Biaya pendidikan di negara milik para tuan ini terasa kian mahal. Namun mendapatkan ijazah saja, belum tentu akan memuluskan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian studi. Tanpa keahlian pribadi, ijazah tinggi pun hanya mampu berfungsi sebagai bungkusan kacang.
Hal inilah yang terancam menimpa ribuan sarjana dan mahasiswa lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ada di seluruh Aceh. Mereka kini terancam jadi pengganguran intelektual. Pasalnya, Dinas Pendidikan di negeri bekas konflik saat ini sedang mengwacanakan penutupan sementara rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) bidang keguruan dengan alasan jumlah Cek Gu yang ada di Provinsi Aceh saat ini suah over kapasitas atau melebihi target.
Hasil ini terungkap dalam pemaparan Kadis Pendidikan Aceh, Bakhtiar Ishak, saat menerima penulis di ruang kerjanya, Kamis (21/10) lalu. Namun di sejumlah kota dan kabupaten, seperti Kota Banda Aceh, Sabang, serta Kota Lhokseumawe sudah mulai menerapkan kebijakan ini sejak awal 2011.
Jumlah guru yang ada di Provinsi Aceh saat ini telah mencapai 91.141 orang pertahun 2009 lalu. Jumlah ini dinilai belum termasuk dari hasil rekrutmen baru pada tahun 2010 ini. Berdasarkan pemaparan data ini dianggap jumlah guru sudah over kapasitas serta melebihi dari kebutuhan untuk daerah ini sebesar 14 persen.
“Jadi mau tidak mau harus dilakukan (penghentian CPNS guru-red). Inilah realita yang terjadi di pendidikan kita saat ini,”ucap Kadis Pendidikan Aceh, Bakhtiar Ishak.
Menurut penulis, yang ditakutkan kebijakan ini justru akan mempengaruhi nasib ribuan sarjana dan mahasiswa lulusan FKIP di seluruh Aceh. Apalagi, sarjana pendidikan yang diluluskan pertahunnya diperkirakan mencapai ribuan orang. Jumlah ini belum termasuk lulusan dari sejumlah universitas ’toko’, swasta maupun program kelas jauh, yang menjamur di Aceh. Sungguh suatu fakta yang sangat memprihatikan yang sedang terjadi di daerah ini.
Menurut Bakhtiar, kasus ini diduga karena dalam rekrumen mahasiswa keguruan pihak fakultas dilaporkan sering kali tidak pernah berkoordinasi dengan dinas, baik untuk urusan kebutuhan guru maupun kebijakan lainnya. Hasilnya jumlah guru untuk mata pelajaran tertentu yang dianggap sudah mencukupi, tetap diterima calon mahasiswanya.
”Nanti jika para lulusan ini tidak direkrut jadi CPNS, maka kami disalahkan. Jadi kondisi ini kian serba salah. Belum lagi pendirian sejumlah universitas swasta yang ada di Aceh juga tidak pernah dikoordinasi dengan dinas. Hasilnya, banyak lulusan disana yang kemudian tidak bisa direkrut atau diterlantarkan,”tandasnya.
Analisis penulis, kebijakan ini seolah ingin menjelaskan kepada publik bahwa kuliah dan menempuh pendidikan tinggi, tidak mesti semuanya direkrut jadi PNS. Biarpun, lulusan dari fakultas tertentu memang mengajarkan pendidikan profesi, seperti kasus FKIP.
Demo Mahasiswa
Menariknya lagi, pemaparan data ini ternyata mengakibatkan Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh didemo puluhan mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unyiah, Kamis (21/10) lalu. Massa ini menuntut klarifikasi dari dinas itu, terkait publikasi hasil penelitian Tim Koordinasi Pembangunan Pendidikan Aceh (TKP2A) yang menyebutkan Provinsi Aceh telah kelebihan guru.
Massa ini menggelar aksinya pukul 10.30 WIB dengan membawa serta sejumlah karton dan spanduk berisi nada protes.
Massa juga sempat meneriakan slogan pembubaran Majelis Pendidikan Daerah (MPD) yang dinggap kurang memberikan kontribusi bagi pendidikan di Aceh, dan TKP2A yang dinilai hanya mengopy paste jumlah guru dari data web yang dinilai tidak update dan diragukan kebenarannya.
