Senin, 22 November 2010

Kekerasan-Kekerasan Atas Nama syariat Islam


Pelaksanaan hukum syariat sebenarnya bertujuan untuk mengatur tatanan kehidupan manusia yang baik dan sesuai dengan ketentuan agama. Namun ada kadang kala, tindakan dalam penerapan syariat terkesan dipaksakan hingga menimbulkan kekerasan-kekerasan dan menyebabkan imej islam menjadi buruk di mata masyarakat.

Cerminan prilaku bertolak belakang dengan harapan syariat ini terlihat pada aksi pembakaran puluhan cafe di Dusun Ujong Kareng, Desa Ladong, Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Hanya karena ingin menegakan syariat di daerah itu, massa yang terprovokasi akhirnya membakar puluhan kios yang menopang hidup puluhan kepala keluarga di daerah itu.

Aksi pembakaran massa ini telah menumbulkan imej baru tentang pelaksanaan islam di Aceh, seperti islam yang anarkis dan radikal. Imej dari penerapan syariat yang selama ini ditampilkan dalam sosok yang santun, melalui tindakan-tindakan penyadaran berubah menjadi sebaliknya.

Berdasarkan alur cerita, ratusan warga Desa Ladong (minus Warga Dusun Ujong Kareng-red), Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, Minggu (14/11), membakar puluhan pondok di Desa setempat. Aksi ini dilakukan, karena massa menilai keberadaan pondok-pondok cafe tersebut memicu perbuatan maksiat.

Massa dalam jumlah banyak itu tak mampu dikontrol sehingga berimbas pada pembakaran. Aparat kepolisian, Camat dan WH yang datang ke lokasi juga tak mampu berbuat banyak ketika massa melakukan pembakaran.

Ratusan pengunjung ketakutan dan pemilik cafe mengalami kerugian hingga belasan juta rupiah.

Ketegangan sempat terjadi antara massa dan pemilik pondok yang dibakar. Mereka tidak setuju karena tidak semua pondok di sepanjang pantai Ladong yang dibongkar. Tapi, hanya sebagian yang berada di Dusun Ujong Kareung dan di Dusun Indra Patra.

Selain itu, pemilik juga protes, karena pembongkaran tidak sesuai dengan perjanjian. Perjanjiannya, massa hanya pondok kecil yang dibongkar. Tapi dalam aksi di lapangan, malah pondok besar juga dibongkar dan dibakar.

Sebenarnya, sebelum pembakaran pondok dilakukan, masyarakat setempat sebenarnya telah menggelar rapat dan musyawarah pada Sabtu (13/11) pukul 15.00 WIB di Masjid Ladong. Rapat ini dihadiri unsur muspika, assisten I dan II, Kasatpol PP dan WH Aceh Besar, dan orang yang dituakan di gampong itu.

Keputusan rapat, diputuskan pembongkaran pondok-pondok kecil yang keberadaannya tertutup dan rawan pelanggaran syariat, tetapi tidak ada istilah pembakaran. Namun praktek yang terjadi di lapangan, akhirnya alah berbeda dan diluar kesepakatan.

Camat Masjid Raya, Yuslizar mengatakan, penertiban yang dilakukan seharusnya berdasarkan qanun gampong. “Tapi, apa yang terjadi setelah massa turun ke lapangan, itu di luar dugaan. Sejujurnya, kami juga tidak menginginkan ini terjadi,” ujar Yuslizar.

Menurut penulis, sebenarnya tidak ada yang salah dengan penerapan hukum syariat islam di Aceh. Namun tindakan anarkis seperti gerakan massa tadi yang seharusnya menjadi perhatian semua pihak yang menginginkan syariat berjalan kaffah di Aceh.

Tindakan anarkis seperti pembakaran cafe yang menyebabkan ribuan keluarga kehilangan pekerjaan, jutru membuat masyarakat semakin antipati dengan hukum tersebut. Akhirnya imej islam itu sendiri terasa sempit dan menjadi agama cemoohan dari non islam.

Pemilik Polisikan Pembakar Café di Ladong
Sekitar 50 pemilik cafe yang pondoknya di bakar massa di Dusun Ujong Kareng, Desa Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Senin (16) melaporkan kasus tersebut ke jajaran Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Banda Aceh. Selain melaporkan kasus perusakan yang mengakibat mereka mengalami kerugian puluhan juta, para pedagang tersebut juga melaporkan kasus penganiayaan yang menimpa mereka karena aksi brutal tersebut.

