Tidak ada sejengkal tanah pun di daerah ini yang tidak di-isi oleh tulang belulang dan mayat para syuhada. Ada ribuan makam tanpa nama disini, yang berbaring indah tak beraturan di samping seorang panglima besar tanpa kepala, yaitu Teuku Nyak Makam.
Dia adalah sosok pahlawan yang luput dari catatan sejarah kita, dan panglima tak dikenang oleh para panglima era kini saat peringatan hari pahlawan nasional. Dia telah gugur bersama ribuan pasukannya disini, saat berjuang mempertahankan marwah dan harga diri Nanggroe Aceh dari tangan penjajah Belanda yang merongrong pangkuan ibu pertiwi saat itu.
Bagi penulis! Desa Lamnga sendiri, adalah daerah dengan potensi wisata sejarah yang amat kental, tetapi sayangnya disia-siakan oleh Pemerintah Aceh saat ini.
Desa Lamnga adalah sebuah daerah yang penuh lambang perjuangan, dan sejarah herois rakyat Aceh yang ternyata dilupakan pada masa ini. Daerah ini terletak di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.
Jarak yang hanya mencapai 12 Kilometer dari Kutaraja (Kota Banda Aceh-red), seharusnya daerah ini menjadi ikon wisata sejarah baru untuk Aceh. Paling tidak, hal ini yang tergambar pada diri penulis ketika turun ke lokasi, Selasa (31/3) lalu.
Ada beberapa sebutan yang melekat benar dengan daerah ini, seperti Lamnga Sigeu Poh dan Lamnga Pasie. Dinamakan dengan Lamnga Segeupoh! Hal ini karena, konon katanya, jika ada orang Belanda dan antek-anteknya melalui daerah ini, pasti akan menuaikan ajalnya di tangan para pejuang yang bertahan disana.
“Makanya, didaerah ini ada Dusun yang dinamakan dengan Abah Darah, atau Dusun dengan mulut darah. Lokasinya terletak tepat di jalan pintu masuk Desa. Di tempat itulah biasanya para pejuang Aceh melakukan patroli dan berperang dengan serdadu Belanda yang mencoba melintas ke Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, ”ucap Sukma, 46, warga setempat kepada penulis disana.
Menurutnya, di Abah Darah pula, pasukan Aceh dalam unit pasukan Dilamnga selalu melakukan sweping pendatang pada masa itu. “Kalau ada warga yang mencari perlindungan akan selamat. Demikian juga dengan serdadu dan tentara belanda yang menyamar ketika berpergian ke Krueng Raya. Mereka akan dibunuh secara massal disana,” jelas dia.
Tidak hanya perkataan Sukma, tetapi beberapa sumber penulis juga mengatakan hal yang sama saat itu. Masyarakat disana ternyata tahu betul setiap jengkal tanah mereka, termasuk keberadaan sejumlah tulang belulang dari ribuan jasad para syuhada yang bersemayam di bawah rumah-rumah penduduk.
Muhammad Ali Ibrahim, Sekretaris Desa Lamnga kepada penulis juga mengatakan, bahwa sebetulnya masyarakat Desa Lamnga dulunya tidaklah tinggal dilokasi seperti sekarang. Masyarakat, saat itu tinggal disekeliling sudut desa yang kini telah berubah menjadi lokasi tambak dan sungai yang mengelilingi desa.
“Di sini dulunya adalah hutan yang dipenuhi oleh makam para pejuang yang syahid dalam pertempuran. Namun sekitar tahun 60 atau 70-an pernah terjadi banjir besar di Aceh sehingga memaksa warga lamnga harus tinggal di dataran tinggi dan membangun rumah diatas kuburan-kuburan,”ucapnya.
“Makanya, setiap ada perluasan rumah di Lamnga saat ini. Selalu ditemukan kerangka manusia, dan itu sudah biasa dialami oleh warga dan bukan hal yang mengejutkan lagi. Lokasi yang ditempati sekarang adalah tanah dengan makam besar yang pernah menjadi lokasi medan perang,” ungkapnya lagi.
