Jumat, 25 Maret 2011

‘Bom Waktu’ di Tangse


Pergunungan Tangse kini menyimpan ’bom waktu’ yang mungkin akan kembali ‘menelan’ korban jiwa dalam jumlah yang lebih di masa yang akan datang. Salah satu sebabnya, adalah perilaku illegal logging yang menyebabkan banjir bandang di daerah tersebut, kamis (10/3) lalu.

Jauh sebelum kenjadian tersebut, nama Tangse sebenarnya sudah cukup tenar di kalangan masyarakat Aceh dan Sumatra pada umumnya.Tangse adalah nama salah satu kecamatan di kabupaten yang terletak di dataran tinggi.Daerah tersebut juga menjadi jalur transfortasi alternatif bagi masyarakat pesisir barat-selatan.

Keindahan alam Tangse yang masih sangat alami dengan dedaunan yang hijau memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan lokal dan mancanegara. Selain karena daerah itu dikenal sebagai penghasil beras kualitas unggul dan juga penghasil buah durian yang produktif.

Kecamatan Tangse sejak dahulu sebenarnya telah menjadi produsen utama beras terbaik bagi Aceh dan Sumatra Utara. Kualitas padi seperti yang tumbuh dan bersemai di daerah itu, sulit tumbuh di daerah lain biarpun memiliki kadar air yang sama.

Namun, musibah banjir bandang yang terjadi di daerah tersebut, Kamis malam (10/3) lalu, sedikitnya telah mengubah imej daerah. Dari daerah yang dulunya dikenal sebagai objek wisata alam nan indah. Kini, menjadi salah satu daerah yang rawan terhadap bencana alam di masa yang akan datang.

”Kami masih was-was dan ketakutan untuk terus menetap di Tangse. Daerah ini masih menyimpan ‘bom waktu’ yang siap kembali ‘menelan’ korban jiwa. Keselamatan warga di Tangse menjadi taruhan karena ulah oknum yang tidak bertanggungjawab yang terus melakukan penebangan liar,”ungkap Sulaiman, 36, salah seorang petinggi Desa Rantau Panyang, kepada penulis, beberapa waktu lalu.

Argumen adanya ‘bom waktu’ di Tangse, menurut Sulaiman, sangatlah beralasan. Pasalnya, pergunungan di daerah itu kini sangat rentan dengan musibah longsor ketika musim hujan tiba. Jika hal ini, maka jumlah korban diperkirakan akan jauh lebih besar dari musibah banjir bandang yang telah menimpa daerah mereka, beberapa waktu lalu.

Lanjut dia lagi, pasca musibah, tanah di pergunungan Tangse kian labil. Tiap sudut di pergunungan ini, juga sudah terdapat sejumlah cela seukuran paha orang dewasa yang mungkin akan runtuh dalam waktu dekat ini. Parahnya lagi, sejumlah cela tersebut terdapat disejumlah titik yang memang didiami oleh masyarakat setempat.

”Masyarakat, mau tidak mau harus ekstra hati-hati. Kami tidak bisa pindah, karena inilah rumah kami,”papar Sulaiman.

Apa yang diungkap oleh Sulaiman ini, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang diutarakan oleh Hamdani, 32, warga Peunalom. Kekhawatiran akan adanya bencana yang lebih besar di masa yang akan datang, diakuinya, kini sedang menghantui warga di Tangse.

Hal inilah yang dinilai menjadi kecemasan para masyarakat pengungsi untuk kembali ke desa masing-masing guna melaksanakan aktivitas seperti bisa.

”Dulu, banyak orang tua di kampung yang mengatakan jangan memotong kayu sembarangan karena akan menyebabkan banjir, tapi malah ditertawakan. Kini, hal itu terwujub,”ucap dia disela-sela membersihkan kayu gelondongan yang menimbun badan jalan desa.

Kata dia, pergunungan Tangse sejak dulu memang dikenal dengan daerah yang cocok bagi pertanian. Hal ini disebabkan kondisi tanah disana yang tergolong lembut serta lunak dengan mata cangkul petani. Selain itu, tingginya debit air dipergunungan Tangse juga menyebabkan daerah tersebut menjadi subur bagi tanaman pangan.

Sayangnya, kondisi tersebut ternyata salah dimanfaatkan oleh para oknum, yang sering melakukan pembalakan liar. Sejumlah perpohonan besar yang seharusnya dipeliharan guna mengikat air hujan di dalam tanah juga dipotong secara sembarangan. Efeknya, sebahagian besar perpohonan besar di pergunungan Tangse menjadi hilang sehingga berimbas dengan terjadinya banjir bandang.

”Kini, masyarakat yang tidak tahu apa-apa yang menjadi korban. Musibah ini akan menjadi pelajaran penting bagi masyarakat Tangse dalam berladang ke depan,”lirik Hamdani.

Pengakuan dua warga ini setidaknya memberikan gambaran tentang kondisi Tangse pasca banjir bandang. Fenomena ini juga perlu segera disikapi secara arif dan bijaksana oleh pemerintah daerah setempat, sehingga dapat segera dilakukan langkah penanggulangan yang tepat agar bencana alam tidak lagi ’memakan’ orang disana.

Harga mahal dari sebuah kesalahan
Palang Merah Indonesia (PMI) mencatat dari 12 desa yang terkena dampak banjir bandang, terdapat 6350 jiwa mengungsi. Para pengungsi ini berasal dari Desa Layan sebanyak 702 warga, Blang Dalam dengan 598 warga, Penalom Sa dengan 1031 warga, Ranto Panyang 1005 warga, Blang Jeurat dengan 846 warga, Pulo Baro dengan 1029 warga, Blang Bungong 863 warga, Krueng Meriam 1114 warga, Peunalo dua 1015 warga, Blang Pandak 1237 warga, Blang Dhoot 1741 warga dan Keude Tangse 809 warga.

