Gempa dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, diyakini bukanlah pertama kali terjadi di Aceh. Bencana lebih dahsyat berupa megatsunami diperkirakan pernah menerjang provinsi ujung Sumatra itu pada 1.400 tahun lalu. Hal inilah yang membuat bencana tersebut akrab dalam catatan sejarah negeri eks konflik ini.
Masyarakat di Provinsi Aceh mengenal bencana alam berupa gelombang besar yang menerjang pemukiman penduduk dalam berbagai sebutan, seperti Tsunami yang diperkenalkan oleh masyarakat Jepang, Smong oleh masyarakat Semeulue serta Ie Beuna oleh masyarakat pesisir Aceh lainnya.
”Di Aceh memang mengenal adanya istilah ie beuna dan smong di kalangan masyarakat Kabupaten Simeulue. Musibah itu diperkirakan jauh lebih dahsyat dibandingkan musibah 26 Desember 2004 lalu,” kata Saiful Mahdi, Direktur Pusat Kajian Internasional Tentang Aceh dan Lautan Indian (ICAIOS), Selasa (26/4).
Kata Saiful, tsunami juga pernah menerjang Simeulue pada 1907. Masyarakat di sana kemudian mengenang kejadian itu dengan sebutan smong dan cerita ini diwariskan secara turun temurun.
”Pada 26 Desember 2004, sangat sedikit warga Simeulue menjadi korban. Artinya, orang tua di sana sudah memperingatkan generasi muda Simeulue tentang tsunami dan cara mengantisipasinya,” ungkap dia lagi.
Selain itu, adanya megatsunami di Aceh dapat juga dibuktikan dengan temuan Tim Studi Bencana Katastropika Purba dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupa bangunan kuno di dalam laut Aceh. Ini artinya, daratan yang ada di Aceh saat ini sebenarnya sangat luas, namun sedikit-demi sedikit di kikis oleh laut akibat bencana alam dalam berbagai bentuk.
Dahulu kala, sejumlah kondisi yang menjadi lautan saat ini sebenarnya adalah perkampungan penduduk. Namun karena bencana, daerah tersebut kemudian ditinggalkan.
Salah satu kasus yang membuktikan teori ini benar, terdapat di Desa Lamnga, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.
Menurut pengakuan orang tua dan para penduduk disana, sebesarnya lokasi Desa Lamnga, dulunya terletak disepanjang pinggiran laut dan tanah yang menjadi area tambak dan sungai saat ini. Namun karena adanya suatu bencana, masyarakat kemudian mengungsi ke lokasi yang lebih tinggi.
”Dulunya, lokasi desa saat ini adalah dataran tinggi yang sering dijadikan oleh mujahid Aceh untuk menyerang Belanda. Makanya, banyak kuburan kono di desa ini. Tetapi karena bencana, akhirnya masyarakat memilih menetap disini,”ungkap M. Ali Ibrahim, Sekdes Lamnga.
Sedangkan lokasi desa sebelumnya, lanjut dia, kini tergenang dengan air. Penduduk baru mengetahui hal ini setelah melakukan pengalian di sekitar daerah tersebut dengan tujuan pembangunan tambak. Di area tanah tersebut, ditemukan banyak peninggalan kuno, seperti piring, bangunan serta benda-benda yang memiliki muatan sejarah lainnya.
”Menurut orang tua, dulu terjadi perpindahan karena adanya ie beuna. Tapi, saya tidak ingat kenjadian tersebut,”ungkap dia.
Adanya sumber-sumber sejarah ini, membuktikan bahwa bencana alam memang akrab dengan penduduk di Seramoe Mekkah. Namun bencana ini sering lupa dalam cacatan sejarah sehingga harus menelan korban jiwa dalam jumlah yang banyak setiap kali bencana tersebut kembali menyapa daerah ini.
Padahal, jika bencana tersebut dijadikan sebagai pelajaran yang berharga dan informasi turun temurun kepada setiap generasi. Daerah ini akan lebih siap untuk menghadapi bencana.
