Sejak tahun 2005 lalu Aceh dikatakan telah memiliki wewenang untuk mengatur pemerintahan sendiri alias Self Government. Namun realita yang terjadi, kewenangan yang diagung-agungkan kalangan elit di Aceh tersebut tidak kunjung diperoleh hingga enam tahun usia perdamaian berjalan.
Kata-kata Self Government memiliki arti yang luas. Namun dalam bahasa kasarnya, Self Government adalah suatu pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah untuk mengatur pemerintah sendiri, kecuali menyangkut tiga kebijakan moneter atau keuangan, keamanan, serta kebijakan luar negeri.
Artinya, diluar ketiga hal tadi, daerah ini seharusnya berhak untuk mengurus diri sendiri. Salah satu contohnya adalah daerah ini berhak memiliki lambang, bendera serta lagu kebangsaan sendiri sebagai simbol seperti halnya Puerto Rico di Negara Amerika Serikat.
Sayangnya, membandingkan implementasi Self Government di Aceh dengan Puerto Rico bagaikan langit dan bumi. Dimana, kewenangan Self Government yang dimiliki Aceh saat ini masih jauh dari apa yang diharapkan oleh rakyat. Implementasi Self Government ‘produk hukum’ made in Negara Indonesia ini juga jauh berbeda dengan daerah-daerah yang memiliki kewenangan serupa.
Dalam catatan sejarah dunia, banyak daerah yang telah diberikan wewenang dalam menjalankan self government. Negara-negara tersebut, seperti negara Malaysia untuk Serawak dan Sabah, Monaco, Greenland, Tibet, Negara Amerika untuk Puerto Rico serta yang terakhir adalah Indonesia untuk Aceh.
Dalam memperjuangkan hal ini, semua daerah-daerah tadi membutuhkan waktu yang relatif lama dan sikap tegas terhadap pemerintah pusat. Hal inilah yang mungkin perlu dicontoh oleh Pemerintah Aceh kedepan.
Sebenarnya, sejak adanya penandatangan MoU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republic Indonesia pada 15 Agustus 2005 lalu, Aceh telah didengung-dengungkan memiliki kewenangan berupa Self Government. Tetapi, karena ketiadaan pembahasan mengenai pola dan format yang tepat untuk menerjemahkan kata-kata self government dalam wujub nyata menyebabkan penerapan ide ini menjadi kendala dikemudian hari, dan terbukti.
Menurut Nur Djuli, salah satu tokoh Aceh yang terlibat dalam perundingan melalui opininya yang pernah dimuat salah satu media harian local di Aceh, kata-kata Self Government untuk pertama kali muncul dan diperkenalkan oleh Marti Ahtisaari selaku mediator perdamaian Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia di Helsinki. Dalam opininya, Self-Government’ disebutkan sebagai kewenangan yang berada satu tingkat di atas otonomi khusus.
Sedangkan daerah yang pernah menjalankan kewenangan ini, dicontohkannya seperti Pulau Aalan atau Olan di Finland yang berpenduduk 95 persen orang Swedia. Dimana, bahasa resmi daerah itu adalah bahasa Swedia, berbendera sendiri, serta disebutkan semua kapal angkatan laut dan pesawat udara Finland harus meminta izin pemerintah Olan terlebih dahulu sebelum masuk atau melintasi perairan atau ruang udara Olan.
Kewenangan ini selanjutnya diiyakan oleh perwakilan RI yang hadir, Hamid Awaluddin. Namun tindaklanjut dari kesepakatan inilah yang kini ditunggu realisasinya oleh masyarakat Aceh. Dan, hal inilah yang tidak pernah dapat diraih selama ini.
Masih Bisa di Hapus dan setingkat otonomi khusus
Pemerintah Pusat di Jakarta dianggap masih memungkinkan untuk menghapus kebijakan Self Government atau perlimpahan kewenangan dalam mengatur pemerintahan sendiri bagi Aceh. Pasalnya, kekhususan yang diberikan untuk Aceh pasca adanya perjanjian MoU di Helsinki tersebut, ternyata belum dimasukan dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pijakan hukum di Negara ini.
Hal inilah yang kemudian dikeluhkan oleh banyak aktivis dan pakar hukum yang berada di Aceh saat ini. Salah satunya, adalah Safaruddin, aktivis partai lokal Suara Independen Rakyat Aceh.
“Banyaknya kewenangan Aceh yang masih terbonsai. Seharusnya Self Government yang diberikan kepada Aceh harus dimasukan dalam UUD 1945. Hal itu merupakan penghargaan terhadap bergabungnya Aceh dalam bingkai NKRI, serta bukan kompensasi terhadap kelompok tertentu seperti sekarang,”ungkap Safaruddin selaku Ketua Tim Advokasi Partai SIRA, kepada penulis beberapa waktu lalu.
Menurutnya, masyarakat harus sadar bahwa Aceh memiliki catatan buruk mengenai sejumlah gelar dan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat yang kemudian dicabut sejak masa Presiden Sukarno hingga sekarang. Hal yang sama juga diprediksikan akan terulang beberapa tahun kedepan jika Self Government tidak segera dalam UUD 1945 sebagai hukum dasar.
Sedangkan Kekhususan Aceh seperti yang diatur dalam UUPA saat ini terbukti tidak peka terhadap permasalahan yang terjadi saat ini. Dimana pada setiap point keistimewaan Aceh dalam UU tersebut, selalu di ikuti dengan kata-kata seperti ‘akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan yang ada’ yang pada akhirnya menimbulkan benturan-benturan kepentingan, serta berakhir dengan timbulnya konflik baru.
