Senin, 16 Agustus 2010

PLN Aceh, Habis Gelap, Gelaplah Kembali !!


Persoalan listrik di Aceh sepertinya tidak akan kunjung selesai. Pemadaman bergilir, baik direncanakan atau tidak, telah menjadi pemandangan dan aktivitas sehari-hari. Bahkan, puluhan pelaku bisnis yang mengantung hidup pada ‘bola api’ tersebut juga terpaksa gulungan tikar. Ibarat kata pepatah, habis gelap, gelap kembali.

Sebenarnya, bukanlah tanpa dasar pepatah tersebut muncul. Pasalnya, krisis listrik di Provinsi Aceh telah terjadi sejak belasan tahun lamanya. Bahkan, pemadaman listrik di daerah ini, telah melewati berbagai agenda penting di Aceh, baik semasa konflik, reformasi hingga pasca tsunami.

Keberadaan listrik bagi masyarakat seharusnya menjadi kebutuhan mutlak yang harus segera dipenuhi. Namun, janji para pimpinan negeri ini untuk membelikan pelayanan terbaik bagi masyarakatnya, tidak juga kunjung ditepati sehingga selalu menimbulkan tanda tanya.

Hal ini pula yang disinyalir mengapa para investor, pengusaha serta pelaku bisnis sepertinya enggan melakukan investasi berskala besar di daerah ini. kelemahan tersebut, bahkan sempat diungkap secara terang-terangan oleh Wakil Gubernur Muhammad Nazar, dalam beberapa kesempatan.

“Kita mengharapkan permasalahan listrik segera berakhir di Aceh. Ini penting untuk mendukung pembangunan dan investasi. Tanpa listrik, investasi di daerah ini akan berjalan lamban,”ucap Wagub, dalam beberapa pertemuan penting di awal tahun 2009 lalu.

Ungkapan yang sama juga sempat diucapkan oleh Hermes Thamrin, pengusaha sekaligus pemilik Hotel Hermas Palace yang juga Hermes Palace Mall, kepada media massa beberapa waktu lalu. Kata dia, Provinsi Aceh sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dikembangkan.

Namun, kondisi ini tidak dapat disentuh karena adanya permasalahan listrik. Para pengusaha, dinilai tidak mau mengambil resiko yang besar hanya untuk mengolah sumber daya tersebut. Pasalnya, semua peralatan elektroknik saat ini, membutuhkan listrik sebagai pendukung investasi.

“Hal inilah yang belum dimiliki oleh Aceh saat ini. Para pengusaha, tentunya tidak mau mengambil resiko yang besar serta pembiayaan yang tinggi hanya untuk melakukan investasi di Aceh,”katanya.

Permasalahan ini telah bertahun-tahun tidak mampu di jawab oleh pemerintah dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) selaku lembaga BUMN yang mangani permasalahan listrik. Janji manis yang ditebarkan oleh pimpinan di lembaga tersebut, akhirnya berbuah kecaman dari masyarakat.

Masyarakat yang merasa berhak untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak pun, akhirnya cuma bisa melayangkan sejumlah protes pada PLN. Protes tersebut, baik berbentuk kecaman, kritikan hingga demotrasi. Sayangnya, lagi-lagi kekecewaan dari masyarakat ini tidak memiliki pengaruh yang besar bagi peningkatan kinerja PLN.

Akibatnya, demo hingga cemoohan untuk PLN pun bermunculan. PLN, dari Perusahaan Listrik Negara, diplesetin menjadi Pabrik Lilin Negara.

Didemo Mahasiswa dan Masyarakat
Puluhan mahasiswa dari Universitas Syiah kuala (Unsyiah) menggelar aksi demotrasi ke kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) Aceh, Senin (9/8). Para mahasiswa ini menuntut perusahaan tersebut untuk tidak melakukan pemadaman listrik selama bulan ramadhan.

Aksi mahasiswa ini, dimulai sejak pukul 11.00 WIB dengan membawa sejumlah karton yang berisi kecaman terhadap kinerja PLN selama ini.

“PLN Aceh sudah sepantasnya diberikan nama Perusahaan Lilin Negara, karena cuma bisa memproduksi lilin dari hari ke hari, bukan listrik. Komitmen mereka (PLN-red) terhadap janji yang pernah diucapkan beberapa waktu lalu, masih sangat lemah,”ucap Taufik, orator massa.

Orasi ini, ternyata mendapat dukungan dari massa yang hadir. Beberapa massa yang membawa karton bertulisan, ‘Kami butuh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan bukan Perusahaan Lilin Negara (PLN)” serta ‘kami butuh listrik’ juga sempat meneriakan PLN sebagai pabrik lilin. “Pelayanan dari PLN Aceh masih terburuk di dunia,”ucap orator lainnya.