Untuk tingkat nasional, Penelitian Tim Studi Bencana Katastropika Purba LIPI dan sejumlah lembaga penelitian lainnya, baik lembaga asing dan nasional juga menemukan fakta-fakta terbaru mengenai megatsunami yang pernah menerjang Indonesia.
Cacatan sejarah dan referensi nasional, tsunami di Indonesia mulai terkenal sejak tahun 1833. dimana, saat itu gelombang laut yang besar menerjang sumatera, Indonesia. Gempa berkekuatan 8,8-9,2 SR mengakibatkan tsunami besar yang menyapu pesisir barat Sumatera.
Kemudian, pada tahun 1883, gelombang tsunami juga menghntam krakatau, di Selat Sunda, Indonesia. Muntahan magma Krakatau menyebabkan dasar laut runtuh dan menimbulkan tsunami hingga 40 meter di atas permukaan laut. Tsunami menerjang Samudra Hindia dan Pasifik hingga ke pantai barat Amerika dan Amerika Selatan.
Serangan tsunami setinggi 10 sampai 15 meter, yang dipicu akibat gempa di dasar laut, juga diperkirakan terjadi pada tahun 1994 di Jawa Timur, dengan korban tewas 238 orang, tsunami di Irian Jaya tahun 1996 yang menyebabkan 161 orang tewas, atau yang terhebat tsunami di negara tetangga Papua Nugini, pada tahun 1998 yang menewaskan 2.200 orang.
Selanjutnya, Pada 26 Desember 2044, giliran daerah ini diterjang gempa 9,1 SR yang menimbulkan tsunami besar yang menewaskan 166 ribu di Aceh dan 320 ribu orang dari delapan negara yang dilewati gelombang itu hingga ke Thailand, pantai timur India, Sri Lanka, bahkan pantai timur Afrika di Somalia, Kenya, dan Tanzania.
Tahun 2005 lalu, gempa berkekuatan 8,7 SR juga terjadi di lepas pantai Nias menewaskan 1.300 orang. Sedangkan pada tahun 2006, giliran gempa berkekuatan 7,7 SR mengguncang dasar Samudra Hindia, tepatnya 200 KM selatan Pangandaran. Gempa ini telah memicu gelombang tinggi hingga 6 meter di Pantai Cimerak serta sekitar 800 orang dilaporkan hilang.
Sejak dahulu kala, Indonesia, khususnya Aceh memang termasuk kawasan potensial gempa bumi hebat. Penyebabnya, Indonesia berada di beberapa jalur patahan atau tumbukan antara landas kontinen. Antara lain lempeng benua Asia dengan Indo-Australia, yang bergerak dan memicu gempa Aceh.
Zona patahan ini memanjang di Samudra Hindia, yaitu mulai dari Aceh di barat hingga sekitar Laut Timor di timur. Pergerakan tektonik lempeng di kawasan ini, seringkali memicu gempa hebat. Jika kekuatan gempa di dasar laut mencapai tujuh pada skala Richter atau lebih, dapat dipastikan akan terjadi gelombang pasang tsunami.
Pengukuran dinas geologi di berbagai penjuru dunia, memperkirakan energi gempa yang dilepaskan setara dengan energi letusan 10.000 bom atom. Akibatnya jutaan meter kubik air laut tiba tiba tersedot ke bawah, kemudian seolah dimuntahkan kembali membentuk gelombang berbentuk lingkaran, dengan kecepatan amat tinggi.
Di kawasan lautan terbuka, gelombang tsunami bergerak di bawah permukaan laut, dan biasanya di permukaaan hanya menunjukan gelombang yang tidak terlalu hebat. Gelombang pasang tsunami, akan melepaskan kembali semua energinya, jika bertemu kawasan pantai, teluk, ceruk atau kepulauan.
Masyarakat Cepat Lupa Bencana
Banyaknya timbul korban dalam setiap kasus bencana alam yang terjadi di Aceh, dan Indonesia pada umumnya dinilai karena masyarakatnya cepat lupa akan bencana tersebut. Sikap dan perilaku masyarakat yang terbiasa berpikir praktis akhirnya menelan korban dalam jumlah banyak secara berulang.