”Kita menuntut TKP2A untuk meminta maaf kepada rakyat Aceh dan masyarakat pendidikan. Pasalnya, data yang mereka buat menyesatkan dan hanya olah data diatas meja,”ucap Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKIP Unsyiah, Safrudin, dalam orasinya. Aksi ini sendiri, dijaga belasan personil kepolisian.
Menurutnya, data TKP2A yang menyebutkan bahwa guru di Aceh telah over kapasitas dengan jumlah 90 ribu lebih atau kelebihan sebanyak 14 persen adalah suatu hal yang aneh. Pasalnya, banyak sekolah-sekolah di perdalaman Aceh dinilai justru mengalami kekurangan guru dan mereka harus mengajar dua atau tiga mata pelajaran yang tidak dikuasainya.
Lebih aneh lagi, lanjut dia, rasio perbandingan guru dan murid rata-rata 1 : 10 dijadikan sebagai patokan untuk membenarkan hasil olahan data tersebut. Padahal, data ini dinilai hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dimana seharusnya memang secara nasional seorang guru kelas mengajar 20 siswa.
Namun untuk tingkat SMP atau SMA, rasio yang dibutuhkan dinilai akan berbeda, mengingat jam wajib perseorang guru hanya 24 jam perminggu dan mengajar satu pelajaran.
”Jadi data TKP2A adalah kesalahan fatal dan menyesatkan. Namun yang sangat kita sayangkan, Disdik Aceh sendiri langsung mengamini dan akan mengambil kebijakan peusiun dini untuk guru, pengalihan tugas ke admnitrasi serta penghentian rekrutmen keguruan. Tanggapan ini sangat bodoh,”tandas Agusmi, demotran lainya.
Dirinya juga meminta Disdik tidak hanya fokus pada pengerjaan proyek fisik tetapi juga pengutamaan mutu pendidikan.
Pukul 12.00 WIB, Kepala Disdik Aceh, Bakhtiar Ishak, turun menjumpai massa. Terkait tuntutan massa itu, dirinya mengaku akan segera turun ke lapangan dan mengecek ulang kebenaran data tersebut.
”Yang pasti ini akan kita tindak lanjuti. Namun mengenai ada sekolah yang belum memiliki guru yang lengkap, terjadi karena permasalahan distribusi saja. Proses pendistribusian guru ini adalah tanggungjawab kabupaten kota sehingga kawan-kawan harus sabar,”jelas Bakhtiar.
Usai mendengarkan hal ini, massa kemudian membubarkan diri. Massa juga sempat mengancam untuk kembali ’mengepung’ dan membakar kantor Disdik Aceh jika dalam waktu dekat tidak ada penyajian data yang kongkrit dari dinas.
Terlepas dari aksi tersebut, jika kita mau mencari akal persoalan mengapademo ini terjadi, maka jelaslah bahwa sumber persoalan sebenarnya terletak pada kegelisahan mahasiswa akan masa depanya.
Pada satu sisi, mereka dituntut memiliki pendidikan profesi yang mau tak mau harus menjadi guru. Namun disisi lain, mahasiswa itu kini juga dihadapkan pada kegelisahan akan masa depannya. Bisa-bisa, ijazah yang mereka peroleh nanti dan ribuan alumni sarjana pendidikan lainnya, terancam jadi bungkusan kacang.
Akal Permasalahan
Ada pro dan tentu adanya yang kontra. Hal ini juga terjadi untuk permasalahan yang sedang kita bahas saat ini.
Wacana penghentian sementara rekrutmen guru baru oleh Dinas Pendidikan Provinsi Aceh sebagai tindaklanjut hasil penelitian Tim Koordinasi Pembangunan Pendidikan Aceh (TKP2A) yang menyebutkan kebutuhan guru sudah over kapasitas dinilai sangat tidak tepat. Kelembagan itu juga dianggap tidak tahu akal persoalan pendidikan yang sedang terjadi di Aceh.
”Saya menilai kebijakan itu sangat tidak tepat. Jika kebijakan ini jadi dilakukan maka dinas itu memang tidak tahu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi oleh daerah Aceh saat ini,”ucap Pakar Pendidikan Aceh sekaligus Dekan FKIP Unsyiah, Prof. Yusuf Azis M.Pd, kepada penulis beberapa waktu lalu.