Sementara itu, Alfiyan Muhiddin, koordinator massa, mengatakan aksi pihaknya ini menuntut PLN untuk tidak lagi melakukan pemadaman listrik selama bulan ramadhan. Pasalnya, pemadaman listrik dinilai hanya akan mengganggu ibadah masyarakat.

“Kita minta PLN untuk menandatangani pernyataan tertulis berisi komitmennya tidak melakukan pemadaman. Jika melanggar, kita minta pimpinan PLN untuk mundur dari jabatannya,”jelas dia.

Menanggapi hal ini, Sulaiman Daud, PLH General Manager PLN Aceh, mengatakan pihaknya akan mengusahakan untuk tidak melakukan pemadaman selama ramadhan.

Terkait pernyataan tertulis, dirinya cuma mau menandatangi surat tersebut, jika dicantumkan nama pribadi serta dibumbui kata kata Isya Allah di ujung surat. Tawaran inipun dengan mudah disetujui oleh mahasiswa. Selesai ditandatangi surat tersebut, massa membubarkan diri pada pukul 12.00 WIB dengan tertib.

Masih terkait dengan isu serupa, ratusan masyarakat di Aceh juga pernah mengelar aksi serupa ke kantor PT PLN setempat. Namun bedanya, dalam aksi beberapa waktu lalu itu, masyarakat turut menyalakan ratusan lilin di pagar dan papan nama perusahaan milik negara tersebut sebagai wujud kekecewaan terhadap buruknya pelayanan listrik di daerah tersebut.

Aksi yang dimulai sekitar pukul 20.30 WIB dari taman Ratu Safiatuddin menuju kantor PT PLN Aceh di jalan T Nyak Arief itu sempat memacetkan arus lalulintas. Ratusan pendemo yang dikawal ketat oleh aparat kepolisian setempat melakukan longmarch dengan membawa lilin dan obor.

Mereka juga mengusung sejumlah spanduk bertulisan, Aceh negeri lilin, serta membagi-bagikan ratusan lilin bagi pengguna jalan di ibukota Provinsi Aceh itu. Aksi gugat PT PLN tersebut, menuntut perusahaan milik negara itu, untuk menghentikan pemadaman bergilir yang saat ini masih berlangsung di daerah paling barat pulau sumatera.

"PT PLN harus menghentikan pemadaman bergilir dan menormalkan kembali arus listrik di daerah berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa ini," kata Oriza Keumla, salah seorang aksi, pada waktu itu.

Mereka juga meminta perusahaan itu untuk bertanggungjawab dan memberikan kompensasi terhadap kerugian yang ditimbulkan dari pemadaman bergilir tersebut."Aceh banyak sumber daya alam, tapi kenapa Aceh masih belum `merdeka` dari listrik," katanya dengan nada kesal.

Mereka juga meminta Pemerintah Aceh ikut bertanggungjawab dalam mencari solusi agar daerah tersebut dapat keluar dari krisis listrik. Selain itu, Koalisi NGO HAM Zulfikar Muhammad mengatakan, pihaknya juga akan melakukan "class Action" terhadap PT PLN, karena telah banyak merugikan masyarakat.

"Kita telah siapkan 26 pengacara untuk menggugat PT PLN yang dinilai telah merugikan masyarakat," ujarnya.

Mesin Diesel Produksi Tahun 70an
Diluar konteks pembahasan tadi, sebenarnya kita juga perlu mengetahui bahwa permasalahan yang dihadapi oleh manajemen yang dihadapi oleh PLN saat ini, juga sangatlah komplit.

Banyaknya mesin diesel hasil produksi tahun 70an yang masih dipergunakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pembangkit listrik di Provinsi Aceh, dikatakan merupakan penyebab utama terjadinya pemadaman selama ini. PLN Aceh mengaku belum memiliki anggaran yang cukup untuk mengganti mesin tersebut dengan yang baru.

“Kita belum memiliki anggaran yang cukup untuk mengganti mesin diesel yang baru. Kendala ini menjadi penyebab utama PLN Aceh, sekalipun Menteri BUMN saat ini dijabat oleh Mustafa Abubakar, yang notabenenya adalah orang Aceh,” ucap Sulaiman Daud, PLH General Manager PLN Aceh, kepada media massa, kemarin.

Menurutnya, terjadinya pemadaman biasanya disebabkan oleh tiga hal. Yaitu, pemadaman direncanakan atau bergilir, pemadaman direncanakan karena pemeriharaan mesin, serta pemadaman tak terduga karena bencana alam atau angin kencang. Namun yang sering terjadi di Aceh saat ini, adalah pemadaman direncanakan karena pemeriharaan mesin.