Terlepas dari itu semua, daerah ini memang dikenal sebagai lokasi medan perang Belanda dengan para penjuang Aceh. Setidaknya, dalam beberapa catatan sejarah Aceh, tercatat daerah Lamnga pernah digunakan sebagai pusat komandon pasukan dilamnga yang menjadi unit pertahanan Kerajaan Aceh tempo dulu.
Catatan sejarah mengenai permasalahan ini kian mengecil setiap tahunnya. Hal ini, terjadi entah karena sejarah Lamnga ini tidak terlalu istimewa diceritakan, ataupun tidak ada yang mau mengembangkannya. Namun bagi penulis sendiri, tiada kata bosan untuk mengupas persoalan sejarah disana.
Kembali lagi pada perjuangan Pasukan Dilamnga. Tugas pokok dari pasukan ini menurut beberapa sumber yang didapatkan penulis adalah untuk menjaga Nanggroe Aceh di daerah pesisir dari serangan laut yang sering dilakukan oleh penjajah asal Belanda saat itu.
Pasukan Dilamnga sendiri pernah dipimpin oleh beberapa panglima besar Nanggroe Aceh saat itu. Hal ini seperti panglima perang Teuku Ibrahim Dilamnga (Suami Pertama Cut Nyak Dhien-red), serta Teuku Nyak Makam.
Kuburan Kedua tokoh ini terletak di samping Mesjid desa setempat. Pemugaran makam mereka tidak memakai keramik impor seperti layaknya tokoh sekarang. Sekelilingnya cuma ditumbuhi oleh sejumlah rumput kecil yang ditemani oleh batang kuda-kuda.
Menyangkut hal ini, satu kata yang pasti terucap. Perlakuan ini tentu saja sangat jauh dari kata layak untuk mengukur sikap perlakuan sebuah bangsa terhadap jasa para pahlawan nya. Bangsa kita ini, yang belum sepenuhnya menghargaian jasa pejuang.
Mitos perang dan panglima tanpa kepala
Di Desa Lamnga ini, terdapat dua makam yang dikeramatkan oleh penduduk. Pertama adalah Makam Panglima Teuku Ibrahim Dilamnga, suami pertama Cut Nyak Dhien. Dan yang kedua, yaitu Makam Panglima Teuku Nyak Makam. Jasad panglima ini dikuburkan tanpa kepala disisi kiri Mesjid Jamik Lamnga
Sebelum kita menguraikan tentang sebab musabab hilangnya kepala Panglima Teuku Nyak Makam ini. Alangkah lebih baik kalau kita menguraikan sedikit tentang sikap kepahlawanan Teuku Nyak Makam itu sendiri, sehingga oleh belanda baru dapat dipadamkan hanya dengan memecung kepalanya.
Teuku Nyak Makam dilahirkan di Lamnga, Kabupaten Aceh Besar pada tahun 1838. Sumber tertulis di makamnya menyebutkan bahwa kalau Teuku Nyak Makam ini memimpin perjuangan rakyat menentang belanda hampir 40 tahun lamanya.
Pasukan Dilamnga yang pada masa itu dibawah Pimpinan Teuku Nyak Makam bertugas mengawal Aceh bagian pesisir ternyata mampu membuat belanda pusing tujuh keliling. Penyerangan-penyerangan yang dilakukan Teuku Nyak Makam ternyata membuat belanda selalu harus hati-hati ketika menempuh perairan sepanjang Krueng Cut dan Krueng Raya serta Ulee Lhee.
Perlawanan Teuku Nyak Makam juga meliputi ke wilayah timur Aceh, serta hingga selat Malaka.
Teuku Nyak Makam baru berakhir ketika dirinya ditangkap oleh pasukan belanda di bawah pimpinan Letkol G.F Sooters dilamnga pada tanggal 21 Juli 1896. Pada saat itu beliau dalam keadaan sakit parah. Dirinya kemudian diseret ke Kutaraja dan dipacung dihadapan keluarga dan pengikutnya.
