Perjanjian di Helsinki memiliki arti tersendiri bagi masyarakat di Aceh. Sayangnya, setelah lima tahun berlalu, perjanjian itu sepertinya tidak juga membelikan perubahan bagi masyarakat, kecuali tumbuh subur-nya sejumlah Orang Kaya Baru (OKB) di daerah ini.
Perjanjian di Helsinki sebenarnya mempunyai pertalian yang sangat erat dengan Undang-Undang pemerintahan Aceh (UUPA). MoU Helsinki yang memerintahkan pembentukan UUPA dan kemudian UUPA memerintahkan pembentukan qanun-qanun.
Perjanjian MoU Helsinki bukan hanya menjadi titik awal dari perdamaian, namun juga menjadi awal mula pengelolaan pemerintahan provinsi NAD dengan cara-cara yang jauh berbeda dari sebelumnya melalui UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Jika merujuk pada pasal-pasalnya, maka UU tersebut memiliki beberapa fungsi yaitu, penguat eksistensi NKRI, sebagai instrumen yuridis untuk penyelenggaraan pemerintah daerah, instrumen yuridis pelaksanaan MoU serta untuk penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh.
Keberadaan UUPA dianggap sebagai katalisator yang membawa perubahan situasi di Aceh untuk menjadi lebih adil. Namun, dalam perjalanan waktu, terutama dari tahun 2006 hingga akhir 2010, menurut pengamatan penulis banyak terdapat kendala sehingga semua fungsi tadi tidak dapat berjalan.
Kelemahannya seperti, banyaknya qanun atau produk hukum yang belum dilahirkan hingga akhir 2010, lemahnya SDM legislatif, pertikaian antar pemimpin, perilaku korupsi hingga perpecahan.
Selain itu, kelemahan ini dapat dilihat dari banyak PP dan Kepres yang merupakan amanah dari perjanjian MoU Helsinki yang tidak juga diterbitkan oleh pemerintah pusat hingga lima tahun. Pemerintah Pusat dinilai masih berutang untuk menyelesaikan 6 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Peraturan Presiden (Perpres), serta 1 Keputusan Presiden (Kepres).
Aturan turunan UUPA yang hingga kini masih menjadi utang pemerintah pusat adalah PP tentang Kawasan Khusus, PP tentang Pengelolaan Migas, PP tentang Pelimpahan Kewenangan, PP tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh/Kab/Kota, PP tentang Penetapan nama Aceh dan gelar pejabat yang dipilih setelah Pemilu 2009, dan PP tentang Standar, Norma dan Prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh/Kab/Kota.
Sementara dua Perpres turunan dari UU PA yang belum ada adalah Perpres tentang kerja sama internasional dengan Aceh, Perpres tentang Pengalihan Kanwil BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kab/Kota menjadi perangkat daerah Aceh dan perangkat Kab/Kota.
Sedangkan Kepres turunan dari UU PA adalah, Kepres tentang Penetapan dan pemberhentian Sekda Aceh.
Dalam beberapa aspek, UUPA sebenarnya merupakan sebuah produk hukum yang sangat progresif dalam kaitannya dengan pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah.
Namun karena banyaknya permasalahan tadi, tidak sedikit kewenangan yang seharusnya dimiliki Pemerintahan Aceh, kini seperti dihambat (baik sengaja atau tidak-red) oleh pemerintah pusat.
Perjanjian MoU Helsinki yang sebenarnya mengisyaratkan harus adanya save govement (pemerintahan sendiri-red) di Aceh, kini hanya sebatas perjanjian di kertas belaka. Parahnya lagi, kondisi seperti ini tidak juga dibentengi dengan dorongan yang kuat dari Pemerintah Aceh ke pemerintah pusat di Jakarta, saat ini.
Analisis penulis, kondisi ini terjadi karena banyaknya timbul perpecahan antara para pemimpin di Aceh pasca damai. Padahal, mayoritas dari pemimpin itu sendiri, sebenarnya merupakan eks kombatan yang sebelumnya melakukan perlawanan hingga adanya MoU Helsinki.
Rasa curiga hingga pemerataan ekonomi yang tidak seimbang, terutama untuk eks kombatan, diduga kuat merupakan alasan dibalik pertikaan baru di Aceh. Konflik internal dan pertikaian yang menjalar dari ‘arus bawah’ hingga para pimpinan tertinggi, ikut terseret.
