Rabu, 26 Januari 2011

Independent dan Menumpulnya Gerakan Tiro


Saat Partai Aceh selaku penguasa politik menolak kehadiran paket calon independent di Pemilukada 2011, berbagai elemen sipil dan masyarakat Aceh malah mendukungnya. Inikah pertanda awal tumbangnya ’gerakan tiro’ di daerah dengan julukan Serambi Mekkah ini?

Putusan akhir dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyetujui kehadiran calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh 2011 itu dibacakan oleh Mahfud MD selaku hakim ketua pada sidang yang berlangsung, Kamis (30/12) lalu. Sidang dengan agenda mendengarkan amar putusan akhir dari para hakim konstitusi tersebut berlangsung cepat. Sidang ini yang diagendakan di mulai pada 15.00 WIB berakhir pada pukul 15.30 WIB.

”Amar putusan Mahkamah Konstitusi, memutuskan untuk mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Serta juga memutuskan pasal 256 Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh sesuai lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 nomor 62 dan tambahan lembaran negara republik indonesia 4633 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,”ungkap Mahfud MD, dalam putusan sidangnya, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, Mahfud dalam putusannya juga mengatakan bahwa pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Dirinya juga memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Katanya lagi, putusan akhir ini sebenarnya telah diputuskan dalam rapat musyawarah hakim yang dilaksanakan, pada Selasa (28/12) oleh sembilan hakim konstitusi, yaitu Moh. Mahfud Md, Ketua yang juga bertindak sebagai anggota, Achmad Solidi, M.Akil Mochtar, Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, Harjono, M. Arsyad Sanusi, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi.

”Putusan ini harus diterima oleh semua pihak,”akhiri Mahfud.

Menyangkut hal ini, Kuasa Hukum Pemohon, Muklis Mukhtar, mengatakan pihaknya menyambu gembira atas dikeluarkannya putusan yang sangat memihak masyarakat tersebut. Kehadiran calon independen di Aceh dinilai akan menambah warna demokrasi di daerah itu.

”Kami menyambut gembira keputusan ini. Dengan adanya putusan ini qanun Pemilukada Aceh yang saat ini dibahas di DPRA harus merujuk pada putusan ini. Jika tidak dianggap melanggar hukum,”papar dia.

Sementara itu, Komisi Independen Pemilu (KIP) menyatakan pihaknya siap untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal kehadiran calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh nanti.

Lembaga itu juga mengharap keberadaan Rancangan Qanun (Raqan) tentang Pemilukada yang sedang di bahas di DPRA sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi sehingga persiapan ‘pesta rakyat’ tersebut berjalan lancar.

“kita siap menjalankan semua putusan Mahkamah Konstitusi soal kehadiran calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh nanti. Keputusan ini mutlak harus di terima oleh semua pihak di Aceh,”ungkap Ketua KIP Aceh, Abdul Salam Poroh, pada Minggu (2/1).

Menurutnya, sebagai tahapan awal, pihaknya akan segera mengambil satu berkas khusus tentang putusan kehadiran calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh di gedung MK guna dipelajari secara lebih dalam. Berkas ini dinilai Sangat penting sebagai bahan sosialisasi pihaknya kepada pengurus KIP tingkat kabupaten dan masyarakat nantinya.

Selama ini, lanjut dia, segala keputusan baru yang berkaitan tentang pelaksanaan Pemilu di tingkat daerah selalu di kirim oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat, Namun jadwal pengiriman keputusan ini dinilai selalu terlambat dari jadwal semestinya. Sikap proaktif dari KIP Aceh untuk mendapatkan langsung berkas tersebut dari Gedung Mahkamah Konstitusi dinilai adalah solusi terbaik.

“Pelaksanaan Pemilukada di Aceh dimulai dari April hingga Desember 2011, dengan puncak kegiatan di Oktober. Jadwal ini akan sedikit padat, mengingat masih banyaknya tahapan yang belum diselesaikan hingga kini, salah satunya adalah lambannya pengesahan Qanun Pemilukada 2011,”papar dia.