Terlebih, beberapa kebijakan yang sudah di sepakati dalam MoU Helsinki dan UUPA pun tidak mampu terimplementasi. Hal ini seperti pembentukan Pengadilan HAM, Pembebasan Tapol/Napol, pembentukan KKR, dan Komisi Klain korban korflik.
Hal ini terkendala karena semuanya harus menunggu turunan aturan sesuai dengan UU No 10 tahun 2004 tentang Peraturan pembentukan perundangan, dan inilah yang membuat Aceh merasa dirugikan.
“Momentum adanya usulan Amandemen UUD 1945 ini, SIRA akan mengajukan beberapa konsep keistimewaan Aceh yang harus di muat dalam UUD 1945 agar ‘Self Government’ dan ‘Istimewa’ Aceh terjadi dalam bingkai NKRI serta sejarah buruk tidak lagi terulang,”ungkap Safaruddin.
Partai SIRA, ungkap pria yang berprofesi sebagai advokat ini, mendukung upaya untuk mengamandemen UUD 1945. Selain Capres Independen yang akan di perjuangkan juga ini merupakan celah masuk untuk kembali memperkokoh kekhususan Aceh dalam bingkai NKRI.
Pasca penandatanganan MoU Helsinki pada 15 agustus 2005 yang kemudian akan di implementasikan butir butirnya dalam UU No 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, namun kenyataannya masih banyak hal hal yang sudah disepakati tidak dilaksanakan dengan konsisten, bahkan dalam UUPA sendiri masih terjadi kesalah pahaman antara masyarakat, Pemerintah Aceh, DPR Aceh dan Pemerintah Pusat.
‘Saat ini juga menjadi hal yang harus dipertegas,karena selama itu ke Istimewaan Aceh seperti menanam tebu di pinggir bibir,”akhirinya.
Sementara, di tempat yang berbeda tokoh Aceh lainnya menilai kewenangan yang dimiliki oleh Provinsi Aceh pasca penandatangan MoU di Helsinki dan genjatan senjata itu belum layak dan pantas untuk disebut Self Government atau kebebasan dalam mengelola pemerintahan sendiri.
kewenangan yang sudah dimiliki saat ini dianggap masih setara dengan otonomi khusus yang sudah pernah diterapkan sejak awal tahun 2000 lalu.
“Memang benar kalau Aceh dikatakan sudah memiliki kewenangan penuh dalam menerapkan Self Government atau mengatur pemerintahan sendiri setelah penandatanganan MoU Helsinki. Namun dalam aplikasi di lapangan, kewenangan yang diberikan masih setara dengan otonomi khusus,”ungkap Yusra Habib Abdul Ghani, tokoh Aceh di Eropa.
Menurutnya, saat ini ada sejumlah negara yang telah memberikan kewenangan berupa Self Government bagi daerah kekuasaanya di dunia. Namun dari semua daerah yang memiliki kewenangan berupa Self Government tersebut, Provinsi Aceh dinilai paling beda dari yang lainnya.
Kewenangan dan posisi Self Government Aceh dalam aplikasinya dianggap masih sebatas otonomi yang kapan saja bisa dicabut oleh pemerintah pusat.
Tidak hanya itu, sejumlah perjanjian yang pernah disepakati oleh antara perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia dalam MoU Helsinki, ternyata juga belum sepenuhnya ditepati.
”Jika sudah Self Government, seharusnya kita memiliki bendera dan lagu kebangsaan sendiri yang berbeda dengan pemerintah pusat. Ini terjadi di Puerto Rico, dimana pada setiap event internasional, mereka selalu menyanyikan lagu daerah serta menghormati bendera sendiri, bukan Amerika,”ucap pria kelahiran Aceh Tengah ini.
Seharusnya kewenangan pemerintah pusat terhadap Aceh pasca Self Government, hanyalah meliputi kebijakan moneter atau keuangan, keamanan, serta kebijakan luar negeri. Namun yang terjadi, saat ini semua yang berkenaan dengan Aceh masih diatur pusat.
”Sayangnya, saya sudah menjadi warga asing untuk Aceh, jadi tidak bisa berkomentar lebih. Tapi, kalau ada yang terlibat dalam penandatangan MoU disini (seminar-red), bisa langsung kita kritik,”akhiri dia.
Menurut penulis, pendapat dari dua tokoh ini layak menjadi masukan atau saran yang berarti bagi semua elit politik yang ada di Aceh saat ini. Penerapan Self Government sesuai cita-cita adalah harapan dari semua masyarakat di Aceh. Mengenai tahapan atau proses yang harus ditempuh juga sangat memerlukan kerja keras dari semua pihak.
Sikap tegas dari Pemerintah Aceh dan kemauan kuat dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah ini juga perlu dikedepankan. Jangan sampai, kasus ini dibiarkan berlarut sehingga muncul opini negatif di kalangan masyarakat Aceh sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi terancam.
Dalam banyak kasus yang terjadi, konflik yang pernah terjadi di negara-negara dari berbagai belahan dunia berpotensi terulang dalam siklus waktu 10 tahunan. Penyebabnya, adalah tidak terlaksananya poin-poin perjanjian yang pernah disepakati, dan hal ini juga terjadi pada kasus Aceh.
Perdamaian di Aceh saat ini memasuki tahun ke enam. Artinya, masih tersisa empat tahun bagi pemerintah pusat untuk menyelesaikan utang janjinya kepada rakyat Aceh yang sejak dulu menjadi modal kemerdekaan negeri ini. Empat tahun ini akan terasa singkat jika dilalui dengan saling curiga seperti yang terjadi selama ini. Namun kita berharap, Aceh akan selalu damai selamanya.