Selain itu, juga terdapat kerugian harta benda seperti 311 rumah rusak berat dan 163 rusak ringan, 1 unit sekolah, 2 puskesmas dan 5 tempat ibadah rusak ringan dan 6 tempat ibadah rusak berat dan 15 jembatan rusak berat.

Sedangkan jumlah korban jiwa jiwa yang meninggal dalam bencana alam tersebut berjumlah belasan orang. Sedangkan puluhan lainnya mengalami luka-luka ringan akibat terkena kayu yang diseret arus dalam banjir bandang.

Tidak hanya itu, jalan utama kecamatan yang menghubungkan antara Kecamatan Geumpang dengan Tangse juga sempat terputus akibat musibah tersebut. Padahal, keberadaan jalan tersebut sangatlah penting bagi sejumlah warga Geumpang dalam membawa hasil pertanian mereka ke pusat ibukota kabupaten untuk ditukar dengan rupiah.

Dalam beberapa waktu, penduduk di Kecamatan Geumpang juga dikabarkan sempat terisolir sehingga mengakibatkan harga barang di daerah tersebut mengalami kenaikan. Hampir seminggu pasca kenjadian, masyarakat disana terpaksa menempuh jarak yang relatif lebih jauh dalam membawa hasil bumi mereka ke Banda Aceh.

”Kami terpaksa memakai jalur Calang via rakit selama seminggu untuk membawa hasil bumi. Biaya perjalanan yang harus dikeluarkan jauh lebih tinggi,”ungkap salah seorang warga Geumpang.

Kerugian akibat banjir bandang Tangse diperkirakan mencapai ratusan miliar. Jumlah ini cuma perkiraan sementara karena banyaknya infrastruktur yang belum mampu di data.

“Perkiraan kami sementara kerugian akibat musibah ini tidak kurang dari Rp120 miliar, mengingat banyak sekali infrastruktur yang rusak,” kata Camat Tangse, Jafaruddin, kepada penulis, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, sekira 150 hektare lahan persawahaan warga juga rusak akibat banjir bandang. Lahan yang kini dipenuhi lumpur dan batang kayu itu sebagian besar sedang dalam proses memasuki musim tanam.

Banjir Tangse juga dilaporkan telah merusak sejumlah kebun warga yang ada di kaki pegunungan. Warga Tangse umumnya bekerja sebagai petani kebun dengan menanam kakao, kopi, durian, rambutan, dan lainnya sebagai sumber ekonomi.

Diperkirakan hampir ribuan warga Tangse kan akan kehilangan pekerjaan jika lahan-lahan pertanian itu tak segera direhabilitasi. Sedangkan untuk proses rehabilitasi diperkirakan memakan yang relatif lama mengingat banyaknya tingkat kerusakan yang masih dalam tahap pembenahan. ”Hal ini perlu segera ditangani akan sendi perekonomian warga dapat kembali hidup,”ungkap camat.

Tidak hanya itu, Asep Iwan Sugiana, Kepala Markas PMI Aceh, menambahkan masyarakat yang selamat dari banjir bandang juga menuai permasalah di tempat pengungsian. Permasalahan klasik tersebut, adalah kurangnya pasokan air bersih bagi warga.

“Untuk mengurangi dampak risiko seperti belum adanya air bersih untuk kebutuhan masyarakat dan terbatasnya jaringan komunikasi, PMI Aceh menindaklanjuti dengan mengirimkan 16 relawan dan staf yang tergabung dalam tim logistik, water sanitation (watsan) dan radio komunikasi,”papar dia.

Menurut penulis, jumlah angka-angka di atas, sebenarnya sangatlah tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan oleh segelintir oknum dari penghasilan ilegal logging. Penduduk juga dipaksa untuk merasakan pahitnya musibah yang tidak seimbang dengan keuntungan yang mereka peroleh.

Namun, amukan alam yang terjadi, Kamis (10/3) lalu, haruslah menjadi pelajaran penting bagi semua. Musibah seperti ini bukan tidak mungkin menimpa sejumlah daerah lainnya di Aceh nantinya, jika tata pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) tidak segera diperbaharui.

Pemerintah Aceh seharusnya dapat lebih jeli dalam melihat kondisi daerah ini pasca banjir Tangse. Pasalnya, Provinsi Aceh merupakan daerah yang paling rentan dengan bencana alam pasca gempa dan musibah tsunami yang menimpa daerah ini pada 26 Desember 2004 lalu.

Selain itu, bencana alam berupa banjir bandang seperti yang terjadi di Tangse juga bukanlah musibah alam yang pertama yang menimpa Aceh. Artinya, kesiapan dan kewaspadaan dari Pemerintah Aceh dan badan terkait, terhadap bencana alam harusnya jauh lebih.

Pemerintah Aceh juga perlu meningkatkan sosialisasi tentang bahaya bencana alam bagi masyarakat serta dampak dari perilaku pembalakan liar. Jangan sampai, kasus yang terjadi di Tangse kembali berupa di tempat lain dengan jumlah korban yang jauh lebih besar.

Sedangkan untuk penanganan khusus gunung Tangse pasca banjir perlu perhatian dari semua pihak. Kesadaran tersebut penting akan longsor yang dikhawatirkan oleh warga setempat tidak terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york