Terkait Qanun Pemilukada sendiri, tambah dia, dewan diharapkan segera mengesahkan qanun tersebut dalam waktu dekat ini. Dewan juga diminta untuk menyesuaikan isi qanun tersebut sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. ”KIP berpegang pada putusan MK tentang calon independen. Namun jika pembahasan qanun berjalan lamban, juga akan menganggu tahapan Pemilukada,”akhirinya.

Partai Aceh Tolak Independent
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Selasa (11/1) menyatakan pihaknya menolak segala putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal kehadiran calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh nanti. Alasan penolakan, dikarenakan putusan tersebut dinilai masih bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) yang seharusnya mengakui keistimewaan Aceh.

”Jajaran di DPRA menolak putusan MK karena dianggap cacat secara hukum. Putusan itu tidak mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang secara nyata telah memberikan keistimewaan penuh untuk Aceh,”ucap Ketua Komisi A bidang hukum dan pemerintahan DPR Aceh, Adnan Beuransah.

Menurutnya, penolakan ini adalah sikap resmi DPR Aceh yang diputuskan dalam rapat khusus antara Komisi A bersama para pimpinan dewan, Senin (10/1). Dalam rapat itu juga dibahas sejumlah alasan yang menjadi bahan pertimbangan dewan untuk menolak putusan Mahkamah Konstitusi.

Selain mengangkangi keistimewaan Aceh, kata dia, dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) nomor 11 tahun 2006 sebenarnya juga telah mengamanahkan kepada pemerintah pusat agar setiap penerbitan produk hukum (Undang-Undang) baru atau penyesuai, harus terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Namun hal ini ternyata tidak dilakukan oleh MK terkait penghapusan pasal 256 UUPA.

”Pihak MK tidak pernah berkoordinasi dengan DPRA terkait Judicial Review elemen sipil untuk pasal 256 UUPA. Jadi kita anggap, putusan itu cacat hukum dan DPR Aceh berhak untuk menolaknya,”ungkap politisi Partai Aceh ini lagi.

Dewan, tambah Adnan lagi, tetap akan berpegang pada aturan yang lama. Dasar-dasar penolakan dewan ini dianggap sangat jelas dan penting guna menjaga marwah kekhususan Aceh yang diperoleh pasca MoU Helsinki.

”Jadi penolakan kita (dewan-red) bukan karena antipati, namun karena putusan tersebut cacat hukum. Ini bukan hanya keputusan dari Komisi A, tetapi dari DPR Aceh,”tegas dia lagi.

Menyangkut hal ini, Wakil Ketua DPR Aceh, Amir Helmi, yang dihubungi oleh wartawan, mengatakan bahwa statemen Adnan Beuransah selaku Ketua Komisi A tentang penolakan putusan MK mengenai kehadiran calon independen di Aceh masih bersifat keputusan internal Komisi A. Keputusan ini dinilai belum bisa diklaim sebagai keputusan akhir dari kelembagaan dewan.

”Itu putusan internal Komisi A, bukan putusan akhir DPRA,”tegas dia.

Dirinya bersama para pimpinan dewan lainnya, lanjut dia lagi, memang pernah menghadiri diskusi khusus yang difasilitasi oleh Komisi A untuk membahas persoalan putusan MK tentang kehadiran calon independen di Aceh. Inti dari diskusi tersebut akhirnya menolak putusan MK dengan berbagai alasan. ”Tapi itu cuma diskusi biasa, bukan paripurna,”akhirinya.

Sebaliknya, kalangan praktisi hukum malah menilai penolakan dewan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kehadiran calon independen di Pemilukada Aceh 2011 nanti, terlalu mengada-gada. Jajaran legislatif (DPRA) Aceh saat ini dinilai terlalu sempit dalam memaknai hukum sehingga sering mengambil keputusan yang salah.