Korupsi pasca MoU Helsinki
Di Aceh, pasca damai muncul banyak kasus dugaan korupsi, namunnya sayangnya, kasus-kasus tersebut tidak pernah tertuntaskan. Kasus seperti penjualan aset daerah berupa rangka baja dan kasus bobolnya deposito 220 miliar milik pemkab Aceh Utara dinilai dua kasus yang paling menyita ‘mata publik’ selama ini.
Selain itu, ada juga kasus dugaan korupsi dana abadi pendidikan Aceh Rp2,4 triyun yang mengendap di bank sejak tahun 2003 lalu. konon, bunga dari dana ini berkisar 12 miliar pertahun, tetapi tidak jelas mengalir kemana.
Kasus-kasus ini pula yang diduga menyebabkan kepercayaan publik kian menipis terhadap para pemimpin yang maju melalui jalur independen atau pemimpin yang berlatar belakang perjuangan, biarpun kasus ini tidak bisa disamaratakan untuk semua daerah.
Paling tidak, munculnya sejumlah laporan dugaan korupsi pasca damai di Aceh telah mengikis kepercayaan masyarakat. Tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap ‘pemimpin lokal’ cenderung meningkat sehingga roda pembangunan yang sedang dirintis menuai kendala.
Ketidakpuasan ini juga terjadi karena adanya ketidakseimbangan ‘pembagian ekonomi’ ditengah-tengah masyarakat.
Dimana dalam banyak kasus terjadi, kelompok yang dekat dengan kekuasaan selalu mendapatkan ‘cipratan’ ekonomi yang lebih dominan daripada kelompok lainnya. Pola inilah akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial ditengah-tengah masyarakat Aceh.
Dalam masyarakat Aceh, juga muncul istilah OKB alias Orang Kaya Baru pasca penandatangan perjanjian MoU Helsinki. Terlepas sumber dana para ‘OKB’ tersebut halal atau tidak, namun munculnya statemen ini patut menjadi perhatian khusus dari semua pihak yang peduli pada perdamaian Aceh.
Masyarakat Aceh, masih trautma dengan segala kemunafikan yang pernah terjadi masa lalu, baik semasa Soekarno maupun Megawati. Jangan sampai kasus ini juga menimpa pada tokoh Aceh saat ini. Perjanjian MoU Helsinki yang sebenarnya bertujuan untuk perdamaian, malah dimaafkan untuk memperkaya diri sendiri.
Tapol Napol, KKR serta pengadilan HAM
Dibalik semua persoalan tadi, sebenarnya ada sejumlah Pekerjaan Rumah (PR) yang harus segera dituntaskan oleh para pemimpin Aceh saat ini. Permasalahan ini seperti pembebasan 3 sisa Narapidana Politik (Napol) Aceh yang masih mendekam di penjara pasca penandatangan MoU di Helsinki, Pembentukan KKR serta Pengadilan HAM.
Semua itu merupakan amanah dari perjanjian MoU Helsinki yang belum juga direalisasikan oleh pemerintah pusat.
Namun sayangnya, para elemen sipil di Aceh juga pernah mengaku bahwa pihaknya pesimis kalau keberadaan KKR dan Pengadilan HAM di Aceh. Pasalnya, qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan HAM yang menjadi landasan hukum pembentukan keduanya, ternyata juga tidak masuk dalam Program Priolitas Legislative Aceh (Prolega) tahun 2010 ini.
Hal ini terjadi dikarenakan minimnya tindakan nyata dari kalangan dewan untuk melakukan pembahasan qanun tersebut.
“Belum ada langkah-langkah nyata yang dilakukan oleh jajaran legislative untuk menghadirkan qanun KKR di Aceh. Apalagi, dalam sidang pembahasan beberapa waktu lalu, tidak disebutkan Qanun KKR sebagai bagian dari 21 qanun yang masuk program priolitas legislative (Prolega) selama tahun 2010,”ucap Pj Direktur Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), Agusta Mukhtar, kepada media beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Hendra Fadli, Coordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, keseriusan dewan untuk memasukan Qanun KKR sebagai bagian dari Prolega 2010 merupakan awal dari penegakan keadilan bagi korban kekerasan di Aceh. Apalagi, semua tersebut juga merupakah poin penting dalam perjanjian damai Aceh.
Menyangkut hal ini sendiri, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), akhirnya juga mengakui bahwa salah satu penyebab lambannya pembebasan 3 sisa Narapidana Politik (Napol) Aceh adalah lemahnya lobi mereka di tingkat nasional.
