
Dari kantor di Desa Lambhuk, kami melewati Jalan Teuku Nyak Makam hingga tembus ke depan Kantor Gubernur Aceh. Dari sana, kami melaju dengan kecepatan sedang hingga sampai ke Simpang Mesra. Disana, lalu lintas ternyata sedikit macet hingga Innova Maulinda pelan seperti semut. ”Kok bisa macet seperti ini ? tidak biasanya Simpang Mesra macet,”gumamku. Maulinda cuma angkat bahu tanda tidak mengerti.
Jiwa jurnalisku tiba-tiba muncul. Untuk menghilangkan rasa penasaran ini, kucoba bertanya pada beberapa pejalan kaki disana. ”Kenapa bisa macet begini bang ?”selidik diriku. “Itu bang, tadi ada dua ibu-ibu ketabrak mobil. Lukanya sangat parah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kasihan dia,”ungkap lelaki muda pejalan kali tersebut.
Mendengar hal ini, aku berniat turun dari mobil, namun Maulinda mencegah diriku. Dia sepertinya takut ditinggalkan sendiri. Pelaksanaan sidang akhir-ku juga akan dimulai sebentar lagi sehingga tindakan Maulinda ini aku anggap tepat. Kamipun akhirnya mencoba kembali ’merayap’ di tengah kemacetan hingga akhirnya tembus ke Darussalam, kota pelajar.
****
Sidangku berlangsung cepat. Tulisan di Skipsi yang berjumlah 341 halaman hanya diselesaikan dengan sepuluh pertanyaan, itupun bukan pertanyaan yang susah. Aku juga cuma bisa bengong ketika sidang dikatakan selesai dan aku berhak untuk menyandang predikat sarjana pendidikan alias S.Pd.
”Selamat,”ucap pak TA. Sakti. Ucapan selanjutnya meluncur dari mulut dosen-dosen lainnya. Tidak ketinggalan, ucapan serupa juga diucapkan oleh para mahasiswa, serta para asisten dosen yang menyaksikan sidang akhir diriku. Beban menggunung yang selama ini menekan diriku, seakan runtuh seketika.
Maulinda dan beberapa temannya tampak tersenyum saat itu. Namun dipikiranku cuma terbayang wajah bunda seorang. Aku ingin cepat-cepat berbagi kebahagian ini dengan wanita yang telah melahirkanku itu. Maulinda sendiri sepertinya mengerti akan hal ini, diseretnya tanganku untuk segera meninggalkan ruangan tersebut dan menuju mobil dia. Kami-pun segera melaju ke rumah. ”Bunda, aku tidak sabar bersujud didepanmu. Berkat do’amu akhirnya anakmu ini bisa meraih sarjana,”gumamku dalam hati.
Sesampai di rumah, suasananya tampak sepi. Aku mencari-cari sosok bunda, tapi tak juga berhasil aku temui. Kemudian aku coba mencari di rumah Tante Lis tetangga kami, tapi bunda tidak ada juga ada disana. Di tengah kesibukan tersebut, Tante Linda meghampiri diriku dengan wajah suram.
”Cari bundamu Fir ? kamu belum tahu,”ucapnya singkat. Mendengarkan pertanyaan ini, tiba-tiba perasaan tidak enak menghampiri diriku. ”Tahu apa tan ? ”tanya aku ulang.
”Bundamu dan Tante Lis tadi ketabrak di Simpang Mesra. Mereka kini dirawat di RSUZA. Fitri sudah kesana, saya pikir kamu sudah diberitahu melalui hanphone. Bundamu luka parah,”paparnya lagi. Mendengarkan hal ini, kepalaku berkunang-kunang, langit terasa runtuh. Aku berjalan dengan sedikit sempoyongan.
”Tidak, Firman sengaja mematikan hanphone hari ini agar sidang akhir tidak terganggu,”ungkapku sebelum akhirnya langit menjadi gelap dan aku tidak sadarkan diri.