”Mereka terlalu mengada-gada. Inilah salahnya kita memilih dewan yang tidak mengerti tentang hukum,”ungkap Mukhlis Mukhtar, Praktisi hukum dan Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Menurutnya, DPRA seharusnya dapat memahami fungsi dan tugas dari Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, kelembagaan Yudikatif tersebut dinilai telah diberikan tugas yang seluas-luasnya dalam mengadili serta melakukan pengujian terhadap produk Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar-red).

Putusan MK, lanjut dia, tidak bisa di intervensi oleh lembaga di bawahnya, seperti halnya DPR Aceh. Dengan kata lain, penolakan DPR Aceh terhadap putusan MK mengenai kehadiran calon independen adalah salah sasaran.

”Ini yang namanya Yudikatif Power. Putusan MK tidak ada hubungannya dengan keistimewaan Aceh seperti yang dikatakan ketua Komisi A,”papar ketua tim kuasa hukum Judicial Review (JR) elemen sipil terhadap pasal 256 UUPA di MK ini.

Lebih lanjut, Mukhlis juga menambahkan, dewan yang ada saat ini perlu segera mengikuti bimbingan hukum. Pasalnya, jika kesalahan-kesalahan seperti ini masih terus terjadi nantinya, maka dikhawatirkan kelembagaan tersebut akan hancur.

Sementara itu, Mawardi Ismail, Pakar Hukum dari Unsyiah, menilai penolakan DPRA terhadap putusan MK tidak berdasarkan dasar hukum yang kuat. Tindakan para dewan ini dinilai akan gugur apabila permasalahan tersebut diajukan ke ranah hukum nantinya.

”Sebenarnya, tidak ada alasan putusan MK di tolak. Pasal 256 UUPA telah dibatalkan karena melanggar konstitusi. Keistimewaan daerah Aceh baru bisa dikatakan dilanggar, kalau UUPA di revisi, tapi yang dilakukan oleh MK adalah pembatalan karena hukum,”jelasnya.

Namun untuk sikap DPRA ini, tambah dia, dirinya mengatakan hal yang wajar. Tetapi, sikap tersebut dinilai tidak akan berpengaruh apapun pada pelaksanaan Pemilukada Aceh 2011 nanti.

Independent dan gerakan tiro
Terlepas dari semua ungkapan para elit politik dan para pakar tadi, menurut penulis sebenarnya ada sejumlah alasan penting dibalik penolakan kehadiran calon independet di Pemilukada Aceh 2011 nanti. Alasan-alasan inilah yang dikhawatirkan akan membawa dampak negatif dalam keberlanjutan ’gerakan tiro’ di daerah Aceh.

Pertama, menurut analisis awam penulis, jika dibolehkannya paket calon independent pada Pemilukada 2011 di Aceh nanti, maka dikhawatirkan akan memecahkan barisan atau dukungan untuk calon yang diusung oleh Partai Aceh di lapangan nantinya.

Kedua, dibolehkannya paket calon independent ini juga akan memberikan kesempatan bagi para kepala daerah dan para politik dari Partai Aceh untuk maju sebagai Cagub dan Cabup walau tanpa diusung partai yang bersangkutan. Bisa jadi juga calon yang bakal muncul dari partai eks perjuangan itu adalah tiga atau empat pasang, dan ini akan Sangat menggangu keterpilihan calon yang dimunculkan dari partai.

Ketiga, belajar dari pengalaman Pilkada 2006 lalu, kemunculan banyak calon justru akan menimbulkan pergesekan antara sesama kader partai di lapangan. Pergesekan ini dikhawatirkan akan memperlemah pola-pola perjuangan yang dirintis oleh wali Hasan Tiro. Jika ini terjadi, maka dukungan rakyat terhadap barisan tersebut akan menipis dan terancam hilang.

Tetapi, terlepas dari semua argumen tadi, cuma satu hal yang harus menjadi catatan dan renungan bagi kita semua, yaitu rakyat Acehlah yang tahu dan paham benar apa yang mereka inginkan saat ini. Jangan sampai, mempertahankan polemik independent justru akan berimbas negatif bagi mereka nantinya, dan perdamaian yang sedang dinikmati saat ini jadi terancam.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york