Menurutnya, pasca dikeluarkan hasil penelitian TKP2A beberapa waktu lalu, Disdik Aceh seharusnya segera melakukan pengecekan ulang dan penyesuaian data di lapangan. Kegiatan ini dianggap penting untuk mengetahui tingkat kebenaran serta metode penelitian tersebut agar sesuai dengan realita yang terjadi.
Perbandingan rasio guru dan murid 1 : 20 juga dianggap tidak bisa menjadi faktor pembuktian untuk memklaim jumlah guru over kapasitas di Aceh. Pasalnya, jumlah tersebut dinilai belum termasuk hitungan guru bidang studi.
”Perhitungan jumlah guru over kapasitas atau tidak, bukan pada rasio perbandingan guru dan murid. Tetapi, pada penyesuaian kebutuhan guru bidang studi dengan angkatan kerja dan penempatan yang sesuai,”ungkap dia.
Persoalan pendidikan hari ini, lanjut dia, adalah proses pendistribusian guru yang tidak seimbang di sejumlah daerah. Selain itu, adanya guru bidang studi tertentu yang tidak mengajar berdasarkan disiplin ilmu yang dimilikiya. Pengalihan tugas guru ke bagian adminitrasi, serta persoalan universitas toko yang menjamur.
”Dalam penelitian itu, ada tidak dijelaskan, bahwa banyak mata pelajaran seperti bahasa indonesa dan sejarah yang diajarkan oleh guru yang memiliki disiplin ilmu berbeda. Selain itu, jumlah guru yang dikatakan over kapasitas itu, sudah termasuk ratusan guru yang telah dialihkan fungsinya ke adminitrasi belum !! seperti di Gayo Lues. Jika ini belum dimasukan dan hanya memakai berdasarkan data copy Web, maka hasil penelitian tersebut diragukan,”paparnya.
Lebih lanjut, tambah Yusuf Azis, jumlah guru Aceh yang diproduksi oleh FKIP Unsyiah dan Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, sebenarnya hanyalah 40 persen. Sedangkan 60 persen guru yang direkrut selama ini lainnya berasal dari universitas swasta dan universitas toko. Rekrutmen guru ini yang dinilai kemudian bermasalah, tidak sesuai harapan serta kelayakan untuk mengajar.
”Universitas toko dulu yang seharusnya ditutup. Kemudian penerimaan CPNS hanya difokuskan pada FKIP Unsyiah dan Tarbiyah IAIN Ar-Raniry yang memang sudah diakui. Baru kemudian diberikan pelatihan untuk peningkatan kapasitas guru di lapangan. Jika langsung menutup CPNS untuk guru baru seperti yang diwacanakan, tetapi guru yang sudah direkrut berkualitas rendah hasil universitas toko atau kelas jauh yang ilegal bagaimana?”ungkapnya.
”Kami (FKIP-red) juga siap ditutup jika dianggap tidak berkompenten mendidik calon guru,”ucap dia.
Sementara itu, Budi Azhari, M.Pd, Ketua Aliansi Sarjana Pendidikan Aceh (ASPA) melalui siaran pressnya, mengatakan pihaknya pendukung aksi demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa FKIP Unsyiah, berkaitan dengan pembubaran Majelis Pendidikan Daerah (MPD) dan TKP2A.
Katanya, MPD selama ini hanya menjadi beban anggaran pendidikan Aceh. Selain itu, kinerja MPD juga dianggap tidak sesuai dengan pos anggaran yang mereka miliki, alias lamban dan tidak produktif.
”Kita juga meminta dinas pendidikan untuk tidak menggunakan data TKP2A sebagai acuan untuk menghentikan rekrutmen guru baru. Ini akan berdampak buruk bagi ribuan guru honor tidak jelas nasibnya. Padahal, mereka telah mengabdi bertahun-tahun lamanya serta menuggu untuk diangkat menjadi PNS,”pungkasnya.
”Rendahnya mutu pendidikan Aceh hari ini, bukan karena hanya permasalahan guru, tetapi karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada mutu.penggunaan anggaran masih di dominasi oleh pembangunan fisik sehingga Dinas Pendidikan indetik dengan dinas PU,”akhirinya
Dosa Universitas Toko
Argumentasi yang sama sebenarnya juga diungkapkan oleh pakar pendidikan lainnya. Kelebihan ‘stok’ guru di Provinsi Aceh yang berujung dengan wacana penghentian sementara rekrutmen guru baru dinilai merupakan ‘dosa warisan’ dari universitas toko.