”Masyarakat kita terbiasa berpikir praktis. tingkat kesadaran antisipasi bencana masyarakat di Aceh dinilai sangat rendah,”tutur Ninok Leksono, wartawan senior Kompas dalam pelatihan jurnalistik di Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) tentang kebencanaan, beberapa waktu lalu.
Siklus bencana, kata dia, sebenarnya akan kembali berulang pada fase tertentu. Siklus ini, seperti longsor dalam hitungan tahun, banjir, serta tsunami dalam jangka waktu 100 tahun.
Sayangnya, karena masyarakat kita terbiasa dengan pemikiran praktis mengakibatkan mereka tidak terlalu ambil pusing mengenai siklus bencana tersebut. Apalagi, seperti bencana tsunami yang siklusnya disinyalirkan terjadi dalam seratus tahun sekali.
”Masyarakat berpikiran singkat. Jika bencana terjadi 100 tahun sekali, maka waktu tersebut tidak akan terjadi selama dia hidup. Pasalnya, umur manusia rata-rata cuma 63 tahun. Sedangkan keselamatan anak cucu nanti diserahkan pada yang maha kuasa,”ungkap dia.
Contoh kasus, kata dia, pada awal-awal tsunami, pemerintah telah menyerukan kepada masyarakat Aceh untuk tidak kembali membangun perumahan di area lokasi bencana. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan korban jiwa jika mereka kembali bermukim di area bekas bencana.
Tidak hanya masyarakat, lanjut dia, pemerintah serta pihak keamanan pun dinilai ikut-ikutan membangun pos yang berada di lokasi bekas bencana.
”Namun buktinya, saat ini banyak masyarakat yang melanggar seruaan tersebut dengan membangun perumahan di lokasi dekat pantai. Masyrakat kita cepat lupa akan bencana sehingga kalau musibah tersebut kembali berulang, mereka pasti akan menjadi korban selanjutnya,”akhiri dia
Sementara itu, Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBA, Armia SH, menambahkan bahwa mayoritas kabupaten/kota yang ada di Provinsi Aceh saat ini sebenarnya masih berpotensi besar untuk terjadi bencana alam maha dahsyat seperti gempa dan tsunami yang menimpa daerah ini pada akhir tahun 2004 lalu.
Tiga bencana yang diprediksikan akan kembali berulang di daerah paling utara Pulau Sumatra ini adalah, banjir, longsor serta gempa yang disertai tsunami.
“Kita (masyarakat Aceh-red) tinggal di atas lingkaran cincin api yang sewaktu-waktu bisa kembali menimbulkan bencana. Salah satu bencana yang akan akrab dengan kita adalah banjir dan gempa yang disusul oleh gelombang tsunami,”ungkap dia.
Menurutnya, hampir mayoritas kabupaten kota yang ada di daerah Aceh masih rawan terhadap bencana alam. Hal ini, seperti Kota Banda Aceh serta Meulaboh, yang rawan dengan gempa dan tsunami, kemudian Kabupaten Aceh Besar, Pidie, serta Pidie Jaya yang rawan terhadap banjir serta longsor.
Kemudian, lanjutnya, kabupaten Aceh Timur, Tamiang, Gayo Lues serta Abdya yang dinilai rawan banjir bandang akibat maraknya kasus illegal logging. Sedangkan Aceh Tengah dan sejumlah daerah lainnya juga dinilai rawan terhadap longsor.
“Semua ancaman bencana ini harus dapat diantisipasi untuk mencegah timbulnya korban jiwa. Namun untuk membangun kesadaran dari masyarakat guna mengantisipasi bencana sangat susah,”tegasnya.
Terlepas dari semua tanggapan para pakar tadi, sebenarnya antisipasi bencana memang sangat diperlukan untuk masyarakat di Aceh. Apalagi, kondisi alam daerah ini dianggap mulai tidak bersahabat. Kesiapan masyarakat dan respon aktif dari pemerintah sebenarnya sangat dibutuhkan untuk daerah ini. Hal ini untuk mengantisipasi korban jiwa yang lebih banyak di masa yang akan datang.