Para pedagang ini mendatangi Poltabes Banda Aceh, sekitar pukul 10.00 WIB. Menurut pedagang, pihaknya sengaja melaporkan kasus ini untuk mengetahui provokator yang berada dibalik pembakaran itu.

”Pembakaran ini karena ulah provokator. Beberapa warga yang sempat ikut-ikutan juga telah mengaku menyesal. Kita memperkarakan kasus ini dan menuntut polisi mengusut hingga tuntas,”ucap Zulkarnaen, 24, salah seorang pemilik cafe kepada penulis, kemarin.

Menurutnya, gara-gara adanya ulah provokator yang memanas-manasi warga, para pemilik cafe rata-rata mengalami kerugian hingga belasan juta. Pihaknya mencurigai adanya keterlibatan sejumlah warga luar (bukan warga Ladong-red) dalam pembakaran cafe, pada Minggu (15/11) lalu.

Katanya, lanjut dia, motif pembakaran ini disinyalir karena adanya persaingan bisnis yang tidak sehat. Pasalnya, ada sejumlah cafe tertentu ternyata tidak dibakar massa.

”Sejumlah nama yang diduga menjadi dalang dalam pembakaran ini telah dilaporkan. Kita berharap mereka dapat segera di tindak,”ucap Mariati, 46, pemilik warung lainnya.

Sementara itu, Amir, pemilik warung lainnya, juga menambahkan bahwa pihaknya juga melaporkan kasus penganiayaan yang menimpa mereka selama berlangsungnya pembakaran tersebut. Dirinya sendiri mengalami memar di seluruh tubuh akibat di pukul oleh oknum.

”Beberapa pembakar itu adalah orang yang suka memalak pengunjung cafe. Mereka meminta sejumlah uang dan memeras pengunjung dengan alasan telah melanggar syariat. Mereka pernah kami tegur untuk tidak melakukan hal itu lagi, tapi kemarin tiba-tiba datang dan membakar pondok kami dengan alasan melanggar syariat,”ungkap sumber lainnya.

Sementara itu, Kapoltabes Banda Aceh, Kombes Pol Armensyah Thay, menyangkut kasus ini kepada wartawan mengaku akan menindaklnjuti laporan warga tersebut. Dirinya juga mengaku prihatin atas kemalangan yang menimpa para pedagang ini. ”Kita akan menindaklanjuti kasus ini hingga selesai. Masyarakat hendaknya percaya pada polisi dan tidak main hakim sendiri,”tuturnya.

Pembakaran Cafe di Ladong Picu Konflik Antar Warga
Kasus pembakaran Cafe yang terjadi di Dusun Ujong Kareng, Desa Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, di Kabupaten Aceh Besar, ternyata masih menuai polemik di tengah-tengah warga. Pembakaran tersebut disinyalir telah mengakibatkan tumbuhnya konflik internal antar warga di desa setempat yang dikhawatirkan berujung dengan bentrokan massa.

Menurut sumber wartawan, pasca adanya pembakaran cafe yang terjadi Minggu (14/11) lalu di sana, telah mengakibatkan timbulnya sikap permusuhan antara warga dari Dusun Ujong Kareng dengan warga dari dusun lainnya di Ladong. Dua kelompok ini sama-sama sedang menuntut balas atas aksi yang terjadi Minggu lalu.

”Mayoritas pemilik cafe adalah warga Ujong Kareng. Mereka belum bisa menerima cafe mereka dibakar serta pemiliknya dipukul massa. Saat ini suasana di sini (Ladong-red) sedang mencekam,”ucap sumber tadi.

Lanjut sumber tersebut lagi, tidak hanya menimbulkan perpecahan di tingkat masyarakat se-kampong. Konflik disinyalir juga terjadi di tingkat orang tua gampong (tuha peuet-red).

Orang tua gampong disana dinilai tidak bisa mencegah terjadinya pembakaran Cafe di sepanjang Dusun Ujong Kareng dalam desa itu. Padahal, pada rapat gampong sebelumnya, telah disepakati untuk tidak ada aksi-aksi pembakaran seperti yang terjadi pada Minggu lalu. Jika ada ditemukannya pelanggaran syariat, warga hanya akan menegur pengunjung yang bersangkutan.