Sejumlah universitas swasta dan universitas terbuka (UT) di Aceh dinilai bersalah dan ‘berdosa’ karena tidak pernah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Provinsi saat membuka kelas jauh serta melakukan penerimaan ribuan mahasiswa baru pertahunnya.
“Sini harus dilihat dulu akal persoalannya. Tidak sepatutnya Dinas Pendidikan Aceh maupun MPD divonis bersalah setelah mempublikasi data penelitian TKP2A. Yang ‘berdosa’ disini adalah universitas swasta yang tidak pernah berkoordinasi dengan pihak dinas saat melakukan rekrutmen calon mahasiswanya, “ucap Wakil Ketua Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh, Anas M. Adam.
Menurutnya, persoalan pendidikan Aceh hari ini merupakan persoalan serius yang harus melibatkan berbagai pihak didalamnya. Minimnya koordinasi antara petinggi universitas dengan pengambil kebijakan daerah, dinilai telah menyebabkan stok guru di daerah ini melebihi kapasitas.
Para petinggi universitas, lanjutnya lagi, terutama fakultas keguruan swasta dianggap sering kali tidak mau berkoordinasi dengan dinas mengenai kebutuhan guru di daerah ini. Mereka (petinggi swasta-rd) dilaporkan selalu merekrut mahasiswa keguruan dalam jumlah banyak, biarpun kebutuhan guru di Aceh tidak sebesar itu.
“Akhirnya, ketika jumlah guru melebihi kapasitas seperti sekarang dan wacana penghentian rekrutmen guru sementara muncul, kenapa yang disalahkan adalah pemerintah ? Seharusnya mereka berkoordinasi terlebih dahulu dengan dinas saat melakukan rekrutmen mahasiswa yang sesuai dengan permintaan kebutuhan guru didaerah dan bidang studi yang masih kurang, “ungkap mantan Kadisdik ini lagi.
Terkait laporan TKP2A juga, tambah dia, dirinya mengaku tidak semua daerah yang mengalami kekurangan guru. Ada guru bidang studi tertentu, seperti muatan lokal, dilaporkan tidak ada guru sama sekali. Demikian juga dengan beberapa mata pelajaran lainnya.
“Persentase kelebihan guru itu adalah rata-rata ditingkat provinsi. Persoalannya terjadi pada proses pendistribusian. Kedepan, kita harapkan universitas hanya membuka bidang studi tertentu yang memang masih dibutuhkan dilapangan serta tidak seperti sekarang,”tandasnya.
“Ditingkat seleksi calon guru juga harus di utamakan dari fakultas yang diakui, seperti saran dekan FKIP Unsyiah. Para orang tua juga ingin anaknya jadi pendidik, juga harus selektif dalam memilih universitas dan jurusan yang masih dibutuhkan,”akhirinya.
Ijazah Jadi Bungkus Kacang
Bagi penulis sendiri, hasil pemaparan beberapa argumentasi pakar pendidikan Aceh tadi, memiliki satu ’benang merah’ yang dapat disimpulkan satu arti, yaitu penyebab rendahnya kualitas pendidikan Aceh hari ini, disebabkan oleh banyaknya aksi para mafia pendidikan.
Para mafia ini menghargai sebuah ijazah hanya dengan uang belasan juta. Mendapatkan ijazah tidak perlu adanya keahhlian khusus, cukup menyetor uang jutaan rupiah, maka ijazah pun bisa didapatkan dengan mudah.
Contoh kasus adalah pembukaan sejumlah kelas jauh dan universitas toko lainnya di Aceh saat ini. Para lulusan disana hanya diwajibkan kuliah, pada Sabtu Minggu, tetapi mendapatkan nilai yang cukup tinggi dan mudah untuk mencari pekerjaan dipemerintahan.
Sedangkan bagi mahasiswa keguruan yang kuliah di LPTK yang diakui, selain diwajibkan untuk menyelesaikan sederetan tugas yang menumpuk, mereka juga mendapatkan nilai pas-pasan, serta ratusan persyaratannya lainnya lainnya menghambat penyelesaian studi. Padahal, dari segi kualintas mereka lebih sangat mampu dibandingkan contoh mahasiswa yang pertama tadi.
Namun inilah yang sedang terjadi di negeri ini. Nasib selembar ijazah kini berada di tangan para pemegang kekuasan.