Konon, menurut beberapa sumber di lokasi makam, usai pemacungan dan kepalanya terpisah dari tubuhnya. Teuku Nyak Makam pun ternyata masih mampu berdiri dan melakukan perlawanan terhadap serdadu Belanda. Dengan tubuh tanpa kepala pula, kemudian teuku nyak makam kemudian dapat meloloskan diri dari kepungan belanda serta berlari meninggalkan lokasi pemacungan di kutaraja (pusat Kota Banda Aceh-red) hingga ke Dusun Abah Darah, Desa Lamnga yang menjadi markas Pasukan Dilamnga dan tempat kelahirannya.
Kalau dihitung-hitung, jarak Antara Desa Lamnga dengan Kota Banda Aceh saat ini sekitar 12 Kilometer, atau 15 menit jika melalui kenderaan bermotor. Dan pada saat itu, mampu ditempuh oleh Teuku Nyak Makam hanya dengan berlari dan tanpa kepala. Oleh pengikut dan pasukannya, Teuku Nyak Makam kemudian dimakamkan tanpa kepala disamping Mesjid Lamnga.
Sedangkan kepala Teuku Nyak Makam yang dipotong oleh penjajah Belanda kemudian dibawah keliling Kutaraja sebagai lambang penaklukan sekutu terhadap Penjuang Aceh. Kepala Teuku Nyak Makam ini kemudian diawetkan dalam sebuah botoh dan dipamerkan di koridor rumah sakit militer Belanda yang berada di daerah Kuta Alam pada saat itu.
Hingga kini Kepala Teuku Nyak Makam tidak diketahui sejarah jelas, baik dari keterangan sejarah maupun sumber-sumber lainnya. Adanya yang mengatakan bahwa kepala Teuku Nyak Makam ini kini berada di salah satu museum belanda yang dibawa pulang oleh sekutu ketika meninggalkan tanah air.
Sumber lain juga menyebutkan bahwa kepala Teuku Nyak Makam ini hilang saat begitu saja atas kuasa tuhan. Yang jelas hingga kini, makam kuburan Teuku Nyak Makam yang terdapat di Desa Lamnga Kecamatan Krueng Raya, Aceh Besar, masih tanpa kepala.
Ini adalah sebuah sebuah Historis yang nyaris punah dan terlupakan saat ini. ketika belanda tidak lagi menjajah Aceh, dan rakyat hidup makmur seperti impian teuku nyak makam dulu, kini ketika semua itu tercapai, justru dia yang dilupakan masyarakat.
Lamnga kini
Setiap Perjuang kemerdekaan memang tidak mengharapkan untuk dipuja dan disanjung ketika usahanya menuai hasil. Demikian juga dengan ratusan kuburan tanpa nisan dan nama, serta makam Teuku Nyak Makam yang terdapat di Desa Lamnga Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.
Para syuhada ini, tentu tidak berharap agar makam-makam mereka dipugar seperti layaknya pahlaswan-pahlawan nasional yang syahid di komplek kalibata. Semua itu tidak pernah diharapkan mereka, kecuali sebuah janji syurga pada Allah SWT bagi hambanya yang telah berjuang mempertahankan bangsa dan agama.
Namun, sebuah pepatah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsa mereka. Bangsa yang besar itu, adalah bangsa yang menghargai para penjuang mereka yang telah gugur demi mempertahankan bangsa dari tangan para penjajah.
Untuk saat ini, Desa Lamnga memang dikenal oleh masyarakat provinsi Aceh, terutama lewat hasil bumi seperti Sira (garam-red), gelar Desa Percontohan Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh ini. Namun dari segi perjuangan maupun sejarah perlawanan Teuku Nyak Makam sangat sedikit masyarakat yang mengetahuinya.
Dengan keadaan kita yang seperti ini, akahkan kita menjadi sebuah bangsa besar nantinya!
Review Pintu, Aplikasi Trading Crypto dan Investasi Aset Digital
2 tahun yang lalu
2 komentar:
Menetes air mata ini setiap membaca kisah mu. Capek sudah mencari, dimana kepala mu di makamkan....
Semoga Pahlawan Aceh Panglima Teuku Nyak Makam yang berjuang melawan Belanda sampai titik darah terakhir bahkan dipenggal kepalanya, menjadi syuhada dengan imbalan surga.
Posting Komentar
Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.