Pasalnya, kata dia, hampir 25 persen mesin diesel yang digunakan oleh PLN Aceh saat ini adalah produksi tahun 70an. Mesin diesel tersebut dinilai harus sering dirawat dan diperbaiki agar tidak macet dan bermasalah bagi mesin sambungan lainnya.

“Makanya dibutuhkan pemadaman direncanakan dengan tujuan pemeriharaan mesin tersebut. Kasus ini, terjadi di wilayah Ulee Kareng, Kota Banda Aceh. Makanya, daerah tersebut sering dipadamkan listrik belakangan ini,”jelas Sulaiman lagi.

Sebenarnya, lanjut dia lagi, kapasitas listrik yang dibutuhkan untuk Provinsi Aceh adalah 290 MegaWatt (MW). Sedangkan pembangkit listrik yang dimiliki oleh PLN saat ini, adalah pembangkit yang memiliki daya 200 Megawatt (MW) yang memang sudah dipakai sejak dulu, serta mesin tambahan baru didatangkan dengan daya 72 megawatt.

“Dengan mesin berdaya 272 Mega Watt (MW) ini sebenarnya sudah cukup untuk menyuprai listrik ke masyarakat di seluruh Aceh. Namun karena mesin-mesin dieselnya sudah relative tua, jadi harus sering dirawat, dan ini penyebab pemadaman,”ungkapnya.

Dirinya berharap, tambah Sulaiman, kritis listrik di Aceh dapat segera teratasi dengan segera selesainya PLTU di Nagan Raya yang memiliki kapasitas 200 megawatt.

Berharap Pada Panas Bumi dan Turbin Aron
Selain itu, Pemerintah Jerman melalui lembaga Entwic Klungs Bank (KFW) sebenarnya menghibahkan dana sebesar 7 juta Euro untuk eksplorasi panas bumi Seulawah Agam, yang bakal dijadikan sebagai energi tenaga listrik. Inilah yang diharapkan dapat menjadi solusi terakhir untuk mengatasi krisis listrik di provinsi ini.

Sesuai dengan Undang-undang No.11 tahun 2006, pihak daerah dinilai berhak melakukan pengembangan pemanfaatan dan pengelolaan energi alternatif itu. Pemanfaatan tenaga panas bumi dan air untuk energi listrik, dianggap akan memberikan dua keuntungan bagi masyarakat, yaitu sebagai pemakaian sumber energi dari alam yang tidak akan habis-habisnya, serta juga tidak merusak lingkungan.

Selain itu, keberadaan tiga turbin gas aron yang dihibahkan kepada Pemerintah daerah, juga diharapkan mengatasi krisis listrik di daerah ini.
“Kita berharap turbin ini dapat segera digunakan sehingga menjadi alternative terakhir untuk mengatasi krisis listrik,”ucap Sulaiman Daud, PLH General Manager PLN Aceh, kepada media massa.

Namun sayangnya, hingga akhir tahun 2010, ungkap sulaiman, kedua sumber listrik tersebut belum juga mampu dioperasikan. “Permasalahannya terletak pada pembiayaan dan dana,”ungkap dia.

Habis Gelap, Gelap Kembali
Peristiwa gempa dan tsunami yang melanda Aceh diakhir tahun 2004 lalu, telah mengiring kembali provinsi ini ke masa yang suram. Bencana tersebut juga telah merusak hampir setengah fasilitas pelayanan public yang pernah dimiliki oleh Aceh, seperti jalan, sekolah dan penerangan.

Provinsi Aceh seolah-olah kembali diseret ke zaman kegelapan. Dimana saat itu, hampir ribuan masyarakat kehilangan rasa percaya dirinya untuk dapat kembali melanjutkan hidupnya, setelah kehilangan anggota keluarga. Beruntung, keberadaan ratusan lembaga donor dan kuatnya iman yang dimiliki masyarakat, ternyata mampu mengatasi persoalan ini.

Besar harapan, masa kegelapan ini segera berganti dengan masa yang terang benderang, seperti semboyan yang pernah dikumandangkan oleh RA. Kartini. Sayangnya, harapan ini sepertinya hanyalah harapan semu belaka. Pasalnya, mativasi kerja yang tinggi dari masyarakat kembali terhalang dengan krisis listrik yang belum juga berakhir hingga akhir 2010.

Habis gelap, maka gelaplah kembali. Pribahasa inilah yang akhirnya terjadi di Tanoh Keneubah Iskandar Muda.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york