Minggu, 09 Januari 2011

Adu Taktik Walikota Versus Gepeng


Sudah lama penulis tidak mengisi laman blog ini. Sejak menyandang predikat baru dalam hidup (menikah-red), ide untuk menulis seakan menjadi kering. Nah, tulisan ini bisa dikatakan ada karena suatu kebetulan belaka. Judul dan bahan tulisan ini juga muncul secara tidak sengaja saat sedang melaksanakan jadwal rutin, yaitu ngopi bersama teman-teman Kampus Van Dekmi University.

Jadwal ngopi bareng merupakan sebuah rutinitas yang tidak bisa saya tinggal selama sepekan terakhir. Jika sedang ngumpul bareng teman-teman tersebut, selalu saja ada pembahasan khusus, baik tentang pemasalahan politik, ekonomi, perempuan, mobil baru (khusus bang Budi Azhari-red), hingga ke pembahasan khusus tentang gepeng dan Walikota Banda Aceh.

Namun untuk kali ini, penulis lebih tertarik untuk menguraikan tentang persoalan terakhir tadi. Judul ini bukan karena penulis ingin mencari sensasi atau menyorot keburukan pemerintahan ibukota di Serambi Mekkah.

Penulis cuma mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan bacaan bagi pihak yang bersangkutan sehingga ada pembaikan di kemudian hari.

Kembali ke pokok pembahasan tadi, keberadaan para gepeng di Kota Banda Aceh sebenarnya sudah cukup meresahkan. Persoalan sosial ini seakan tidak akan solusi penyelesaiannya, walaupun walikota telah mengeluarkan sejumlah peraturan yang ekstrem dan qanun untuk mengatasi lonjakan jumlah gepeng di kota bandar wisata ini.

Untuk mengatasi persoalan gepeng dan pengemis di Kota Banda Aceh, walikota setempat sebenarnya telah mengeluarkan Qanun tentang gepeng.

Ada beberapa hal menarik dari ulasan qanun itu, yakni: Pertama, adanya pelarangan bagi siapapun untuk memberi sedekah bagi gepeng di persimpangan jalan raya. Sedangkan yang Kedua, khusus pengemis Banda Aceh, akan dibina dengan cara diberikan keterampilan dan modal usaha. Sedangkan warga luar Banda Aceh akan dikembalikan ke daerah asalnya.

Pasca dikeluarkannya aturan ini, jumlah gepeng di Kota Banda Aceh sempat mengalami penurunan. Namun hal ini tidak bertahan lama. Pasalnya, beberapa bulan setelah qanun ini diberlakukan, jumlah gepeng kembali mengalami peningkatan drastis.

Wilayah operasi atau kerja para gepeng juga semakin luas saja. Jika dulunya, mereka (para gepeng-red) hanya mangkal di persimpangan jalan. Namun, pasca dikeluarkannya qanun tersebut, para gepeng bahkan berani menerapkan pola kerja dor to dor (dari pintu ke pintu-red) dalam mencari nafkah.

Jika pembaca adalah seorang mania warung kopi dan sering nonkrong berjam-jam di warung kopi, maka anda pasti paham benar tentang persoalan ini. Dalam satu jam saja, akan ada belasan gepeng yang silih ganti berdatangan demi mencari sedikit imbalan uang receh.

Para gepeng ini, bahkan mulai lihai dalam mengganti kostum dan metode kerja agar bisa terus meraih rupiah dari masyarakat. Jika trik tampilan sedih tidak lagi mempan bagi masyarkat, maka mereka tidak segan-segan untuk mengubah ke tampilan yang lain, seperti pencari donatur untuk pesantren, panti asuhan hingga panitia mesjid ilegal.

Lain lagi tingkah para gepeng kecil, karena tampilan meminta-minta tidak lagi menuai rasa kasihan dari warga, mereka kini sepertinya sedang mencoba metode baru dalam ’mencari rupiah’. Metode ini seperti berperan sebagai tukang semir sepatu.

Para gepeng ini mencari ’pelanggan’ semir sepatu di warung kopi, termasuk penulis. Padahal, menurut amatan penulis, rata-rata para mania warung kopi selalu memakai sandal jepit sehingga musthahir ada yang berminat dengan tawaran tersebut. Namun jangan salah sangka dulu, bujukan terakhir dari mereka yang menjadi senjata pamungkas mereka untuk menaklukan korban, termasuk penulis.

”Bang, semir bang. Semir ya bang ? tolong saya sudah dua hari tidak makan,”ungkap seorang gepeng kepada penulis beberapa waktu lalu. Akibatnya, lembaran seribu rupiah yang ada di kantong celana secara terpaksa menjadi milik mereka, termasuk beberapa mania kopi lainnya.

Para gepeng kecil ini menjalankan misinya dari warung kopi satu ke warung kopi lainnya di Kota Banda Aceh. Untuk mobilitas yang tinggi tersebut, mereka ternyata memakai jasa pengantar khusus, seperti tukang becak.

”Uang hasil ngemis dan semir ini kami bagi tiga, yaitu dua bagian untuk saya dan satu bagian untuk tukang antar,”ucap Ichsan, seorang gepeng kecil beberapa waktu lalu.

Dari semua ulasan dan hasil pengakuan para gepeng kecil tadi, tentu kita bisa mengambil satu kesimpulan, bahwa taktik yang mereka gunakan ternyata jauh lebih ampuh dari taktik dan metode Walikota Banda Aceh dalam menangkal keberadaan mereka.

Agen (bukan agen 007-red) para gepeng ternyata jauh lebih tajam dan fokus bergerak dari kinerja tim ahli walikota. Kita selaku masyarakat biasa seharusnya patut memberikan aplus setinggi-tinggi bag ’tim ahli’ gepeng. Pasalnya, jika cara-cara tersebut tidak digunakan, maka keberadaan gepeng di Kota Banda Aceh akan sangat terancam.

Terakhir, sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba memberikan ide gila bagi para kandidat independen di Aceh yang hendak maju pada Pemilukada 2011. Penulis menyarankan para kandidat tersebut untuk mencari tahu siapa sebenarnya ’tim ahli’ para gepeng ini. Jika sosok mereka ketahuan nantinya, alangkah arif dan bijaksana jika mereka dapat diajak bergabung dalam Timses guna membangun Aceh yang lebih maju.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york