Dewan juga mengatakan keterbatasan akses pihaknya untuk bisa bertemu langsung dengan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar serta Presiden SBY sebagai pemegang kebijakan adalah penyebab utama kegagalan tersebut.
“kita (DPRA-red) belum bisa bertemu langsung dengan Menkum HAM dan Presiden SBY untuk membicarakan masalah Napol Aceh. kita merasa sedang dibola-bolai oleh pemerintah pusat di Jakarta,”ucap ketua komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Adnan Beuransyah, dalam diskusi damai Aceh Pasca MoU Helsinki, yang digelar BEMA IAIN Ar-Raniry, dipertengahan tahun 2010 ini.
Menurutnya, untuk pembebasan tiga sisa Napol Aceh yang masih mendekam di Cipinang, pihaknya mengaku telah mengirimkan surat kepada Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar serta Presiden SBY, guna melakukan pertemuan khusus untuk membahas permasalahan ini. Namun para pemegang kebijakan tersebut ternyata tidak memberikan respon positif.
Bahkan, kata dia, balasan surat terhadap permintaan mereka pun tidak pernah dilakukan oleh kelembagaan terkait. Sedangkan Komisi A DPR Aceh sendiri, mengaku telah mengirim surat permohonan tersebut sebanyak 3 kali sejak awal tahun ini.
“Kita datangi langsung ke Jakarta, tetapi cuma bisa ketemu dengan Dirjen dan Kepala Lapas Cipinang. Mereka menyambut baik tawaran ini, tetapi tidak memiliki hak untuk membuat kebijakan,” jelas dia.
Karena sikap seperti ini, tambah Adnan lagi, pihaknya mengaku serba salah dengan masyarakat Aceh dan mahasiswa setiap ditanyakan soal komitmen dewan terhadap penyelesaian amanah MoU Helsinki. Apalagi, Komisi A mengaku juga pernah memberikan janji manis kepada rakyat Aceh, bahwa akan membebaskan Napol Aceh sebelum akhir tahun 2010 ini.
“Saat ini, dewan sedang mengatur ulang pertemuan dengan Menkum HAM dan Presiden SBY terkait hal yg hampir sama. Kita berharap pertemuan ini dapat membuahi hasil,”tandasnya.
Terlepas Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar juga sudah pernah menyatakan bahwa ke-3 sisa Napol Aceh tidak bisa dibebaskan dengan perjanjian MoU Helsinki. Namun dorongan yang kuat sebetulnya perlu dilakukan untuk mengubah kebijakan ini.
Tetapi, permasalah ini lagi-lagi terbetur dengan pertikaian internal dari dalam Pemerintahan Aceh sehingga hal ini terabaikan. Adanya perilaku korupsi hingga keberadaan pemimpin yang cuma memperkaya diri sendiri justru (OKB-red) telah mematahkan perjuangan ini.
OKB Versus MoU Helsinki
Perilaku korupsi dengan kemunculan sejumlah OKB baru dalam kasus ‘damai Aceh’ sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam cacatan sejarah Aceh. Jika kita bisa memakai bahasa kasar untuk menyebutkan mereka sebagai ‘para pengkhianat’ perjuangan, juga bukanlah sesuatu yang baru dalam cacatan sejarah dunia.
Kehadiran perjanjian MoU Helsinki untuk mendamaikan Aceh, kini telah dihadapkan pada babak baru berupa penyelesaian konflik internal karena perilaku korupsi hingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Memang tidak sedikit ‘para pembela’ MoU Helsinki yang kini masih komit mengawal UUPA hingga amanah perjanjian itu sendiri, dan tidak sedikit pula yang mengunakan awal damai tersebut sebagai langkah memperkaya diri sendiri walaupun dengan cara-cara tidak halal.
Namun apapun alasanya, kedua kelompok tadi merupakan hal yang nyata yang sudah terjadi di Aceh. Permasalahan ini harus segera diselesaikan sehingga tidak menimbulkan kerugian ditengah-tengah masyarakat dan tuntutan MoU Helsinki dapat segera diwujudkan.
Jangan sampai, kasus ini malah akan menimbulkan gerakan bersenjata baru di Aceh sehingga damai yang sedang dirintis akan gagal. Siklus konflik Aceh yang selalu berulang 15 tahun sekali, juga diharapkan tidak terbukti untuk persoalan ini. Komitmen kuat dari Pemerintah Aceh untuk menyelesaikan amanah MoU Helsinki dinilai penting guna mencegah konflik berulang di Seramoe Mekkah ini.