”Namun yang terjadi malah sebaliknya. Camat dan WH yang turut ke lokasi malah diam seperti membiarkan aksi ini terjadi. Hari itu (Minggu-red) pemuda Dusun Ujong Kareng sebenarnya hendak menghentikan aksi pembakaran cafe milik keluarganya tersebut, namun dihentikan oleh orang tua gampong supaya tidak ada perkelahian massa,”ungkapnya.

Menyangkut hal ini, Geuchik Desa Ladong, Rusli AR, yang dihubungi oleh wartawan, membantah adanya perpecahan di daerah mereka. Namun dirinya juga mengaku belum bisa mencari jalan tengah guna mendamaikan warganya yang terlibat pertikaian tersebut.

”Alasannya, aksi pembakaran yang terjadi Minggu lalu tanpa sepengetahuan kami selaku orang tua gampong. Selain itu, aksi pelaporan polisi yang dilakukan oleh pemilik cafe juga tidak pernah diberitahukan kepada kami. Jadi posisi kami hari ini serba salah,”ungkapnya pasrah.

Haruskan syariat diterapkan dengan kekerasan ?
Pertanyaan ini sebenarnya yang harus menjadi bahan renungan kita selama ini. Pasalnya, penerapan syariat islam di daerah Aceh ternyata telah menimbulkan imej yang buruk-buruk di tingkat nasional dan masyarakat internasional.

Banyak para wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri luar, sepertinya enggan untuk mengunjungi Aceh hanya karena mendengar dan melihat informasi yang salah tentang penerapan syariat islam, seperti halnya pembakaran cafe secara massa tadi.

Selain itu, pernah juga ada aksi pemotongan rok dan swepping liar busana ketat oleh pihak tertentu di Aceh. Aksi-aksi ini justru mengakibat imej negatif tersebut di tingkat nasional sehingga menyebabkan masyarakat luar semakin antipati terhadap syariat.

Padahal, imej syariat yang selama ini yang muncul ke tingkat nasional dan internasional, hanyalah yang bersifat negatif semata.

Islam sebenarnya jutru memperlakukan penganutnya dengan sebaik-baiknya dan mengutamakan pentingan kesadaran dari masyarakat untuk pelaksanaan syariat secra kaffah. Islam mengajarkan sesuatu yang baik itu harus dimulai dengan cara-cara yang baik pula.

Orang islam yang baik, sebenarnya adalah orang yang berperan serta dalam memajukan dan mengembangkan agamanya serta berguna untuk orang islam lainnya secara khusus dan orang-orang di sekitarnya pada umumnya.

Kriteria orang itu adalah yang bagus ibadahnya, rukun dengan orang lain, tidak suka mencerai berai agamanya, tidak dibenci orang-orang baik, menjaga ukhuwah islamiyah, mengembangkan agama dalam berbagai aspek kehidupan, dan lain sebagainya.

Tujuan pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita dengan tuhan yang maha pecipta dengan meluruskan perilaku dan akhlak. Namun ini semua tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan tindakan kekerasan dalam setiap pelaksanaan syariat.

Kelembagaan seperti Dinas Syariat Islam dan lembaga Wilayatur Hisbah, Pesantren serta tempat pendidikan agama lainnya, seharusnya menekankan pengutamaan perilaku tersebut dibandingkan dengan pemaksaan kehendak.

Kembali pada sumber pembahasan tadi, kini gara-gara pembakaran pondok di Dusun Ujong Kareng, telah menyebabkan puluhan keluarga kehilangan sumber pendapatannya. Pejumlah pemilik pondok, sebenarnya berstatus janda dan memiliki beberapa orang anak yang harus diberikan nafkah setiap harinya. Hal ini berdasarkan pengakuan sejumlah warga disana.

Pemerintah daerah, mulai dari Camat dan Pemkab setempat seharus berinisiatif untuk memberikan ganti rugi yang sepantasnya bagi pemilik yang mengalami kerugian tersebut. Jangan sampai kekerasan dengan dalil syariat yang telah dipraktekan disana mengakibatkan janda-janda tersebut menjadi gelandangan dan pengemis di jalanan.

1 komentar:

reizasanova mengatakan...

ke bapak pejabathana keneng syariat,ureng susah keneng syariat islam

Posting Komentar

Setiap pengunjung blog ini dapat mempostingkan komentarnya sesuai pendapat masing-masing mengenai isi blog ini. Pengelola berhak menyunting setiap komentar yang berbau SARA dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kritikan yang demokratis.

 
Free Host | lasik surgery new york